Joglo punya ruang tersembunyi.
Jadi, kami berjalan di bawah tangga sisi kanan, dan kupikir Elton akan naik, tetapi dia meraba rak buku di bawah tangga. Sungguh, rak itu bahkan tidak terlihat karena gelap. Aku tidak bisa melihat secara pasti apa yang dilakukannya, tetapi dia seperti mendorong rak, menggeser kotak yang hampir setinggi atap.
Dan seperti yang kubayangkan: tangga rahasia.
“Pastikan tidak ada siapa pun saat melakukan ini,” peringat Jesse.
“Kalian memulai gerakan tertentu?” tuduhku. “Pemberontakan?”
“Kujawab saat kita di ruangan.”
Kami turun. Jalannya cukup gelap, tetapi seberkas cahaya di bawah seperti menyinari tangga. Jadi, ketika kami tiba di ruangan, aku langsung membeku. Bukan karena ruangan itu penuh nuansa gelap pemberontakan, nuansa ruangan itu justru terasa cerah sampai membuatku tergugah. Rasanya seperti penuh kenangan.
Secara teknis, itu di bawah tanah, tetapi ruang
Aku tidak habis pikir ruangan itu di bawah tanah karena punya kompor.Jadi, aku dan Lavi sedang di dapur karena Lavi baru sadar cangkir kurang satu—iya, untukku, dan dia menghabiskannya. Dia mencetuskan buat teh sebelum Jesse bicara, tetapi aku butuh bicara dengannya. Maka kami sudah di dapur, yang sebenarnya berjarak tujuh langkah dari sofa Jesse.“Kaget dengan informasi?” tanya Lavi. Tangannya menuang air.“Aku terlihat begitu, ya?”“Aku sudah dengar soal bebanmu. Tidak apa-apa. Aku takkan membedakan temanku. Kalau punya masalah, kau bebas datang padaku.”Entah bagaimana aku senang dia menyebut itu bebanku.Lavi terus mengoceh betapa dia sebenarnya bisa membuat minuman yang jauh lebih enak di dapur utama—yang baru kumengerti kalau dapur utama yang dia maksud itu dapur Padang Anushka. Dengan bangga dia bilang punya bakat masak luar biasa. Aku sedikit membuat lelucon kalau bakatnya ban
Gerhaku, barangkali hal terbersih yang kulihat sejak kematian Aza.Hanya rumah sederhana. Satu kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan ruang depan. Tidak ada peralatan apa pun. Kompor bahkan tidak ada. Hanya tempat tidur dan lemari berisi pakaian yang tidak pernah kumiliki. Kaus dengan berbagai macam warna bertuliskan PADANG ANUSHKA, atau ilustrasi yang menggambarkan apa yang terlihat dari gelanggang di padang rumput: senjata dan pertarungan.Sebagian jiwaku kembali melihat pedang perunggu. Pedang itu tergantung, tidak tergores—bahkan kelihatan terasah. Kupikir aku perlu sungguhan berterima kasih pada Reila. Mungkin menyambutnya saat kembali atau apalah.Di dekat ranjang ada rak meja. Jadi, di dalam rak ada selembar amplop kecil, yang membuat heran ketika di depan Gerha terdapat kotak surat. Sayangnya, begitu membaca isi suratnya, aku tahu mengapa surat itu di sini.Surat itu berisi tulisan tangan yang terukir indah, dengan susunan kata yang terpusat d
Aku berjalan di padang rumput, semua orang memandangiku.Sebenarnya aku tidak terlalu ingin memerhatikan, tetapi sejak muncul dari jalan berpaving, semua orang langsung mengamatiku seolah aku makhluk istimewa yang dicari-cari. Awalnya ada yang memanah, tetapi targetnya mendadak berubah jadi langit. Ada yang berteriak sambil beradu pedang kayu, mendadak membiarkan lawannya memukul helm besinya. Ada juga yang berkerumun, membicarakan gosip paling menarik—dan mendadak melongo, mengganti topik setelah melihatku.“Saat kau kabur, semua orang geger,” kata Dalton, memberitahu.“Aku bukan kabur, aku pergi karena orientasinya membuatku jengkel.”Kami berjalan ke gelanggang, yang ada di pusat padang rumput dan tempat itu sebenarnya hampir seperempat dari luas padang rumput. Lumayan besar untuk menampung ratusan orang berlatih di satu tempat. Gelanggang punya model yang terbuka, dengan seluruh bagian bisa dilihat dari segala arah. Ada d
Selang dua detik, di tengah gelanggang pedang kami sudah beradu.Aku langsung melompat maju—dan Lavi melakukan hal yang sama. Maka instingku bergerak begitu saja. Pedangku perlu terayun dari bawah karena pedang Lavi tampak akan terayun dari atas. Dan itu keuntungan mutlak untuk Lavi. Pedang kayu miliknya terasa begitu berat seolah didorong sesuatu yang kuat. Tumbukan keras terdengar, menimbulkan suara yang cukup menyakitkan didengar.Rasanya pedang kami beradu kekuatan cukup lama, tetapi ketika aku segera membelokkan tumpuan gaya berat pedang, baru kusadari kami hanya beradu dalam sekejap mata. Lavi terkejut. Beban pedangnya yang tertahan di pedangku berbelok, membuatnya oleng—sementara pedangku menyusup dari depan matanya, langsung menyerang ke wajahnya seiring gerakanku yang maju melewatinya.Namun, segalanya terkejap.Tiba-tiba Lavi berhasil mematahkan serangan, menatap tajam mataku bak melihat buruan baru. Aku berani sumpah dia baru hilang
Lavi mencengkeram kerahku. “Aku memang perlu minta maaf, tapi saat kau datang dengan Jesse—saat kau melihatku penuh curiga, aku tidak menganggapmu musuh sedikit pun—apa-apaan? Kau pikir aku menganggapmu musuh?”“Lavi,” pinta Dokter Gelda. “Biarkan dia diperiksa dulu.”“Sekali lagi aku dengar kau teriak aku musuhmu,” Lavi sungguhan di depan bola mataku. “Aku takkan segan menyetrum sampai rambut berantakan ini berdiri. Mengerti?” Aku mengangguk cepat, dia melepasku. Hanya saja, dia menggerutu. “Aku tahu kau marah, tapi musuh, musuh, musuh saja yang kau ucap.”“Yah, tapi, kan, Kapten ikut menekannya,” kata Dalton.Mereka berdebat lagi, meski kali ini Lavi lebih banyak menggerutu. Hanya saja, aku tidak terlalu mendengar karena Dokter Gelda sedang memeriksa.Aku tak tahu apa yang terjadi di gelanggang setelah uji senjata karena Lavi langsung membawaku ke klin
Layla masuk ruangan bersama Dalton, wajah ceria, baki berisi mangkuk dan gelas beraroma menggoda, lalu wajah sekaligus senyum ceria menenangkan, plus satu kabar: “Kara meminta Dokter Gelda segera ke Balai Dewan.”Jadi, Dokter Gelda memberi beberapa instruksi padaku kalau Isha yang akan memberiku orientasi peralatan medis dan prosedur seandainya kembali dari misi atau terluka. Dokter Gelda punya kemuliaan hati luar biasa karena setelah semua pertanyaan yang memberatkan hatinya masih bisa membuatnya tersenyum.“Aku menantikan pertanyaan lain darimu, Forlan.”Kemudian Dokter Gelda keluar, sementara aku menatap baki yang dibawa Layla. Layla mengangkat alis. “Bilang apa?”“Terima kasih, Pahlawan,” kataku. Dia tertawa jail.Dalton mengerutkan kening melihat kami. Mangkuk Layla berisi sup, tetapi punya campuran daging dan sayur seimbang dengan rasa yang membuatku ingin terus melahapnya. Aku tidak pernah meny
Orientasi tim medis berakhir, Dalton mengajakku ke pondok utama.Di padang rumput ada yang baru bermain bola. Sepertinya darah biru. Tidak ada pemilik kemampuan yang kulihat bergabung. Jadi, saat kami melewati padang rumput, mereka curi-curi pandang pada kami.“Mereka ada masalah denganmu?” tanyaku.“Yah, kau tahu persis jawabannya. Jesse sudah memberitahumu.”Kami menaiki tangga menuju pondok utama, melihat pohon pinus di sekitar. “Aslan itu Kapten tim stok,” jelas Dalton. “Dia yang mengurus persediaan bahan makanan, mulai menanam, panen, sampai penyimpanan. Dan bukan cuma bidang pertanian. Perkebunan, perikanan, peternakan—dia juga yang bertanggung jawab. Persediaan itu dipakai tim tungku masak. Pembagiannya, rata-rata diisi darah biru. Cowok, tim stok. Cewek, tim tungku. Kecuali Tara, dia cerdas sampai diminta Isha ke tim medis. Kau akan tahu dia nanti. Dia cukup mencolok.”“Cantik?&rdq
Dari dekat, Pendopo seperti ruang sidang.Selagi turun, aku mengoceh pada Dalton orientasiku belum selesai, yang itu artinya aku bahkan belum siap beraktivitas secara normal di Padang Anushka. Dia bilang kalau aku lebih siap beraktivitas di luar Padang Anushka. Tentu aku protes. Dalton bilang sebaiknya aku mengatakan itu di Rapat Dewan. Aku sudah bertekad protes habis-habisan di Rapat Dewan, tetapi suasana Pendopo membuatku ingin buang air kecil. Barangkali tempat itu memang terbuka. Semua orang bisa melihat hutan pinus dengan mata telanjang. Bunga-bunga mengitari tempat, menimbulkan aroma yang sedikit menenangkan jiwa. Namun, susunan bangku ini—tujuh orang di depanku, lalu tiga di setiap sisi masing-masing dewan. Melingkar membentuk setengah oval. Betul. Tujuh bangku itu memang punya satu kursi kosong. Hanya saja, Jenderal berhadapan denganku—meski topi datar itu masih belum terbuka dan selubung hitam semakin gelap karena malam. Kara, Dokter Gelda, Profesor Neil,