Satu hal yang membuatku tercengang, Lavi menghampiriku bukan dengan niat duduk, tetapi mengulurkan tangan. Tanganku otomatis menyambutnya, jadi dia memelukku. Aku tidak tahu dia sadar atau tidak, tetapi aku tidak sadar. Aku refleks menerimanya, jadi itu pertama kali Lavi membuatku sungguhan kosong.
“Kau membuatku jantungan,” gumamnya.
Suaranya sangat dekat. Perutku teraduk-aduk. Mataku sepenuhnya terbuka. Indraku berfungsi sempurna. Aromanya seperti lemon, tercium sampai membuatku berdebar-debar. Rasanya aku bisa menghitung berapa banyak helai rambut pirang Lavi. Itu membuatku teringat akan gagasan Isha tentang Lavi—bagaimana dia bisa tetap percaya ketika Dalton hilang tiga minggu. Kupikirkan itu yang baru terjadi—bahwa Lavi masih percaya pada setiap detik ketika aku hilang.
“Mm ... maaf. Aku tersesat.”
“Jangan bodoh. Hilang di antara kabut bukan tersesat.” Aku bisa merasakan kecemasan dalam cengkeraman di punggungku—betapa dia memikirkan semua hal bu
Kali berikutnya aku terbangun sudah malam hari, tetapi aku tidak yakin itu malam yang sama saat aku tertidur atau sudah pagi. Klinik kosong. Selimut masih membungkus tubuhku. Dokter Gelda tidak ada di ruangan, tetapi surat tergeletak di samping mangkuk hangat. Supnya sungguhan terjaga sejak aku tidur.“JANGAN LUPA ISI PERUTMU.”Benakku masih hangat, tetapi ketika sup itu masuk ke tenggorokanku, yang hangat bukan benakku lagi, tetapi semuanya—seolah makanan ini memiliki sesuatu yang dibutuhkan tubuhku sejak mulai tertidur. Gelenyar itu menggerakkan tangan, bahkan tanpa perlu berpikir. Hanya terus makan, makan, dan makan.Semangkuk itu membuatku dipenuhi semangat baru.Jadi, aku membawa diri keluar klinik. Padang rumput langsung terlihat. Itu pertama kali aku melihat Padang Anushka dalam kegelapan malam yang sunyi saat semua penghuni terlelap dalam keheningan memabukkan. Tenang, dingin, tetapi juga indah. Bintang gemerlapan—jutaan bi
Kembali ke Gerha, aku bawa seember ikan siap dibakar.Aku tidak ada minat tidur. Sepertinya Dalton juga, tetapi ketika fajar tiba, kami memutuskan kembali ke Gerha. Ember kami penuh—milikku bahkan sampai tidak cukup. Aku punya ide membakar ikan bersama, tetapi Dalton tidak berminat, jadi, pada akhirnya, aku membersihkan semua ikan di halaman belakang, berusaha menumpuk batu dan kayu bakar yang kukumpulkan, lalu bersenang-senang. Kali ini aku punya bumbu. Rasanya tidak akan hambar.Pagi baru tiba, jadi kabut masih di sekitar.Pemandangan di depan halaman juga lumayan. Di balik semak-semak agak terdengar suara air terjun, jadi suasananya menyegarkan.Menurutku, ini kasta terindah merokok. Menghirup asap pembakaran ikan yang sedap, lalu mengembuskannya dengan perut berbunyi. Luar biasa. Sayangnya, kali ini sup Layla sudah cukup membuatku perutku penuh.Aku sempat khawatir akan dimarahi tim stok karena memancing seenaknya, tetapi Dalton bilang, s
Aku sedang menikmati jus apel saat Jesse memanggilku ke ruangannya.Kuakui cara memanggilnya inovatif. Dia menelepon Gerhaku yang suara deringnya memekikkan telinga. Aku baru mau mengomel, tetapi dia hanya bilang, “Ke ruanganku. Lima menit,” lalu menutup telepon.Kalau dia pikir aku bakal menurut—kali ini dia benar.Namun, Dalton menghadangku di depan Gerha. “Mau ke mana?”“Tim peneliti.”“Pesananmu.” Dia memberiku sesuatu. “Sudah jadi.”Aku tidak akan kaget dia bisa membuat sesuatu sangat cepat, tetapi untuk ini keterlaluan cepat. “Kau seperti bukan manusia, tapi makasih.”“Habis dari tim peneliti, temani aku main bola.”Kami sepakat, lalu aku meluncur ke Balai Dewan. Ruangan Jesse, tidak lain dan tidak bukan ruangan tim peneliti. Dia punya otoritas tertinggi di antara anggota tim peneliti—terutama karena Nuel tidak mau cari masalah
