APA YANG KAU INGINKAN, PAK DION?"APA MAKSUDMU ARUNA?" tanya Dion.Aruna melengos menghindari tatapan tajam dari Dion. Sedangkan Hendi menatap ke arah Dion dengan penuh tanda tanya. Bagaimana mungkin Aruna mengatakan demikian. Dion dan Hendi saling melihat sesaat setelah Aruna mengangkat telponnya."Halo Miss Ling- Ling, bagaimana keadaan Bima? Di mana dia?" tanya Aruna saat mengangkat telepon guru kelas Bima."Halo! Bu Aruna, syukurlah luka Bima sudah di obati. Luka nya tidak parah karena benturannya tak terlalu keras. Kami menunggu Bu Aruna yang tak kunjung datang, kami sudah ada di lantai satu." kata Miss Ling Ling."Hah? Bima?" sahut Aruna terheran- heran."Iya, Bu! Kami tunggu di lantai satu ya, Bu," ucap Miss Ling Ling."Loh, bukankah Bima ada di ruang bedah jantung gawat darurat?" tanya Aruna."Hah bedah jantung? Bukan, Bu! Ini tak segawat itu kok, Bima hanya mengalami luka gores akibat bermain terlalu semangat dengan teman- temannya saja. Dia hanya jatuh saat di prosotan," jel
ANAKKU! ANAKKU! BIMA ANAKKU!"Kenapa Pak Dion sekarang terdiam? Pak Dion tak bisa menjawab pertanyaanku kan?" ejek Aruna."Saya tahu apa alasan Pak Dion diam tidak bisa menjawab semua perkataan saya! Karena Pak Dion memang tidak mau saya melahirkan anak Bapak kan?" kata Aruna lagi.Dion berjalan mendekati Aruna. Dia menatap wanita itu lekat- lekat. Terbesit rasa kasihan, gembira, sedih, senang menjadi satu. Betapa banyak penderitaan yang di lalui Aruna selama ini, namun dia bisa dan mampu menjalaninya sendiri.Dia berbeda dengan gadis di luaran sana yang berupaya menjebak Dion dengan meanfaatkan harta yang di milikinya. Sedangkan Aruna justru menolak semuanya memilih sendiri menjalani hidup dengan Bima putranya dan tak pernah menuntut apapun darinya."Ketika melahirkan Bima kenapa kau tak izin denganku, Aruna?" tanya Dion. Entah apa yang ada di pikiran Dion sampai bisa mengeluarkan kata seperti itu."Izin?" tanya Aruna heran mengernyitkan kedua keningnya."Untuk apa saya harus izin de
RENCANA DION MENGAMBIL HATI BIMA!"Coba kau pikir kembali Hendi, bukankah Bima memang sangat mirip denganku kan?" tanya Dion.Hendi pun membatin tapi memang benar perkataan Dion. Bima itu memang sangat mirip sekali dengan Dion kecil. Mulai dari wajahnya, rambutnya, kulitnya. Semua nya bahkan tingkah menyebalkannya."Kenapa kok aku tidak menyadarinya dari dulu ya?" ujar Dion."Dulu kan Pak Dion bilang tidak senang saat aku bilang Bima anakmu saat bermain bersama, bahkan kau menolaknya," ujar Hendi menyindir."Ehhm! Bukan begitu maksudku. Aku tidak bermaksud begitu!" kilah Dion."Oh ya Hendi, besok kau temani aku ke mall ya! Aku mau membelikan Bima hadiah. Menurutmu Bima suka apa ya?" tanya Dion bersemangat mencari HP di sakunya.Dion mulai mencari-cari mall mana yang sangat aman untuk anak dan memiliki fasilitas yang sangat lengkap di sini. Dia ingin mengajak Bima untuk bermain ke sana, menghabiskan waktu berdua. Ada perasaan senang yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan perasa
RENCANA DION MENGAMBIL HAK ASUH BIMA!Jujur saja Aruna masih sakit hati atas ucapan Dian tadi siang yang mengatakan bahwa tak ingin melihat dan menyaksikan kehadiran Bima. Padahal baginya seorang ibu Bima adalah sebuah anugerah dan keajaiban yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Bima adalah sosok malaikat penyambung nyawanya, dimana saat dia melihat sinar mata Bima semangat hidupnya akan kembali sesulit apapun rintangan yang dia lalui."Tuhan Apakah rencanamu sebenarnya?" gumam Aruna lirih sambil tidur dengan setengah duduk atas kursi makan dapur.Keesokan harinya di kantor Dion sudah mengundang seorang pengacara handal di Madiun. Tak tanggung- tanggung dia mengundang ketua PERADI di kota itu untuk konsultasi masalah hak asuh Bima. Semalaman dia sudah memikirkan masalah ini matang- matang."Pak Dion, Bapak Arif sudah datang," kata Hendi sambil mengetuk pintu lobi hotel yang menjadi kantor dadakan Dion."Hai Pak Arif! Selamat pagi, terima kasih kau sudah mau datang ya," kata Dion m
