NYAWA LAIN DALAM TUBUH ARUNA!
Tanpa berpikir panjang lagi, Aruna segera bergegas pergi ke poli kandungan setelah pulang dari bekerja. Dia masih tak percaya dan tak terima dengan hasil tespeknya. Aruna sudah mengantri di dalam deretan poli kandungan sendirian. Sengaja Aruna memakai masker agar tak ada seorang pun mengenalinya, apalagi ini adalah rumah sakit milik PT Hadinata Wijaya, Group. Mau tak mau Aruna melakukan pemeriksaan di sana, mengingat ini rumah sakit gratis karena ada asuransi kesehatan. Para ibu-ibu muda yang datang nampak bersama suaminya masing- masing. Rona bahagia nampak sekali di muka mereka, kecuali wajah Aruna. Dengan langkah kaki gontai, Aruna berjalan menuju ke ruangan pemeriksaan poli kandungan saat namanya sudah dipanggil oleh perawat. Dia menoleh ke arah kanan dan kiri untuk memastikan tak ada seorangpun yang melihatnya. Jantung Aruna berdetak sangat keras, tatkala seorang dokter wanita spesialis kandungan mulai membalurkan jel dingin di atas perut Aruna yang masih rata. Dia berbaring di ranjang pasien dan dokter mulai menggerakkan alat transducer USG. Tak lama sebuah gambar muncul di monitor."Ah! Ini dia," kata dokter menunjuk pada monitor di depan Aruna."Itu adalah bagian kantung kehamilan, Bu! Melihat dari ukuran kehamilannya kemungkinan kandungan Ibu sudah memasuki tujuh minggu lebih dan ini adalah bakal janinnya. Masih sangat kecil sekali, namun masih normal dengan besarnya sekitar lima cm lebih," ucap dokter wanita itu sangat ramah."Saya ha- hamil, Dok?" tanya Aruna dengan nada suara bergetar menahan tangisnya."Iya, Bu! Selamat ya," jawab dokternya sambil memerintahkan perawat mengusap jel di perut dan memakaikan baju Aruna. Sejak mendengar ucapan dokter itu, air mata Aruna langsung meleleh begitu saja sampai membasahi pipi. Perasaannya campur aduk tak bisa di lukiskan dengan kata- kata."Dok! Bolehkah saya bertanya?" Dokter itu menoleh dan menganggukkan kepala. Aruna menarik nafas panjang, mau tak mau ia harus menanyakan langsung pada ahlinya dari pada akan mengganjal di hati selamanya. Dia pun masih tak percaya dengan apa yang menimpanya."Dok, apakah berhubungan badan sekali saja bisa hamil?" tanya Aruna lirih menahan malu."Bisa dong, Bu. Tidak perlu berhubungan seks berkali-kali untuk bisa hamil. Meskipun baru sekali berhubungan seks tapi kalau terjadi pembuahan antara sel sperma dan telur, kehamilan tetap bisa terjadi. Apalagi jika dilakukan di masa subur, maka dapat meningkatkan risiko terjadinya kehamilan. Selain itu, kemungkinan hamil juga lebih tinggi ketika seorang wanita melakukan hubungan seks tanpa pengaman, seperti kondom. Jadi, walau hanya sekali berhubungan seks, kemungkinan untuk hamil tetap ada," jawab dokter itu."Sudah! Tak usah berpikir macam- macam, Bu. Jika suami Ibu nanti tak percaya ajak saja ke dokter, biar nanti di jelaskan. Yang penting sekarang Ibu harus bahagia, karena akan mempengaruhi perkembangan janinnya. Untuk saat ini saya akan meresepkan beberapa antibiotik, vitamin, dan dan asam folat untuk ibu hamil," jelas dokter dengan telaten dan panjang lebar. Aruna hanya terdiam dan menatap dokter itu dengan pandangan yang kosong, semua ucapan itu seakan masuk di telinga kanan dan keluar di telinga kiri."