Untuk pertama kali sejak tiba di Padang Anushka, mimpi menemukanku.
Cuacanya mengamuk.
Langit meluapkan amarahnya. Hujan turun bagaikan badai, angin berembus layaknya puting beliung yang terus berputar. Di kejauhan, petir berderak menggila di segala arah, guntur bersahutan mengguncangkan tanah.
Kondisi sekitar kacau balau. Tanah hancur layaknya telur pecah. Beberapa orang bergelimpangan penuh darah. Dunia bagaikan jatuh dalam kegelapan pekat. Darah tersebar. Tidak ada bintang, bulan—hanya awan segelap kematian.
Kemudian di tanah terbuka berdiri dua orang misterius.
Hujan menyiram darah di tubuh mereka. Salah satunya hitam pekat, penuh pendar hitam yang melayang-layang. Hanya lengan dan telapak kaki yang terlihat punya warna. Sabit besar di tangannya layaknya dewa kematian yang terbentuk dari kegelapan. Bilah tajam memancarkan sensasi meminta darah.
Satunya lagi, pria bertopeng. Memakai jubah hitam dengan topeng penuh bercak darah. Di t
Sejatinya saat itu masih gelap, tetapi sebentar lagi fajar tiba.Beruntungnya, aku tidak punya masalah dengan kegelapan. Ini jam rutinku terbangun untuk lari gunung. Padang Anushka membuatku terlena. Kenyataan aku tidak perlu bangun sebelum fajar membuat alam bawah sadarku terbebas, dan, pada akhirnya, aku kesiangan. Bulan yang bercahaya di ujung malam sukses membuatku bernostalgia pada momen-momen itu.Lampu minyak membantuku menembus semak-semak, tetapi ketika berada di lembah air terjun, bunga biru itu tidak terlihat. Itu membuatku enggan mencari. Suara air terjun yang biasanya menyegarkan, kali ini agak menekan seperti menolak kedatanganku. Kuputuskan berkeliling sedikit—dan mataku tiba-tiba menemukan sesuatu yang berkelip. Tersembunyi di antara semak tinggi.Bunga biru itu berkilauan indah.Tidak ada larangan memetik, jadi aku membawa seikat, lalu membawa satu mahkota ke halaman belakangku, menanamnya begitu saja. Aku sedikit mengerti soal berk
Di Gerha Dalton, aku menanyakan cara kerja telepon.Dia sepertinya sehabis latihan. Seluruh tubuhnya dipenuhi keringat, tetapi itu bukan hal yang cukup penting karena Gerhanya lebih bau dari keringatnya. Dan itu bukan lagi bau keringat, melainkan bensin, oli, asap pembakaran, atau apa pun yang berhubungan dengan montir. Momen kejatuhan Dalton berhasil membuatnya menciptakan banyak hal baru. Itu cukup membuatku tercengang.“Telepon?” teriaknya. Dia sedang menyalakan diesel, kami harus berteriak, meski, secara teknis, di dalam Gerha. “Kau harus punya nomor!”“Nomor apa?” teriakku.“Nomor telepon!”“Di mana aku bisa dapat nomor telepon?”Dia meminta jeda sebentar, beranjak ke ruang belakang Gerhanya, dan suara itu hilang. Dia kembali sembari membawa dua cangkir berisi cairan hitam. Kuakui aku ragu dia benar-benar membuat kopi, atau menyuguhkan oli.“Teriak bikin capek,&rdq
Ruang Anggara sudah penuh saat kami tiba.Semua pemilik kemampuan yang kukenal ada di sini—kecuali Aaron. Saat itu nuansanya jauh berbeda dari saat aku pertama masuk.Dalton, Jesse, dan Nuel membicarakan sesuatu di depan layar. Tampaknya mereka melihat Padang Anushka dari atas. Pemandangan hutan malam itu tampak tidak jauh beda dengan hutan belantara lain. Namun, padang rumput jelas terlihat berbeda. Reila mengajakku bergabung, dan kudapati Elton berbincang dengan Isha, sementara Lavi di dapur, membuat minuman.“Datang juga akhirnya,” sambut Jesse.“Ke mana saja kau?” tanya Dalton. “Latihan?”“Latihan panah di halaman belakang,” jawab Reila, mewakiliku.“Memangnya kelihatan?”“Sinting,” komentar Nuel. “Aku lihat dia adu pedang dengan Elka. Mereka seperti mau saling bunuh. Tertawa tiap pedang bertemu.”Aku tidak memikirkan ini saat memasuki
