Beranda / Fantasi / Selubung Memori / 201. KABUT PUTIH #1

Share

201. KABUT PUTIH #1

last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-11 14:00:18

Malam itu kami berkemah di depan area asrama—meski tidak bisa benar-benar disebut kemah karena yang kami lakukan hanya terbaring begitu saja di depan asrama. Barangkali bisa dibilang jiwa idiot ini sudah tidak tertolong lagi—bahkan tersebar di penghuni cowok. Sudah jelas ada kasur di asrama, tetapi lebih memilih berbaring di atas tanah dengan selimut.

Seingatku, terakhir orang yang tidur itu Yasha. Dia sepenuhnya mengantuk setelah kami berbincang bagaimana dia menyukai Ellen—ya, dia curhat—dan aku mendengarnya berkata, “Aku bersyukur.”

“Kau mengantuk.”

“Ya.” Matanya sudah hampir terpejam. “Kau tidak tidur?”

“Belum mengantuk.”

Ketika dia mulai berbaring, hanya butuh hitungan detik sampai dia terlelap. Hampir semua cowok juga begitu—menyisakan aku dan asap kecil di atas abu-abu pembakaran. Aromanya masih dipenuhi bahan mentah bakar. Cahaya sudah hilang, hanya be

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Selubung Memori   202. KABUT PUTIH #2

    Aku baru menggantung pedang perunggu ketika terdengar ketukan tiga kali. Arahnya dari pintu belakang. Satu-satunya yang mengetuk pintu belakang di awal pagi—yang bahkan masih kelihatan sedikit matahari—hanya satu. “Ada waktu?” tanya Reila, ketika aku membuka pintu. “Untuk waktu sepagi ini, iya,” jawabku. “Kau sudah bangun?” “Lebih tepatnya, aku tidak tidur. Boleh aku minta waktumu?” Tentu saja aku mengerutkan kening. Dia tidak pernah sopan sebelumnya—dan bila aku mengingat apa yang dibicarakan Bibi tentang orang yang sudah bangun dan melihatku bicara sendiri pada bunga, baru kupikirkan yang paling masuk akal cuma Reila. Barangkali dia melihatku, berpikir aku sudah gila. “Tentu,” kataku. “Kenapa?” Sayangnya, Reila tidak segera menjawab. Dia hanya berdiri, mengalihkan pandangannya sejenak ke bawah, lalu ke jendela Gerhaku, lalu ke jaring laba-laba kecil, lalu ke engsel pintu, baru akhirnya padaku lagi. “Temani aku menyepi di danau, mau tidak?” “Boleh saja.” Itu membuat Reila te

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-13
  • Selubung Memori   203. PANDORA #1

    Kesadaranku kembali, tetapi tubuhku tidak bisa bergerak.Mataku bahkan tidak bisa terbuka. Aku bisa berpikir, tetapi tidak ada tanda-tanda kesadaranku benar-benar telah menguasai tubuhku kembali.Jadi, tidak ada yang terlihat, kecuali gelap. Bahkan tidak ada yang mampu kurasakan. Aku bahkan tidak bisa merasakan tubuhku sendiri. Rasanya seperti tidak memiliki tubuh. Meskipun menggerakkan jari, tidak terasa sensasi motorik dalam tubuhku bekerja. Kesadaranku bak terombang-ambing tanpa raga.Kepalaku mulai bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi?Jadi, kepanikan tiba-tiba memenuhi benakku. Sensasi seolah aku akan mati.Namun, sebelum sensasi itu semakin menguat, sesuatu seperti mulai tiba di kepalaku. Aku mulai bisa mendengar sesuatu.“—kau tidak berperasaan.”Suara wanita. Suara familier dalam mimpiku.“Kalau Al sampai dengar itu, dia takkan memaafkanmu,” lanjutnya.“Aku memperingatim

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-15
  • Selubung Memori   204. PANDORA #2

    Tidak ada waktu merenung, pergantian tempat berubah sangat cepat.Sekarang aku melihat padang rumput. Banyak orang berkumpul seolah akan melepas kepergian misi seseorang. Aku menoleh. Ibu membawa ransel besar, bicara dengan Bibi. Kemudian pria—sungguh, berkarisma, terlihat bisa diandalkan seolah bila aku satu misi dengannya ke alam liar, aku tidak perlu khawatir apakah aku bisa kembali atau tidak—sedang bicara dengan Kara versi janggut lebih pendek. Mereka seperti teman lama, dan pria itu menggendong adikku—aku masih tidak percaya itu Reila. Maksudku—Reila? Reila yang itu?Kuputuskan menyingkirkan gagasan itu.Setidaknya, pria yang menggendongnya, itu Ayah.Sekarang aku mengerti bagaimana Kara menyebut Ayah orang yang mampu merayu banyak cewek. Maksudku, secara teknis, dia seribu lebih bersinar dariku. Aku berani sumpah umurnya bukan dua puluh, tetapi dia terlihat jauh lebih muda seolah tidak pernah berumur. Atau kurasa keluargaku

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-17
  • Selubung Memori   205. PANDORA #3

    Penglihatan berikutnya, aku ada di halaman belakang rumah.Halaman belakang sebenarnya tidak bisa disebut halaman belakang. Tidak ada langit terlihat. Kalau pun ada langit, hanya gedung-gedung raksasa dan langit yang mirip kubah. Sesuatu seperti membungkus wilayah ini dengan tanah.Namun, sejauh yang kulihat, halaman belakang ini tetaplah milik Ibu.Masih ada bunga-bunga hias, meski tak terlihat segar seperti di ladang. Ada beberapa bunga yang justru mekar seolah tidak peduli pada matahari. Rumah kami cukup berdempetan dengan rumah sebelah, sehingga halaman belakang tidak terasa lapang seperti halaman belakang di Padang Anushka. Halaman belakang kami agak terasa sempit karena dikelilingi pagar tinggi dan sulur tumbuhan alami.Ibu terlihat di selasar, duduk bersama Reila, mengaduk minuman dingin—melihat ke halaman belakang. Reila menggenggam boneka.Sementara aku, bermain lempar tangkap bola bersama Ayah di kejauhan.Ayah bilang, &ldquo

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-19
  • Selubung Memori   206. PANDORA #4

    Setidaknya, terbesit ingatan di depanku, bagaimana Ibu sempat bicara empat mata denganku, dan suasananya sangat serius. Sepertinya kami sehabis menyiram bunga. Di dekat kami ada ember kosong dan selang memanjang. Reila tidak ada di mana-mana. Ibu duduk di selasar, aku duduk di sebelahnya menyantap apel.“Forlan pernah merasakan hal aneh, tidak?” tanya Ibu.“Hal aneh bagaimana?” balasku.“Seperti Forlan bisa melakukan sesuatu yang semestinya Forlan tidak bisa melakukannya—seperti... aduh, bagaimana cara Ibu mengatakannya, ya?”“Maksudnya, seperti yang botol terbang?”Ibu mendesah, tampak sulit membenarkan. “Salah satunya.”“Tapi kata Ayah itu sulapnya Ayah,” protesku.“Iya, itu cuma sulap Ayah,” Ibu buru-buru mengoreksi. “Tapi Forlan pernah tiba-tiba lihat sulap Ayah, kecuali yang kemarin, tidak?”“Hm,” tampaknya aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • Selubung Memori   207. PANDORA #5

    Gang itu benar-benar membangkitkan kenangan mimpi lama.Suasananya persis sama. Sekarang aku mengerti itu bukan hanya mimpi. Itu masa lalu yang bangkit dalam mimpi. Anak gembrot itu tampak di belakang anak tinggi, melempar batu ke tempatku. Tidak ada yang kena. Terutama ketika aku bisa menghindarinya. Tampaknya permainan lempar tangkap bola berguna untuk situasi semacam ini. Aku mengerti sebenarnya Ayah hanya ingin membuatku siap sejak sangat dini—dengan cara paling halus yang bisa kuterima—yang mungkin tidak bisa dimengerti Ibu.Jadi, karena semua batu bisa dihindari dengan mudah. Kini yang datang tidak lagi batu. Botol, kelereng, sampah bau—apa pun selama bisa dilempar.Jeritan anak gembrot itu yang paling nyaring. “ANAK IBLIS!”“Usir dia dari sini!” sambut anak yang lain.“Pergi! Anak terkutuk harus pergi!”Tidak ada yang kulakukan. Hanya berdiri tegak.Semua lemparan itu bisa d

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-23
  • Selubung Memori   208. PANDORA #6

    Belakangan aku baru menyadari bahwa jauh sebelum aku tiba di pondok—jauh sebelum aku dijelaskan segala hal tentang pemilik kemampuan—Ibu ternyata sudah menjelaskan semuanya, tentang bagaimana kami tidak normal.Semua dimulai ketika Ibu melarangku tidur sendirian. Ada bagian tubuhku yang masih sulit digerakkan, jadi gagasan tidur sendiri adalah hal terlarang menurut Ibu. Jadi, Ibu tidur di kamarku—entah berapa lama malam berlalu sejak aku babak belur, tetapi pada akhirnya di tengah kegelapan malam yang sunyi, aku bertanya, “Ibu belum tidur, kan? Boleh aku bilang sesuatu?”Ibu terpanggil, langsung menoleh menghadapku. “Kenapa, Sayang?”Hening sejenak, setidaknya beberapa saat ketika mata kami bertautan.“Ibu,” suaraku yang itu lumayan tajam. “Ibu bohong.”“Bohong?” Ibu lumayan terkejut. “Bohong apa?”“Ibu bilang aku tidak boleh bohong, jadi Ibu juga

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-25
  • Selubung Memori   209. PANDORA #7

    Lompatan penglihatan berikutnya terjadi sangat cepat.Rasanya tidak terlihat jauh berbeda. Namun, sesuatu seperti mengambang. Aku melihat Ayah memeluk Ibu, dan seberapa bodohnya aku melihat itu, aku tahu Ibu seperti melarang Ayah melepasnya.Tampaknya kami sudah tidak di rumah yang terakhir kulihat. Kali ini kami di tempat yang jauh lebih bercahaya, seolah di luar ruangan ini, matahari bersinar menembus kubah tanah. Dan aku duduk dengan Reila. Reila menatap Ayah dan Ibu yang tengah berpelukan, memeluk boneka kuning, sembari termenung.Pada akhirnya, Ayah melepas pelukan, berhasil meyakinkan Ibu.Baru kusadari di dekat mereka ada orang yang familier: Kara. Jadi, selepas memeluk Ayah, Kara langsung berusaha menenangkan Ibu.Ayah menghampiriku. “Forlan, jaga Ibu dan Reila, oke?”Pertanyaan pertamaku langsung tajam. “Kapan Ayah pulang lagi?”“Secepatnya,” janji Ayah. “Kara butuh bantuan Ayah. Bila

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-27

Bab terbaru

  • Selubung Memori   612. GUA TEBING #9

    Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura

  • Selubung Memori   611. GUA TEBING #8

    Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

  • Selubung Memori   604. GUA TEBING #1

    Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status