Kelas 1-5 berkumpul di sisi lapangan lain, menunjukkan dukungan mereka untuk tim kelas mereka yang sedang bertanding. Satu per satu anggota futsal masuk.
Ada Arai dan Choki bergabung di sana. Arai baru sadar jika di sisi lain, Matari menontonnya. Ada sedikit rasa ego ingin memamerkan kehebatannya. Dia ingin menunjukkan bahwa meskipun dia anak yang bandel, dia masih bisa bermain futsal dengan baik.
Peluit tanda permainan dimulai berbunyi panjang. Para pemain segera bergerak merebut bola ke sana ke sini. Lawan saat itu adalah kelas 2 IPA 3, yang juga dijagokan karena kehebatannya.
“Eh, La, gue mau kencing nih. Temenin yuk!” ajak Marsha tiba-tiba saat pertandingan baru berjalan 5 menit.
“Yuk, gue juga kebelet. Kalian mau ikut?” tanya Ayla.
“Eh enggak, gue di sini aja,” sahut Matari.
“Cieee, nggak mau kelewat satu menit pun ya? Ihiiiy!” ledek Ayla.
"Emang gue nggak kebelet aja,” jawab
“Eh, udah beda score 1-2 aja, luar biasa!” seru Marsha antusias. “Padahal kelas 2-nya agresif ngerebut bola! Kelas calon cowok lo emang top deh!”Matari cuma tersenyum. “Nggaklah, kelas 2 masih unggul kok.”“Tapi cuma beda 1 skor, hebat lho!” puji Marsha berlebihan.Tak ada yang menanggapinya. Matari menunggu Hera yang memang sudah diprediksinya akan langsung tanya pada Ayla.“Eh, La, kata Matari lo sama Davi deket?” tanya Hera to the point.Ayla yang baru saja duduk nyaman di tempatnya semula, mengerutkan dahi. “Eh, kata siapa?”“Lho, gimana sih, Ri?” tanya Hera bingung.Matari menatap Ayla. “Gue yang bilang sama dia.”Ayla terdiam. “Nggak deket-deket banget kok.”“Kemarin lo bilang, enggak deket?” ucap Hera. “Makanya gue disuruh nanya ke Matari. Tadi Matari bilang, dia nggak ta
Sandra baru sampai di rumah. Jam menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit. Hanya ada Eyang Putri yang duduk di ruang tamu sambil membaca koran hari itu. Lagu berbahasa Belanda terdengar samar-samar dari bibirnya yang tipis.“Assalamuaikum!” seru Sandra sambil mencium Eyang Putrinya.“Walaikumsalam…,” sahut Eyang sambil menatap Sandra bingung.“Eh, kenapa, Yang? Ada yang salah sama aku?” tanya Sandra ikutan bingung.“Eh, kamu siapa? Tiwi ya?”Sandra semakin bingung. Dia disangka Kak Tiwi, sepupunya. Padahal Eyang Putri saat itu memakai kedua kacamatanya.“Bercanda, Yang?” tanya Sandra.Eyang hanya menatap Sandra sejenak, kemudian dengan acuh melanjutkan kegiatannya. Sandra akhirnya malas mempermasalahkan dan bergerak menjauh. Dia segera menaiki tangga dengan cepat.Melihat kamar Matari yang tampak menyala, Sandra akhirnya masuk tanpa permisi seperti biasa. Terlih
Sandra memarkir sepedanya di dekat selokan. Saat itu selokan mengeluarkan bau tidak sedap yang menyengat. Matari yang berada di belakangnya bahkan sudah menutup hidungnya sejak tadi sebelum masuk ke area parkir motor.“Oh iya, satu lagi, soal dia nggak akan jadian sama mantannya sahabatnya, kita liat aja besok-besok, bener nggak tuh omongan?! Mungkin dia ngejodohin lo sama Arai sebagai salah satu bentuk gengsi dia karena nggak bisa bikin Davi sama lo balikan. Perasaan bersalah mungkin ada, tapi entahlah, kalo anak-anak sultan gitu, kadang suka nggak bisa dipegang omongannya! Kebanyakan diajarin apa-apa diselesain sama duit!” kata Sandra tiba-tiba.“Iya, iya, San. Thank you sarannya, tapi nggak diomongin pas di sini juga kali!” timpal Matari sambil mengunci sepedanya dengan rantai yang dibawanya.Sandra menoleh ke kanan dan ke kiri, sedikit merasa bersalah. Untungnya tak ada satupun yang mereka kenal saat itu.“Takut
Tampaknya, niat Matari dan Sandra untuk berolahraga gagal. Hujan cukup deras membuat mereka akhirnya berniat meninggalkan sepeda mereka di sekolah dan pulang naik bajaj atau angkot. Suasana classmeeting dengan jam bebas di mana-mana, semakin mendukung para siswa untuk segera pulang dengan cara masing-masing.Ada yang patungan bayar taksi, bajaj, mencharter angkot yang lewat hingga nebeng teman-teman mereka yang punya mobil atau dijemput dengan mobil.Desember, meskipun adalah bulan kelahiran Matari, dia selalu harus terbiasa akrab dengan hujan setiap hari. Begitupun hari ini.Tak banyak yang masih tinggal di sekolah. Bahkan Dinda dan Ayla sudah pergi duluan ke mall terdekat. Praja, Beno dan Hafis juga sedang menunggu jemputan, mereka akan main futsal dengan teman-teman SMP mereka.Matari dan Sandra menunggu hujan sedikit reda, dengan harapan mereka bisa memakai payung mereka. Dengan keadaan hujan dan angin seperti ini, pastinya tidak mungkin neka
Dalam pikiran Matari, traktiran yang dimaksud akan diadakan di sebuah tempat makan atau tempat yang lebih proper. Ternyata, tempat yang dituju adalah rumah Rambo.Rumah Rambo terletak di dekat Pasar Jatinegara. Bukan rumah mewah, namun sedikit terpisah dari area rumah-rumah yang lain. Pemisah itu adalah sebuah pabrik tahu dan pabrik jeans di sepanjang kanan-kiri jalan. Untuk ke sana, Matari bahkan harus menutup hidungnya karena bau yang tidak enak, sebagai akibat dari polusi kedua pabrik tersebut.Gerimis masih dirasakan Matari saat mereka sampai. Matari yang sejak tadi membonceng Arai, tak berani jauh-jauh dari cowok itu. Meskipun ternyata rumah Rambo tampak ramai oleh siswa-siswi di sekolahnya. Namun hanya sedikit yang dikenalnya. Mereka semua sepertinya tergabung dalam geng GWR karena terlihat akrab satu sama lain.Rambo hanya menggelar tikar seadanya untuk siapapun duduk-duduk. Dua gerobak kaki lima terparkir di depan rumahnya. Satunya penjual bakso dan seka
“Ri, kamu nggak kenal sama yang di dalem?” tanya Kak Mirna saat Matari duduk di dekatnya untuk menikmati siomay.“Siapa?” tanya Matari bingung.Dia tahu di dalam rumah Rambo masih ada beberapa orang lagi dan Matari tak kenal mereka semuanya.“Ituh yang dateng bareng sama si Anton,” jawab Kak Angela sambil bergabung dengan Matari dan Kak Mirna.“Eh, Kak, makasih ya, traktirannya,” kata Matari berbasa-basi.“Yaelah, biasa aja, Ri. Di sini mah gitu kebiasaannya. Jangan kapok aja!” jawab Kak Angela. “Jadi, lo masa nggak kenal, kan katanya sama-sama anak kelas 1?”“Oh, si Desma?” sahut Matari.“Males aku nyebutin namanya. Dasar pec*n!” seru Kak Mirna.Matari masih tak mengerti. Kenapa semua orang, terutama yang cewek-cewek, tampak tak suka dengan Desma. Bahkan kakak-kakak cewek dari sekolah lain juga tampak seperti itu.“Eman
Hujan telah berhenti sepenuhnya. Arai dan Matari masih sama-sama membisu di perjalanan pulang mereka. Sebenarnya keduanya masih syok, karena tanpa sengaja harus melihat adegan itu secara langsung.“Ri…, lo nggak papa?” tanya Arai.Matari mengangguk. Arai bisa melihat gadis itu tampak bingung dari kaca spionnya. Sebenarnya dia sendiri juga sama bingungnya. Sebagai cowok, dia sudah biasa melihat film-film 18+ di masa-masa pertumbuhannya sebagai remaja. Tapi dia sendiri tak menyangka, Anton dan Desma akan melakukan hal itu di sana. Apalagi mereka belum berstatus pacaran.Sudah menjadi rahasia antar sesama anggota geng, bahwa di rumah Rambo bebas mau melakukan apa saja. Mau bagaimana lagi, rumah itu sering sepi.Bahkan Bang Luigi sering melakukan hal-hal yang lebih dari itu dengan pacar-pacar lamanya. Beberapa pasangan lain juga sama. Ruangan pintu ke-4 adalah saksi semua hal bejat yang dilakukan oleh teman-temannya.Rambo bahk
Davi menelepon Ayla ke rumahnya siang itu sepulang sekolah. Sudah sejak kemarin dia tak bisa menemui atau berbicara dengan gadis itu. Di rumahnya pun tak ada. Untungnya, hari itu, Ayla menerima teleponnya dengan baik.“Hai, Dav, tumben nggak SMS dulu?” tanya Ayla.“Apaan? Gue SMS lo nggak dibales dari kemarin,” sahut Davi.“Eh, masa sih? Lupa berarti gue. Sorry, sorry, awal minggu kan gue ngurusin classmeeting, sisanya gue jalan-jalan ke sana- ke sini, tiap hari kaya gitu. Bosen juga di rumah. Kemarin malah ngemall kita.”“Lupa apa lupa?”Ayla tertawa. Dia memang berbohong. Sesungguhnya sejak kejadian kemarin bersama Matari, dia sudah bertekad tidak mau terlalu dekat dengan Davi lagi. Hera dan Marsha sedang dalam proses memaafkannya. Bahkan, saat Ayla mentraktir mereka makan enak di mall kemarin, mereka masih canggung terhadapnya.“Btw, lo nggak pergi-pergi Dav?”