Apaan ... juga ngikutin maunya bini yang nyuruh pura-pura nyari klien lepas gini. Masa nungguin di depan kafe sambil mainin pemantik rokok yang sengaja enggak digulir?
Ada banyak teknik sebenarnya buat ngasih kode lagi nungguin pelanggan, tapi ya ... emang Sara enggak cemburu?
Kulirik sesekali keberadaan Sara yang bersandar pada pembatas void mal sambil memasang masker yang menutupi sebagian wajahnya. Dia kayaknya ngobrol seru banget sama Nabas. Kan ngeselin. Kuambil sebatang tembakau dari dalam kotak putih dalam genggaman, sekadar nangkring di selipan bibir dan menunggu lagi.
"Lingga?" Panggilan familier yang sering diucap pelanggan membuatku menoleh dan temukan wanita yang kerap berganti warna rambut menghampiri. "Lama enggak ketemu."
"Hai, Tan." Awalnya aku terkejut, tetapi sandaran punggung pada dinding kutinggalkan dengan berdiri tegak menghadapinya dan menurunkan rokok dari bibir ke selipan jar
“Berapa kali Mama bilang soal piaraanmu ini?” Sekali lagi, aku mendapat teriakan dari mama mertua ketika berpapasan di koridor penghubung dapur dengan tangga naik. Masih pagi juga, malah udah dimarahin. Padahal kan aku masih mantu, bukan anak kandung. “Ma! Aksa itu sekarang suami Sara," bela Sara sambil menggaet lenganku, mencengkeram pegangan di pergelangan tangan hingga kurasakan ujung-ujung kukunya menancap. “Suami dari mana kalau makan aja dapetnya dari kamu atau perempuan di luar sana.” Mamanya Sara menunjuk-nunjuk ke wajahku dan sesekali mendorong pundak hingga aku enggak sengaja mundur. Perbedaan postur ternyata bukan halangan buatnya menyakitiku. “Mama ...," Sara menggeleng, tampak memaksakan ketenangan di wajahnya, "Aksa itu--” “Mama pernah tidur dengan dia," potong Mama sambil lemparkan tas tangannya mengenai kepalaku. Sakit. Ternyata keras juga. Apa sih yang
"Akhirnya lo masuk sekolah lagi." Aku menyapa lebih dulu ketika bertemu Sara di kantin sekolah pas jam istirahat. Dia memilih deret bangku merapat dinding kantin.Abis nganterin bokapnya yang ternyata sangat ... menyedihkan ke kantor, baru bawa roda empat mahal ke sekolah, jadi enggak bisa barengan. Dulu ngeliat si papa mertua sih serem, tapi belakangan beliau terlihat kurusan dan lebih kuyu. Jadi kasihan."Ya, dengan dikucilkan." Sara menenggelamkan wajahnya dalam tudung jaket. Lucu sih sebenernya. Lebih imut dibanding sok buka-bukaan kayak biasa. Ujung dagunya mengedik ke arah Kea dan Nabas yang mengantre makanan. "Syukurnya mereka mau bantuin."Mengambil posisi di sampingnya, kubiarkan Sara meletakkan kepalanya di pundakku. "Ada gue di sini. Ingat?" Tanganku naik mengusap puncak kepalanya yang tertutupi."Tahun depan kamunya udah lulus." Sara menghela napas, terasa gerakan bahunya yang naik lama, lalu turun kem
Kedatangan Abah berikutnya bersama sang sekretaris yang mengurus keseluruhan urusan pengunduran diri, memaksaku mengikuti beliau ke kantor tanpa memberi kabar siapa pun setelah mengambil ransel di kelas. Ruangan di puncak salah satu gedung raksasa ibukota ini menampakkan padatnya gedung-gedung dari dinding kaca di ketinggian."Belum selesai Abah terima kenyataan dengan menikahkan kamu karena menghamili Sara, masih ada kasus seperti ini lagi?" Abah tampak menyandarkan punggungnya dengan berat pada kursi besar di belakang meja bertanda nama lengkapnya. Tatapannya mengarah ke atas sebelum terpejam sambil mengembuskan napas."Mau berapa banyak lagi Aksa menghukum Abah?" lanjutnya, sementara aku masih bingung dengan kemewahan yang menyapa--kontras dengan kebiasaan keluarga Abah. Dari mobil hingga jas yang Abah kenakan, semua terhitung mengerikan.Aku beralih pada deretan kudapan di meja sudut dan meletakkan cangkir di bawah m
