Hera datang ke kota Jakarta dari Bengkulu setelah Ayahnya meninggal. Bi Narti, salah satu Bibinya yang mencoba membantu Bu Sisi, Ibu Hera, membujuk Hera agar tinggal di rumahnya di Jakarta. Bibinya tahu, dengan beban 4 orang anak perempuan yang masih gadis, tentunya susah merawat mereka semua tanpa adanya Ayah mereka lagi. Untuk itulah, selepas SMP, Hera pindah ke Jakarta dan bersekolah di SMA Negeri B Tebet.
Logat Jakartanya memang terdengar cukup aneh dan kikuk, mungkin dia sedang membiasakan diri untuk dapat berbicara dengan bahasa gaul anak Jakarta. Hal itu dilakukannya agar bisa diterima dengan baik oleh mereka semua. Dia merasa cukup beruntung, perkenalannya dengan Marsha saat hari pendaftaran, membawanya menjadi salah satu anggota geng populer di kelas 1.
Kini, dia menghadapi dilema. Gejolak mudanya untuk jatuh cinta pada lawan jenis, membuncah saat pertama kali bertemu Davi setelah hari MOS berakhir. Cinta pada pandangan pertama yang dia yakini untuk pertama ka
Sudah sebulan lebih Arai menitipkan motor di warung rokok milik Rambo. Karena biayanya jauh lebih murah. Dia bahkan bisa mendapatkan lebihan uang saku dari jatah parkir yang diberikan Ayahnya.Sebenarnya sejak awal, Ayahnya cukup khawatir pada Arai karena harus membawa motor sendiri. Apalagi dia belum ada SIM. Tapi mengingat sekolah mereka cukup jauh dari rumah dan beliau sendiri tak bisa mengantarkan, mau tak mau Ayahnnya akhirnya mengizinkan.“Rai, motor lo standar pabrikan banget, nggak mau di modif apa?” tanya Bang Luigi. “Di chrome aja dikit-dikit. Biar keren gitu.”Arai memperhatikan motor Bang Luigi. Motor balap itu sudah full modif sana-sini.“Murah kok, motor lo kan motor bebek. Di langganan gue aja, Bang Ali juga di sana. Tempatnya enak, bisa nongkrong. Ada PS, tv, ada warung nasinya. Nungguin jadi berasa nggak ngebosenin deh!” ujar Bang Luigi lagi.Menyebut nama Bang Ali, tentu saja Arai langsung meras
Entah sudah kali keberapa malam minggu Arai dan Choki diisi mampir ke rumah Ayla dulu. Bang Luigi mengajak teman-temannya di geng GWR untuk nongkrong bersama karena keberhasilan touring mereka ke Bandung beberapa saat yang lalu. Entah ada angin apa, kali ini Anton ikut bersama mereka. Padahal biasanya, dia nggak mau ikut kalo harus mampir ke rumah Ayla dulu. Choki menebak sih, Bang Luigilah yang berhasil membujuknya kali ini.Saat membantu Ayla dan Bi Wuri di dapur, Bi Jaja, ART-nya yang lain datang mendekat.“Non, ada yang nyariin tuh. Namanya Davi,” kata Bi Jaja.Ayla mengerutkan dahi. Menyadari bahwa garasi belakang sedang penuh dengan geng-nya Bang Luigi, Ayla akhirnya memutuskan untuk meminta Bi Jaja agar Davi diterima di ruang tamu utama saja.“CIYEEE, Ayla diapelin nih. Ada Anton juga lho, La. Mau tandem sekalian apa?” ledek Choki.“Najis! Dia temen gue tahu. Udah kalian bawa minuman ini ke garasi belakang. Trus
Sepeninggal Davi pulang, Ayla masih duduk di ruang tamu. Mendengarkan MP3 lagu-lagu sendu favoritnya dari HP yang dia miliki. Tanpa disadarinya, Arai sudah duduk di dekatnya membolak-balik majalah bisnis lama milik papanya.“Ya ampun! Kaget!” seru Ayla.“Laaaa, gue udah di sini dari 5 menit yang lalu kali! Lo aja yang lagi bengong sambil dengerin lagu sedih gitu. Kenapa lo? Nggak kesambet kan?” timpal Arai bingung.“Enggak, gue lagi menyesali beberapa hal,” kata Ayla.“Widih, serius nih kayanya. Diapain Davi lo?”“Hah? Davi?”“Iya, Davi anak 1-5 kan? Yang anak skater? Yang barusan dateng? Gue ngintip-ngintip tadi!”“Eh, iya. Lo kenal?”“Nggak sih. Tahu aja. Anak pejabat di sekolah kita kan bisa dihitung pakai jari. Nggak ada 10.”“Iya juga sih.”“Diapain sama dia lo? Perlu gue bilang sama Abang lo?&rdq
Setelah sekian lama berbagi HP dengan Sandra dan Tante Dina, akhirnya Matari bisa membeli HP dengan uang hasil keringatnya sendiri mengikuti lomba menulis sastra itu. Matari masih tak percaya, benda mungil yang sering diinginkannya itu sudah bisa dia miliki sekarang sendirian. Tak ada lagi meminjam ke Sandra untuk bertanya PR. Tak ada lagi menjawab: “nggak punya HP” apabila ditanya oleh teman-temannya di sekolah.Hari pertamanya ke sekolah dengan HP barunya, membuatnya cukup bangga pada diri sendiri. Meskipun uang pulsa belum dijatah secara resmi oleh Ayahnya tapi Tante Dina membantu Matari mengisi dengan nominal Rp 25.000,- setiap bulannya. Hal ini dikarenakan Ayahnya masih belum setuju Matari punya HP sendiri. Dia merasa benda itu terlalu mahal untuk anak seusianya. Walaupun jelas-jelas HP itu dibelinya tanpa meminta sepeserpun dari Ayahnya sama sekali.Matari masih asyik memainkan HP barunya, saat Ayla datang. Dinda menyusul di belakangnya.&ldquo
“RAI! Sampe kapan lo mantengin HP lo terus-terusan?” ledek Choki saat mereka nongkrong di salah satu sudut taman kompleks, dekat rumah Ayla saat malam Minggu tiba.Arai hanya tersenyum gelisah. Dia menggaruk-garuk kepalanya.“Emang lo belum SMS si Matari juga, Rai?” tanya Anton ikut nimbrung.“Belum dia. Cemen emang. Ajarin dong, Ton!” seru Choki.Anton tergelak. “Gue sih selama ini ya tinggal SMS aja kalo sama cewek. Nggak pake mikir-mikir yang gimana-gimana. Emang kudu gimana sih?”Arai tak menjawab. Dia sendiri bingung harus menjawab apa.“Mulainya yang gimana? Masa iya tiba-tiba ngajakin keluar!” timpal Choki.“Hmmm, itu toh yang lo bingungin? Kalo udah kenal mah santaaaai. Sok-sokan tanya tugas sekolah kek atau apa kek. Kan kita suka dapet tugas yang sama walaupun beda kelas,” ujar Anton.Arai semakin merasa bingung. Choki juga sama bingungnya. Keduany
Telepon rumah Matari berdering di Sabtu sore. Sandra yang siap pergi ke rumah Lia, sahabatnya sejak SMP dulu itu, langsung mengangkatnya. Tak jauh dari situ, Eyang Putri tampak ingin tahu siapa yang menelepon.“Oh, ada, bentar. Matariiii!!!! Prajaaaaa nelepon!” seru Sandra dari dekat telepon, mengarah ke lantai 2, tempat Matari sedang tidur-tiduran menonton dvd.Matari langsung keluar dan mengangkat telepon di lantai 2 dan memberi kode agar Sandra bisa kembali menutup telepon di lantai 1.Setelah itu, Matari bisa melihat Sandra langsung berpamitan pada Eyang Putri dan pergi ke luar dengan cepat. Eyang Putri kembali masuk ke dalam kamarnya. Mbok Kalis, ART mereka, tak terlihat di manapun. Akhir-akhir ini ART kesayangan Eyang itu sering tak tampak di mana-mana.“Hoi, kenapa?” tanya Matari tanpa berbasa-basi.“Lo ada acara enggak?” tanya Praja.“Nggak ada sih. Kenapa gitu?”“Temenin g
Matari memakan kentang gorengnya sambil melamun. Suasana McD*nald tampak ramai di malam minggu. Meskipun gratis sebagai upah menemani Praja mencari kado, Matari tampak tak terlalu menikmati makanannya. Praja tahu, pemandangan beberapa menit yang lalu cukup mempengaruhi Matari. Dia bahkan tak berani mengajak Matari bercanda seperti biasanya.“Ri, lo emangnya masih suka sama Davi ya?” tanya Praja dengan wajah serius.Matari terdiam. Kemudian menarik napas.“Nggak tahu juga, Ja. Emang keliatan ya?”Praja mengangkat bahu. “Gue sih cuma pernah denger dari Ayla aja.”“Yaaaa, lo tahu sendiri kan, dia cowok pertama gue.”“Elo juga cewek pertama dia, Ri. Tapi dia udah move on tuh. Ayo dong, giliran lo move on.”“Kata siapa gue cewek pertama dia?”“Hmmm, kata Ayla juga. Ayla sih denger dari Davi.”Matari bahkan enggan membayangkan apa saja yang sud
Ayla yang tadinya tak mau ke mana-mana malam Minggu itu, terpaksa harus berganti baju saat Davi datang ke rumahnya secara tiba-tiba. Dengan beralasan mencari kado untuk kakak perempuannya, akhirnya Ayla ikut Davi pergi ke mall bersama supir yang dia miliki. Bang Ali sudah mewanti-wanti untuk tidak membonceng siapapun yang belum memiliki SIM secara resmi. Daripada nanti Davi dicari-cari Bang Ali, mendingan cari aman saja.“Dav, emang rencananya lo mau beli apa buat kakak lo?” tanya Ayla saat mereka sampai di mall.“Nggak tahu deh. Ada ide nggak?” sahut Davi bingung.“Hmmm, gue juga bingung sih. Gue kan nggak pernah ketemu sama dia. Emang dia tipenya kaya gimana sih?”“Mau ketemu?”“Hahahaha. Malah ngajakin ketemuan. Gila lo!”“Ya siapa tahu dengan gitu lo bisa tahu dia orangnya kaya apa kan?”“Ya nggak gitu juga kali, Dav. Maksud gue, kalau lo sekarang bisa n