AKANKAH TERUNGKAP TABIR AYAH BIMA?
"Apa maksudmu?" tanya Elizabeth heran mendengar ucapan suaminya.Di sisi lain Aruna masih berada di depan ruang operasi dengan harap-harap cemas. Dia ditemani oleh ibu dan bapaknya. Tak lama Rendi keluar Aruna."Aruna, Rendi keluar," ujar ibunya sambil menepuk badan Aruna."Bagaimana, Ren? Apakah operasi berjalan lancar?" tanya Aruna segera berbalik badan setelah Nyi Waluyo berkata seperti itu."Bima sudah melewati masa kritisnya! Jadi tenanglah, Aruna," jawab Rendi."Benarkan apa yang Ibu bilang? Bima baik-baik saja, dia seperti namanya yang sangat kuat! Kau tenang saja," ujar Nyi Waluyo. Aruna pun menangis dan menganggukkan kepalanya karena perasaan senang, terharu, bercampur menjadi satu."Dia akan segera di pindahkan ke bangsal umum! Aku sengaja keluar sebentar, karena ingin memberitahumu agar kau tak takut dan khawatir. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dulu, aku belum selesai," pamit Rendi lagi sambil masuk ke rSEBUAH KEBENARAN!"Apakah kini saatnya aku mengatakan semuanya?" batin Aruna dalam hati."Bu," panggil Aruna."Apakah Ibu ingin tahu semuanya? Sebuah kebenaran yang selama ini Aruna tutupi," ucap Aruna lagi. "Tentu jika kau mengijinkannya, maka Ibu ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya selama enam tahun ini! Kalau kau tak keberatan, Nduk! Tapi jika kau masih belum siap maka Ibu dan Bapak akan menunggunya," jawab Nyi Waluyo. Aruna menghela nafasnya panjang."Tapi aku meminta satu hal kepada Ibu, bisakah Ibu berjanji padaku?" tanya Aruna."Berjanji untuk apa?" ujar Nyi Waluyo heran. "Tolong setelah Ibu tahu semuanya termasuk siapa Bapak biologis Bima, Ibu tak akan mengusik kehidupan pribadi Bapak Bima, biarlah suatu saat gusti Allah sendiri yang akan mempertemukan mereka dengan caranya sendiri. Kalau tidak biarlah ini menjadi rahasia Bima sampai mati," jawab Aruna."Bukankah Bima itu memang secara biologis memiliki Bapak, tetapi secara hukum dia itu adalah anak tak bernasab?" jelas A
TATAPAN ITU,"Maaf Pak Dion, saya mengganggu. Hari ini Aruna mengatakan pada saya untuk ingin bertemu dengan Pak Dion. Apakah Pak Dion setuju?" tanya Hendi yang masuk ke dalam ruangan Dion di ruang loby VIP hotel. Dion terlihat sedang sibuk dengan laptopnya."Apakah Aruna itu mengira aku sangat menganggur? Apakah dia bisa berpikir untuk datang menemuiku seenaknya dan kapan saja? Siapa dia?" sahut Dion sambil terus menatap komputer di depannya."Baiklah kalau begitu, Pak! Saya mengerti," ujar Hendi sambil berlalu pergi ke loby utama. Hendi pun menemui Aruna yang sedari tadi menunggunya."Aruna maaf sekali, tapi kali ini Pak Dion sangat sibuk! Tak bisa di ganggu, habisnya kau konyol sekali, kemarin meninggalkan Pak Dion begitu saja. Sekarang tiba- tiba datang ke sini! Kau itu ngeyel sekali, seperti tak tahu watak Pak Dion saja," gerutu Hendi."Baiklah tidak masalah! Biarkan dia sibuk, aku akan menunggunya di sini! Dia akan ku pastikan keluar dalam waktu 10 men
TAWARAN ARUNA!"Apa yang hedak kau katakan?" tanya Dion."Passwordnya sudah saya ganti, Pak Dion," ujar Aruna tersenyum jahil. "Paling tidak, Pak Dion membutuhkan waktu beberapa hari untuk mengatasinya, karena Pak Dion tidak akan pernah mengira apa kata sandinya," ujar Aruna iseng."Hendi periksa jadwal! Buatlah janji dengan Aruna," sahut Dion dengan kesal melihat tingkah Aruna. Dia segera berbalik arah berjalan ke ruang loby utama.Aruna tersenyum senang, karena kali ini dia menang. Dion mendengus dengan kesal, tetapi dalam hatinya juga tak dapat di pungkiri. Ada rasa sedikit senang bercampur sebal melihat perlakuan Aruna yang sekarang semena-mena. Padahal dia dulu adalah sekretaris yang paling menurut selama bekerja. Aruna selalu melakukan perintah dan menyenangkan, hatinya tak pernah berbuat seperti ini."Tak perlu membuat janji, Pak! Bukan kah kita bisa mengobrolkannya sekarang saja, Pak? Kan tak lama hanya lima menit saja, bagaimana?" tanya Aruna berusa
JANGAN CEKIK LEHERKU, PAK DION HADINATA WIJAYA!"Apakah keluargaku sudah datang?" tanya Dion."Sudah, Pak! Bagaimana? Hanya Aruna lah solusi kita," jawab Hendi.Dion pun akhirnya menarik nafasnya panjang. Mau tak mau dia harus menerima ajakan Aruna kali ini. Tapi dia sendiri juga sadar dia tidak begitu pandai mengendarai motor, apalagi motor sport dengan ukuran besar. "Apa kau bisa mengendarai motor Aruna dan memboncengku?" tanya Dion pada Hendi."Hah? Saya? Pak Dion bercanda? Jangankan naik motor sport segede gajah begitu, Pak! Saya naik motor bebek atau matic yang tinggal gas saja mleyot! Apa Pak Dion yakin dengan saya? Kalau Pak Dion yakin kita coba bersama," ucap Hendi menoleh ke arah belakang melihat Dion sambil menyengirkan mukanya."GILA KAU!" hardik Dion. Dia pun akhirnya kembali membuka jendela itu."Baiklah, aku ikut denganmu! Tapi kau harus membawaku ke sana dalam waktu kurang dari dua puluh menit! Bagaimana? Apakah kau bisa?" tanya Dion kepada Aruna."Siap!" sahut Aruna d
BEKERJA PADA DION LAGI?"Siapakah anak lelaki itu? Apakah dia anak Pak Dion? Melihat dari tubuh dan wajahnya dia sepertinya berumur sekitar sepantaran Bima. Kalau anak lelaki itu adalah anak lelaki Dion juga artinya Pak Dion sudah menikah?" batin Aruna dalam hati."Maafkan Papa Dion! Papa terlambat karena Papa tadi terkena macet tadi, sekarang kan Papa sudah datang di hadapanmu dan memenuhi janji," kata Dion sambil duduk berjongkok menyamai tinggi anak lelaki itu."Sekarang kan Papa sudah ada di hadapanmu! Apakah kau menjadi anak baik? Apakah kau menurut dengan semua perkataan Mamamu?" tanya Dion lagi."Iya, Papa Dion! Aku mau! Aku mau memenuhi janjiku kepada Mamaku! Aku akan mulai menjalani operasi, aku sangat berani Papa," jawab anak lelaki itu."Pandai," puji Dion."Kau harus bisa sehat seperti ini lagi setelah menjalankan operasimu, mengerti?" tanya Dion."Baik, Papa Dion!" sahutnya."Baiklah pergilah bersama Mamamu! Jangan takut ya," kata Dion la
MENYONGSONG RENCANA HIDUP BARU BERSAMA BIMA!"Apakah aku siap dengan semua konsekuensinya?" batin Aruna."Bagaimana? Aku tak memiliki banyak waktu!" bentak Dion menyadarkan Aruna dari lamunannya.Aruna menghembuskan nafasnya panjang. Tak ada pilihan lain selain mengiyakannya. Kalau memang dia dan Bima harus pindah ke Surabaya itu adalah jalan yang terbaik untuknya. Dia bisa bekerja di rumah sakit sebagai kepercayaan Dion dan tak terpisahkan dari anaknya. Nilai plusnya Bima bisa mendapatkan fasilitas kesehatan yang terjamin."Baiklah, saya sanggup! Saya akan memenuhi catering itu dengan cara saya sendiri sembari saya akan bekerja pada Pak Dion lagi. Bapak Dion bisa mempercayakan semua pada saya, Bapak Dion tak perlu memikirkan lagi bagaimana saya mengelola keuangan berkaitan dengan kualitas catering dan gaji saya lagi. Saya jamin semua sudah terstruktur dan sempurna di tambah untuk kualitas grade A," ujar Aruna yakin."Bukankah rumah sakit itu adalah rumah sakit u
GELAGAT ANEH DION"Bukankah aku sudah berkata padamu? Kita harus berhati-hati saat di kantor! Kenapa kau ceroboh sekali?" bentak Elbara kepada Sheila. Saat berkata seperti itu langsung saja Sheila memperlihatkan wajah tak sukanya kepada Elbara. Dia memasang tampang memelasnya pada Elbara sehingga membuat Elbara merasa kasihan."Ah, maafkan aku, Sayang! Tapi bagaimana kalau dia melihatmu? Kau tahu kan bagaimana Elizabeth! Dia tak segan- segan akan menghadapimu nanti! Aku takut kau kenapa- kenapa! Jika sesuatu terjadi padamu, bagaimana denganku nanti? Aku pasti akan khawatir dan sedih," jelas Elbara sambil menyentuh lengan sekertarisnya itu."Iya aku akan sangat berhati-hati lain kali! Oh ya, ada berita buruk, CV itu ternyata milik Aruna," ujar Sheila."Sekarang kau sudah percayakan bahwa aku memintamu menyelidiki Aruna dan Dion, bukan? Ini aku lakukan bukan untuk diriku sendiri," jelas Elbara."Tenang saja, aku sudah menyuruh orang menyelidikinya! Namun belum ada kabar sampai sekarang,
AYAH RENDI VS OM BAIK!"Apanya yang menggemaskan?" kata Dion sambil melirik tajam ke arah Hendi. Tanpa banyak bicara Dion segera mengambil hp-nya. Dia nampak sedang menghubungi seseorang sambil terus mendengarkan percakapan Aruna dengan lelaki yang di kira suaminya serta anaknya."Ayok Bima, kita akan kembali ke kamar ya! Kau tidak boleh membuat Profesor Tjahyadi marah, Bima kan anak yang menurut," bujuk Aruna."Tidak mau! Kalian membawa Bima keluar karena kalian ingin main sendiri kan? Ibu hanya minum kopi dan berbicara saja dengan Ayah Rendi," ucap Bima merajuk.Aruna mengelus kepala putranya perlahan. Dia sangat tahu Bima sebenarnya sudah bosan berada di rumah sakit. Wajar saja, sebagai anak kecil seusianya dia akan iri melihat anak lain bebas bermain sesuka hati. Sedangkan dia harus di kursi roda bersahabat dengan infus dan jarum suntik."Ibu janji kau akan segera bisa seperti mereka, Sayang," batin Aruna dalam hati.Dion kembali menghubungi nomer tadi setelah panggilan pertamanya