Tepuk tangan yang menyambut lagu pertama Matari yang selesai dinyanyikan tak pernah membuat takjub Davi lagi. Dia tahu, suara Matari memang bisa membius siapapun yang mendengarnya. Dulu, dia pernah jatuh cinta pada suara itu. Namun, dia lebih tertarik pada si penyanyi latar. Yang meskipun sumbang, namun pesonanya bukan main baginya.
“Masih cakep aja suaranya. Untung dia yang jadi penyanyi utama, bukan si saudagar supermarket itu ya, Dav?” celetuk Pito.
“Namanya Ayla, Pito, bukan saudagar supermarket!” tegas Davi kesal.
“Yeee jangan sewot dong! Lihat tuh si Kiwil, sampai maju deket ke panggung. Lo nggak ikutan Dav? Masih ada satu lagu lagi kan?” timpal Pito.
“Nggaklah, dari sini juga jelas kok,” kata Davi.
“Lo beneran naksir si anak supermarket itu, Dav? Siap ngadepin abang-abangnya lo?” tanya Pito lagi.
Davi belum sempat menjawab ketika Matari berbicara dari atas panggung.
&l
Setelah penampilan terakhir, Kak Husain, ketua panitia Perjusami, memberikan wejangan dan ucapan terimakasih karena seluruh peserta telah tertib mengikuti acara hingga malam kedua. Dan dia meminta ketertiban seluruh peserta sekali lagi untuk besok pagi. Setelah olahraga bersama, mereka diharuskan membersihkan seluruh area yang digunakan sebelum meninggalkan tempat ini.Setelah ini, mereka bisa kembali ke barak masing-masing. Tanpa terkecuali. Karena sudah mendekati pukul 10 malam, tak ada jam bebas. Kegiatan yang diperbolehkan hanya pergi bebersih diri ke toilet, sholat atau beribadah malam bagi yang non-muslim. Sisanya, harus berada di barak, beristirahat karena olahraga akan dimulai pukul 5 pagi.Matari merasakan dirinya ingin ke toilet. Saat itu, hampir seluruh peserta di baraknya sudah bersiap tidur di matras masing-masing. Ayla bahkan sudah terkantuk-kantuk mendengarkan Dinda yang mengoceh tentang acara hari itu.“Kenapa, Ri?” tanya Dinda dan Ay
Matari dan Sandra duduk di belakang kemudi bagai mayat hidup. Kak Bulan seketika tertawa melihat adik-adiknya yang tampak lemas, lunglai dan letih. Apalagi Sandra biasanya sangat energik, kali ini seperti kehilangan powernya.“Capek banget, Ma. Hari terakhir disuruh bersih-bersih seluruh barak TNI sampe halamannya juga. Udah kaya tukang kebon!” kata Sandra.Matari tahu, Sandra paling nggak suka beberes. Makanya, hari terakhir lebih menyenangkan baginya jika ada petualangan lagi.“Tenang, nih hp kalian. Matari jangan lupa kabarin Ayah kalau udah jalan pulang. Ayahmu kan lagi tugas ke Pandeglang jadi nggak pulang minggu ini. Nah sekarang, kita makan dulu ya. Mau drive thru atau makan langsung di M*d?” tanya Tante Dina menghibur.“Makan langsung? Pakai baju pramuka gini, Ma?” sahut Sandra.“Ya nggak papa kali, San. Emang kenapa sih?” timpal Kak Bulan geli.“Malu kali Kak. Kita berdua nih ngg
Matari tampak bingung harus menjawab SMS Arai seperti apa. Saat itu sudah menjelang Magrib. Setelah sholat, Matari belum juga membalas SMS Arai. Setelah berpikir sejenak, dia mulai mengetik.Matari: “Hai juga. Udah sampai dari tadi sih. Cuma ketiduran. Sorry ya baru bales.”Tak sampai 5 menit, balasan pun datang.Arai: “Sama. GILA SIH. Capek banget ya. Eh, senter lo masih di gue. Senter Choki masih di lo kan?”Matari: “Ya ampun. Lupa. Iya, masih. Besok gue bawain ke sekolah ya.”Arai: “Nggak papa. Gue juga lupa ngembaliin senter lo tadi pagi. Sorry banget, gue kesiangan bangun. Gue aja bolos olahraga pagi. Untungnya nggak ketahuan. Hehe.”Matari: “Besok gue bawain punya Choki deh ke kelas lo.”Arai: “Oke deh. Tapi besok gue kayanya nggak masuk. Langsung kasih Choki aja ya. Nanti senter lo gampang deh. Lusa gue bawainnya pas udah masuk. Atau kalau nggak
“Ri, tadi Choki nyamperin gue. Lo mau ikut kita-kita nggak, jengukin si Arai?” tanya Ayla di suatu Kamis siang.Matari bersandar pada kursinya, berpikir. “Tapi gue kan ekskul Karate, La.”“Oh, iya, gue juga Padus lagi! Kok bisa sih, gue lupa, mana gue main iya-iyain aja lagi!”“Lah elu gimana sih?”“Hmmm, gimana kalau kita nyusul aja abis ekskul. Nanti kita naik taksi?”Matari menarik napas. “Emang njenguk di rumah sakit mana?”“Nah, itu gue nggak tahu, hehehe. Gue ke kelas Choki deh, temenin yuk!”“Duh, sorry, gue barusan aja duduk habis dari kantin. Sama Dinda aja tuh!”Ayla mengangguk. Kemudian mendekati Dinda yang sedang berdiri mengobrol di depan pintu kelas mereka. Setelah itu Ayla dan Dinda pergi menuju kelas Choki di 1-5.“Emang si Arai sakit apaan, Ri?” tanya Praja penasaran.“Nggak t