"Kalan?" Aku terkejut saat keluar rumah dan berpapasan dengan teman sebelahan meja di sekolah beberapa hari lalu. Beberapa hari ke depan, aku enggak bakal balik ke sekolah karena sudah mengundurkan diri. Melihat dia masih berseragam, kutebak Kalan belum pulang ke rumah. "Gue nyariin lo ke kos." Kalan meninju pundakku setelah berhadapan. Dia melirik pintu tempatku keluar tadi. "Lo beneran tinggal sama ...." "Hai!" Orang yang dimaksud ternyata menyusulku keluar dan menyapa. Sara belum juga berganti pakaian semenjak pulang dari sekolah dan langsung memelukku dari belakang. "Hai, Ra," sapa Kalan sambil melambaikan tangan lalu beralih bertanya padaku. "Lo enggak bilang kalau berhenti?" Telunjukku mengusap sudut penciuman sebelum melepaskan gantungan tangan Sara di leherku. "Bisa ngomong di luar?" Aku menunjuk arah pelataran parkir ke Kalan. Namun, Sara menangkap lenganku dan
"Kak Aksa! Kak Aksa!"Aku menoleh pada pemilik suara yang menghampiri. Sosok gadis yang terduga sebagai pelaku sebab aku dikeluarkan dari sekolah muncul di hadapan. Tampilan berpakaiannya kai ini tampak dewasa, kaus dan rok panjang yang longgar. Mungkin karena dia ikut bermain dalam pengambilan syuting hari ini.Iya, aku sedang mengikuti Sara yang mengambil kontrak banyak episode sebagai peran tambahan. Katanya sih itung-itung buat naik pamor lagi. Aku hendak menyela kerumunan kru yang melintas, tetapi gadis di depan mata terus berusaha menghalangi jalan."Kak Aksa ...," bujuknya ketika mendapatkan pinggiran jaket kulit yang melekat di tubuhku.Kuembuskan napas dan mengusap wajah dengan kasar ketika condong menghadapinya. "Apa? Cepat.""Kinar minta maaf." Dia masih memegangi ujung jaketku. Tarikannya menggosokkan dua sisi kain di tangannya sampai aku perlu menyadarkan kalau dia m
"Apa buktinya kalau cuma gue?" Omelan Sara merembet ke hal-hal lain. Panjang sekali. Dari urusan pedekate yang sering dicuekin sampai ..., "Lo aja merem-melek disepongin klien waktu itu.""Hedeh ... bibir. Kirain masih polosan, Nek." Si pria perias yang bahasa tubuhnya mirip cewek, apalagi waktu ngibas kuas ke udara memotong pembicaraan. Sara sampai beranjak dari kursinya dan membelakangiku.Kirain mau langsung pergi, ternyata cuma diam berdiri. Sontak aku mengikutinya dan melewatkan lengan di bahu Sara hingga bertemu di depan lehernya dalam keadaan terlipat sambil bicara,"Ra, sumpah. Gue masih perjaka waktu pertama sama lo.""Buka kartu, ye. Rajin gontok-gontokan dianya." Pria satunya menanggapi.Aku tuh pengin ketawa, sumpah. Cewek ternyata kalau ngambek, enggak benar-benar pergi. Pembicaraanku dulu dengan para wanita dewasa menunjukkan kalau mereka maunya dipertahankan, dib
"Aksa!" panggil Sara ketika aku memilih kembali ke tempat motorku diparkir.Aku belum mau kembali dan berhasil menyalakan si belalang meski harus mengengkolkick-starter berkali-kali. Kesal dan marah memenuhi kepalaku karena dia mengambil pekerjaan dengan si bangsat tanpa mempertimbangkan dulu padaku.Enggak nyaman dan enggak suka, tapi tetap ambil kerjaan sama orang itu juga. Sebenarnya siapa yang dia coba bodohi? Aku?Sara berlari menghampiri. Dia nekad naik jok belakang tanpa peduli roda motor telah aku jalankan. "Berhenti, Sa!" Kedua tangannya berkali-kali memukul bahuku. Enggak malu apa dilihatin kru yang lagi siapin syutingnya dia?Spontan kuhentikan laju motor dan melihat sosoknya dari pantulan kaca spion. Sara ... menangis di balik kedua tangannya yang menutupi wajah begitu sadar kulihat."Ra?" tangan kiriku menepuk lututnya beberapa kali. "Riasannya berantakan kala
"Nikah atau gimana?"Aku menggandeng si tante menuju pintu keluar sambil terkekeh dan menjawab,"Piaraan artis mahal, Tan." Enggak bohong, kan? Perjanjianku dengan Sara masih berlanjut, belum ada yang mau mengakhiri selama dia masih mendominasi hidupku.Egois. Sara yang egois karena aku harus terus nerima maunya dia, jalan hidupnya dia. Padahal ... dada ini juga sesak.Apa rasa itu telah tumbuh sangat dalam? Entah.Apa aku cemburu? Entah."Siapa?" Tante rambut ombre di sampingku ini menghentikan langkah, memaksaku menoleh karena pegangannya di rahangku. "Aku kenal enggak ini?"Alih-alih menjawab, aku semakin mengencangkan tawa. "Kepo dih, Tante.""Beneran? Aku enggak kenal?" Masih berusaha yakin, si tante menatap lekat padaku hingga jarak di antara kami sangat dekat. Ujung hidungnya hampir mencapai penciumanku malahan.&
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la