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimanakah nasibku nanti?" batin Aruna dalam hati. Terlintas keinginan untuk melenyapkan nyawa bayi yang baru saja berukuran kurang lebih sebesar kacang mede itu. Tapi segera Aruna menepisnya, dia merutuki kebodohan dirinya sendiri yang sempat berpikiran untuk jahat."Bayi ini tidaklah bersalah! Dia berhak hidup di dunia, haruskah aku memberitahu Pak Dion?" batin Aruna dalam hati. Dokter segera memberikan resepnya, Aruna sengaja tak menebus resep obatnya. Pikirannya sangat kacau, dia langsung melangkah gontai ke luar rumah sakit. Pandangannya kosong, berjalan sambil memegang tas dan resep dokter yang masih dalam genggamannya. Saat ini Aruna merasa semua kekuatannya hilang seketika saat mendapati kenyataan yang ada. Hidupnya langsung berubah seketika saat mendapati ada nyawa lain di tubuhnya. Aruna merasa dunia ini begitu kejam padanya. Dia tak tahu lagi harus bagaimana dan meminta pertanggung jawaban siapa atas semua kesalahan dan masalah yang menimpanya. Menuntut Pak Dion jelas pilihan konyol, karena Pak Dion sendiri tak menginginkan terbelenggu dalam ikatan pernikahan. Apalagi dia tak menginginkan seorang anak. Apalagi Aruna takut Dion akan menyuruh menggugurkan kandungan, meskipun tak menginginkan bayi itu, tetapi Aruna tak tega untuk membuang janinnya. Dia sudah terlalu banyak dosa dan tak ingin menambah daftar panjang dosanya dengan membunuh bayinya."Apa yang harus aku katakan kepada Bapak dan Ibu di desa," batin Aruna dalam hati. Dia bingung untuk menjelaskan kepada mereka, mengingat dia adalah satu-satunya harapan keluarganya. Aruna tak ingin menyakiti dan mempermalukan orangtua, tetapi dia juga tak bisa terus menyembunyikan kehamilannya. tanpa Aruna sadari seseorang tengah memperhatikan gerak-geriknya dari parkiran mobil. Aruna tak sadar tadi melepas maskernya, karena syok dengan berita kehamilannya masker itupun tak di pakainya lagi."Kenapa dia di sini?" batin lelaki yang mengamati gerak-gerik Aruna itu. Lelaki itu tak lain adalah Dion. Dion baru saja berkunjung dari rumah sakit tempat Aruna memeriksakan kesehatan itu untuk melakukan meeting karena dia berencana akan memperluas canbangnya. Selain itu rumah sakit ini semua karyawan PT Hadinata Wijaya bisa mendapatkan asuransi kesehatan secara gratis dan ditanggung oleh perusahaan. Aruna terus berjalan pulang sambil berjalan di trotoar. Sepanjang kaki melangkah di sanalah dia terus merutuki kebodohannya sendiri, dia merenungi bagaimana nasibnya nanti. Lamunanya buyar ketika HP Aruna berdering, terlihat tulisan Ibu di layar Hp. Aruna tertegun, entahlah insting seorang ibu atau apa, ibunya tiba-tiba menelponnya."Halo Aruna! Kau di mana, Nak?" tanya suara wanita itu di seberang."Halo, Bu! Ini Aruna sedang ada di jalan baru saja berniat untuk pulang ke kost. Kenapa memangnya, Bu? Apakah ada sesuatu yang gawat?" tanya Aruna."Ibu hampir saja berangkat ke Jakarta sekarang! Ibu kira kau kenapa-kenapa, karena seharian tak memberikan kabar. Ibu takut kau semaput atau di bawa ke UGD saat bekerja. Apalagi semua temanmu Ibu telpon berkata kau sudah pulang sejak tadi. Apakah kau masih merasa sakit, Nduk? Kemarin kau tak jadi pijat dan kerikan?" cerca Nyi Waluyo, ibu Aruna. Aruna terdiam tidak menjawab pertanyaan sang Ibu yang meberondong. Rasa khawatir sang Ibu membuatnya sakit hati. Tak terasa air matanya menetes sepanjang jalan. Beberapa orang melihatnya dengan tatapannya aneh, tapi Aruna sudah tak peduli lagi, yang ada di pikirannya sekarang adalah rasa bersalah dan berdosa kepada kedua orang tuanya. Aruna sudah menghancurkan kepercayaan yang diberikan kedua orang tuanya. Janji untuk menjaga diri baik-baik berada di ibukota, nyatanya ternodai juga."Aruna! Halo!" panggil ibunya."Kamu kenapa? Aruna? Kenapa tak menjawab panggilan ibu? Apakah kau sakit?" tanya ibunya sekali lagi."Aruna, kau kenapa, Nduk? Dengarkan Ibu Aruna, jangan memaksa diri melakukan semua nya demi kami. Kalau memang kau sakit parah, pulanglah ke kampung saja, Nduk! Biar Ibu dan Bapak akan merawat dirimu dengan baik bergantian," sambungnya."Tidak, Bu! Aruna tak apa- apa," ucap Aruna sambil menahan getar suaranya."Katakanlah jika kau memang ada masalah Aruna! Jangan kau pendam sendiri semua masalahmu, memang Bapak dan Ibu di kampung tak bisa membantu, namun setidaknya bagilah bebanmu itu. Bagaimanapun juga sampai detik ini kami adalah kedua orang tuamu! Kami adalah tempatmu kembali, Nduk! Jika kau tak kerasan lagi di Ibukota, maka pulang saja, Ibu dengan tangan terbuka akan menerimamu," jelas Ibu nya."Apakah aku harus berkata jujur semua yang sedang menimpaku sekarang? Bagaimana jika kedua orang tuaku syok mendengarnya?" sejuta pertanyaan menyelimuti benak Aruna sendiri."Bu, Aruna pulang dulu ya! Nanti sampainya di kos, Aruna akan menelpon balik Ibu," ujar Aruna sambil mematikan teleponnya tanpa menunggu jawaban sang Ibu. Aruna segera kembali ke kosnya. Dia duduk dan terdiam sambil memandangi balkon kamar yang mengarah ke hiruk pikuk padatnya jalanan Ibu kota. Sekarang pikirannya mengembara, bagaimana nasib jabang bayi yang sedang dikandungnya. Sedangkan dia tak bisa terus menerus membohongi kedua orang tuanya."Apa aku akan mengatakan semua ini pada Ibu sekarang ya? Tapi bagaimana jika Ibu menanyakan siapa bapak dari anak ini?" batin Aruna dalam hati sambil mengusap wajahnya kasar. Sampai malam Aruna terus merenung sampai lupa makan dan semuanya. Dia memutuskan untuk tak menghubungi kedua orang tuanya lagi. Bukan niat hatinya membuat keduanya khawatir, tetapi dia hanya menghindari rentetan pertanyaan dari ibunya. Dia ingin menenangkan diri dulu sambil mencari jalan keluar dan solusi atas hidupnya, apalagi dia sekarang tinggal di ibukota sendiri. Harus mengurus semuanya secara mandiri dengan biaya hidup yang lumayan tinggi. Pagi ini seperti biasa Aruna akan bersiap bekerja. Wajahnya nampak sembab karena terlalu banyak menangis dan kurang tidur semalam. Dia hanya terus berpikir bayangan suram kelak masa depannya. Bagaimana seorang wanita tanpa suami dan melahirkan seorang bayi, bagaimana jadinya kehidupan Aruna nanti. Telepon di nakasnya berbunyi, panggilan masuk dari ibunya. Sebenarnya Aruna sangat enggan sekali mengangkat telepon itu. Tetapi dia juga tak ingin membuat kedua orang tuanya bertambah khawatir. Dengan enggan Aruna mengangkatnya."Halo, Bu," sapa Aruna."Semalam ke mana saja kamu, Nduk? Mengapa tidak menelpon Ibu? Ibu dan Bapak menunggu sampai dini hari," kata Ibu Nyi Waluyo."Maafkan Aruna ya, Bu! Semalam Aruna sangat lelah dan tertidur. Sekarang Aruna ingin pergi bekerja dulu, Bu!" ujar Aruna berpamitan kepada ibu nya. Dia tak nyaman jika kelamaan bertelepon dengan sang Ibu."Aruna," panggil ibunya."Kau sedang tak baik- baik saja kan? Kau menghindari orang tuamu kan?" tebak Nyi Waluyo.APA JAWABAN YANG AKAN ARUNA KATAKAN?BERSAMBUNGPERGI DENGAN SEJUTA LUKA