Beranda / CEO / Semalam Bersama Tuan Presdir / SELAMAT DATANG DI DUNIA, ABIMANA HADINATA WIJAYA!

Share

SELAMAT DATANG DI DUNIA, ABIMANA HADINATA WIJAYA!

SELAMAT DATANG DI DUNIA, ABIMANA HADINATA WIJAYA!

"Selamat tinggal Dion Hadinata Wijaya! Aku akan membawa benih yang kau tanam semalam, semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi," batin Aruna dalam hati.

"ARUNA!!!!" panggil seorang pria. Aruna menolehkan kepalanya ke belakang, terlihat Hendi sedang mengejarnya, dengan nafas yang ngos-ngosan dan berdiri tepat di samping Aruna.

"Ada apa?" tanya Aruna.

"Kembali lah! Kapanpun kau mau, aku sudah mendengar semuanya dari Pak Dion! Walaupun sekarang Pak Dion marah, tetapi aku yakin suatu saat nanti Pak Dion akan memaafkanmu. Kau tahu sendiri kan bagaimana Pak Dion itu tidaklah gampang cocok dengan sekretaris dan kau adalah satu-satunya sekretarisnya selama sepuluh tahun ini! Kembalilah kapanpun kau mau," ujar Hendi. Aruna hanya menganggukkan kepalanya dan kembali berjalan dengan tenang dia menikmati waktu detik-detik terakhirnya di ibukota ini.

Sesampainya di kos- an, Aruna segera beristirahat karena kereta akan membawanya pukul sebelas pagi. Untung saja bawaannya hanya tinggal satu koper besar dan dua ransel kecil. Pagi ini Aruna menatap indahnya kota Jakarta ke untuk terakhir kali, menikmati polusi yang biasa dihirupnya selama sepuluh tahun terakhir ini.

"Selamat tinggal kota Jakarta! Semoga suatu saat kita bisa berjumpa dengan kondisi yang lebih baik dan bahagia," pamit Aruna.

Aruna segera pergi ke stasiun terdekat stasiun Gambir, dia membeli tiket langsung menuju kota tempat tinggalnya. Tak lama kereta itu pun datang, Aruna segera mencari tempat duduknya. Sengaja dia memesan kelas VIP bisnis agar kenyamanannya terjamin dia ingin tidur sepanjang perjalanan ini. Melupakan semua yang terjadi dan memulai awal lembaran baru. Walaupun dia harus memulainya di kota terpencil.

Tepat hampir tengah malam Aruna sampai di stasiun kotanya perjalanan ternyata memakan waktu lebih dari sepuluh jam, sekitar jam sepuluh malam dia baru sampai. Aruna menghubungi kedua orang tuanya yang sengaja menjemputnya di stasiun. Terlihat kedua orang tuanya melambaikan tangan kepada Aruna sesaat setelah pintu gerbong kereta dibuka. Dengan cekatan bapaknya langsung membantu Aruna membawa koper, sedangkan sang Ibu membantu membawakan satu ransel lagi.

"Akhirnya kau pulang juga, Nduk," ujar Ibu Aruna yang sedikit lega melihat kedatangan putrinya.

"Pak, Bu! Kita cari makan dulu ya, perut Aruna sangat lapar sekali," pintanya.

"Baiklah aku mau makan apa?" tanya Bapak Aruna.

"Kita makan nasi pecel saja, Bu! Apakah nasi pecel yang buka tengah malam itu masih ada?" tanya Aruna.

"Masih! Mari kita ke sana," ujar ibunya Aruna sambil menggandeng lengan putrinya.

Ketiga orang itu berjalan menuju ke arah mobil bapaknya yang sudah terparkir di parkiran stasiun. Memanglah keluarga Aruna ini bukanlah termasuk keluarga kaya raya, tetapi di desanya dia juga termasuk orang yang terpandang. Entah apa nanti yang akan dikatakan Aruna kepada orang tuanya perihal kehamilannya ini, dia tak ingin mengakhiri momen kebahagiaan yang bisa dinikmati malam ini bersama kedua orang tuanya. Dia tak ingin langsung mengatakan problematika yang dialami.

Setelah puas makan nasi pecel permintaan Aruna, mereka pun pulang. Udara dingin pedesaan bertambah dengan turunnya kabut di tengah malam. Aruna masuk ke dalam rumah tepat di kamarnya sepuluh tahun lalu sampai sekarang. Kamar itu masih tak pernah berubah, sang Ibu tetap mempertahankan semua isi di kamar dan selalu rajin membersihkannya. Seperti nostalgia saja masuk ke dalam kamar itu yang penuh memori.

"Tuhan aku hanya ingin tidur nyenyak malam ini! Sebelum mengakui perbuatan dosaku besok kepada kedua orang tua! Semoga mereka berdua bisa menerima, mengingat aku adalah anak tunggal! Ini memang permintaan yang tak tahu diri, tetapi aku harap Ibu dan Bapak mau memaafkanku," batin Aruna berdoa sebelum tidur.

Keesokan harinya setelah bangun tidur semua makanan sudah tersedia di meja. Berbeda saat dia mengekost di kota Jakarta, harus apa-apa sendiri. Ibunya segera menyuruh makan, mereka pun menikmati makan bersama bertiga. Karena sang Bapak sebentar lagi akan bekerja. Bapak Aruna adalah seorang tengkulak dan juragan sayur yang cukup terkenal. Dia bahkan memasok beberapa sayuran di minimarket dan Hypermart terbesar di kota mereka.

Bukan usaha yang abal-abal sebenarnya jika bisa dilanjutkan oleh tenaga yang ahli dan pemasaran yang baik sebenarnya. Aruna sudah memikirkan perkembangan usaha ayahnya tetapi karena dia fokus bekerja pada perusahaan Dion dia abai dan Aruna bertekad untuk melanjutkan usaha ayahnya ini

"Pak, Bu! Aruna ingin mengatakan sesuatu kepada Bapak dan Ibu," ujar Aruna dengan nada suara yang sudah bergetar padahal baru saja dia memulai pengakuan.

"Ada apa, Nduk?" tanya bapaknya.

"Maafkan Aruna jika memang selama ini Aruna menjadi anak tak membanggakan! Maafkan Aruna jika nanti Aruna membuat Bapak dan Ibu merasa kecewa yang amat sangat dalam," kata Aruna sambil bersimpuh dan menjatuhkan diri di kaki kedua orang tuanya yang sedang duduk di meja makan itu.

"Sudah! Bapak sudah tahu," jelas Bapak Aruna.

"Bagaimana mungkin Bapak tahu?" tanya Aruna heran padahal dia belum mengatakan apa yang terjadi.

"Nduk, namanya kedua orang tua itu pasti memiliki feeling dan insting yang kuat terhadap anaknya! Saat mulai kau menjauhi Ibu dan kau sering berkata sakit kepala, Ibu sudah tahu jika ada yang tak beres denganmu! Ditambah beberapa hari lalu Bapak memimpikan menangkap seekor burung yang sangat cantik di samping rumah dan itu kau tahu pertanda apa, Nduk? tanya ibunya.

Aruna hanya mampu menggelengkan kepalanya karena memang dia tidak tahu hal-hal yang berbau tafsir mimpi atau semacamnya. Namun pertanda mimpi, kejawen itu masih dipercaya oleh kedua orang tuanya karena mereka berasal dari suku Jawa.

"Itu artinya kami sebagai orang tua akan segera mendapatkan cucu! Karena anak kami hanya kamu, Bapak dan Ibu sudah tahu dari awal dan kau tak perlu takut! Kita akan membesarkannya sama-sama," ujar Ibu Aruna sambil menangis sesegukan sedangkan Bapak Aruna terdiam tak bisa berkata-kata lagi.

"Maafkan Aruna! Maafkan Aruna, Pak, Bu," ujar Aruna sambil terus menciumi kedua kaki orang tuanya.

"Sudah! Sudah, kita mulai semua dan kita hadapi bertiga. Bapak dan Ibu memaafkanmu asal kau berjanji tak akan mengulanginya lagi, kami juga tak akan bertanya siapa lelaki yang menghamilimu itu karena jika waktunya tiba kau akan mengatakan sendiri kepada kami atau lelaki itu datang kemari," jelas Bapak Aruna.

"Maafkan Aruna, Pak! Aruna tak bisa mengatakan siapa lelaki bejat itu," ujar Aruna lirih.

"Ya sudah, simpanlah semua itu! Jika kau rasa jujur itu akan menjadi bebanmu, Bapak tak akan memberatkanmu lagi, Nduk! Mungkin ini salah kami sebagai orang tua yang lalai menjagamu, membiarkanmu mengejar mimpi di Ibukota sampai lupa akan semuanya," ujar Bapak Aruna.

Ibu Aruna menarik tangan Aruna untuk berdiri. Aruna memeluk dan runtuh dalam pelukan ibunya mereka terduduk bersama di lantai. Begitupun dengan bapaknya, dia juga memeluk kedua wanita yang sangat dicintainya itu. Entah takdir apa yang Tuhan gariskan untuk keluarganya sampai dia harus menjalani dan memikul aib sebesar ini. Aib yang tak bisa ditutupi lagi dan akan menjadi bahan gosip seumur hidup bagi warga desa. Meskipun hal itu terjadi tapi sebagai seorang bapak,Juragan Waluyo bersikap tegas untuk tetap melindungi anaknya. Bagaimanapun bayi itu juga tak berdosa begitupun dengan anaknya yang masih sangat muda dan memiliki kesempatan untuk hidup lebih lama.

***

Sembilan bulan kemudian di ruang persalinan rumah sakit bersalin Al Hasanah, Aruna sedang mempertaruhkan hidup dan matinya di atas ranjang persalinan.Dia sedang berusaha melahirkan seorang anak yang dinanti-nantikannya selama ini.

"Ayo hati-hati, Bu! Saya beri aba-aba ya, satu, dua tarik nafas, mengejan!" perintah bidan itu.

Aruna sudah merasakan mulas yang begitu dahsyat sampai dia tak sadar ketika gunting tajam merobek jalan lahirnya. Rasa sakitnya sudah tak berasa lagi karena kontraksi melahirkan. Aruna melahirkan ditemani dengan bapak dan ibunya. Kedua tangannya memegang tangan orang tuanya meminta penguatan. Juragan Waluyo, Bapak Aruna berkali-kali menciumi kepala putrinya itu tak tahan melihat sang buah hati yang dulu dibesarkan dan dirawat sepenuh hati harus melahirkan sendiri tanpa seorang suami.

'Oeeek' Oeeeek

"Sudah lahir anaknya, Bu! Jeis kelamin Lelaki lengkap semua," ujar dokter dan bidan itu sambil mengangkat seorang bayi. Dengan sigap dokter itu segera mengeluarkan plasenta dan menjahit jalan lahir yang tadi sudah dirobek. Rasa kesakitan yang dirasakan Aruna, luruh sudah bersama tangisan sang bayi. Bapak dan Ibu Aruna langsung terharu melihat cucu mereka telah lahir.

"Saya taruh di atas tubuh Ibu ya, agar bisa menyusui sejak dini," ujar bidan itu sambil menaruh bayi Aruna.

"Siapa namanya, Nduk?" tanya ibu Aruna.

"Abimana Hadinata Wijaya," jawab Aruna dengan yakin. Itu adalah nama yang pernah dia tulis dalam kertas yang diselipkan di nakas milik Dion. Entah lelaki itu sudah membukanya atau belum tetapi dia menepati janjinya jika anak itu lelaki akan mereka beri nama Abimana Hadinata Wijaya.

***

"Bima, Bima!" Teriak Aruna.

"Iya, Bu!" sahut Bima kecil. Bima tumbuh dengan baik di usianya lima tahun, dia berkembang dan bertumbuh selayaknya anak usianya. Bahkan jauh lebih besar dan tinggi daripada usianya. Fisik Bima sama dengan Dion, sehingga setiap kali Aruna melihat putranya, dia seperti melihat Dion. Kemiripan itu di mulai dari wajah, hidung, mata, serta perilakunya mengingatkannya dia pada sosok lelaki yang pernah tidur semalam bersamanya.

"Bu, apakah kita jadi ke kota?" tanya Bima yang dibalas anggukan oleh Aruna.

"Tapi Ibu akan menghadiri meeting dulu rapat di hotel Aston untuk usaha Eyangmu! Jadi kita ke kotanya besok lusa ya," ujar Aruna.

"Yah Ibu! Kan Ibu kan sudah janji," protes Bima.

"Ibu janji kita akan ke kota untuk membeli apapun yang kau inginkan karena kau sudah menjadi anak baik, tapi besok! Bagaimana?" tawar Aruna sambil mengelus rambut putranya.

"Benarkah?" tanya Bima yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Aruna.

"Yeyeye!" Teriak Bima sambil berloncat-loncatan di ke sana kemari.

"Nduk, undangan untuk menghadiri meeting sudah ada di WA! Masuknya nanti menggunakan barcode khusus dan Bapak sudah mengirimkannya padamu. Tolong kau hadiri saja ya, kau sekalian persiapkan bahan-bahan untuk maju berpresentasi, agar kualitas sayuran yang kita jual bisa menembus ke Hypermart dan pasar-pasar modern lainnya. Karena kualitas yang kita miliki juga tak kalah bersaing dengan barang yang impor," jelas Bapak Aruna yang bernama asli juragan Waluyo.

Aruna menganggukkan kepalanya dia kemudian mencari ponselnya yang tertinggal di dalam kamar. Kemudian membuka undangan virtual itu matanya menangkap tulisan undangan yang mengatasnamakan PT Hadinata Wijaya company tbk. Aruna terdiam beberapa saat sambil menutup mulutnya.

"Astaga! Apakah Pak Dion akan menghadirinya? Bagaimana ini?"

APAKAH ARUNA AKAN TETAP DATANG?

Bersambung

Yuk teman- teman intip ceritaku yang lain!

Halo Kakak baca novelku yang lain juga ya dengan judul "JADI MISKIN DI HADAPAN MERTUA". Novel seru tentang perdebatan mertua menantu tetap mengandung nilai mental healt dan menghadapi mertua kolot serta suami yang terus- terusan membela Ibunya daripada istrinya! Happy reading ❤️

Cerita tentang perjuangan wanita mempertahankan rumah tangganya di tengah pilihan poligami yang di tawarkan suami pendiam nya! Sosok suami yang pendiam dan sholeh serta sempurna memiliki kegilaan di ranjang bersama seorang gadis lain bernama Gendhis! Bagaimana kisahnya? Intip di Novel SELIR KESAYANGAN SUAMIKU!

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ajis Andi
mantap ceritane
goodnovel comment avatar
Chamim Robi
bagus banget mbaknya ceritanya
goodnovel comment avatar
Amzad
ini novel siapa ko bisa bikin aku mewek saat baca nya??🫰🫰
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status