Selang dua detik, di tengah gelanggang pedang kami sudah beradu.
Aku langsung melompat maju—dan Lavi melakukan hal yang sama. Maka instingku bergerak begitu saja. Pedangku perlu terayun dari bawah karena pedang Lavi tampak akan terayun dari atas. Dan itu keuntungan mutlak untuk Lavi. Pedang kayu miliknya terasa begitu berat seolah didorong sesuatu yang kuat. Tumbukan keras terdengar, menimbulkan suara yang cukup menyakitkan didengar.
Rasanya pedang kami beradu kekuatan cukup lama, tetapi ketika aku segera membelokkan tumpuan gaya berat pedang, baru kusadari kami hanya beradu dalam sekejap mata. Lavi terkejut. Beban pedangnya yang tertahan di pedangku berbelok, membuatnya oleng—sementara pedangku menyusup dari depan matanya, langsung menyerang ke wajahnya seiring gerakanku yang maju melewatinya.
Namun, segalanya terkejap.
Tiba-tiba Lavi berhasil mematahkan serangan, menatap tajam mataku bak melihat buruan baru. Aku berani sumpah dia baru hilang
Lavi mencengkeram kerahku. “Aku memang perlu minta maaf, tapi saat kau datang dengan Jesse—saat kau melihatku penuh curiga, aku tidak menganggapmu musuh sedikit pun—apa-apaan? Kau pikir aku menganggapmu musuh?”“Lavi,” pinta Dokter Gelda. “Biarkan dia diperiksa dulu.”“Sekali lagi aku dengar kau teriak aku musuhmu,” Lavi sungguhan di depan bola mataku. “Aku takkan segan menyetrum sampai rambut berantakan ini berdiri. Mengerti?” Aku mengangguk cepat, dia melepasku. Hanya saja, dia menggerutu. “Aku tahu kau marah, tapi musuh, musuh, musuh saja yang kau ucap.”“Yah, tapi, kan, Kapten ikut menekannya,” kata Dalton.Mereka berdebat lagi, meski kali ini Lavi lebih banyak menggerutu. Hanya saja, aku tidak terlalu mendengar karena Dokter Gelda sedang memeriksa.Aku tak tahu apa yang terjadi di gelanggang setelah uji senjata karena Lavi langsung membawaku ke klin
Layla masuk ruangan bersama Dalton, wajah ceria, baki berisi mangkuk dan gelas beraroma menggoda, lalu wajah sekaligus senyum ceria menenangkan, plus satu kabar: “Kara meminta Dokter Gelda segera ke Balai Dewan.”Jadi, Dokter Gelda memberi beberapa instruksi padaku kalau Isha yang akan memberiku orientasi peralatan medis dan prosedur seandainya kembali dari misi atau terluka. Dokter Gelda punya kemuliaan hati luar biasa karena setelah semua pertanyaan yang memberatkan hatinya masih bisa membuatnya tersenyum.“Aku menantikan pertanyaan lain darimu, Forlan.”Kemudian Dokter Gelda keluar, sementara aku menatap baki yang dibawa Layla. Layla mengangkat alis. “Bilang apa?”“Terima kasih, Pahlawan,” kataku. Dia tertawa jail.Dalton mengerutkan kening melihat kami. Mangkuk Layla berisi sup, tetapi punya campuran daging dan sayur seimbang dengan rasa yang membuatku ingin terus melahapnya. Aku tidak pernah meny
Orientasi tim medis berakhir, Dalton mengajakku ke pondok utama.Di padang rumput ada yang baru bermain bola. Sepertinya darah biru. Tidak ada pemilik kemampuan yang kulihat bergabung. Jadi, saat kami melewati padang rumput, mereka curi-curi pandang pada kami.“Mereka ada masalah denganmu?” tanyaku.“Yah, kau tahu persis jawabannya. Jesse sudah memberitahumu.”Kami menaiki tangga menuju pondok utama, melihat pohon pinus di sekitar. “Aslan itu Kapten tim stok,” jelas Dalton. “Dia yang mengurus persediaan bahan makanan, mulai menanam, panen, sampai penyimpanan. Dan bukan cuma bidang pertanian. Perkebunan, perikanan, peternakan—dia juga yang bertanggung jawab. Persediaan itu dipakai tim tungku masak. Pembagiannya, rata-rata diisi darah biru. Cowok, tim stok. Cewek, tim tungku. Kecuali Tara, dia cerdas sampai diminta Isha ke tim medis. Kau akan tahu dia nanti. Dia cukup mencolok.”“Cantik?&rdq
Dari dekat, Pendopo seperti ruang sidang.Selagi turun, aku mengoceh pada Dalton orientasiku belum selesai, yang itu artinya aku bahkan belum siap beraktivitas secara normal di Padang Anushka. Dia bilang kalau aku lebih siap beraktivitas di luar Padang Anushka. Tentu aku protes. Dalton bilang sebaiknya aku mengatakan itu di Rapat Dewan. Aku sudah bertekad protes habis-habisan di Rapat Dewan, tetapi suasana Pendopo membuatku ingin buang air kecil. Barangkali tempat itu memang terbuka. Semua orang bisa melihat hutan pinus dengan mata telanjang. Bunga-bunga mengitari tempat, menimbulkan aroma yang sedikit menenangkan jiwa. Namun, susunan bangku ini—tujuh orang di depanku, lalu tiga di setiap sisi masing-masing dewan. Melingkar membentuk setengah oval. Betul. Tujuh bangku itu memang punya satu kursi kosong. Hanya saja, Jenderal berhadapan denganku—meski topi datar itu masih belum terbuka dan selubung hitam semakin gelap karena malam. Kara, Dokter Gelda, Profesor Neil,
Di belakang Pendopo ada semacam ruangan kecil seperti dapur yang punya banyak piring berjejer. Saat aku masuk, hewan-hewan seperti kucing, anjing, atau kelinci bergantian masuk membawakan piring-piring itu ke Pendopo. Aku ragu itu kemampuan Nadir atau mereka memang punya akal melakukan itu.Jadi, aku duduk. Selang sepuluh menit, pintu terbuka. Isha.“Sudah menentukan tim, Forlan?”“Sejujurnya tim medis,” jawabku.Isha memakai jubah dokter yang ditutupi jubah seperti milik Jenderal, tetapi lencananya berbeda. Jubah itu ada di setiap kursi Kapten, jadi aku tahu itu jubah khusus Kapten. Isha menawariku piring, tetapi makanan Layla sudah membuatku kenyang dengan semua ketegangan Pendopo.“Kebingungan?” tanyanya, duduk di depanku. “Aku pasti menerimamu.”Aku memainkan jemari, layaknya sedang gugup. “Mungkin terdengar tidak beradab, tapi aku seperti memanfaatkan tim medis.”“
Tampaknya Dalton bicara dengan Lavi dalam situasi yang serius.Ketika melihatku kembali dari ruangan bersama Isha, semua orang langsung memerhatikan kami. Namun, sebelum aku sempat bersuara, Isha mengumumkan, “Forlan sudah memilih.”“Kupikir aku harus memulai sesi konseling juga,” komentar Layla.“Kurasa Isha perlu membuka praktik psikolog di klinik,” kelakarku, yang disambut rona merah Isha dan tawa Dokter Gelda.“Baiklah,” kata Kara. “Harap kembali ke posisi.”Aku dan Dalton kembali di mimbar. Dia sempat menatapku seperti berniat bertanya apa yang sudah kupilih, tetapi sebelum aku menjawabnya—ketika dewan duduk di tempatnya, satu orang berdiri, berjalan menghampiriku, mengabaikan apa yang terjadi, hanya berdiri dengan aura mengerikan di hadapanku. Tidak ada orang idiot yang tidak menyadari perubahan suasana. Tiba-tiba semuanya terkesan begitu gelap, dingin, dan mencekam. Sesuatu se
Dalam kegelapan malam, api unggun berderak pelan, memberi kehangatan ke seluruh penjuru. “Selamat ulang tahun ketiga belas!” seru Nenek dan Aza.“Kau tidak bosan ulang tahun hanya dirayakan dengan ikan bakar?” tanya Aza. “Kita bisa masak hal lain kalau memang mau sesuatu yang baru.”“Ikan bakar saja cukup,” kataku.“Kau takut masakanku tidak enak, kan? Ada Nenek, kok.”“Tidak juga, sih.” Aku melahap ekor ikan. “Aku memang suka ikan bakar.”“Tidak mau ayam bakar?”“Itu enak juga, tapi aku mau ikan bakar.”Aza menghela napas pendek, mengusap rambutku sampai berantakan. Aku mau protes, tetapi Nenek mengangkat tiga tusuk lain dari api unggun. “Tiga tusuk ikan bakar lain siap masuk perut Forlan!”Jadi, aku terus mengambil tusuk sate. Nenek mulai memintaku menahan diri atau aku tidak akan kuat berlari naik-turun gun
Hal pertama yang mengejutkanku di pagi hari: Gerhaku berubah.Aku tidak ingat menggambar atau mendesain sesuatu di kotak surat Gerha, tetapi saat mataku terbuka, aku tidak lagi di ranjang keras yang membuatku terus meronta, melainkan kasur busa empuk yang membuatku tidak ingin segera bangkit. Tidak lagi kamar sederhana yang hanya punya satu jendela sempit, tetapi kamar tiga sisi tembok, dan satu sisi dinding kaca dua arah yang tertutup tirai lebar. Lantai punya lapisan karpet bulu kelabu, yang ketika diinjak membuat kakiku tenggelam. Tidak cukup dengan itu, lampu ruangannya estetik, dan satu set komputer canggih di meja minimalis membuatku menganga.Aku berjalan, terus mengedarkan pandangan. Gerha sederhana itu disulap menjadi kondominium lantai dua yang punya begitu banyak peralatan mewah. Di balik kaca dua arah itu, ada hutan pinus, tempat aku bisa melihat bayangan air terjun yang memanggilku. Saat kaca beranda terbuka, angin berembus, dan aku langsung melihat perbed
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan