MENUNGGU LIMA JAM TAK SEBANDING DENGAN LIMA TAHUN!!"Apa kau tak bisa? Jangan main- main deh Aruna dengan Pak Hendi! Syukur- syukur dia mau menemui kamu lagi," kata Hendi.Aruna menarik nafasnya dalam, dan mengehembuskannya dengan dada sesak serta sakit. Besok adalah jadwal operasi Bima. Tak mungkin jika dia pergi. Tapi kalau tidak pergi kesempatan bicara dengan Dion juga tak datang dua kali."Baiklah, Hendi! Kalau begitu tolong kirimkan di mana dan jam berapa aku bisa menemui Pak Dion," ucap Aruna."Nah, begitu dong! Kamu kan tau bagaimana Pak Dion," kata Hendi senang."Pagi kan?" tanya Aruna lagi memastikan agar jadwalnya tidak bentrok dengan waktu operasi Bima."Iya, bawel ah!" ejek Hendi sambil menutup telponnya.Tak membuang waktu lagi setelah telpon di angkat, Aruna pun segera mengirimkan pesan wa kepada Rendi untuk mengatur jadwal Bima besok. Dia hanya bisa banyak berdoa sekarang agar jadwal operasi nya tak berbenturan dengan jam operasi Bima.
TELPON DARI RUANG OPERASI!"Lima menit dariku tidaklah mudah didapatkan! Itu tak akan sebanding dengan lima tahun ini aku tersiksa olehmu dan perasaanku sendiri!" batin Dion sambil memperhatikan Aruna dari CCTV.Gadis itu sesekali masih melihat hp-nya karena khawatir dengan keadaan putranya meskipun pagi tadi dia sudah memastikan berpamitan kepada Bima. Namun hati Aruna masih cemas karena dia benar-benar ingin menyaksikan putranya sebelum masuk ke ruang operasi. Rendi sempat mengabarkan kepada Aruna bahwa operasinya di tunda sampai sore hari, karena ada pasien emergency profesor Tjahyadi. Tapi, nyatanya sampai jam dua sore dia masih berada di hotel ini. Baru saja hatinya membatin, tak lama satu panggilan pun masuk. Panggilan itu dari Rendi, Aruna segera mengangkatnya karena khawatir terjadi apa-apa dengan putranya itu."Halo ada apa, Mas?" tanya Aruna sesaat setelah telepon itu tersambung."Atuna, sepertinya kau harus segera ke sini! Jadwal operasi Bima akan di lakuk
ELBARA?"Tuhan, kuatkanlah putraku, Bima! Lindungi dia," batain Aruna dalam hati sambil memukul dadanya yang terasa nyeri.Setelah ruang operasi tertutp, Aruna langsung terduduk di lantai rumah sakit. Dia sudah tak dapat menahan air matanya lagi. Entah berapa lama dia berada di posisi itu sampai ibunya datang dan memeluknya. Mengajak Aruna berdiri dan duduk di kursi tunggu depan ruangan operasi."Sudah jangan panik, Nduk! Profesor Tjahayadi kan terkenal sangat hebat dalam pembedahan jantung. Percayalah, dia pasti akan berhasil menyelamatkan Bima. Bukankah Rendi juga sudah mengatakannya padamu? Tenang saja," ujar Nyi Waluyo sambil mengusap bahu Aruna pelan.Dia berusaha sedikit menenangkan putrii tercintanya itu. Tak lama juragan Waluyo juga datang dengan membawa air mineral dan segelas kopi untuk putrinya agar tak lemes. Dia menyerahkan kopi dan air itu kepada Aruna."Sudah masuk, Bima?" tanya juragan Waluyo. Aruna hanya menganggukkan kepalanya perlahan sambil me
AKANKAH TERUNGKAP TABIR AYAH BIMA?"Apa maksudmu?" tanya Elizabeth heran mendengar ucapan suaminya.Di sisi lain Aruna masih berada di depan ruang operasi dengan harap-harap cemas. Dia ditemani oleh ibu dan bapaknya. Tak lama Rendi keluar Aruna."Aruna, Rendi keluar," ujar ibunya sambil menepuk badan Aruna."Bagaimana, Ren? Apakah operasi berjalan lancar?" tanya Aruna segera berbalik badan setelah Nyi Waluyo berkata seperti itu."Bima sudah melewati masa kritisnya! Jadi tenanglah, Aruna," jawab Rendi. "Benarkan apa yang Ibu bilang? Bima baik-baik saja, dia seperti namanya yang sangat kuat! Kau tenang saja," ujar Nyi Waluyo. Aruna pun menangis dan menganggukkan kepalanya karena perasaan senang, terharu, bercampur menjadi satu. "Dia akan segera di pindahkan ke bangsal umum! Aku sengaja keluar sebentar, karena ingin memberitahumu agar kau tak takut dan khawatir. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dulu, aku belum selesai," pamit Rendi lagi sambil masuk ke r