DUA PASANGAN YANG TINGGAL BERSAMA TANPA STATUS?"Kalau begitu bagaimana jika kau tinggal di rumahku saja?" tanya Arumi."Uhuk!" Steven langsung tersedak saat Arumi mengatakan hal itu.Dia memandang wajah Arumi, seolah tak percaya bahwa seorang wanita di hadapannya sanggup dan bisa mengatakan hal yang demikian."Bersiaplah kalau mau! Aku akan menjemputmu setelah pulang dari kantor! Aku sekarang harus kembali ke sana, karena ada beberapa pekerjaan yang tak bisa aku tunda lagi," pamit Arumi sambil segera berkemas.Dia melakukan hal itu karena salah tingkah sendiri telah mengatakan hal memalukan seperti itu pada Steven. Dia malu, apalagi kalau nanti Steven menolaknya. Arumi pun segera kembali ke kantor nya sambil menggerutuki kebodohannya sendiri."Bodoh! Bodoh! Bodoh! Arumi kenapa kau bodoh sekali? Memalukan! Membuatmu seperti tak punya harga diri, mengajak berondong tinggal bersama," ujar Arumi.Malam harinya seusai pulang bekerja, Aruna segera pulang
BIMA SI PENGKHIANAT KECIL!"Baiklah itu artinya Bima akan pindah ke rumahku!" ujar Dion."Hah? Apa katamu, Pak! Hahaha! Mimpi jangan harap ini bisa terjadi. Sampai kapan pun Bima adalah anakku dan akan tetap bersamaku! Dia akan tetap tinggal di sini! Jangan main- main Pak Dion!" ancam Aruna."Kau lupa siapa aku?" tanya Dion."Tidak! Aku tidak lupa siapa, Bapak! Memang Bapak atasan saya jika ada di kantor! Ini jam luar kerja dan bukan ada di kantor! Saya Ibu Bima, lalu Bapak siapa? Hah? Masuk ke rumah orang tanpa permizi atau izin!" bentak Aruna."Baiklah kalau begitu, itu artinya aku tidak boleh membawa Bima dan aku terpaksa pindah ke sini," kata Dion santai sambil berjalan membelakang Aruna tanpa merasa berdosa sama sekali.Dion memang sudah bertekad akan menebalkan mukanya meski Aruna nanti akan mengusirnya berkali- kali. Rasa cinta pada anaknya sudah membuat Dion lupa segalanya bahkan rasa malu. Dia rela mengesampingkan ego dan harga dirinya sendiri asal bisa bersama Bima."Jadi ak
DUA BANDIT KESAYANGAN ARUNA!"Bima masuk! Jangan mengintip pembicaraan orang dewasa!" teriak Aruna lagi.'Brak' Bima pun langsung menutup pintu kamar lagi. Dalam hati Dion tertawa cekikikan dengan tingkh Aruna dan Dion. Bukan takut dia justru nyaman dengan situasi ini. Ada perasaan nyaman dan kehangatan keluarga yang selama ini dia rindukan."Selain itu ini rumahku, Pak! Jika kau tidak pergi aku bisa lapor polisi," ujar Aruna.Dion mengalihkan pandangannya dia menatap Aruna. Dia menatap manik mata wanita di hadapannya. Memang tak salah jika suatu saat aroma melaporkannya kepada polisi karena dianggap mengganggu bahkan hari ini pun malam ini pun dia juga bisa melaporkan Aruna pada polisi namun Dion tak mau hal itu terjadi Karena bagaimanapun juga dia sangat menyayangi dan ingin selalu berada di samping anaknya."Aruna dengarlah aku ke sini untuk tidak mencari masalah. Aku melakukan ini semua demi Bima. Aku hanya ingin dekat dengannya dengan anak kandungku," ujar Dion."Bayangkan saja A
MASA KECIL BIMA!Bima merasakan dilema di antara kedua pilihan itu. Satu sisi dia sangat menyayangi ibunya karena selama ini hanya ibunya lah yang selalu berada di dekatnya. Sedangkan di sisi lain dia amat sangat menyukai sosok Om Baik yang setiap hari menemaninya. Bahkan Om baik adalah sosok yang selalu mewujudkan semua keinginan Bima."Bima, anak baik! Apa jawabanmu?" tanya Aruna."Ah syukurlah! Kalau begitu aku Ibu! Aku mau Om Baik yang menemaniku tidur malam ini!" jawab Bima."Stttt! Ayah Baik bukan Om Baik! Ayah Baik akan menemanimu tidur malam ini, Sayang," kata Dion sambil gembira karena merasakan kemenangan. Sedangkan Aruna hanya menatap keduanya sambil menggelengkan kepalanya. Dia geram naamun melihat tingkah Dion dan Bima membuatnya sedikit senang karena lega setidaknya ketakutannya selama ini tentang Dion yang akan mengambil Bima, atau menghilangkan Bima tak terjadi. Di depan matanya Aruna bisa melihat dengan sabar dan penuh kasih sayang, Dion menyayangi Bima."Dasar, peng