DAN DUKA!"Aruna," panggil ibunya."Kau sedang tak baik- baik saja kan? Kau menghindari Ibu kan?" tebak Nyi Waluyo."Bu...""Nduk! Dengarkan Ibu ya, sampai kapan kau mau memendam masalahmu sendiri? Apalagi kau anak perempuan dan tinggal di ibukota sendiri. Bukannya apa-apa, Ibu hanya ingin kau cerita jika memang masalahmu berat, Aruna. Ibu takut kau kenapa- kenapa di sana, kau anak kami satu- satunya jauh di sana," ujar Nyi Waluyo di seberang memotong pembicaraan Aruna."Bu, beri Aruna waktu menyelesaikan semua ini. Besok Aruna akan mencoba untuk mengajukan cuti ke kantor agar bisa pulang kampung. Aruna rindu Ibu dan Bapak," ujar Aruna Aruna semalam sudah membulatkan tekad hari ini untuk segera cuti. Entahlah dia akan kembali atau tidak ke Jakarta, semua itu tergantung keputusan orang tuanya nanti. Dia harus menyelesaikan semua tanggungan pekerjaan, agar dia bisa meninggalkan ibukota yang penuh dengan luka, serta mengungkapkan semua kejadian sebenarnya pada or
SELAMAT DATANG DI DUNIA, ABIMANA HADINATA WIJAYA!"Selamat tinggal Dion Hadinata Wijaya! Aku akan membawa benih yang kau tanam semalam, semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi," batin Aruna dalam hati."ARUNA!!!!" panggil seorang pria. Aruna menolehkan kepalanya ke belakang, terlihat Hendi sedang mengejarnya, dengan nafas yang ngos-ngosan dan berdiri tepat di samping Aruna."Ada apa?" tanya Aruna."Kembali lah! Kapanpun kau mau, aku sudah mendengar semuanya dari Pak Dion! Walaupun sekarang Pak Dion marah, tetapi aku yakin suatu saat nanti Pak Dion akan memaafkanmu. Kau tahu sendiri kan bagaimana Pak Dion itu tidaklah gampang cocok dengan sekretaris dan kau adalah satu-satunya sekretarisnya selama sepuluh tahun ini! Kembalilah kapanpun kau mau," ujar Hendi. Aruna hanya menganggukkan kepalanya dan kembali berjalan dengan tenang dia menikmati waktu detik-detik terakhirnya di ibukota ini.Sesampainya di kos- an, Aruna segera beristirahat karena kereta akan membawanya pukul sebelas pagi.
PERTEMUAN SETELAH LIMA TAHUN!Mau tidak mau, Aruna harus datang ke acara itu, mengingat bapaknya tidak dapat menghadirinya. Sedangkan ini adalah kesempatan emasnya untuk mengembangkan bisnis keluarga sekaligus untuk mencari uang sebanyak- banyaknya demi anaknya. Seagai seorang Ibu, Aruna harus mau untuk mengesampingkan ego nya sendiri. Toh, selama ini secara pribadi dia tak memiliki masalah dengan Dion. Rasanya kemungkinan kecil juga, Dion mau menghadiri acara tersebut. Karena Madiun adalah kota yang kecil bukanlah sebuah kota yang besar, jadi selama ini peluang Dion untuk datang sangat minim."Kau naik mobil sendiri, Nduk?" tanya juragan Waluyo."Iya tak masalah, Pak! Toh dekat sini saja, paling hanya satu jam menggunakan mobil. Aruna janji tidak akan pulang malam, titip Bima ya, Pak," ujar Aruna sambil berpamitan."Bima," panggil Aruna."Ya, Bu!" teriak Bima sambil mendatangi Ibunya."Ingat jangan nakal di rumah dengan Eyang, jangan lari- lari an," pesan Aruna yang di balas anggukan
