Sorenya, aku dan Lavi sungguhan ke gelanggang.
Namun, di detik pertamaku menginjakkan kaki di padang rumput, aku sudah berniat putar balik kembali ke jalur penghubung, tetapi Lavi lebih cepat menangkap dan menyeretku ke gelanggang. Jadi, aku tahu ini sudah dia rencanakan. Aku tahu dia sudah membicarakan ini dengan Haswin.
Gelanggang ramai dengan tim bertahan. Kandidat baru sedang dilatih oleh tim bertahan—yang itu artinya dilatih Yasha, Elka, dan Lukas—yang dalam artian lainnya juga dilatih oleh Hela, Ravin, dan Calvin. Sungguh, aku tidak paham lagi apa yang sebenarnya diinginkan Lavi. Aku hampir mendesis, tetapi merasakan aura Lavi—benakku bungkam begitu saja. Lavi begitu serius.
Tentunya kandidat baru semakin tegang melihat kedatangan kami.
Kandidat baru yang sekarang cukup banyak. Bila ditambah dengan kandidat yang tidak lulus-lulus jumlahnya sekitar dua puluh lima. Aku bahkan masih melihat kandidat baru yang sudah ada saat aku tiba.
Malamnya, selesai menidurkan Fal di kamarku, aku keluar membuat burger untuk diriku sendiri. Aku sempat mengintip kamar Reila, memastikan dia tertidur atau tidak, ternyata sudah. Dia terlelap begitu nyenyak. Dia memang jarang berhasil tetap bangun melewati tengah malam. Sebenarnya aku juga tidak berniat mengajak dia ikut membuat, tetapi karena dia selalu takut kalau aku bicara sendiri, aku harus memastikan dia tidak akan mendengar obrolanku dengan Bibi.Jadi, saat aku memanggang sedikit daging sapi dan menggoreng telur untuk isi burger, aku menceritakan pada Bibi semua yang terjadi setelah Bibi pergi dari Rumah Pohon—sampai ke surat yang membuat energi gelapku bangkit. Cukup sulit bercerita ketika aku sudah mencium aroma daging yang menggoda perutku, tetapi aku berhasil membuat Bibi mengerti semua alur ceritaku. Aku berkonsentrasi pada susunan burger—roti, mayones, saus, selada, tomat, bombai, gabungan daging dan telur, mayones lagi, saus lagi, roti—ini burg
Di hari keberangkatan misi, Lavi begitu heran padaku karena terlelap seperti orang yang tidak pernah tidur seribu tahun. Aku baru bangun di siang hari, sekitar empat jam sebelum keberangkatan. Dia begitu khawatir mendapati mataku sembab seolah dalam tidurku, aku menangis sepanjang waktu. Kubilang aku tidak masalah dan siap berangkat misi. “Ini bukan sembap. Ini efek bangun siang.”Secara teknis, aku memeluk Bibi di Perbatasan sangat lama dan rasa kantuk menyerangku begitu saja setelah menangis di kehangatan pundak Bibi. Andai saja Bibi tidak sadar aku hampir tertidur, mungkin aku sudah terjebak di sana dan tidak pernah bisa kembali kemari lagi. Perlahan, aku semakin benci meninggalkan Bibi di Perbatasan. Aku benci melihatnya sedih, dan melebihi itu, aku benci mendapati diriku sendiri harus meninggalkannya yang sedang bersedih. Aku tidak sanggup melihat Bibi melambaikan tangan dengan senyum dan bekas air mata. Ketika Bibi berdiri di kejauhan—di momen ketika p
Area awal misi kali ini—lagi-lagi dan lagi—adalah hutan.Penjelajahan area hutan tidak pernah lebih baik dari: medan yang tidak rata, pohon yang tata letaknya sungguh tak karuan, lumut hijau yang menutup batu dan membuat pijakan tergelincir, embun pagi padahal sudah tidak pagi, hewan-hewan melata mulai dari kecil sampai berbahaya, monyet-monyet yang menyeberangi satu dahan ke dahan lain seolah tidak takut manusia, rumput-rumput liar yang membuat kulit gatal-gatal—tetapi aku sudah kebal, jadi Lavi yang kebanyakan mengeluh soal itu—dan masih banyak lagi pola-pola alam liar yang selalu sama. Satu-satunya hal baik yang kualami, dan mungkin akan kualami sampai kapan pun: Lavi di sisiku.Lavi selalu seperti ini: membicarakan hal-hal remeh seolah kami tak pernah dua puluh empat jam bersama di Padang Anushka—seolah aku tidak pernah tahu apa yang dia lakukan selama jam kosongnya—tetapi sebenarnya dengan cara paling aneh terkadang aku juga tid
