BIMA, ANAKKU BUKAN ANAKMU!
"Jangan takut dokter Rendi, aku tak akan marah padamu hari ini karena kebetulan sekali hari ini suasana hatiku sedang bagus! Aku tidak ingin berlibur sendiri akhir pekan ini. Bukankah waktu akhir pekan adalah waktu yang bagus untuk jalan- jalan? Ayo kita pergi makan bersama," kata Selly lagi mengirim voice itu.Hanya tanda centang dua. Kemudian Selly mengirim pesan lagi pada Rendi namun terlihat centang satu. Foto Rendi pun sudah tak ada, dia di blokir."Sialan! Dia berani memblokirku! Tunggu aku Rendi, kau memang hebat ya! Tapi tidak ada cinta yang sulit. Aku akan membuktikannya padamu! Tunggu Selly yang cantik dan pemberani ini! Awas kau, tunggu saja," ujar Selly.Telinga Rendi berdenging, konon katanya ada seseorang yang sedang menyebut namanya. Membuat Rendi bergidik ngeri mengingat betapa agresifnya Selly dalam mengejarnya. Rendi menghembuskan nafasnya pelan dan mengusap kasar wajahnya. Dia berjalan dengan langkah gontai menuju ruAKAL BULUS RENDI!"Bahkan aku bisa membeli jam inI! Padahal jam tangan ini hanya tersedia di pasaran Amerika dan layanan bantuan medis dari iBeat juga hanya tersedia di Amerika. Tapi, kabar baiknya iBeat sudah terhubung dengan rumah sakit di jakarta! Bahkan berkat kehebatanku aku bisa meloby nya sampai ke profesor Tjahyadi. Apakah beliau tak memberi tahumu?" sindir Dion lagi."Kau tak usah sok perhatian dengan Bima, anakku! Asal kau tahu saja., tidak ada yang lebih paham Bima dari padaku! Bahkan aku lebih tahu tentang penyakit jantung lebih darimu! Karena apa?" tanya Dion."Kau jangan sok tahu apalagi selalu melarang ini itu! Kau hanya dokter kemarin sore, sedangkan aku adalah orang yang telah mengalami penyakit ini sejak bayi! jadi aku tahu apa saja yang boleh dan tidak boleh di lakukan oleh seorang penderita penyakit jantung! Aku sangat menjaga Bima dan diriku sendiri, jam tangan ini akan sangat sensitif kalau ada masalah dengan jantung pemakainya! Benda ini akan menelepon polisi,"
DION ADALAH SOLUSINYA!"Hentikan! Aku bukan sengaja ingin menakutimu, aku hanya ingin melindungimu walau dari jauh," jawab Steven."Ahhh! Sialan, ambil tasku itu! Kau tak tahu itu adalah tas mahal," perintah Arumi. Dengan tampang polosnya Steven hanya menurutinya."Kau ya yang mengirim sarapan itu?" tanya Arumi. Steven menganggukkan kepalanya."Lalu apakah kau yang membuang sampah di depan pintu juga?" sambunya. Lagi, Steven menganggukkan kepalanya."Lalu apa maumu?" tanya Arumi."Aku hanya ingin minta maaf kepadamu, Kak. Tidak seharusnya aku menipumu, berbohong mengatakan bahwa aku masih sakit. Padahal aku baik- baik saja," kata Steven.Arumi pun langsung membalikkan badannya. Dia tak ingin Steven tahu bahwa dirinya kesenangan sendiri karena gengsi. Dia tak ingin menunjukkannya pada lelaki itu. Sesekali dia ingin di rayu berondongnya, namun rupanya Steven tak menyadarinya."Bailah maaf kalau aku menganggu Kakak dan membuat tak nyama. Namun, aku tahu bahwa Kakak tidak ingin melihatku
GETARAN RASA CINTA?"Pak Dion," panggil Aruna."Hmmm," sahut Dion sambil asik memainkan HP nya."Minta tolong boleh?" tanya Aruna."Jangan sok manis begitu di hadapanku! Itu terlihat menjijikkan Aruna," sahut Dion. Aruna cemberut."Pak Dion, cobalah sesekali Bapak lihat ini hasil kerjaku hari ini," pinta Aruna."Kau memberiku imbalan apa? Kau tahu kan setiap detik dan menit dalam hidupku sangat berharga. Bahkan aku bisa menghasilkan jutaan dollar dalam waktu sesingkat itu," jelas Dion."Baiklah! Aku akan memberikan Bapak kasih sayang Bima," jawab Aruna. Dion mencebik namun tersenyum juga mendengar celotehan wanita itu. Dion pun mengambil laptop Aruna. Dia melihat hasil kerja Aruna juga. Dion hanya menggelengkan kepalanya."Apakah kau yakin hanya ini yang bisa kau dapatkan dalam dua minggu proyek ini?" tanya Dion."Apa ada yang salah? Lihat lah ini, mulai dari resep yang akan kami gunakan, standart kebersihan, kualitas, dan chef yang di gunakan. Kami memiliki standart tersendiri, bahka
