"Apa buktinya kalau cuma gue?" Omelan Sara merembet ke hal-hal lain. Panjang sekali. Dari urusan pedekate yang sering dicuekin sampai ..., "Lo aja merem-melek disepongin klien waktu itu."
"Hedeh ... bibir. Kirain masih polosan, Nek." Si pria perias yang bahasa tubuhnya mirip cewek, apalagi waktu ngibas kuas ke udara memotong pembicaraan. Sara sampai beranjak dari kursinya dan membelakangiku.
Kirain mau langsung pergi, ternyata cuma diam berdiri. Sontak aku mengikutinya dan melewatkan lengan di bahu Sara hingga bertemu di depan lehernya dalam keadaan terlipat sambil bicara, "Ra, sumpah. Gue masih perjaka waktu pertama sama lo."
"Buka kartu, ye. Rajin gontok-gontokan dianya." Pria satunya menanggapi.
Aku tuh pengin ketawa, sumpah. Cewek ternyata kalau ngambek, enggak benar-benar pergi. Pembicaraanku dulu dengan para wanita dewasa menunjukkan kalau mereka maunya dipertahankan, dib
"Aksa!" panggil Sara ketika aku memilih kembali ke tempat motorku diparkir.Aku belum mau kembali dan berhasil menyalakan si belalang meski harus mengengkolkick-starter berkali-kali. Kesal dan marah memenuhi kepalaku karena dia mengambil pekerjaan dengan si bangsat tanpa mempertimbangkan dulu padaku.Enggak nyaman dan enggak suka, tapi tetap ambil kerjaan sama orang itu juga. Sebenarnya siapa yang dia coba bodohi? Aku?Sara berlari menghampiri. Dia nekad naik jok belakang tanpa peduli roda motor telah aku jalankan. "Berhenti, Sa!" Kedua tangannya berkali-kali memukul bahuku. Enggak malu apa dilihatin kru yang lagi siapin syutingnya dia?Spontan kuhentikan laju motor dan melihat sosoknya dari pantulan kaca spion. Sara ... menangis di balik kedua tangannya yang menutupi wajah begitu sadar kulihat."Ra?" tangan kiriku menepuk lututnya beberapa kali. "Riasannya berantakan kala
"Nikah atau gimana?"Aku menggandeng si tante menuju pintu keluar sambil terkekeh dan menjawab,"Piaraan artis mahal, Tan." Enggak bohong, kan? Perjanjianku dengan Sara masih berlanjut, belum ada yang mau mengakhiri selama dia masih mendominasi hidupku.Egois. Sara yang egois karena aku harus terus nerima maunya dia, jalan hidupnya dia. Padahal ... dada ini juga sesak.Apa rasa itu telah tumbuh sangat dalam? Entah.Apa aku cemburu? Entah."Siapa?" Tante rambut ombre di sampingku ini menghentikan langkah, memaksaku menoleh karena pegangannya di rahangku. "Aku kenal enggak ini?"Alih-alih menjawab, aku semakin mengencangkan tawa. "Kepo dih, Tante.""Beneran? Aku enggak kenal?" Masih berusaha yakin, si tante menatap lekat padaku hingga jarak di antara kami sangat dekat. Ujung hidungnya hampir mencapai penciumanku malahan.&
"Entar akunya jadi sasaran. Lingga kan kuat banget. Berapa ronde waktu malem dulu?" Si tante ini bergerak, seperti enggak nyaman dengan posisi duduknya atau mungkin menurunkan gaunnya yang sempat naik saat menyilangkan lutut.Atau mungkin kode ajakan?Bibirku berkedut, jijik. Kalau enggak inget klien, udah kutinggal kayak biasa ngabur. Cuma kan lagi suntuk banget. Kali aja dapet hiburan. "Masih inget aja, Tan.""Iya, dong. Gedong. Besar dari punya suami Tante." Vulgar banget bicaranya. Bikin telingaku kayak perlu dikorek lebih dalam.Kulirik setiap belahan yang mengintip dari si tante. Bisa dibilang tampak lebih padat dari Sara dan ... ah, masih mau jijik-jijikan?"Bisa aja." Aku mengangguk-angguk mengikuti gerak dadanya yang memantul ketika gelisah."Mau buka botol juga, enggak?" tawar wanita itu di antara pembicaraannya dengan pelayan yang mencatat di dekat kami.&n
"Mau ke mana, Lingga?" tanya Tante Widya ketika aku beranjak dari sisinya dan mengambil gelas berkaki tinggi di nakas.Sambil mengisi gelas dengan anggur jernih kekuningan yang kuperlihatkan pada si tante, aku juga menunjuk pintu keluar kamar."Sebentar. Ada yang ngetuk pintu."Harusnya bel dari pengunci terdengar kalau yang datang tukang bebersih atau layanan kamar, tapi ini ngetuk pintu kamar. Aneh. Jangan-jangan suaminya si Tante Widya lagi."Jangan lama-lama." Klienku berguling di tempat tidur hingga tengkurap, menopang wajahnya yang mengarah padaku dengan kedua tangan."Iya." Aku menyesap cairan dari pinggiran gelas dan menutupkan selimut ke seluruh tubuh Tante Widya, kemudian merapatkan ritsleting celana yang kukenakan sebelum membuka pintu.Masalahnya ..., "Abah?" Aku tertegun melihat pria paruh baya di hadapanku melotot marah. Seketika gelas dalam peganganku terlepas