Untuk pertama kali sejak tiba di Padang Anushka, mimpi menemukanku.Cuacanya mengamuk.Langit meluapkan amarahnya. Hujan turun bagaikan badai, angin berembus layaknya puting beliung yang terus berputar. Di kejauhan, petir berderak menggila di segala arah, guntur bersahutan mengguncangkan tanah.Kondisi sekitar kacau balau. Tanah hancur layaknya telur pecah. Beberapa orang bergelimpangan penuh darah. Dunia bagaikan jatuh dalam kegelapan pekat. Darah tersebar. Tidak ada bintang, bulan—hanya awan segelap kematian.Kemudian di tanah terbuka berdiri dua orang misterius.Hujan menyiram darah di tubuh mereka. Salah satunya hitam pekat, penuh pendar hitam yang melayang-layang. Hanya lengan dan telapak kaki yang terlihat punya warna. Sabit besar di tangannya layaknya dewa kematian yang terbentuk dari kegelapan. Bilah tajam memancarkan sensasi meminta darah.Satunya lagi, pria bertopeng. Memakai jubah hitam dengan topeng penuh bercak darah. Di t
Sejatinya saat itu masih gelap, tetapi sebentar lagi fajar tiba.Beruntungnya, aku tidak punya masalah dengan kegelapan. Ini jam rutinku terbangun untuk lari gunung. Padang Anushka membuatku terlena. Kenyataan aku tidak perlu bangun sebelum fajar membuat alam bawah sadarku terbebas, dan, pada akhirnya, aku kesiangan. Bulan yang bercahaya di ujung malam sukses membuatku bernostalgia pada momen-momen itu.Lampu minyak membantuku menembus semak-semak, tetapi ketika berada di lembah air terjun, bunga biru itu tidak terlihat. Itu membuatku enggan mencari. Suara air terjun yang biasanya menyegarkan, kali ini agak menekan seperti menolak kedatanganku. Kuputuskan berkeliling sedikit—dan mataku tiba-tiba menemukan sesuatu yang berkelip. Tersembunyi di antara semak tinggi.Bunga biru itu berkilauan indah.Tidak ada larangan memetik, jadi aku membawa seikat, lalu membawa satu mahkota ke halaman belakangku, menanamnya begitu saja. Aku sedikit mengerti soal berk
Di Gerha Dalton, aku menanyakan cara kerja telepon.Dia sepertinya sehabis latihan. Seluruh tubuhnya dipenuhi keringat, tetapi itu bukan hal yang cukup penting karena Gerhanya lebih bau dari keringatnya. Dan itu bukan lagi bau keringat, melainkan bensin, oli, asap pembakaran, atau apa pun yang berhubungan dengan montir. Momen kejatuhan Dalton berhasil membuatnya menciptakan banyak hal baru. Itu cukup membuatku tercengang.“Telepon?” teriaknya. Dia sedang menyalakan diesel, kami harus berteriak, meski, secara teknis, di dalam Gerha. “Kau harus punya nomor!”“Nomor apa?” teriakku.“Nomor telepon!”“Di mana aku bisa dapat nomor telepon?”Dia meminta jeda sebentar, beranjak ke ruang belakang Gerhanya, dan suara itu hilang. Dia kembali sembari membawa dua cangkir berisi cairan hitam. Kuakui aku ragu dia benar-benar membuat kopi, atau menyuguhkan oli.“Teriak bikin capek,&rdq
Ruang Anggara sudah penuh saat kami tiba.Semua pemilik kemampuan yang kukenal ada di sini—kecuali Aaron. Saat itu nuansanya jauh berbeda dari saat aku pertama masuk.Dalton, Jesse, dan Nuel membicarakan sesuatu di depan layar. Tampaknya mereka melihat Padang Anushka dari atas. Pemandangan hutan malam itu tampak tidak jauh beda dengan hutan belantara lain. Namun, padang rumput jelas terlihat berbeda. Reila mengajakku bergabung, dan kudapati Elton berbincang dengan Isha, sementara Lavi di dapur, membuat minuman.“Datang juga akhirnya,” sambut Jesse.“Ke mana saja kau?” tanya Dalton. “Latihan?”“Latihan panah di halaman belakang,” jawab Reila, mewakiliku.“Memangnya kelihatan?”“Sinting,” komentar Nuel. “Aku lihat dia adu pedang dengan Elka. Mereka seperti mau saling bunuh. Tertawa tiap pedang bertemu.”Aku tidak memikirkan ini saat memasuki
“Sudah puas berciuman?” sambut Jesse, melihat kami kembali.Isha tertawa. Dalton dan Nuel sedang bermain catur. Reila menepuk tangan, entah maksudnya apa. Namun, yang paling fenomenal: reaksi Lavi yang bertanya di punggungku. “Kau mau dicium?”“Oh tidak. Kau berharap aku jawab apa?”“Jangan suka marah,” kata Nuel, pasti ke Lavi. “Kasihan dia.”“Kau tidak keberatan, kan?” tanya Lavi, mencubit pipiku.“Astaga, diamlah,” kataku.“Dasar sensitif.” Kali ini dia menyetrum, yang membuatku mendesah.“Sepertinya kita tahu sumber masalahnya di mana,” kata Nuel. “Duduklah. Capek menunggu kalian. Kita ada cerita penting.”Akhirnya, Lavi turun. Aku ingin duduk di sisi Reila lagi, mengeluh banyak hal, tetapi Lavi tidak membiarkanku pergi. Dia menarikku, duduk di sisinya, dan bilang, “Apa masalahmu?” Isha, yang,
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak