Aku tidak habis pikir ruangan itu di bawah tanah karena punya kompor.
Jadi, aku dan Lavi sedang di dapur karena Lavi baru sadar cangkir kurang satu—iya, untukku, dan dia menghabiskannya. Dia mencetuskan buat teh sebelum Jesse bicara, tetapi aku butuh bicara dengannya. Maka kami sudah di dapur, yang sebenarnya berjarak tujuh langkah dari sofa Jesse.
“Kaget dengan informasi?” tanya Lavi. Tangannya menuang air.
“Aku terlihat begitu, ya?”
“Aku sudah dengar soal bebanmu. Tidak apa-apa. Aku takkan membedakan temanku. Kalau punya masalah, kau bebas datang padaku.”
Entah bagaimana aku senang dia menyebut itu bebanku.
Lavi terus mengoceh betapa dia sebenarnya bisa membuat minuman yang jauh lebih enak di dapur utama—yang baru kumengerti kalau dapur utama yang dia maksud itu dapur Padang Anushka. Dengan bangga dia bilang punya bakat masak luar biasa. Aku sedikit membuat lelucon kalau bakatnya ban
Gerhaku, barangkali hal terbersih yang kulihat sejak kematian Aza.Hanya rumah sederhana. Satu kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan ruang depan. Tidak ada peralatan apa pun. Kompor bahkan tidak ada. Hanya tempat tidur dan lemari berisi pakaian yang tidak pernah kumiliki. Kaus dengan berbagai macam warna bertuliskan PADANG ANUSHKA, atau ilustrasi yang menggambarkan apa yang terlihat dari gelanggang di padang rumput: senjata dan pertarungan.Sebagian jiwaku kembali melihat pedang perunggu. Pedang itu tergantung, tidak tergores—bahkan kelihatan terasah. Kupikir aku perlu sungguhan berterima kasih pada Reila. Mungkin menyambutnya saat kembali atau apalah.Di dekat ranjang ada rak meja. Jadi, di dalam rak ada selembar amplop kecil, yang membuat heran ketika di depan Gerha terdapat kotak surat. Sayangnya, begitu membaca isi suratnya, aku tahu mengapa surat itu di sini.Surat itu berisi tulisan tangan yang terukir indah, dengan susunan kata yang terpusat d
Aku berjalan di padang rumput, semua orang memandangiku.Sebenarnya aku tidak terlalu ingin memerhatikan, tetapi sejak muncul dari jalan berpaving, semua orang langsung mengamatiku seolah aku makhluk istimewa yang dicari-cari. Awalnya ada yang memanah, tetapi targetnya mendadak berubah jadi langit. Ada yang berteriak sambil beradu pedang kayu, mendadak membiarkan lawannya memukul helm besinya. Ada juga yang berkerumun, membicarakan gosip paling menarik—dan mendadak melongo, mengganti topik setelah melihatku.“Saat kau kabur, semua orang geger,” kata Dalton, memberitahu.“Aku bukan kabur, aku pergi karena orientasinya membuatku jengkel.”Kami berjalan ke gelanggang, yang ada di pusat padang rumput dan tempat itu sebenarnya hampir seperempat dari luas padang rumput. Lumayan besar untuk menampung ratusan orang berlatih di satu tempat. Gelanggang punya model yang terbuka, dengan seluruh bagian bisa dilihat dari segala arah. Ada d
Selang dua detik, di tengah gelanggang pedang kami sudah beradu.Aku langsung melompat maju—dan Lavi melakukan hal yang sama. Maka instingku bergerak begitu saja. Pedangku perlu terayun dari bawah karena pedang Lavi tampak akan terayun dari atas. Dan itu keuntungan mutlak untuk Lavi. Pedang kayu miliknya terasa begitu berat seolah didorong sesuatu yang kuat. Tumbukan keras terdengar, menimbulkan suara yang cukup menyakitkan didengar.Rasanya pedang kami beradu kekuatan cukup lama, tetapi ketika aku segera membelokkan tumpuan gaya berat pedang, baru kusadari kami hanya beradu dalam sekejap mata. Lavi terkejut. Beban pedangnya yang tertahan di pedangku berbelok, membuatnya oleng—sementara pedangku menyusup dari depan matanya, langsung menyerang ke wajahnya seiring gerakanku yang maju melewatinya.Namun, segalanya terkejap.Tiba-tiba Lavi berhasil mematahkan serangan, menatap tajam mataku bak melihat buruan baru. Aku berani sumpah dia baru hilang
Lavi mencengkeram kerahku. “Aku memang perlu minta maaf, tapi saat kau datang dengan Jesse—saat kau melihatku penuh curiga, aku tidak menganggapmu musuh sedikit pun—apa-apaan? Kau pikir aku menganggapmu musuh?”“Lavi,” pinta Dokter Gelda. “Biarkan dia diperiksa dulu.”“Sekali lagi aku dengar kau teriak aku musuhmu,” Lavi sungguhan di depan bola mataku. “Aku takkan segan menyetrum sampai rambut berantakan ini berdiri. Mengerti?” Aku mengangguk cepat, dia melepasku. Hanya saja, dia menggerutu. “Aku tahu kau marah, tapi musuh, musuh, musuh saja yang kau ucap.”“Yah, tapi, kan, Kapten ikut menekannya,” kata Dalton.Mereka berdebat lagi, meski kali ini Lavi lebih banyak menggerutu. Hanya saja, aku tidak terlalu mendengar karena Dokter Gelda sedang memeriksa.Aku tak tahu apa yang terjadi di gelanggang setelah uji senjata karena Lavi langsung membawaku ke klin