Aku bangun lebih dulu dari Lavi, mencubit pipinya sampai Lavi terganggu dan berhasil mengumpulkan kesadaran. Aku sudah bersiap dia akan marah-marah dan bangkit melampiaskan kekesalan, tetapi saat akhirnya bangun, dia tersenyum. “Menikmati melihat wajahku?”“Kau harus membantuku berburu,” kataku. “Perutku keroncongan.”“Aromanya enak.”“Jangan tidur lagi,” aku menjewer pipinya sampai dia bangun.Dia menggerutu banyak hal ketika kami keluar lubang istirahat. Kami tidak berniat meninggalkan tempat itu—hanya berburu lalu kembali dan memasak semua bahan—tetapi Lavi sudah mengeluh habis-habisan. Dia mengerucutkan bibir, jelas cemberut. “Ini bahkan belum pagi.” Dan dia benar. Ketika kami keluar, matahari baru mau terbit, tetapi ini waktu tepat untuk berburu.“Tidak ada riwayat hewan keluar di awal pagi,” gerutunya.“Itu menurutmu. Menurutku, riwaya
Ada beberapa hal yang berhasil kuingat tentang Leo yang namanya jarang terucap di kalangan penghuni. Pertama, Isha pernah membicarakannya. Kedua, dia putra kedua Dokter Gelda. Ketiga, dia pacar Mika sampai dinyatakan hilang.Kuakui aku juga terkejut dan tiba-tiba kepalaku bekerja jauh lebih cepat dari yang biasanya terjadi. Kupikirkan Mika, Haswin, Dokter Gelda—momen saat Leo hilang adalah momen yang membuat mereka berubah seratus delapan puluh derajat. Dia hilang, tidak kembali lagi, Haswin merasa bersalah atas kehilangannya, Mika semakin pendiam, Dokter Gelda semakin dipenuhi nuansa berduka setelah kembali gagal melindungi putra terakhirnya—dan ternyata, dia di sini, masih hidup.Setidaknya, untuk beberapa lama lagi.Aku langsung ikut berjongkok bersama Lavi, membuat Lavi sadar dan bisa kembali fokus dari keterkejutannya. Kuanggap aku kurang ajar, tetapi aku menepuk dua pipinya, memaksanya menatap mataku.“Dengar, dia sudah sekarat. Ki
Kondisi Zafar ketika ditemukan sudah tidak memungkinkan lagi untuk kami bawa ke Padang Anushka. Salah satu lengannya putus dan dilihat dari kemungkinan mana pun, setelah membawa Leo di punggungku, aku tidak bisa membiarkan kami terjerumus ke kondisi yang lebih berbahaya karena membawa jasad manusia. Darah Zafar mungkin sudah beku dan hanya jasad tidak bernyawa, tetapi mengingat alam liar yang beberapa hari terakhir bergejolak dan adanya kemungkinan ancaman dari monster, dengan berat hati, aku membuat Lavi memutuskan, “Makamkan di sini.”Kami membuatkannya makam di dekat air terjun.Lavi memberinya setangkai bunga dan batu nisan berukiran namanya. Dia berhasil mengambil pedangnya, yang sudah tumpul—bergerigi di mata pedangnya. Dari semua yang bisa kami identifikasi dari barang bawaannya yang membuktikan betapa dia sudah berjuang di alam liar—kami hanya menemukan pedangnya.Setelah Lavi berdiam cukup lama bersimpuh di depan batu nisan dan s
Perjalanan kembali kami cukup aman untuk beberapa lama—Leo berada di punggungku, masih tidak sadarkan diri dan tak akan terjaga sampai setidaknya kami tiba di Padang Anushhka—Lavi di sebelahku, kami agak berlari melintasi alam liar. Cukup sulit menjaga ritme lari sembari terus mengawasi sekitar, jadi aku meminta Lavi ikut merasakan sekitar. Sebenarnya aku bisa melakukannya sendirian, tetapi selagi ada yang bisa mengonfirmasi yang kurasakan—sekaligus untuk menghindari bermain pahlawan—aku meminta Lavi.Semua berjalan mulus sampai kami kembali bertemu hutan lembap.Hawa membunuh mendadak terasa.Aku dan Lavi sedang dalam kecepatan tinggi, tidak bicara apa pun, dan bila memang ada suara, langkah kaki kami jelas terdengar. Jadi, ketika kecepatan kami tidak lagi di kondisi yang bisa mengerem mendadak, satu-satunya yang dilakukan kami untuk merespons nuansa pekat itu hanya satu: menyerang.Dan datang: gerakan pertama Lavi, plus
Pertempuran kami hanya sekejap, tetapi daya hancurnya begitu luar biasa. Lavi memang cocok untuk pertempuran skala luas.Aku baru menyadari betapa hancur area sekitar kami setelah serangan kilat raksasa dari Lavi. Tanah hancur pecah belah di lokasi jatuhnya petir. Pohon-pohon ada yang terbakar meski tidak merambat. Tanahnya gosong. Sungguh, kerusakan yang ditimbulkan serangan Lavi punya skala lebih besar dari yang kubayangkan.Dua blasteran di dekat musuh sudah tidak bernyawa.Kabar baik dan kabar buruknya, sang musuh ini masih hidup.Kami bisa saja menghabisinya saat itu juga, tetapi Lavi punya ide yang lebih bagus. “Aku mau cari tahu sedikit.”Kami melilit tubuh pria itu dengan sulur, lalu menggantungnya seperti akar gantung. Kata Lavi, “Mirip sarang lebah.” Ya. Sarang lebah yang punya wajah agak hancur. Hidungnya bengkok ke arah salah, tampaknya sudah sulit bernapas. Kalau dibiarkan, dia bisa mati. Jadi, aku meninjunya.
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak