“Widih tadi ada cewek cakep maju ke depan, rambutnya baru dipotong sebahu, hey, hey siapa diaaaaa?” ledek Pito bernyanyi pada Davi yang duduk kembali di kursinya setelah upacara selesai.
“Iya, tambah cakep aja si Matari ya? To, kenalin dong!” kata Kiwil yang mengira ledekan Pito untuk dirinya.
“Wil, lo izin dulu tuh sama sebelah lo!” sahut Pito sambil tertawa.
“Hah? Emang siapa dia sampe harus izin-izin segala?” timpal Kiwil bingung.
“Apaan sih? Norak lu! Ya emang dari dulu dia cakep, trus kenapa?” sahut Davi pada Pito.
“Kan gue denger udah baikan tuh kalian. Nggak mau diajak sekalian balikan apa?” tandas Pito.
Kiwil tampak semakin bingung. Pito langsung menutup mulutnya. “Ups!”
“Heh, Tambun! Kasih tahu dong, balikan gimana maksud kalian?” tanya Kiwil terus memaksa.
“Sial, jangan pakek ngatain orang tambun dong!” kata Pit
Hera datang ke kota Jakarta dari Bengkulu setelah Ayahnya meninggal. Bi Narti, salah satu Bibinya yang mencoba membantu Bu Sisi, Ibu Hera, membujuk Hera agar tinggal di rumahnya di Jakarta. Bibinya tahu, dengan beban 4 orang anak perempuan yang masih gadis, tentunya susah merawat mereka semua tanpa adanya Ayah mereka lagi. Untuk itulah, selepas SMP, Hera pindah ke Jakarta dan bersekolah di SMA Negeri B Tebet.Logat Jakartanya memang terdengar cukup aneh dan kikuk, mungkin dia sedang membiasakan diri untuk dapat berbicara dengan bahasa gaul anak Jakarta. Hal itu dilakukannya agar bisa diterima dengan baik oleh mereka semua. Dia merasa cukup beruntung, perkenalannya dengan Marsha saat hari pendaftaran, membawanya menjadi salah satu anggota geng populer di kelas 1.Kini, dia menghadapi dilema. Gejolak mudanya untuk jatuh cinta pada lawan jenis, membuncah saat pertama kali bertemu Davi setelah hari MOS berakhir. Cinta pada pandangan pertama yang dia yakini untuk pertama ka
Sudah sebulan lebih Arai menitipkan motor di warung rokok milik Rambo. Karena biayanya jauh lebih murah. Dia bahkan bisa mendapatkan lebihan uang saku dari jatah parkir yang diberikan Ayahnya.Sebenarnya sejak awal, Ayahnya cukup khawatir pada Arai karena harus membawa motor sendiri. Apalagi dia belum ada SIM. Tapi mengingat sekolah mereka cukup jauh dari rumah dan beliau sendiri tak bisa mengantarkan, mau tak mau Ayahnnya akhirnya mengizinkan.“Rai, motor lo standar pabrikan banget, nggak mau di modif apa?” tanya Bang Luigi. “Di chrome aja dikit-dikit. Biar keren gitu.”Arai memperhatikan motor Bang Luigi. Motor balap itu sudah full modif sana-sini.“Murah kok, motor lo kan motor bebek. Di langganan gue aja, Bang Ali juga di sana. Tempatnya enak, bisa nongkrong. Ada PS, tv, ada warung nasinya. Nungguin jadi berasa nggak ngebosenin deh!” ujar Bang Luigi lagi.Menyebut nama Bang Ali, tentu saja Arai langsung meras
Entah sudah kali keberapa malam minggu Arai dan Choki diisi mampir ke rumah Ayla dulu. Bang Luigi mengajak teman-temannya di geng GWR untuk nongkrong bersama karena keberhasilan touring mereka ke Bandung beberapa saat yang lalu. Entah ada angin apa, kali ini Anton ikut bersama mereka. Padahal biasanya, dia nggak mau ikut kalo harus mampir ke rumah Ayla dulu. Choki menebak sih, Bang Luigilah yang berhasil membujuknya kali ini.Saat membantu Ayla dan Bi Wuri di dapur, Bi Jaja, ART-nya yang lain datang mendekat.“Non, ada yang nyariin tuh. Namanya Davi,” kata Bi Jaja.Ayla mengerutkan dahi. Menyadari bahwa garasi belakang sedang penuh dengan geng-nya Bang Luigi, Ayla akhirnya memutuskan untuk meminta Bi Jaja agar Davi diterima di ruang tamu utama saja.“CIYEEE, Ayla diapelin nih. Ada Anton juga lho, La. Mau tandem sekalian apa?” ledek Choki.“Najis! Dia temen gue tahu. Udah kalian bawa minuman ini ke garasi belakang. Trus
Sepeninggal Davi pulang, Ayla masih duduk di ruang tamu. Mendengarkan MP3 lagu-lagu sendu favoritnya dari HP yang dia miliki. Tanpa disadarinya, Arai sudah duduk di dekatnya membolak-balik majalah bisnis lama milik papanya.“Ya ampun! Kaget!” seru Ayla.“Laaaa, gue udah di sini dari 5 menit yang lalu kali! Lo aja yang lagi bengong sambil dengerin lagu sedih gitu. Kenapa lo? Nggak kesambet kan?” timpal Arai bingung.“Enggak, gue lagi menyesali beberapa hal,” kata Ayla.“Widih, serius nih kayanya. Diapain Davi lo?”“Hah? Davi?”“Iya, Davi anak 1-5 kan? Yang anak skater? Yang barusan dateng? Gue ngintip-ngintip tadi!”“Eh, iya. Lo kenal?”“Nggak sih. Tahu aja. Anak pejabat di sekolah kita kan bisa dihitung pakai jari. Nggak ada 10.”“Iya juga sih.”“Diapain sama dia lo? Perlu gue bilang sama Abang lo?&rdq
Setelah sekian lama berbagi HP dengan Sandra dan Tante Dina, akhirnya Matari bisa membeli HP dengan uang hasil keringatnya sendiri mengikuti lomba menulis sastra itu. Matari masih tak percaya, benda mungil yang sering diinginkannya itu sudah bisa dia miliki sekarang sendirian. Tak ada lagi meminjam ke Sandra untuk bertanya PR. Tak ada lagi menjawab: “nggak punya HP” apabila ditanya oleh teman-temannya di sekolah.Hari pertamanya ke sekolah dengan HP barunya, membuatnya cukup bangga pada diri sendiri. Meskipun uang pulsa belum dijatah secara resmi oleh Ayahnya tapi Tante Dina membantu Matari mengisi dengan nominal Rp 25.000,- setiap bulannya. Hal ini dikarenakan Ayahnya masih belum setuju Matari punya HP sendiri. Dia merasa benda itu terlalu mahal untuk anak seusianya. Walaupun jelas-jelas HP itu dibelinya tanpa meminta sepeserpun dari Ayahnya sama sekali.Matari masih asyik memainkan HP barunya, saat Ayla datang. Dinda menyusul di belakangnya.&ldquo
“RAI! Sampe kapan lo mantengin HP lo terus-terusan?” ledek Choki saat mereka nongkrong di salah satu sudut taman kompleks, dekat rumah Ayla saat malam Minggu tiba.Arai hanya tersenyum gelisah. Dia menggaruk-garuk kepalanya.“Emang lo belum SMS si Matari juga, Rai?” tanya Anton ikut nimbrung.“Belum dia. Cemen emang. Ajarin dong, Ton!” seru Choki.Anton tergelak. “Gue sih selama ini ya tinggal SMS aja kalo sama cewek. Nggak pake mikir-mikir yang gimana-gimana. Emang kudu gimana sih?”Arai tak menjawab. Dia sendiri bingung harus menjawab apa.“Mulainya yang gimana? Masa iya tiba-tiba ngajakin keluar!” timpal Choki.“Hmmm, itu toh yang lo bingungin? Kalo udah kenal mah santaaaai. Sok-sokan tanya tugas sekolah kek atau apa kek. Kan kita suka dapet tugas yang sama walaupun beda kelas,” ujar Anton.Arai semakin merasa bingung. Choki juga sama bingungnya. Keduany
Telepon rumah Matari berdering di Sabtu sore. Sandra yang siap pergi ke rumah Lia, sahabatnya sejak SMP dulu itu, langsung mengangkatnya. Tak jauh dari situ, Eyang Putri tampak ingin tahu siapa yang menelepon.“Oh, ada, bentar. Matariiii!!!! Prajaaaaa nelepon!” seru Sandra dari dekat telepon, mengarah ke lantai 2, tempat Matari sedang tidur-tiduran menonton dvd.Matari langsung keluar dan mengangkat telepon di lantai 2 dan memberi kode agar Sandra bisa kembali menutup telepon di lantai 1.Setelah itu, Matari bisa melihat Sandra langsung berpamitan pada Eyang Putri dan pergi ke luar dengan cepat. Eyang Putri kembali masuk ke dalam kamarnya. Mbok Kalis, ART mereka, tak terlihat di manapun. Akhir-akhir ini ART kesayangan Eyang itu sering tak tampak di mana-mana.“Hoi, kenapa?” tanya Matari tanpa berbasa-basi.“Lo ada acara enggak?” tanya Praja.“Nggak ada sih. Kenapa gitu?”“Temenin g
Matari memakan kentang gorengnya sambil melamun. Suasana McD*nald tampak ramai di malam minggu. Meskipun gratis sebagai upah menemani Praja mencari kado, Matari tampak tak terlalu menikmati makanannya. Praja tahu, pemandangan beberapa menit yang lalu cukup mempengaruhi Matari. Dia bahkan tak berani mengajak Matari bercanda seperti biasanya.“Ri, lo emangnya masih suka sama Davi ya?” tanya Praja dengan wajah serius.Matari terdiam. Kemudian menarik napas.“Nggak tahu juga, Ja. Emang keliatan ya?”Praja mengangkat bahu. “Gue sih cuma pernah denger dari Ayla aja.”“Yaaaa, lo tahu sendiri kan, dia cowok pertama gue.”“Elo juga cewek pertama dia, Ri. Tapi dia udah move on tuh. Ayo dong, giliran lo move on.”“Kata siapa gue cewek pertama dia?”“Hmmm, kata Ayla juga. Ayla sih denger dari Davi.”Matari bahkan enggan membayangkan apa saja yang sud
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”