Layla masuk ruangan bersama Dalton, wajah ceria, baki berisi mangkuk dan gelas beraroma menggoda, lalu wajah sekaligus senyum ceria menenangkan, plus satu kabar: “Kara meminta Dokter Gelda segera ke Balai Dewan.”Jadi, Dokter Gelda memberi beberapa instruksi padaku kalau Isha yang akan memberiku orientasi peralatan medis dan prosedur seandainya kembali dari misi atau terluka. Dokter Gelda punya kemuliaan hati luar biasa karena setelah semua pertanyaan yang memberatkan hatinya masih bisa membuatnya tersenyum.“Aku menantikan pertanyaan lain darimu, Forlan.”Kemudian Dokter Gelda keluar, sementara aku menatap baki yang dibawa Layla. Layla mengangkat alis. “Bilang apa?”“Terima kasih, Pahlawan,” kataku. Dia tertawa jail.Dalton mengerutkan kening melihat kami. Mangkuk Layla berisi sup, tetapi punya campuran daging dan sayur seimbang dengan rasa yang membuatku ingin terus melahapnya. Aku tidak pernah meny
Orientasi tim medis berakhir, Dalton mengajakku ke pondok utama.Di padang rumput ada yang baru bermain bola. Sepertinya darah biru. Tidak ada pemilik kemampuan yang kulihat bergabung. Jadi, saat kami melewati padang rumput, mereka curi-curi pandang pada kami.“Mereka ada masalah denganmu?” tanyaku.“Yah, kau tahu persis jawabannya. Jesse sudah memberitahumu.”Kami menaiki tangga menuju pondok utama, melihat pohon pinus di sekitar. “Aslan itu Kapten tim stok,” jelas Dalton. “Dia yang mengurus persediaan bahan makanan, mulai menanam, panen, sampai penyimpanan. Dan bukan cuma bidang pertanian. Perkebunan, perikanan, peternakan—dia juga yang bertanggung jawab. Persediaan itu dipakai tim tungku masak. Pembagiannya, rata-rata diisi darah biru. Cowok, tim stok. Cewek, tim tungku. Kecuali Tara, dia cerdas sampai diminta Isha ke tim medis. Kau akan tahu dia nanti. Dia cukup mencolok.”“Cantik?&rdq
Dari dekat, Pendopo seperti ruang sidang.Selagi turun, aku mengoceh pada Dalton orientasiku belum selesai, yang itu artinya aku bahkan belum siap beraktivitas secara normal di Padang Anushka. Dia bilang kalau aku lebih siap beraktivitas di luar Padang Anushka. Tentu aku protes. Dalton bilang sebaiknya aku mengatakan itu di Rapat Dewan. Aku sudah bertekad protes habis-habisan di Rapat Dewan, tetapi suasana Pendopo membuatku ingin buang air kecil. Barangkali tempat itu memang terbuka. Semua orang bisa melihat hutan pinus dengan mata telanjang. Bunga-bunga mengitari tempat, menimbulkan aroma yang sedikit menenangkan jiwa. Namun, susunan bangku ini—tujuh orang di depanku, lalu tiga di setiap sisi masing-masing dewan. Melingkar membentuk setengah oval. Betul. Tujuh bangku itu memang punya satu kursi kosong. Hanya saja, Jenderal berhadapan denganku—meski topi datar itu masih belum terbuka dan selubung hitam semakin gelap karena malam. Kara, Dokter Gelda, Profesor Neil,
Di belakang Pendopo ada semacam ruangan kecil seperti dapur yang punya banyak piring berjejer. Saat aku masuk, hewan-hewan seperti kucing, anjing, atau kelinci bergantian masuk membawakan piring-piring itu ke Pendopo. Aku ragu itu kemampuan Nadir atau mereka memang punya akal melakukan itu.Jadi, aku duduk. Selang sepuluh menit, pintu terbuka. Isha.“Sudah menentukan tim, Forlan?”“Sejujurnya tim medis,” jawabku.Isha memakai jubah dokter yang ditutupi jubah seperti milik Jenderal, tetapi lencananya berbeda. Jubah itu ada di setiap kursi Kapten, jadi aku tahu itu jubah khusus Kapten. Isha menawariku piring, tetapi makanan Layla sudah membuatku kenyang dengan semua ketegangan Pendopo.“Kebingungan?” tanyanya, duduk di depanku. “Aku pasti menerimamu.”Aku memainkan jemari, layaknya sedang gugup. “Mungkin terdengar tidak beradab, tapi aku seperti memanfaatkan tim medis.”“
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak
Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l
Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l
Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La
Lavi memeriksa arah, titik koordinat, perkiraan waktu—hingga kapan kami harus istirahat. Formasi kami cukup oke. Aku jelas membawa Lavi di punggung—dan kupikir Reila hanya akan melayang di udara bersama Leo. Namun, Leo punya ide yang lebih oke lagi: dia menggendong Reila.Tentunya Reila menolak. Dia bisa bergerak sendiri dengan membuat dia dan Leo melayang. Dia bisa menggerakkan dua orang dengan cepat mengikutiku. Leo protes. Jauh lebih efisien bila dia meringankan bobot dua orang dalam satu orang. Semestinya Reila yang paling tahu itu bisa lebih mudah dilakukan atau tidak, tetapi Leo yakin itu lebih efektif dan efisien. Lavi dan aku mempertimbangkan itu. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu itu bisa lebih oke atau tidak—karena ini pertama kali, jadi keputusan dikembalikan ke mereka berdua. Jadi, Leo mendebat Reila tentang waktu istirahat yang mungkin bisa lebih lama dan formasi yang bisa melebar jika tiga orang bergerak bersama. Dengan dirinya menggendong Rei