SEBUAH KEBENARAN!"Apakah kini saatnya aku mengatakan semuanya?" batin Aruna dalam hati."Bu," panggil Aruna."Apakah Ibu ingin tahu semuanya? Sebuah kebenaran yang selama ini Aruna tutupi," ucap Aruna lagi. "Tentu jika kau mengijinkannya, maka Ibu ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya selama enam tahun ini! Kalau kau tak keberatan, Nduk! Tapi jika kau masih belum siap maka Ibu dan Bapak akan menunggunya," jawab Nyi Waluyo. Aruna menghela nafasnya panjang."Tapi aku meminta satu hal kepada Ibu, bisakah Ibu berjanji padaku?" tanya Aruna."Berjanji untuk apa?" ujar Nyi Waluyo heran. "Tolong setelah Ibu tahu semuanya termasuk siapa Bapak biologis Bima, Ibu tak akan mengusik kehidupan pribadi Bapak Bima, biarlah suatu saat gusti Allah sendiri yang akan mempertemukan mereka dengan caranya sendiri. Kalau tidak biarlah ini menjadi rahasia Bima sampai mati," jawab Aruna."Bukankah Bima itu memang secara biologis memiliki Bapak, tetapi secara hukum dia itu adalah anak tak bernasab?" jelas A
TATAPAN ITU,"Maaf Pak Dion, saya mengganggu. Hari ini Aruna mengatakan pada saya untuk ingin bertemu dengan Pak Dion. Apakah Pak Dion setuju?" tanya Hendi yang masuk ke dalam ruangan Dion di ruang loby VIP hotel. Dion terlihat sedang sibuk dengan laptopnya."Apakah Aruna itu mengira aku sangat menganggur? Apakah dia bisa berpikir untuk datang menemuiku seenaknya dan kapan saja? Siapa dia?" sahut Dion sambil terus menatap komputer di depannya."Baiklah kalau begitu, Pak! Saya mengerti," ujar Hendi sambil berlalu pergi ke loby utama. Hendi pun menemui Aruna yang sedari tadi menunggunya."Aruna maaf sekali, tapi kali ini Pak Dion sangat sibuk! Tak bisa di ganggu, habisnya kau konyol sekali, kemarin meninggalkan Pak Dion begitu saja. Sekarang tiba- tiba datang ke sini! Kau itu ngeyel sekali, seperti tak tahu watak Pak Dion saja," gerutu Hendi."Baiklah tidak masalah! Biarkan dia sibuk, aku akan menunggunya di sini! Dia akan ku pastikan keluar dalam waktu 10 men
TAWARAN ARUNA!"Apa yang hedak kau katakan?" tanya Dion."Passwordnya sudah saya ganti, Pak Dion," ujar Aruna tersenyum jahil. "Paling tidak, Pak Dion membutuhkan waktu beberapa hari untuk mengatasinya, karena Pak Dion tidak akan pernah mengira apa kata sandinya," ujar Aruna iseng."Hendi periksa jadwal! Buatlah janji dengan Aruna," sahut Dion dengan kesal melihat tingkah Aruna. Dia segera berbalik arah berjalan ke ruang loby utama.Aruna tersenyum senang, karena kali ini dia menang. Dion mendengus dengan kesal, tetapi dalam hatinya juga tak dapat di pungkiri. Ada rasa sedikit senang bercampur sebal melihat perlakuan Aruna yang sekarang semena-mena. Padahal dia dulu adalah sekretaris yang paling menurut selama bekerja. Aruna selalu melakukan perintah dan menyenangkan, hatinya tak pernah berbuat seperti ini."Tak perlu membuat janji, Pak! Bukan kah kita bisa mengobrolkannya sekarang saja, Pak? Kan tak lama hanya lima menit saja, bagaimana?" tanya Aruna berusa
JANGAN CEKIK LEHERKU, PAK DION HADINATA WIJAYA!"Apakah keluargaku sudah datang?" tanya Dion."Sudah, Pak! Bagaimana? Hanya Aruna lah solusi kita," jawab Hendi.Dion pun akhirnya menarik nafasnya panjang. Mau tak mau dia harus menerima ajakan Aruna kali ini. Tapi dia sendiri juga sadar dia tidak begitu pandai mengendarai motor, apalagi motor sport dengan ukuran besar. "Apa kau bisa mengendarai motor Aruna dan memboncengku?" tanya Dion pada Hendi."Hah? Saya? Pak Dion bercanda? Jangankan naik motor sport segede gajah begitu, Pak! Saya naik motor bebek atau matic yang tinggal gas saja mleyot! Apa Pak Dion yakin dengan saya? Kalau Pak Dion yakin kita coba bersama," ucap Hendi menoleh ke arah belakang melihat Dion sambil menyengirkan mukanya."GILA KAU!" hardik Dion. Dia pun akhirnya kembali membuka jendela itu."Baiklah, aku ikut denganmu! Tapi kau harus membawaku ke sana dalam waktu kurang dari dua puluh menit! Bagaimana? Apakah kau bisa?" tanya Dion kepada Aruna."Siap!" sahut Aruna d