PANGGILAN DARI IGD"Kenapa kau hanya diam saja, Aruna? Apakah semua ucapanku benar?" tanya Dion."Saya kira waktu lima tahun ini sudah membuat Bapak melupakan tentang masa lalu saya sebagai sekretaris, Bapak! Ternyata tidak....""Itu tidak akan mudah saya lupakan! Karena kau telah merendahkanku. Aku memang ingin melupakannya, tapi Tuhan tidak mengizinkanku untuk lupa atas perlakuanmu itu! Kau satu-satunya karyawan yang berani bersikap lancang padaku," ujar Dion sambil meninggalkan Aruna.Aruna hanya terdiam menatap kepergian Dion dengan menatap punggungnya. Dia bingung dan mengernyitkan keningnya heran dengan sikap Dion."Apakah Dion sudah menemukan surat tersembunyi di nakas? Apakah dia sadar?" batin Aruna dalam hati. Aruna segera berjalan dan menyingkir turun dari hotel. Entah mengapa air matanya menetes tak tertahankan, dia merasa rindu sekali dengan Dion. Namun tak bisa berbuat apapun, dia tak menyangka bisa bertemu mantan atasannya dalam situasi seperti ini. Aruna segera mengeluar
PERTEMUAN DION DAN BIMA KARENA PENYAKIT JANTUNG IDENTIK!Dion kembali ke kamar hotel setelah meninggalkan Aruna di kolam renang. Dia kemudian menyalakan shower dan mandi. Air hangat yang membasahinya nyatanya tak mampu menghapus ingatan Dion pada gadis itu. Dia masih teringat bagaimana gadis itu memandangnya tatapan sendu selama sepuluh tahun ini menemaninya selama menjadi sekertaris. Sampai dia tiba- tiba mengundurkan diri tanpa alasan."Ternyata kau memang Aruna! Aruna sekretarisku dulu, tapi kau mengapa merendahkan harga dirimu seperti ini? Padahal dulu kau sangat menjunjung kredibilitas dan branding dirimu sendiri, bahkan kau rela meninggalkan perusahaan demi pergi kembali ke kota kecil ini! Tapi kau mengapa seperti ini sekarang? Merendahkan harga dirimu sendiri, mengapa kau tak kembali ke perusahaanku?" batin Dion dalam hati. Setelah mandi dan memakai kimono handuknya, Dion segera keluar. Ternyata di luar sudah ada Hendi personal asistennya."Aku telah memeriksa dat
MENJADI HOT TOPIK LAMBE NDOWER!"Bye- bye Om!" kata anak kecil itu sambil berlari keluar rumah sakit toilet."Hey!" teriak Dion ingin bertanya siapa nama anak kecil itu.Namun saat Dion hendak mengejar anak itu ternyata dia kalah gesit. Anak lelaki itu sudah pergi entah mengambil jalan ke kanan atau ke kiri. Karena kamar mandi itu berada di pertigaan sudut rumah sakit, kemudian Dion pun segera berjalan sambil mengecek beberapa berkas yang telah dikirimkan oleh klien ke hp-nya. Dia sekalian mengecek serta membenarkan earphone yang di telinganya. Di sisi lain pertigaan itu Aruna tampak tergesa-gesa datang untuk kembali ke rumah sakit memastikan Bima dalam kondisi baik-baik. Sampai di pertigaan pas tak sengaja matanya menangkap bayangan Dion, dia terlonjak kaget. "Astaga mengapa dia ke sini? Apakah masalah jantung yang diderita oleh Pak Dion belum berakhir? Apakah ini juga yang menyebabkan Bima menderita penyakit itu? Karena faktor genetik?" batin batin Aruna dalam hat
PT. HADINATA WIJAYA COMPANY Tbk, "Apa maksud semua ini?" tanya Niken.Aruna menengguk ludahnya kasar. Dia tak menyangka perbuatannya semalam sudah menyebar di media sosial. Bahkan sampai masuk beberapa akun gosip, Aruna pun mencari hp-nya sendiri, karena dia dari pagi sudah sibuk dengan pengiriman barang dan kargo re- packing sayuran yang dia miliki. Sampai tak menyadari bahwa dirinya menjadi hot topik di Instagram. Aruna mencoba men- scroll beberapa alamat Instagram dan terduduk lemas.Dia baru menyadari bahwa istri Elbara adalah seorang pengusaha sekaligus selebritas di negeri ini. Pantas saja dia seperti pernah melihatnya, Aruna menghela napasnya perlahan dan menghembuskan perlahan. Dia tak menyangka jika semua akan terjadi seperti ini. Apakah ini yang menyebabkan Dion marah, tapi rasanya tidak mungkin juga. Karena Aruna juga tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Dion."Nduk, Ibu kan sudah bilang seberapa besarnya kota kita ini, semua akan mudah terekspos apalag
BERTEKAD MENEMUI DION!"Aruna! Hey Aruna! Mengapa kau diam saja?" tanya Rendy yang melihat Aruna melamun dengan melambaikan tangannya."Eh tidak kok, Mas! Aku cuma sedang memikirkan bagaimana cara agar Bima tetap bisa di operasi. Berapa lagi Bima bisa bertahan, Mas? Apakah Bima tidak bisa menunggu waktu setahun lagi, Mas? Barangkali jika memang bisa...""Tidak bisa! Karena Bima harus segera dioperasi secepatnya! Aku pun juga sangat bingung memikirkan hal ini. Mengingat beberapa pasienku memang memerlukan emergency penanganan jantung dan itu hanya bisa dilakukan di rumah sakit Surabaya itu! Bahkan profesor Tjahyadi sendiri kemarin sempat turun tangan! Tapi, dia tak bisa berbuat apa-apa juga, mengingat dia juga tak punya kuasa dan tak punya modal juga untuk bisa membeli lisensinya," jelas Rendi."Menurutmu apa yang bisa aku lakukan, Mas? Apakah aku harus menemui pemilik perusahaan itu dan mengatakan untuk tetap membukanya?" tanya Aruna."Hahaha! Itu sebenarnya hal
KEPUTUSAN ARUNA"Ibu, ayok kita temui Eyang," pinta Bima."Ayo Aruna kita harus segera menemui Juragan Waluyo, Ayahmu. Kita harus meyakinkannya bahwa kita bisa bersama dan semua akan baik-baik saja," bujuk Dion.Aruna memandangi wajah Dion dan putranya bergantian. Dia menghela nafas panjang, kedua lelaki ini memiliki sifat yang sama ketika sudah menginginkan sesuatu maka mau tak mau harus terpenuhi saat itu juga. Namun Aruna memiliki pemikiran lain, dia harus mempertimbangkan semua baik buruknya sebelum mengambil keputusan itu."Pak Dion, maaf. Bima maafkan Ibu ya, jika keputusan Ibu kali akan mengecewakanmu. Bima, tidak semua keinginanmu harus dipenuhi kan? Ada beberapa hal yang kau tidak bisa memaksakan kehendakm karena ada kehendak lain yang Ibu inginkan," kata Aruna."Kau tak boleh egois menginginkan semuanya harus sesuai dengan maumu," sambungnya.Dion pun langsung menoleh menatap ke arah Aruna. Dia menggeleng tak percaya jika Aruna akan menolak ajakannya. Dion menatap Aruna de
MEYAKINKAN ARUNA MEMBUKA LEMBARAN BARU "Aku tak ingin kau kenapa-kenapa, kemarin badanmu sangat demam sekali," kata Dion. "Tenanglah Pak Dion, aku Lebih tahu bagaimana dengan badanku. Apalagi semenjak aku menjadi seorang ibu maka aku harus bisa menghindari semuanya serta harus mengerjakan semua hal secara sendiri dalam kondisi apapun. Hebat bukan? Dan lagi, aku tak terbiasa tidur terlalu lama," kata Elena. "Apakah yakin sudah benar-benar baik?" tanya Dion mencoba memastikan karena khawatir bibir Aruna masih sangat pucat pasi. "Tentu," sahut Aruna. "Aruna aku ingin bicara serius dengaanmu," ucap Dion lagi. "Apakah benar kau dari rumah bapakku, PakDion?" tanya Aruna. Dion pun menganggukkan kepalanya. "Ya aku dari sana," jawab Dion memangku Bima dan duduk di lantai menghadap ke arah Aruna. Aruna tersenyum kecut, dia benar-benar tak mengira jika Dion akan berbuat senekat ini. Bukan tak senang dirinya diperjuangkan hanya saja dia takut Dion menghadapi kerasnya sifar Juragan Waluyo
