“Berapa kali Mama bilang soal piaraanmu ini?”
Sekali lagi, aku mendapat teriakan dari mama mertua ketika berpapasan di koridor penghubung dapur dengan tangga naik. Masih pagi juga, malah udah dimarahin. Padahal kan aku masih mantu, bukan anak kandung.
“Ma! Aksa itu sekarang suami Sara," bela Sara sambil menggaet lenganku, mencengkeram pegangan di pergelangan tangan hingga kurasakan ujung-ujung kukunya menancap.
“Suami dari mana kalau makan aja dapetnya dari kamu atau perempuan di luar sana.” Mamanya Sara menunjuk-nunjuk ke wajahku dan sesekali mendorong pundak hingga aku enggak sengaja mundur. Perbedaan postur ternyata bukan halangan buatnya menyakitiku.
“Mama ...," Sara menggeleng, tampak memaksakan ketenangan di wajahnya, "Aksa itu--”
“Mama pernah tidur dengan dia," potong Mama sambil lemparkan tas tangannya mengenai kepalaku. Sakit. Ternyata keras juga. Apa sih yang
"Akhirnya lo masuk sekolah lagi." Aku menyapa lebih dulu ketika bertemu Sara di kantin sekolah pas jam istirahat. Dia memilih deret bangku merapat dinding kantin.Abis nganterin bokapnya yang ternyata sangat ... menyedihkan ke kantor, baru bawa roda empat mahal ke sekolah, jadi enggak bisa barengan. Dulu ngeliat si papa mertua sih serem, tapi belakangan beliau terlihat kurusan dan lebih kuyu. Jadi kasihan."Ya, dengan dikucilkan." Sara menenggelamkan wajahnya dalam tudung jaket. Lucu sih sebenernya. Lebih imut dibanding sok buka-bukaan kayak biasa. Ujung dagunya mengedik ke arah Kea dan Nabas yang mengantre makanan. "Syukurnya mereka mau bantuin."Mengambil posisi di sampingnya, kubiarkan Sara meletakkan kepalanya di pundakku. "Ada gue di sini. Ingat?" Tanganku naik mengusap puncak kepalanya yang tertutupi."Tahun depan kamunya udah lulus." Sara menghela napas, terasa gerakan bahunya yang naik lama, lalu turun kem
Kedatangan Abah berikutnya bersama sang sekretaris yang mengurus keseluruhan urusan pengunduran diri, memaksaku mengikuti beliau ke kantor tanpa memberi kabar siapa pun setelah mengambil ransel di kelas. Ruangan di puncak salah satu gedung raksasa ibukota ini menampakkan padatnya gedung-gedung dari dinding kaca di ketinggian."Belum selesai Abah terima kenyataan dengan menikahkan kamu karena menghamili Sara, masih ada kasus seperti ini lagi?" Abah tampak menyandarkan punggungnya dengan berat pada kursi besar di belakang meja bertanda nama lengkapnya. Tatapannya mengarah ke atas sebelum terpejam sambil mengembuskan napas."Mau berapa banyak lagi Aksa menghukum Abah?" lanjutnya, sementara aku masih bingung dengan kemewahan yang menyapa--kontras dengan kebiasaan keluarga Abah. Dari mobil hingga jas yang Abah kenakan, semua terhitung mengerikan.Aku beralih pada deretan kudapan di meja sudut dan meletakkan cangkir di bawah m
"Kalan?" Aku terkejut saat keluar rumah dan berpapasan dengan teman sebelahan meja di sekolah beberapa hari lalu. Beberapa hari ke depan, aku enggak bakal balik ke sekolah karena sudah mengundurkan diri. Melihat dia masih berseragam, kutebak Kalan belum pulang ke rumah. "Gue nyariin lo ke kos." Kalan meninju pundakku setelah berhadapan. Dia melirik pintu tempatku keluar tadi. "Lo beneran tinggal sama ...." "Hai!" Orang yang dimaksud ternyata menyusulku keluar dan menyapa. Sara belum juga berganti pakaian semenjak pulang dari sekolah dan langsung memelukku dari belakang. "Hai, Ra," sapa Kalan sambil melambaikan tangan lalu beralih bertanya padaku. "Lo enggak bilang kalau berhenti?" Telunjukku mengusap sudut penciuman sebelum melepaskan gantungan tangan Sara di leherku. "Bisa ngomong di luar?" Aku menunjuk arah pelataran parkir ke Kalan. Namun, Sara menangkap lenganku dan