MAU TAPI GENGSI ALA DION!"Aruna?" panggil Dion."Ya," sahut Aruna."Apakah kau...." Dion tak menyelesaikan ucapannya. Dia menjadi ragu untuk menanyakan hal itu pada Aruna."Kenapa Pak Dion?" tanya Aruna penasaran."Ah tidak! Lupakan, lihatlah ke laptop aku akan menjelaskan beberapa informasi penting yang tak kau input dalam usaha dan management bisnismu," perintah Dion.Aruna menganggukkan kepalanya. Dia langsung fokus pada laptop Dion, Aruna terus menyimak penjelasan Dion. Entah kenapa berkali- kali juga dia gagal fokus menyimaknya. Alih- alih mengamati laptop, dia justru sibuk melihat wajah Dion dari samping. Wajah itu masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Meski usia Dion telah menginjak kepala empat lebih, namun wajah nya masih nampak muda. Bahkan Aruna melihat sisi maskulin Dion yang dari awal tak di sadarinya."Mengapa dia tak pernah menua? Justru di mataku dia sekarang terlihat sebagai lelaki yang amat sangat perlente. Akan susah untukku me
APA YANG KAU LAKUKAN PADA ARUNA?Malam ini Aruna pulang pukul dua pagi. Dia membuka pintu rumah Aruna. 'Ceklek' saat Aruna masuk ke dalam rumah dia melihat meja makan, terdapat satu buah nasi box di atas meja. Aruna berjalan mendekatinya."Semangat Aruna," tulisan di atas nasi box bento itu. Aruna pun tersenyum sekilas, dia mengambil makanan itu lalu menghangatkannya dalam microwave lalu memakannya."Mengapa Pak Dion rela melakukan semua ini?" tanya Aruna dalam hati sambil tersenyum. Keesokan harinya Aruna segera pergi ke kantor pagi hari. Dia menarik nafasnya panjang. Sesampainya di kantor dia segera mencari Arumi. Hari ini adalah hari penentuan. Mereka akan menghadap Om Hendro alias pemegang kekuasaan direksi perusahaan milik mereka bersama. Aruna berkali kali menarik nafasnya karena gugup. "Aruna apakah kau yakin Pak Dion akan melakukan ini? Apa kau yakin PT Hadinata Wijaya dengan senang hati dan sukarela akan membiayai dan investasi di perusahaan kita?
KECUPAN DI BIBIR DION!Rendi memasukkan Aruna ke dalam mobi. Dia pun melajukan mobilnya membelah lenggang nya jalanan kota Madiun. Dia bergegas ke perumahan milik Aruna. Setelah sampai parkiran, Rendi pun memapah Aruna lagi. Tak sengaja Dion melihat nya. Apalagi Dion juga baru saja tiba di rumah Aruna. Saat mengetahui Aruna mabuk dalam dekapan Redi, hatinya memburu. Dia langsung mendekati Rendi."Hati -hati Aruna," perintah Rendi. 'Plak' tepukan di bahu Rendi membuatnya menoleh. Nampak Dion berdiri di belakangnya."Apa yang kau perbuat pada Aruna?" tanya Dion menatap Rendi dengan tatapan menghujam."Hah? Aku? Apa kau tak salah bicara presiden direktur Dion?" sindir Rendi."Asal kau tahu saja, Aruna selama ini tak pernah mabuk! Jangan kan mabuk, dia pun tak pernah pergi ke Bar malam. Namun, semenjak mengenalmu dia menjadi seperti ini! Bukankah ini pelampiasannya karena terlalu setres bekerja? Atau mungkin juga karena kelakuanmu seperti ini!" sambung Rendi."
APAKAH SAYA MENCIUM PAK DION?'Cup' Dion terdiam dengan perlakuan Aruna. Dia mendoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Setelah mencium bibir Dion, Aruna pun tersenyum dengan penuh arti."Kau dulu melakukan itu padaku dengan sangat kasar! Bahkan aku tak sadar melakukannya karena kau Pak Dion terlalu mendominasi! Tak pernah melakukannya dengan lembut, sekarang aku bisa membalasmu! Bukankah lebih enak jika di lakukan dengan pelan, lembut, dan penuh perasaan, Pak?" taya Aruna."Pak Dion!" panggil Aruna."Asal kau tahu selama ini aku hanya melakukannya denganmu," kata Aruna langsung ambruk lagi.Dion masih terdiam beberapa saat, dia memandang Aruna. Selama ini dia sangat menjaga dan tak pernah berhubungan dengan wanita lain selain Aruna. Dia memang tak pernah melakukannya dulu karena dia tak tertarik dengan wanita. Tidak. Dia tak melakukan itu karena takut ada wanita yang mengandung benihnya, sehingga dia akan melahirkan anak yang mengalami penyakit jantung
DION PUBER KEDUA?"Pak Dion, saya benar- benar ingin tanya padamu," ujar Aruna."Hhmmmm," sahut Dion sambil mengambil gelas kopinya."Apakah saya melakukan itu pada Pak Dion? Apakah saya mencium bibirmu, Pak?" tanya Aruna. 'Byur' kopi itu langsung menyembur mengenai laptop di depan Dion. Hal itu refleks di lakukan Dion karena dia pun terkejut dengan perkataan Aruna yang sangat tak di sangka oleh Dion. Aruna pun memandangi tingkah Dion dengan mengenyirtkan keningnya heran."Kenapa Pak Dion seperti itu?" tanya Aruna sambil bergegas segera mengambil tisu di atas meja dan mengelap laptop di hadapan Dion."Pak Dion, kenapa kau ceroboh sekali! Kau tahu kan ini laptop cukup mahal! Meski pun ini laptop milikmu rasanya sayang sekali jika terkena kopi bukan? Bagaimana kalau rusak?" tanya Aruna sambil memberisihkan sisa- sisa cipratan kopi itu."Sudah jangan minum kopi di depan laptop lagi. Saya takut kau akan menyembur lagi ke sini," omel Aruna."Bukan! I