NEGOSIASI DENGAN BIMA!Dia ingin segera memberikan kabar gembira itu pada Aruna dan tak mau menunda lagi. Takut jika kedua orang tua Aruna berubah pemikiran. Dia harus sesegera mungkin mengajak Aruna ke sana lagi.Dion pun segera melajukan mobilnya menuju ke apartemen milik Aruna. Dia segera menuju ke kamar milik Aruna yang memang sedang tertidur karena badannya belum sembuh benar. Untung saja Aruna sudah memberikan kode akses masuk ke dalam rumahnya. 'Ting' pintu pun terbuka, dia melihat sekelilingnya mencari anaknya."Bima! Bima!" teriak Dion memanggil Sang putra."Ya Ayah Baik," sahut Bima dari dalam kamarnya. Dion pun segera masuk ke dalam kamar. Da melihat putranya sedang asyik bermain Lego sendiri.Dia tak melihat Aruna di sana."Dimana ibumu, Sayang?" tanya Dion. Bima menole dan tersenyum ke arah Ayah Baiknya."Em, Ibu ya? Dia sedang tidur Ayah Baik. Katanya badannya masih tidak enak, tapi aku sudah menjaganya dengan baik. Aku sudah memastikan ibu untuk meminum obatnya sama
MERESTUI DENGAN SYARAT?"Semua saya lakukan demi Aruna dan demi Bima semuanya. Seperti yang Bapak tahu sendiri, sampai saat ini pun Aruna juga belum memiliki sosok lelaki lain. Apakah Bapak berpikir jika Aruna tidak lak? Tentu dengan tegas dan jawabannya bisa kita ketahui semua tidak itu alasannya. Aruna sangat cantik dengan segala potensi yang dia miliki. Bukankah masih menjadi tanda tanya mengapa dia tak pernah menikah atau menjalankan hubungan baru dengan lelaki lain kan, Pak? Mengapa Aruna melakukan ini semua dan sebagai seorang laki-laki tentu Bapak tahu apa jawabannya kan?" jelas Dion.Juragan Waluyo terdiam mendnegar semua penjelasan Dion panjang lebar itu. Pun dengan Nyi Waluyo, ya mereka semua tidak bisa memunafikkan semua yang dikatakan oleh Dion benar. Selama ini Aruna bukannya tak laku tetapi dia memang menutup diri dan dia tahu alasan anaknya itu apa, yaitu Aruna susah sekali jatuh cinta dan mungkin cintanya telah habis bersama Dion. Apalagi sekarang dia memili
PERJUANGAN DION DI MULAI! PART 1 "Sudahlah Pak apalagi yang mau ditutupi? Toh ini kenyataan semalam aku yakin juga Aruna juga sakit. Tapi pertanyaannya apakah ada yang merawat atau tidak. Apakah kau merawatnya, Nak?" tanya Nyi Waluyo. Dion menganggukkan kepalanya. "Ya, Bu. Saya merawatnya dengan baik dan memang benar semalam Aruna sakit. Tenang saja, saya sudah memberinya pereda panas dan membuat bubur," jelas Dion. "Syukurlah kalau kau memang memiliki sedikit perhatian kepada Aruna. Sebenarnya bapaknya dari semalam juga sangat khawatir padanya, namun kau paham kan kadang seorang lelaki tidak bisa mengungkapkan rasa sayangnya. Tapi dia tak mau menunjukkan kekhawatirannya itu pada Aruna," ucap Nyi Waluyo. "Kau tahu sendirilah kadang lelaki itu memang memiliki titik egois dan rasa cemburu kepada anak perempuannya yang sedikit berlebihan" ujarnya. Baru setelah mendengar pernyataan dari Nyi Waluyo itu sekarang dia mengerti ke mana arah
MEMBUKA TABIR MASA LALU DI HADAPAN ORANG TUA ARUNA"Berani juga kau ke sini!" kata juragan Waluyo dari arah samping. Dion pun menoleh, dia melihat juragan Waluyo datang dengan menggunakan tongkatnya dan memakai pakaian hitam-hitam nampak sangat elegan dan wibawanya sangat keluar. Beda dengan tadi malam yang mungkin karena diliputi amarah yang besar sehingga tak menampakkan wibawa juragan Waluyo. Seketika jantung Dion berdetak kers, dia segera menyalami Juragan Waluyo meskipun merasa sedikit ngeri juga dengan penampilan juragan Waluya yang terkesan seperti dukun bagi Dion. Juragan Waluyo hanya menanggapi sekilas lalu duduk."Duduklah!" perintah juragan Waluyo. Dion pun duduk di berhadapan dengan juragan Waluyo."Ti! Narti! Buatkan minuman untuk tamu, Ti!" perintah Juragan Waluyo lagi."Nggeh Juragan!" sahut suara seorang wanita dari belakang."Sialan sepertinya memang Aruna bukan berasal dari keluarga sembarangan. Ini mungkin yang disebut dengan orang kaya tetapi hidup di desa, sungg