“Sudah puas berciuman?” sambut Jesse, melihat kami kembali.Isha tertawa. Dalton dan Nuel sedang bermain catur. Reila menepuk tangan, entah maksudnya apa. Namun, yang paling fenomenal: reaksi Lavi yang bertanya di punggungku. “Kau mau dicium?”“Oh tidak. Kau berharap aku jawab apa?”“Jangan suka marah,” kata Nuel, pasti ke Lavi. “Kasihan dia.”“Kau tidak keberatan, kan?” tanya Lavi, mencubit pipiku.“Astaga, diamlah,” kataku.“Dasar sensitif.” Kali ini dia menyetrum, yang membuatku mendesah.“Sepertinya kita tahu sumber masalahnya di mana,” kata Nuel. “Duduklah. Capek menunggu kalian. Kita ada cerita penting.”Akhirnya, Lavi turun. Aku ingin duduk di sisi Reila lagi, mengeluh banyak hal, tetapi Lavi tidak membiarkanku pergi. Dia menarikku, duduk di sisinya, dan bilang, “Apa masalahmu?” Isha, yang,
Keesokan paginya, sarapan berlangsung ricuh bersama Profesor Merla dan Layla—yang sungguhan berisik karena Layla menceritakan semua yang dia ingat tentang permainan masa kecil. Kupikir aku versi bocah kecil kedengaran lumayan menyenangkan, iseng—kata Profesor Merla warisan tulen ibuku—pemberani yang tidak punya takut, dan suka bicara hal-hal aneh yang tidak bisa dimengerti banyak orang—seperti, “Burung raksasa yang sayapnya lebar.”“Aku tidak yakin dinosaurus masih hidup,” kataku, tak percaya.“Itu monster,” kata Profesor Merla. “Kasus yang cukup jarang ditemui anak delapan tahun. Biasanya mereka belum bisa lihat monster.”“Oh, wow.” Sebenarnya aku sudah tahu itu, tetapi berharap ada lelucon soal monster saat bersama dewan—itu memang tidak cocok.“Omong-omong,” Layla tidak sabar mengganti topik. “Mom, aku tidak tahu Forlan punya adik. Memangnya, dia
Rapat dewan kali ini langsung mengundangku, Elton, dan Reila.Pendopo tetap pendopo yang mencekam. Bedanya, semua dewan kini hadir. Profesor Merla duduk di sebelah Mister, tersenyum penuh makna. Aku tidak terlalu masalah karena biasanya Lavi juga sering melihat dengan cara serupa. Masalahnya, pengaturan bangku ini membuatku tidak nyaman.Bangku dibuat memutar, sehingga kami membentuk satu lingkaran penuh. Reila di kiriku, Elton di kananku. Lalu di sebelah mereka para kapten yang berlanjut sampai dewan. Semestinya aku protes. Aku harus tukar dengan Reila. Jelas lebih baik bersebelahan dengan Isha daripada berhadapan dengan Jenderal. Sekitar tiga meter di depanku, Jenderal duduk dengan aura menekan kelewat kuat.“Tidak mau tukar tempat duduk?” usulku, pada Reila.“Kau pikir aku mau berhadapan dengan ... beliau?” jawabnya, sangat baik.Tampaknya suasana hati Jenderal buruk karena ketika memulai rapat, suara bernuansa kejam itu
Sisa waktuku dihabiskan tim medis—terutama Tara dan Layla yang tanpa henti memperingatiku agar tidak menghabiskan empon-empon. Dan aku termasuk orang terakhir yang mengambil persediaan. Ketika akhirnya Layla sadar hari sudah larut, dia langsung menyuruhku keluar.Padang rumput sudah gelap. Tidak ada siapa-siapa. Hanya bintang cerah.Aku tengah mendongak, memikirkan pemandangan ini mungkin tidak akan bisa kulihat selama beberapa hari ke depan—hingga sebuah suara berkata, “Forlan, kau harus istirahat. Besok kalian berangkat.”Aku membawa mataku menuju sumber suara. Penampilannya bahkan masih mudah dikenali di kegelapan malam. Bedanya, ketika malam, Kara memakai jubah tebal yang tampak cukup hangat. Baru kusadari suhu Padang Anushka agak turun. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan penghuni di malam hari, tetapi Kara cukup kerepotan membawa banyak senjata di pundaknya.“Kara sedang apa?” tanyaku.“Merapikan
Setidaknya, aku harus tertidur sebelum berangkat misi.Namun, gagal. Mataku tidak bisa terpejam. Dadaku terus berdegup kencang. Kupikir aku seperti bocah yang mau diberi mainan. Aku merasa hidupku di ambang batas. Besok hanya waktu yang tepat mendorongku ke jurang.Kuputuskan melihat bintang di halaman belakang Gerha.Dan tampaknya aku tidak sendirian. Begitu melangkah ke pekarangan, suara langsung menyahut dari Gerha sebelah. “Terlalu bersemangat?”Aku tersenyum. “Aku biasa melihatmu saat pagi, tapi melihatmu sekarang? Bahkan sebelum berangkat misi? Itu langka.”Reila tersenyum, hanya saja tanpa basa-basi. “Aku takut.”“Boleh aku masuk?”“Lewat pintu depan?”“Pertanyaan retorik.” Aku mendengus.Dia tampaknya memang sengaja mengangkat obrolan itu. “Masuklah.”Jadi, aku melompati pagar. Kami sama-sama anak alam.Reila duduk d