PAK, PLEASE LIMA MENIT!
"Saya sudah berkata padamu, Betari Aruna Waluyo! Saya tidak akan membuka rumah sakit itu dalam waktu yang dekat. Kau mengerti?" hardik Dion."Tapi Pak..."Dion langsung mengangkat tangannya tanda tak ingin lagi mendengar ucapan Aruna lagi. Dia segera berlalu masuk ke dalam lift. Tak menyerah Aruna pun mengejar dia sampai masuk ke dalam. Dia mensejajari Dion dengan berdiri di sampingnya."Tapi Pak rumah sakit itu sangat saya perlukan," bujuk Aruna."Justru semakin kau perlukan saya tidak akan membukanya," sahut Dion sambil bersedekap setelah memencet tombol satu lantai di bawahnya."Tapi Pak, rumah sakit itu menyangkut nyawa hidup orang banyak! Jika Bapak tak membukanya bulan depan dan tetap egois seperti ini berapa banyak nyawa yang akan hilang, Bapak? Pak Dion, sedikit saja nuarani dan belas kasihan, Bapak! Apakah Bapak tidak mengerti betapa berartinya rumah sakit itu bagi orang-orang yang membutuhkannya?" tanya Aruna."Kenapa kauBU, BOLEHKAN BIMA MEMINTA HADIAH UNTUK MEMILIKI SOSOK AYAH?"Dion siapakah dia? Siapa wanita itu? Apa benar seleramu seperti ini?" tanya wanita itu."Dia adalah kekasihku," ucap Dion."Ya! Dia adalah kekasihku," sambungnya. Lagi wanita itu mengeryitkan keningnya heran. Seakan dia tak percaya jika wanita cabe- cabean itu adalah kekasih Dion. Menyadari hal itu, Dion segera memepetkan tubuhnya dan berdiri di samping Aruna bahkan dengan sigap merangkul lengan Aruna sehingga mereka sekarang terlihat seperti pasangan mesra yang saling berdempetan."Dia adalah Bethari Aruna Waluyo, kekasihku!" jelas Dion lagi.Aruna kemudian menatap Dion dengan pandangan yang melongo. Dia cukup terkejut kenapa mantan atasannya itu mengatakan dia adalah pasangannya. Padahal mereka selama ini tidak ada hubungan apa-apa bahkan selama sepuluh tahun Dion terkesan sangat dingin kepadanya. Jantung Aruna sekarang berdetak keras sekarang dengan ucapan Dion."Jika memang benar dia pacarm
PERTEMUAN KEDUA BIMA!"Kenapa Ibu memandangku seperti itu? Apakah ibu tak suka jika aku meminta seorang Ayah?" tanya Bima polos."Wajar saja bukan kalau ibu kecewa mendengar pernyataanmu itu? Ibu hanya bersedih saja, apakah kasih sayang dan cinta yang Ibu berikan ini selama ini masih kurang sampai-sampai kau masih meminta sosok seorang Ayah lagi, padahal Bima sudah memiliki Ayah Rendy dan Eyang Waluyo. Apakah itu masih belum cukup sebagai sosok seorang Ayah?" tanya Aruna sambil memelaskan mukanya di hadapan putranya"Ibu pasti seperti itu jawabnya! Padahal aku hanya meminta seorang Ayah saja, mengapa tak bisa? Aku ingin sosok Ayah seperti teman-temanku, Ayah yang benar-benar tidur di rumah bersamaku, yang selalu mengajariku naik sepeda dan menaikkan layangan, Ayah yang akan setiap hari mengantar ke sekolah, Ayah yang menggendong ku di pundaknya, seperti ayah teman-temanku lainnya, mengapa aku tak punya ayah seperti itu, Bu?" sahut Bima."Sedangkan teman-temanku bisa
CEMBURU?"Mari Om antar ke orang tuamu," ajak Dion karena melihat anak itu memiliki bekas infusan di tangan tentulah anak itu adalah pasien dari rumah sakit ini.Bima pun mengangguk dan memegang tangan Dion. Mereka bergandengan tangan. Detak jantung Dion terpacu dia sampai memegangi nya."Rasa apa ini?" batin Dion dalam hati.Baru saja mereka beranjak berdiri hendak pergi tiba-tiba seorang lelaki datang menghampiri mereka. Lelaki itu berpakaian putih-putih khas baju dokter, dia adalah Rendi. Melihat Bima sedang bersama seorang lelaki asing Rendi pun segera menghampirinya."Ayah Rendi!" teriak Bima sambil melambaikan tangannya ke arah Rendi. Melihat itu Dion pun tertegun."Bukankah anak ini tadi berkata jika dia tak punya ayah dan menginginkan aku menjadi ayahnya? Mengapa sekarang ada lelaki berseragam yang dipanggil Ayah olehnya juga? Dasar bocah!" umpat Dion dalam hati."Kau dari mana saja jagoan? Ayah tadi mencarimu," ujar Rendi sambil segera menggendong Bima. Bima pun melepaskan ga
MENUNGGU LIMA JAM TAK SEBANDING DENGAN LIMA TAHUN!!"Apa kau tak bisa? Jangan main- main deh Aruna dengan Pak Hendi! Syukur- syukur dia mau menemui kamu lagi," kata Hendi.Aruna menarik nafasnya dalam, dan mengehembuskannya dengan dada sesak serta sakit. Besok adalah jadwal operasi Bima. Tak mungkin jika dia pergi. Tapi kalau tidak pergi kesempatan bicara dengan Dion juga tak datang dua kali."Baiklah, Hendi! Kalau begitu tolong kirimkan di mana dan jam berapa aku bisa menemui Pak Dion," ucap Aruna."Nah, begitu dong! Kamu kan tau bagaimana Pak Dion," kata Hendi senang."Pagi kan?" tanya Aruna lagi memastikan agar jadwalnya tidak bentrok dengan waktu operasi Bima."Iya, bawel ah!" ejek Hendi sambil menutup telponnya.Tak membuang waktu lagi setelah telpon di angkat, Aruna pun segera mengirimkan pesan wa kepada Rendi untuk mengatur jadwal Bima besok. Dia hanya bisa banyak berdoa sekarang agar jadwal operasi nya tak berbenturan dengan jam operasi Bima.
TELPON DARI RUANG OPERASI!"Lima menit dariku tidaklah mudah didapatkan! Itu tak akan sebanding dengan lima tahun ini aku tersiksa olehmu dan perasaanku sendiri!" batin Dion sambil memperhatikan Aruna dari CCTV.Gadis itu sesekali masih melihat hp-nya karena khawatir dengan keadaan putranya meskipun pagi tadi dia sudah memastikan berpamitan kepada Bima. Namun hati Aruna masih cemas karena dia benar-benar ingin menyaksikan putranya sebelum masuk ke ruang operasi. Rendi sempat mengabarkan kepada Aruna bahwa operasinya di tunda sampai sore hari, karena ada pasien emergency profesor Tjahyadi. Tapi, nyatanya sampai jam dua sore dia masih berada di hotel ini. Baru saja hatinya membatin, tak lama satu panggilan pun masuk. Panggilan itu dari Rendi, Aruna segera mengangkatnya karena khawatir terjadi apa-apa dengan putranya itu."Halo ada apa, Mas?" tanya Aruna sesaat setelah telepon itu tersambung."Atuna, sepertinya kau harus segera ke sini! Jadwal operasi Bima akan di lakuk
ELBARA?"Tuhan, kuatkanlah putraku, Bima! Lindungi dia," batain Aruna dalam hati sambil memukul dadanya yang terasa nyeri.Setelah ruang operasi tertutp, Aruna langsung terduduk di lantai rumah sakit. Dia sudah tak dapat menahan air matanya lagi. Entah berapa lama dia berada di posisi itu sampai ibunya datang dan memeluknya. Mengajak Aruna berdiri dan duduk di kursi tunggu depan ruangan operasi."Sudah jangan panik, Nduk! Profesor Tjahayadi kan terkenal sangat hebat dalam pembedahan jantung. Percayalah, dia pasti akan berhasil menyelamatkan Bima. Bukankah Rendi juga sudah mengatakannya padamu? Tenang saja," ujar Nyi Waluyo sambil mengusap bahu Aruna pelan.Dia berusaha sedikit menenangkan putrii tercintanya itu. Tak lama juragan Waluyo juga datang dengan membawa air mineral dan segelas kopi untuk putrinya agar tak lemes. Dia menyerahkan kopi dan air itu kepada Aruna."Sudah masuk, Bima?" tanya juragan Waluyo. Aruna hanya menganggukkan kepalanya perlahan sambil me
AKANKAH TERUNGKAP TABIR AYAH BIMA?"Apa maksudmu?" tanya Elizabeth heran mendengar ucapan suaminya.Di sisi lain Aruna masih berada di depan ruang operasi dengan harap-harap cemas. Dia ditemani oleh ibu dan bapaknya. Tak lama Rendi keluar Aruna."Aruna, Rendi keluar," ujar ibunya sambil menepuk badan Aruna."Bagaimana, Ren? Apakah operasi berjalan lancar?" tanya Aruna segera berbalik badan setelah Nyi Waluyo berkata seperti itu."Bima sudah melewati masa kritisnya! Jadi tenanglah, Aruna," jawab Rendi. "Benarkan apa yang Ibu bilang? Bima baik-baik saja, dia seperti namanya yang sangat kuat! Kau tenang saja," ujar Nyi Waluyo. Aruna pun menangis dan menganggukkan kepalanya karena perasaan senang, terharu, bercampur menjadi satu. "Dia akan segera di pindahkan ke bangsal umum! Aku sengaja keluar sebentar, karena ingin memberitahumu agar kau tak takut dan khawatir. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dulu, aku belum selesai," pamit Rendi lagi sambil masuk ke r
SEBUAH KEBENARAN!"Apakah kini saatnya aku mengatakan semuanya?" batin Aruna dalam hati."Bu," panggil Aruna."Apakah Ibu ingin tahu semuanya? Sebuah kebenaran yang selama ini Aruna tutupi," ucap Aruna lagi. "Tentu jika kau mengijinkannya, maka Ibu ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya selama enam tahun ini! Kalau kau tak keberatan, Nduk! Tapi jika kau masih belum siap maka Ibu dan Bapak akan menunggunya," jawab Nyi Waluyo. Aruna menghela nafasnya panjang."Tapi aku meminta satu hal kepada Ibu, bisakah Ibu berjanji padaku?" tanya Aruna."Berjanji untuk apa?" ujar Nyi Waluyo heran. "Tolong setelah Ibu tahu semuanya termasuk siapa Bapak biologis Bima, Ibu tak akan mengusik kehidupan pribadi Bapak Bima, biarlah suatu saat gusti Allah sendiri yang akan mempertemukan mereka dengan caranya sendiri. Kalau tidak biarlah ini menjadi rahasia Bima sampai mati," jawab Aruna."Bukankah Bima itu memang secara biologis memiliki Bapak, tetapi secara hukum dia itu adalah anak tak bernasab?" jelas A