Hanya dalam waktu kurang dari semenit, kami semua sepakat keluar.
Ironisnya, mau kami sadar atau tidak, ketika Fal pergi dari Padang Anushka, kami juga akan berubah untuk kedua kalinya. Terlepas siapa pun pilar yang ada di Padang Anushka—entah itu Isha, Lavi, atau bahkan Jesse—tanpa sadar Fal sudah menjadi salah satu alasan mereka bisa beristirahat. Tertawa bersama Fal menjadi opsi paling bagus menghabiskan waktu, menyegarkan diri, bahkan membangun ulang suasana yang sudah jatuh. Dengan yakin, kepergian Fal dari Padang Anushka pasti akan mengubah suasana yang selalu terkesan damai ini.
Dan kupikir bukan hanya dengan kepergian Fal. Kepergian Layla juga akan mempengaruhi segalanya. Barangkali itulah alasan aku, Lavi, dan Profesor Merla menjadi orang terakhir yang keluar ruangan tim peneliti.
Aku tahu Profesor Merla akan bertanya padaku. Setelah semua ini, apa yang akan keluar dari benaknya hanya satu: “Kau sudah bicara dengannya, Forlan?”
Pesta api unggun diadakan karena tiga hal: pertama, perayaan kemenangan pada pengkhianat—yang menurut Asva sebenarnya merayakan berakhirnya konflik dua kubu. Kedua, perayaan kembalinya pilar tim bertahan dan tim tungku. Ketiga, perpisahan dengan Layla dan Kenzie—meski Kenzie tidak hadir.Kondisi Kenzie hanya bisa diketahui tim medis dan dewan. Bahkan tidak semua Kapten tahu. Hanya Kara satu-satunya yang sedikit memberi gambaran soal kondisi Kenzie karena menurutnya geng idiot berhak tahu sebagai pihak pertama yang menemukan Kenzie. “Tidak buruk, tapi juga tidak baik. Tidak ada medis yang bisa menangani kejiwaan di Padang Anushka. Selama perjalanan pengantaran nanti, Profesor Merla bisa menjamin dia tidak akan terbangun dan tim peneliti sanggup memberi rute terdekat dalam beberapa hari ini.”“Dia tidak bangun atau sengaja agar tidak bisa bangun?” tanya Dalton.Kara tidak menjawab, jadi kami tahu Kenzie sengaja tidak dibangunkan
Sebenarnya gagasan merayakan kemenangan ini sempat ditentang seorang kandidat baru. Tanpa mengonfirmasi pun, aku tahu dia teman baik kandidat baru yang gugur di pertempuran padang rumput. Dia sungguhan emosi ketika mendengar ada pesta perayaan kemenangan, padahal rekan terdekatnya sudah mengorbankan diri bahkan ketika tidak mau berkorban. Dia bilang itu gagasan yang tidak adil—meski menurut beberapa orang, setidaknya menurut Dalton, “Dia sendiri juga tidak mengerti konsep adil dan tidaknya dalam pertempuran.”Kara meminta kasus anak ini ditangani dirinya sendirian, dan kubilang kalau lebih baik tidak menghiraukannya karena—toh, hanya satu orang dan dia bahkan masih kandidat baru yang belum mengerti sepenuhnya budaya Padang Anushka.Namun, Kara menimpal dengan berkata, “Justru anak-anak yang merasa tidak adil ini yang punya potensi memihak musuh, Nak. Tugas kita melindungi para penghuni—anak ini salah satu yang perlu kita lindungi. Ti
Malam itu kami berkemah di depan area asrama—meski tidak bisa benar-benar disebut kemah karena yang kami lakukan hanya terbaring begitu saja di depan asrama. Barangkali bisa dibilang jiwa idiot ini sudah tidak tertolong lagi—bahkan tersebar di penghuni cowok. Sudah jelas ada kasur di asrama, tetapi lebih memilih berbaring di atas tanah dengan selimut.Seingatku, terakhir orang yang tidur itu Yasha. Dia sepenuhnya mengantuk setelah kami berbincang bagaimana dia menyukai Ellen—ya, dia curhat—dan aku mendengarnya berkata, “Aku bersyukur.”“Kau mengantuk.”“Ya.” Matanya sudah hampir terpejam. “Kau tidak tidur?”“Belum mengantuk.”Ketika dia mulai berbaring, hanya butuh hitungan detik sampai dia terlelap. Hampir semua cowok juga begitu—menyisakan aku dan asap kecil di atas abu-abu pembakaran. Aromanya masih dipenuhi bahan mentah bakar. Cahaya sudah hilang, hanya be
Aku baru menggantung pedang perunggu ketika terdengar ketukan tiga kali. Arahnya dari pintu belakang. Satu-satunya yang mengetuk pintu belakang di awal pagi—yang bahkan masih kelihatan sedikit matahari—hanya satu. “Ada waktu?” tanya Reila, ketika aku membuka pintu. “Untuk waktu sepagi ini, iya,” jawabku. “Kau sudah bangun?” “Lebih tepatnya, aku tidak tidur. Boleh aku minta waktumu?” Tentu saja aku mengerutkan kening. Dia tidak pernah sopan sebelumnya—dan bila aku mengingat apa yang dibicarakan Bibi tentang orang yang sudah bangun dan melihatku bicara sendiri pada bunga, baru kupikirkan yang paling masuk akal cuma Reila. Barangkali dia melihatku, berpikir aku sudah gila. “Tentu,” kataku. “Kenapa?” Sayangnya, Reila tidak segera menjawab. Dia hanya berdiri, mengalihkan pandangannya sejenak ke bawah, lalu ke jendela Gerhaku, lalu ke jaring laba-laba kecil, lalu ke engsel pintu, baru akhirnya padaku lagi. “Temani aku menyepi di danau, mau tidak?” “Boleh saja.” Itu membuat Reila te
Kesadaranku kembali, tetapi tubuhku tidak bisa bergerak.Mataku bahkan tidak bisa terbuka. Aku bisa berpikir, tetapi tidak ada tanda-tanda kesadaranku benar-benar telah menguasai tubuhku kembali.Jadi, tidak ada yang terlihat, kecuali gelap. Bahkan tidak ada yang mampu kurasakan. Aku bahkan tidak bisa merasakan tubuhku sendiri. Rasanya seperti tidak memiliki tubuh. Meskipun menggerakkan jari, tidak terasa sensasi motorik dalam tubuhku bekerja. Kesadaranku bak terombang-ambing tanpa raga.Kepalaku mulai bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi?Jadi, kepanikan tiba-tiba memenuhi benakku. Sensasi seolah aku akan mati.Namun, sebelum sensasi itu semakin menguat, sesuatu seperti mulai tiba di kepalaku. Aku mulai bisa mendengar sesuatu.“—kau tidak berperasaan.”Suara wanita. Suara familier dalam mimpiku.“Kalau Al sampai dengar itu, dia takkan memaafkanmu,” lanjutnya.“Aku memperingatim
Tidak ada waktu merenung, pergantian tempat berubah sangat cepat.Sekarang aku melihat padang rumput. Banyak orang berkumpul seolah akan melepas kepergian misi seseorang. Aku menoleh. Ibu membawa ransel besar, bicara dengan Bibi. Kemudian pria—sungguh, berkarisma, terlihat bisa diandalkan seolah bila aku satu misi dengannya ke alam liar, aku tidak perlu khawatir apakah aku bisa kembali atau tidak—sedang bicara dengan Kara versi janggut lebih pendek. Mereka seperti teman lama, dan pria itu menggendong adikku—aku masih tidak percaya itu Reila. Maksudku—Reila? Reila yang itu?Kuputuskan menyingkirkan gagasan itu.Setidaknya, pria yang menggendongnya, itu Ayah.Sekarang aku mengerti bagaimana Kara menyebut Ayah orang yang mampu merayu banyak cewek. Maksudku, secara teknis, dia seribu lebih bersinar dariku. Aku berani sumpah umurnya bukan dua puluh, tetapi dia terlihat jauh lebih muda seolah tidak pernah berumur. Atau kurasa keluargaku
Penglihatan berikutnya, aku ada di halaman belakang rumah.Halaman belakang sebenarnya tidak bisa disebut halaman belakang. Tidak ada langit terlihat. Kalau pun ada langit, hanya gedung-gedung raksasa dan langit yang mirip kubah. Sesuatu seperti membungkus wilayah ini dengan tanah.Namun, sejauh yang kulihat, halaman belakang ini tetaplah milik Ibu.Masih ada bunga-bunga hias, meski tak terlihat segar seperti di ladang. Ada beberapa bunga yang justru mekar seolah tidak peduli pada matahari. Rumah kami cukup berdempetan dengan rumah sebelah, sehingga halaman belakang tidak terasa lapang seperti halaman belakang di Padang Anushka. Halaman belakang kami agak terasa sempit karena dikelilingi pagar tinggi dan sulur tumbuhan alami.Ibu terlihat di selasar, duduk bersama Reila, mengaduk minuman dingin—melihat ke halaman belakang. Reila menggenggam boneka.Sementara aku, bermain lempar tangkap bola bersama Ayah di kejauhan.Ayah bilang, &ldquo
Setidaknya, terbesit ingatan di depanku, bagaimana Ibu sempat bicara empat mata denganku, dan suasananya sangat serius. Sepertinya kami sehabis menyiram bunga. Di dekat kami ada ember kosong dan selang memanjang. Reila tidak ada di mana-mana. Ibu duduk di selasar, aku duduk di sebelahnya menyantap apel.“Forlan pernah merasakan hal aneh, tidak?” tanya Ibu.“Hal aneh bagaimana?” balasku.“Seperti Forlan bisa melakukan sesuatu yang semestinya Forlan tidak bisa melakukannya—seperti... aduh, bagaimana cara Ibu mengatakannya, ya?”“Maksudnya, seperti yang botol terbang?”Ibu mendesah, tampak sulit membenarkan. “Salah satunya.”“Tapi kata Ayah itu sulapnya Ayah,” protesku.“Iya, itu cuma sulap Ayah,” Ibu buru-buru mengoreksi. “Tapi Forlan pernah tiba-tiba lihat sulap Ayah, kecuali yang kemarin, tidak?”“Hm,” tampaknya aku