Sebuah motor terhenti di depan rumah Matari. Hari itu hari Sabtu menjelang sore. Tante Dina tampak bingung karena dari jendela belum pernah melihat wajah seorang gadis yang berjalan pelan masuk ke pekarangan rumah sambil memarkir motornya dengan hati-hati.Setelah pintu diketuk, Tante Dina membukakan pintu rumah dengan sigap.“Assalamualaikum Tante. Matarinya ada?” tanya gadis itu.“Walaikumsalam, halo, ada…. Bentar, ini siapa ya?” sahut Tante Dina.“Saya Ayla, Tante, teman satu kelasnya, kebetulan kami dipilih sebagai seksi konsumsi kelas untuk perlombaan olahraga di classmeeting minggu depan. Makanya saya datang buat ajak Matari diskusi dengan ketua kelas kami di rumahnya,” jawab Ayla panjang lebar.Tante Dina memperhatikan gadis yang tingginya tak jauh dari Sandra. Wajahnya manis. Penampilannya memang mencirikan khas anak orang berada. Namun entah kenapa, ada yang membuat Tante Dina merasa tidak sreg de
Sesampainya di rumah Dinda, Matari dan Ayla langsung mengerjakan daftar makanan dan minuman yang harus disediakan. Untuk minuman, Ayla bahkan menyarankan untuk membeli dari supermarket keluarganya. Dia juga mewanti-wanti agar mereka harus tetap membayar, sebagai gantinya, kami semua akan mendapatkan diskon yang cukup besar.Untuk makanan, ibunya Dinda bersedia membuatkan kue-kue basah dengan harga murah. Sehingga baik Matari dan Ayla tidak perlu khawatir. Terlebih lagi beliau bersedia mengantarkan kue-kue itu pagi-pagi sekalian mengantar Dinda ke sekolah. Dinda sih setuju saja, asal Matari dan Ayla stand by untuk membantunya mengangkut makanan ke dalam kelas mereka.Semua detail persiapan konsumsi sudah beres dalam waktu satu jam. Adik perempuan Dinda, meminta Dinda untuk menemaninya mengerjakan PR. Maka, Matari dan Ayla akhirnya segera pamit pulang.“Eh, masih jam segini. Mau main ke rumah gue nggak, mumpung malem minggu nih,” kata Ayla saa
Menikmati pizza adalah salah satu hal yang mewah bagi Matari. Di rumahnya sendiri, hal seperti itu tak selalu bisa dia inginkan kapan saja. Mbok Kalis, ART-nya, hampir selalu memasak. Eyang Putri tidak bisa makan sembarangan seperti dulu. Tante Dina, sangat berusaha hidup sederhana karena sebagai single parent pasti lebih banyak kebutuhan lain yang didahulukan.Ayahnya sendiri, hampir tidak pernah peduli pada hal-hal seperti itu. Uang bulanan yang diberikan kepada kedua anaknya jumlahnya pas-pasan. Sehingga baik Matari atau yang lainnya, tak pernah berharap bisa makan makanan cepat saji saat hari biasa.Matari memperhatikan Ayla yang dengan mudahnya memesan apa yang dia mau. Bahkan seumuran dia sudah membawa kartu ATM sendiri. Uang cash di dompetnya juga banyak. Tampaknya uang tak pernah menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi Ayla.Suara beberapa motor yang sudah dimodifikasi mesin knalpotnya masuk ke area halaman belakang. Matari bisa menebak bahwa itu
Tak disangka, mendadak hujan turun deras di luar. HP Matari berbunyi. Tante Dina menelepon.“Halo, Matari? kamu masih di rumah ketua kelas kamu?” tanya Tante Dina.Matari terdiam sejenak. Dia lupa bilang bahwa sudah berpindah tempat.“Eh, iya, Tan. Masih hujan deras di sini,” sahut Matari setengah tergagap dan akhirnya berbohong adalah solusi terbaik saat itu.“Sama, di sini juga. Ayah kamu juga masih kejebak di halte bus, beliau nggak pulang naik motor. Kamu rencana pulang kapan? Tugasnya udah selesai belum? Tante nggak bisa jemput, Eyang Putri lagi ngomel-ngomel.”“Mmm nunggu hujan reda ya. Aku langsung balik.”“Oke, hati-hati ya. Jangan ngebut-ngebut, bilang ke Ayla-nya, oke?”“Oke, Tante.”Klik. Percakapan ditutup. Matari menatap ke arah luar. Hujan tak ada tanda-tanda berhenti. Choki masih belum kembali dari garasi belakang dan Ayla, dia bahkan masih b