Aku baru memilih pulang menjelang pagi. Pembicaraan dengan Abah mengenai alibiku yang terus terbantahkan berujung pada minuman lagi.Mabuk? Enggak masalah. Aturan membeli minuman beralkohol di negara ini di atas 17 tahun, kan? Dan aku mendapatkannya dua tahun silam. Nyonya sampai perlu menjemput mobilnya langsung karena laporan dari klien tentang konflik yang terjadi di hotel."Enggak bilang lo kalau sudah deket sama si tua itu." Nyonya terus menggerutu di belakang roda kemudi sementara aku melihat ke arah luar jendela mobil di sisi. Benar, dia bertemu Abah yang masihmenyidang-ku karena terus-menerus mengisi gelas setiap selesai meneguk isinya."Dari awal juga lo tau abah gue, kan? Lo cuma ngulur waktu doang biar gue enggak jadi pengacau, kan?" Kugigit telunjuk yang sempat menopang dagu. Keningku sesekali membentur ringan kaca jendela. Nyeri dalam kepala masih terasa memberatkan. Ingin memejamkan mata, nya
"Mau pesan lagi, Kak?" Teguran pelayan kafe yang kutaksir berusia lebih tua dariku dalam seragam barista sempat mengalihkan perhatianku dari layar ponsel. Dia meletakkan cangkir kopi keduaku di meja."Udah, ini aja." Lirik pelayan sebentar, aku kembali bermain pada gim di layar ponsel. Lebih dari lima jam hanya berkutat bosan dengan permainan dan jual beli saham semenjak melarikan diri dari segala masalah. Menoleh ke luar dinding kaca, tampak orang-orang yang sepertinya mengikutiku semenjak keluar dari rumah Sara.Hufh .... Kayaknya semenjak cari masalah, Abah mulai mengetatkan penjagaan padaku. Kenapa sama Kea enggak?Anak penurut macam Kea memang bisa dipercaya. Enggak kayak aku yang sejak awal udah ngebawa aib. Menertawakan diri sendiri enggak dosa, kan?Melihat ke ujung jalan, persimpangan di sana menunjukkan gerbang sekolah lamaku yang semakin ramai semenjak melewati jam pulang. Hanya b
"Iya, Abah ...." Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Dia marah waktu tahu kalau gue dipesan semalam."Nabas mengangguk. Dia melirik keberadaan ibunya yang masih berada dalam satu ruangan sementara kami berbicara dengan saling berbisik."Lo mau ke mana abis ini?""Belum tau." Arloji baruku masih melingkar di pergelangan. Pukul tiga lewat. Sudah mendekati sore, tetapi perutku belum juga diisi. Suara para cacing paduan suara sampai membuat kami tertawa."Mandi dulu. Lo baunya udah enggak enak." Nabas meninju lenganku dari tempatnya duduk. Dagunya mengedik ke arah wanita tua yang tampaknya sibuk memasak. "Entar yang ada Ibu curiga."Aku melihat camilan dari tas kertas pembelianku tadi telah berpindah ke piring yang disodorkan Nabas ke tempatku duduk. "Thanks, ya." Kue kering dan roti berbagai isian tersaji."Buat? Kuenya kan dari lo." Dia mengerjap, lucu. P
"Mobil lo unik." Aku memecah kesunyian dengan mengetuk pinggiran kaca jendela di sampingku."Beneran?" Kea berseru dalam artian senang, mungkin karena pujianku atau pertama kalinya dia membawa mobil sendiri setelah mendapatkan surat izin mengemudi. "Lucu sih, ya. Antik. Biar seken, tetep aja harganya buat tabungan gue ludes.""Tabungan? Wow!" Itu hal baru dalam pengalamanku mengenali para manusia kalangan menengah ke atas. Setahuku, para wanita kaya cenderung menghabiskan limit kartu kredit dibanding menabung. Mendengar pengakuan Kea, aku terkejut."Bapak enggak kasih izin buat pakai kendaraan pribadi kecuali gue bisa nabung atau cari uang sendiri," jelasnya di antara lengang perjalanan di hari libur. "Ponsel gue juga beli sendiri."Entah buat apa dia bercerita. Menyombong atau memang blak-blakan cerita. Mending daripada sunyi.Pertemuan di rumah Nabas sebelumnya berakhir dengan
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la