Home / Fantasi / Selubung Memori / 56. RAHASIA KECIL #2

Share

56. RAHASIA KECIL #2

last update Last Updated: 2021-12-01 14:00:50

Kembali ke Gerha, aku bawa seember ikan siap dibakar.

Aku tidak ada minat tidur. Sepertinya Dalton juga, tetapi ketika fajar tiba, kami memutuskan kembali ke Gerha. Ember kami penuh—milikku bahkan sampai tidak cukup. Aku punya ide membakar ikan bersama, tetapi Dalton tidak berminat, jadi, pada akhirnya, aku membersihkan semua ikan di halaman belakang, berusaha menumpuk batu dan kayu bakar yang kukumpulkan, lalu bersenang-senang. Kali ini aku punya bumbu. Rasanya tidak akan hambar.

Pagi baru tiba, jadi kabut masih di sekitar.

Pemandangan di depan halaman juga lumayan. Di balik semak-semak agak terdengar suara air terjun, jadi suasananya menyegarkan.

Menurutku, ini kasta terindah merokok. Menghirup asap pembakaran ikan yang sedap, lalu mengembuskannya dengan perut berbunyi. Luar biasa. Sayangnya, kali ini sup Layla sudah cukup membuatku perutku penuh.

Aku sempat khawatir akan dimarahi tim stok karena memancing seenaknya, tetapi Dalton bilang, s

Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Selubung Memori   57. RAHASIA KECIL #3

    Aku sedang menikmati jus apel saat Jesse memanggilku ke ruangannya.Kuakui cara memanggilnya inovatif. Dia menelepon Gerhaku yang suara deringnya memekikkan telinga. Aku baru mau mengomel, tetapi dia hanya bilang, “Ke ruanganku. Lima menit,” lalu menutup telepon.Kalau dia pikir aku bakal menurut—kali ini dia benar.Namun, Dalton menghadangku di depan Gerha. “Mau ke mana?”“Tim peneliti.”“Pesananmu.” Dia memberiku sesuatu. “Sudah jadi.”Aku tidak akan kaget dia bisa membuat sesuatu sangat cepat, tetapi untuk ini keterlaluan cepat. “Kau seperti bukan manusia, tapi makasih.”“Habis dari tim peneliti, temani aku main bola.”Kami sepakat, lalu aku meluncur ke Balai Dewan. Ruangan Jesse, tidak lain dan tidak bukan ruangan tim peneliti. Dia punya otoritas tertinggi di antara anggota tim peneliti—terutama karena Nuel tidak mau cari masalah

    Last Updated : 2021-12-04
  • Selubung Memori   58. RAHASIA KECIL #4

    Untuk pertama kali sejak tiba di Padang Anushka, mimpi menemukanku.Cuacanya mengamuk.Langit meluapkan amarahnya. Hujan turun bagaikan badai, angin berembus layaknya puting beliung yang terus berputar. Di kejauhan, petir berderak menggila di segala arah, guntur bersahutan mengguncangkan tanah.Kondisi sekitar kacau balau. Tanah hancur layaknya telur pecah. Beberapa orang bergelimpangan penuh darah. Dunia bagaikan jatuh dalam kegelapan pekat. Darah tersebar. Tidak ada bintang, bulan—hanya awan segelap kematian.Kemudian di tanah terbuka berdiri dua orang misterius.Hujan menyiram darah di tubuh mereka. Salah satunya hitam pekat, penuh pendar hitam yang melayang-layang. Hanya lengan dan telapak kaki yang terlihat punya warna. Sabit besar di tangannya layaknya dewa kematian yang terbentuk dari kegelapan. Bilah tajam memancarkan sensasi meminta darah.Satunya lagi, pria bertopeng. Memakai jubah hitam dengan topeng penuh bercak darah. Di t

    Last Updated : 2021-12-07
  • Selubung Memori   59. RAHASIA KECIL #5

    Sejatinya saat itu masih gelap, tetapi sebentar lagi fajar tiba.Beruntungnya, aku tidak punya masalah dengan kegelapan. Ini jam rutinku terbangun untuk lari gunung. Padang Anushka membuatku terlena. Kenyataan aku tidak perlu bangun sebelum fajar membuat alam bawah sadarku terbebas, dan, pada akhirnya, aku kesiangan. Bulan yang bercahaya di ujung malam sukses membuatku bernostalgia pada momen-momen itu.Lampu minyak membantuku menembus semak-semak, tetapi ketika berada di lembah air terjun, bunga biru itu tidak terlihat. Itu membuatku enggan mencari. Suara air terjun yang biasanya menyegarkan, kali ini agak menekan seperti menolak kedatanganku. Kuputuskan berkeliling sedikit—dan mataku tiba-tiba menemukan sesuatu yang berkelip. Tersembunyi di antara semak tinggi.Bunga biru itu berkilauan indah.Tidak ada larangan memetik, jadi aku membawa seikat, lalu membawa satu mahkota ke halaman belakangku, menanamnya begitu saja. Aku sedikit mengerti soal berk

    Last Updated : 2021-12-10
  • Selubung Memori   60. ANGGARA #1

    Di Gerha Dalton, aku menanyakan cara kerja telepon.Dia sepertinya sehabis latihan. Seluruh tubuhnya dipenuhi keringat, tetapi itu bukan hal yang cukup penting karena Gerhanya lebih bau dari keringatnya. Dan itu bukan lagi bau keringat, melainkan bensin, oli, asap pembakaran, atau apa pun yang berhubungan dengan montir. Momen kejatuhan Dalton berhasil membuatnya menciptakan banyak hal baru. Itu cukup membuatku tercengang.“Telepon?” teriaknya. Dia sedang menyalakan diesel, kami harus berteriak, meski, secara teknis, di dalam Gerha. “Kau harus punya nomor!”“Nomor apa?” teriakku.“Nomor telepon!”“Di mana aku bisa dapat nomor telepon?”Dia meminta jeda sebentar, beranjak ke ruang belakang Gerhanya, dan suara itu hilang. Dia kembali sembari membawa dua cangkir berisi cairan hitam. Kuakui aku ragu dia benar-benar membuat kopi, atau menyuguhkan oli.“Teriak bikin capek,&rdq

    Last Updated : 2021-12-13
  • Selubung Memori   61. ANGGARA #2

    Ruang Anggara sudah penuh saat kami tiba.Semua pemilik kemampuan yang kukenal ada di sini—kecuali Aaron. Saat itu nuansanya jauh berbeda dari saat aku pertama masuk.Dalton, Jesse, dan Nuel membicarakan sesuatu di depan layar. Tampaknya mereka melihat Padang Anushka dari atas. Pemandangan hutan malam itu tampak tidak jauh beda dengan hutan belantara lain. Namun, padang rumput jelas terlihat berbeda. Reila mengajakku bergabung, dan kudapati Elton berbincang dengan Isha, sementara Lavi di dapur, membuat minuman.“Datang juga akhirnya,” sambut Jesse.“Ke mana saja kau?” tanya Dalton. “Latihan?”“Latihan panah di halaman belakang,” jawab Reila, mewakiliku.“Memangnya kelihatan?”“Sinting,” komentar Nuel. “Aku lihat dia adu pedang dengan Elka. Mereka seperti mau saling bunuh. Tertawa tiap pedang bertemu.”Aku tidak memikirkan ini saat memasuki

    Last Updated : 2021-12-16
  • Selubung Memori   62. ANGGARA #3

    “Sudah puas berciuman?” sambut Jesse, melihat kami kembali.Isha tertawa. Dalton dan Nuel sedang bermain catur. Reila menepuk tangan, entah maksudnya apa. Namun, yang paling fenomenal: reaksi Lavi yang bertanya di punggungku. “Kau mau dicium?”“Oh tidak. Kau berharap aku jawab apa?”“Jangan suka marah,” kata Nuel, pasti ke Lavi. “Kasihan dia.”“Kau tidak keberatan, kan?” tanya Lavi, mencubit pipiku.“Astaga, diamlah,” kataku.“Dasar sensitif.” Kali ini dia menyetrum, yang membuatku mendesah.“Sepertinya kita tahu sumber masalahnya di mana,” kata Nuel. “Duduklah. Capek menunggu kalian. Kita ada cerita penting.”Akhirnya, Lavi turun. Aku ingin duduk di sisi Reila lagi, mengeluh banyak hal, tetapi Lavi tidak membiarkanku pergi. Dia menarikku, duduk di sisinya, dan bilang, “Apa masalahmu?” Isha, yang,