MENDATANGI JURAGAN WALUYO!Pagi harinya Aruna terbangun saat sinar matahari datang, masuk ke kamarnya melalui kelambu. Aruna langsung mengerjapkan matanya. Dia melihat ke arah bawah, ternyata Dion sedang memegangi tangannya tidur di kursi sofa yang di dekatkan pada tubuhnya. Sedangkan Bima berada di pelukannya. Aruna pun mulai beranjak untuk membuat sarapan untuk mereka, untung saja semalam Dion dengan gesit merawatnya. Kepalanya sudah tak pusing lagi."Aruna kau sudah bangun? Masih pusing? Bagaimana keadaanmu?" tanya Aruna."Aku sudah lumayan Baik, Pak Dion. Kau tak papa tidur dibawah begitu? Apa kau tak masuk angin nanti? Kau tidur di ruangan AC tanpa selimut. Kau baik-baik saja? Aku buatkan susu jahe ya," kata Aruna mulai khawatir. "Tenanglah, Aruna. Ini semua tidak sebanding dengan apa yang kau dan Bima sudah rasakan dulu. Aku tak masalah, jadi kau jangan khawatir," jawab Dion."Terima kasih ya, Pak Dion. Terima kasih kau sudah merawatku, berkat dirimu aku merasa jauh lebih ba
Aruna Sakit!"Ibu, Ibu dan Ayah baik tak apa-apa kan? Kalian akan bersama kan?" tanya Bima."Tidur yuk!" ajak Aruna pada Bima.Dion menoleh, dia melihat Aruna memperjuangkannya seperti ini, tiba-tiba perasaan bersalah dan menyesal bergelanyut di benaknya. Dulu dia meninggalkan Aruna dan salah paham kepadanya sampai bertahun-tahun akhirnya Aruna harus menyimpan semua kesakitan ini sendiri. Kerasnya hidup mengasuh Bima, hambatan yang dilakukan dan dirasakan hanya bisa dirasakan dengan juragan Waluyo. Orang yang seharusnya tak ikut bertanggung jawab dalam masalah ini. Itulah yang membuat dia menutupi kebodohannya sendiri yang sangat egois. "Apakah Eyang tak suka dengan Ayah Baik? Apakah Eyang akan melarang Ayah Baik ke sini?" tanya Bima."Tidak kok. Eyang tak marah," kata Aruna."Lalu kenapa tadi Eyang langsung pulang dan marah?" tanya Bima."Mungkin Eyang lelah. Maaf ya jika kau harus terbangun. Sekarang tidur ya, Nak," perintah Aruna sambil menggendongnya."Ayah Baik, ayok! Temani Bi
NYI WALUYO TURUN TANGAN!"Eyang, Apakah Eyang Kakung tahu jika Bima dan Ayah baik memiliki persamaan? Kami memiliki penyakit yang istimewa dan hanya diderita oleh orang-orang tertentu saja. Bukankah selama ini Eyang dan Ibu selalu panik pada perasaan yang dirasakan Bima dan kesakitan ini? Tetapi sekarang rasanya Ibu dan Eyang tidak perlu khawatir lagi, karena ada Ayah Baik yang akan menemani Bima. Kami seringkali meminum obat bersama, karena memang kami harus minum vitamin untuk menjaga dunia. Benar kan Ayah Baik?" tanya Bima sambil mengusap air mata Dion yang juga turut jatuh.Juragan Waluyo langsung terdiam mendengar pernyataan cucunya itu. Ya dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika yang mengatakan hal seperti itu adalah Bima. Karena memang selama ini dia sangat mencintai Bima dan tidak ingin terjadi hal-hal mengerikan pada Bima."Eyang, kenapa Eyang harus marah-marah kepada Ayah Baik? Percayalah sungguh Ayah Baik ini adalah orang yang sangat baik sekali kepada Bima, juga pada Ibu