"Kak Aksa! Kak Aksa!"Aku menoleh pada pemilik suara yang menghampiri. Sosok gadis yang terduga sebagai pelaku sebab aku dikeluarkan dari sekolah muncul di hadapan. Tampilan berpakaiannya kai ini tampak dewasa, kaus dan rok panjang yang longgar. Mungkin karena dia ikut bermain dalam pengambilan syuting hari ini.Iya, aku sedang mengikuti Sara yang mengambil kontrak banyak episode sebagai peran tambahan. Katanya sih itung-itung buat naik pamor lagi. Aku hendak menyela kerumunan kru yang melintas, tetapi gadis di depan mata terus berusaha menghalangi jalan."Kak Aksa ...," bujuknya ketika mendapatkan pinggiran jaket kulit yang melekat di tubuhku.Kuembuskan napas dan mengusap wajah dengan kasar ketika condong menghadapinya. "Apa? Cepat.""Kinar minta maaf." Dia masih memegangi ujung jaketku. Tarikannya menggosokkan dua sisi kain di tangannya sampai aku perlu menyadarkan kalau dia m
"Apa buktinya kalau cuma gue?" Omelan Sara merembet ke hal-hal lain. Panjang sekali. Dari urusan pedekate yang sering dicuekin sampai ..., "Lo aja merem-melek disepongin klien waktu itu.""Hedeh ... bibir. Kirain masih polosan, Nek." Si pria perias yang bahasa tubuhnya mirip cewek, apalagi waktu ngibas kuas ke udara memotong pembicaraan. Sara sampai beranjak dari kursinya dan membelakangiku.Kirain mau langsung pergi, ternyata cuma diam berdiri. Sontak aku mengikutinya dan melewatkan lengan di bahu Sara hingga bertemu di depan lehernya dalam keadaan terlipat sambil bicara,"Ra, sumpah. Gue masih perjaka waktu pertama sama lo.""Buka kartu, ye. Rajin gontok-gontokan dianya." Pria satunya menanggapi.Aku tuh pengin ketawa, sumpah. Cewek ternyata kalau ngambek, enggak benar-benar pergi. Pembicaraanku dulu dengan para wanita dewasa menunjukkan kalau mereka maunya dipertahankan, dib
"Aksa!" panggil Sara ketika aku memilih kembali ke tempat motorku diparkir.Aku belum mau kembali dan berhasil menyalakan si belalang meski harus mengengkolkick-starter berkali-kali. Kesal dan marah memenuhi kepalaku karena dia mengambil pekerjaan dengan si bangsat tanpa mempertimbangkan dulu padaku.Enggak nyaman dan enggak suka, tapi tetap ambil kerjaan sama orang itu juga. Sebenarnya siapa yang dia coba bodohi? Aku?Sara berlari menghampiri. Dia nekad naik jok belakang tanpa peduli roda motor telah aku jalankan. "Berhenti, Sa!" Kedua tangannya berkali-kali memukul bahuku. Enggak malu apa dilihatin kru yang lagi siapin syutingnya dia?Spontan kuhentikan laju motor dan melihat sosoknya dari pantulan kaca spion. Sara ... menangis di balik kedua tangannya yang menutupi wajah begitu sadar kulihat."Ra?" tangan kiriku menepuk lututnya beberapa kali. "Riasannya berantakan kala
"Nikah atau gimana?"Aku menggandeng si tante menuju pintu keluar sambil terkekeh dan menjawab,"Piaraan artis mahal, Tan." Enggak bohong, kan? Perjanjianku dengan Sara masih berlanjut, belum ada yang mau mengakhiri selama dia masih mendominasi hidupku.Egois. Sara yang egois karena aku harus terus nerima maunya dia, jalan hidupnya dia. Padahal ... dada ini juga sesak.Apa rasa itu telah tumbuh sangat dalam? Entah.Apa aku cemburu? Entah."Siapa?" Tante rambut ombre di sampingku ini menghentikan langkah, memaksaku menoleh karena pegangannya di rahangku. "Aku kenal enggak ini?"Alih-alih menjawab, aku semakin mengencangkan tawa. "Kepo dih, Tante.""Beneran? Aku enggak kenal?" Masih berusaha yakin, si tante menatap lekat padaku hingga jarak di antara kami sangat dekat. Ujung hidungnya hampir mencapai penciumanku malahan.&
"Entar akunya jadi sasaran. Lingga kan kuat banget. Berapa ronde waktu malem dulu?" Si tante ini bergerak, seperti enggak nyaman dengan posisi duduknya atau mungkin menurunkan gaunnya yang sempat naik saat menyilangkan lutut.Atau mungkin kode ajakan?Bibirku berkedut, jijik. Kalau enggak inget klien, udah kutinggal kayak biasa ngabur. Cuma kan lagi suntuk banget. Kali aja dapet hiburan. "Masih inget aja, Tan.""Iya, dong. Gedong. Besar dari punya suami Tante." Vulgar banget bicaranya. Bikin telingaku kayak perlu dikorek lebih dalam.Kulirik setiap belahan yang mengintip dari si tante. Bisa dibilang tampak lebih padat dari Sara dan ... ah, masih mau jijik-jijikan?"Bisa aja." Aku mengangguk-angguk mengikuti gerak dadanya yang memantul ketika gelisah."Mau buka botol juga, enggak?" tawar wanita itu di antara pembicaraannya dengan pelayan yang mencatat di dekat kami.&n