    Last Updated : 2021-12-19
  • Selubung Memori   63. RAPAT KOMBAT #1

    Keesokan paginya, sarapan berlangsung ricuh bersama Profesor Merla dan Layla—yang sungguhan berisik karena Layla menceritakan semua yang dia ingat tentang permainan masa kecil. Kupikir aku versi bocah kecil kedengaran lumayan menyenangkan, iseng—kata Profesor Merla warisan tulen ibuku—pemberani yang tidak punya takut, dan suka bicara hal-hal aneh yang tidak bisa dimengerti banyak orang—seperti, “Burung raksasa yang sayapnya lebar.”“Aku tidak yakin dinosaurus masih hidup,” kataku, tak percaya.“Itu monster,” kata Profesor Merla. “Kasus yang cukup jarang ditemui anak delapan tahun. Biasanya mereka belum bisa lihat monster.”“Oh, wow.” Sebenarnya aku sudah tahu itu, tetapi berharap ada lelucon soal monster saat bersama dewan—itu memang tidak cocok.“Omong-omong,” Layla tidak sabar mengganti topik. “Mom, aku tidak tahu Forlan punya adik. Memangnya, dia

    Last Updated : 2021-12-22
  • Selubung Memori   64. RAPAT KOMBAT #2

    Rapat dewan kali ini langsung mengundangku, Elton, dan Reila.Pendopo tetap pendopo yang mencekam. Bedanya, semua dewan kini hadir. Profesor Merla duduk di sebelah Mister, tersenyum penuh makna. Aku tidak terlalu masalah karena biasanya Lavi juga sering melihat dengan cara serupa. Masalahnya, pengaturan bangku ini membuatku tidak nyaman.Bangku dibuat memutar, sehingga kami membentuk satu lingkaran penuh. Reila di kiriku, Elton di kananku. Lalu di sebelah mereka para kapten yang berlanjut sampai dewan. Semestinya aku protes. Aku harus tukar dengan Reila. Jelas lebih baik bersebelahan dengan Isha daripada berhadapan dengan Jenderal. Sekitar tiga meter di depanku, Jenderal duduk dengan aura menekan kelewat kuat.“Tidak mau tukar tempat duduk?” usulku, pada Reila.“Kau pikir aku mau berhadapan dengan ... beliau?” jawabnya, sangat baik.Tampaknya suasana hati Jenderal buruk karena ketika memulai rapat, suara bernuansa kejam itu

    Last Updated : 2021-12-25

Latest chapter

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

  • Selubung Memori   604. GUA TEBING #1

    Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l

  • Selubung Memori   603. UJUNG TALI #9

    Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l

  • Selubung Memori   602. UJUNG TALI #8

    Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La

  • Selubung Memori   601. UJUNG TALI #7

    Lavi memeriksa arah, titik koordinat, perkiraan waktu—hingga kapan kami harus istirahat. Formasi kami cukup oke. Aku jelas membawa Lavi di punggung—dan kupikir Reila hanya akan melayang di udara bersama Leo. Namun, Leo punya ide yang lebih oke lagi: dia menggendong Reila.Tentunya Reila menolak. Dia bisa bergerak sendiri dengan membuat dia dan Leo melayang. Dia bisa menggerakkan dua orang dengan cepat mengikutiku. Leo protes. Jauh lebih efisien bila dia meringankan bobot dua orang dalam satu orang. Semestinya Reila yang paling tahu itu bisa lebih mudah dilakukan atau tidak, tetapi Leo yakin itu lebih efektif dan efisien. Lavi dan aku mempertimbangkan itu. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu itu bisa lebih oke atau tidak—karena ini pertama kali, jadi keputusan dikembalikan ke mereka berdua. Jadi, Leo mendebat Reila tentang waktu istirahat yang mungkin bisa lebih lama dan formasi yang bisa melebar jika tiga orang bergerak bersama. Dengan dirinya menggendong Rei

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status