Malam itu kami berkemah di depan area asrama—meski tidak bisa benar-benar disebut kemah karena yang kami lakukan hanya terbaring begitu saja di depan asrama. Barangkali bisa dibilang jiwa idiot ini sudah tidak tertolong lagi—bahkan tersebar di penghuni cowok. Sudah jelas ada kasur di asrama, tetapi lebih memilih berbaring di atas tanah dengan selimut.
Seingatku, terakhir orang yang tidur itu Yasha. Dia sepenuhnya mengantuk setelah kami berbincang bagaimana dia menyukai Ellen—ya, dia curhat—dan aku mendengarnya berkata, “Aku bersyukur.”
“Kau mengantuk.”
“Ya.” Matanya sudah hampir terpejam. “Kau tidak tidur?”
“Belum mengantuk.”
Ketika dia mulai berbaring, hanya butuh hitungan detik sampai dia terlelap. Hampir semua cowok juga begitu—menyisakan aku dan asap kecil di atas abu-abu pembakaran. Aromanya masih dipenuhi bahan mentah bakar. Cahaya sudah hilang, hanya be
Aku baru menggantung pedang perunggu ketika terdengar ketukan tiga kali. Arahnya dari pintu belakang. Satu-satunya yang mengetuk pintu belakang di awal pagi—yang bahkan masih kelihatan sedikit matahari—hanya satu. “Ada waktu?” tanya Reila, ketika aku membuka pintu. “Untuk waktu sepagi ini, iya,” jawabku. “Kau sudah bangun?” “Lebih tepatnya, aku tidak tidur. Boleh aku minta waktumu?” Tentu saja aku mengerutkan kening. Dia tidak pernah sopan sebelumnya—dan bila aku mengingat apa yang dibicarakan Bibi tentang orang yang sudah bangun dan melihatku bicara sendiri pada bunga, baru kupikirkan yang paling masuk akal cuma Reila. Barangkali dia melihatku, berpikir aku sudah gila. “Tentu,” kataku. “Kenapa?” Sayangnya, Reila tidak segera menjawab. Dia hanya berdiri, mengalihkan pandangannya sejenak ke bawah, lalu ke jendela Gerhaku, lalu ke jaring laba-laba kecil, lalu ke engsel pintu, baru akhirnya padaku lagi. “Temani aku menyepi di danau, mau tidak?” “Boleh saja.” Itu membuat Reila te
Kesadaranku kembali, tetapi tubuhku tidak bisa bergerak.Mataku bahkan tidak bisa terbuka. Aku bisa berpikir, tetapi tidak ada tanda-tanda kesadaranku benar-benar telah menguasai tubuhku kembali.Jadi, tidak ada yang terlihat, kecuali gelap. Bahkan tidak ada yang mampu kurasakan. Aku bahkan tidak bisa merasakan tubuhku sendiri. Rasanya seperti tidak memiliki tubuh. Meskipun menggerakkan jari, tidak terasa sensasi motorik dalam tubuhku bekerja. Kesadaranku bak terombang-ambing tanpa raga.Kepalaku mulai bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi?Jadi, kepanikan tiba-tiba memenuhi benakku. Sensasi seolah aku akan mati.Namun, sebelum sensasi itu semakin menguat, sesuatu seperti mulai tiba di kepalaku. Aku mulai bisa mendengar sesuatu.“—kau tidak berperasaan.”Suara wanita. Suara familier dalam mimpiku.“Kalau Al sampai dengar itu, dia takkan memaafkanmu,” lanjutnya.“Aku memperingatim
Tidak ada waktu merenung, pergantian tempat berubah sangat cepat.Sekarang aku melihat padang rumput. Banyak orang berkumpul seolah akan melepas kepergian misi seseorang. Aku menoleh. Ibu membawa ransel besar, bicara dengan Bibi. Kemudian pria—sungguh, berkarisma, terlihat bisa diandalkan seolah bila aku satu misi dengannya ke alam liar, aku tidak perlu khawatir apakah aku bisa kembali atau tidak—sedang bicara dengan Kara versi janggut lebih pendek. Mereka seperti teman lama, dan pria itu menggendong adikku—aku masih tidak percaya itu Reila. Maksudku—Reila? Reila yang itu?Kuputuskan menyingkirkan gagasan itu.Setidaknya, pria yang menggendongnya, itu Ayah.Sekarang aku mengerti bagaimana Kara menyebut Ayah orang yang mampu merayu banyak cewek. Maksudku, secara teknis, dia seribu lebih bersinar dariku. Aku berani sumpah umurnya bukan dua puluh, tetapi dia terlihat jauh lebih muda seolah tidak pernah berumur. Atau kurasa keluargaku
Penglihatan berikutnya, aku ada di halaman belakang rumah.Halaman belakang sebenarnya tidak bisa disebut halaman belakang. Tidak ada langit terlihat. Kalau pun ada langit, hanya gedung-gedung raksasa dan langit yang mirip kubah. Sesuatu seperti membungkus wilayah ini dengan tanah.Namun, sejauh yang kulihat, halaman belakang ini tetaplah milik Ibu.Masih ada bunga-bunga hias, meski tak terlihat segar seperti di ladang. Ada beberapa bunga yang justru mekar seolah tidak peduli pada matahari. Rumah kami cukup berdempetan dengan rumah sebelah, sehingga halaman belakang tidak terasa lapang seperti halaman belakang di Padang Anushka. Halaman belakang kami agak terasa sempit karena dikelilingi pagar tinggi dan sulur tumbuhan alami.Ibu terlihat di selasar, duduk bersama Reila, mengaduk minuman dingin—melihat ke halaman belakang. Reila menggenggam boneka.Sementara aku, bermain lempar tangkap bola bersama Ayah di kejauhan.Ayah bilang, &ldquo
Setidaknya, terbesit ingatan di depanku, bagaimana Ibu sempat bicara empat mata denganku, dan suasananya sangat serius. Sepertinya kami sehabis menyiram bunga. Di dekat kami ada ember kosong dan selang memanjang. Reila tidak ada di mana-mana. Ibu duduk di selasar, aku duduk di sebelahnya menyantap apel.“Forlan pernah merasakan hal aneh, tidak?” tanya Ibu.“Hal aneh bagaimana?” balasku.“Seperti Forlan bisa melakukan sesuatu yang semestinya Forlan tidak bisa melakukannya—seperti... aduh, bagaimana cara Ibu mengatakannya, ya?”“Maksudnya, seperti yang botol terbang?”Ibu mendesah, tampak sulit membenarkan. “Salah satunya.”“Tapi kata Ayah itu sulapnya Ayah,” protesku.“Iya, itu cuma sulap Ayah,” Ibu buru-buru mengoreksi. “Tapi Forlan pernah tiba-tiba lihat sulap Ayah, kecuali yang kemarin, tidak?”“Hm,” tampaknya aku
Gang itu benar-benar membangkitkan kenangan mimpi lama.Suasananya persis sama. Sekarang aku mengerti itu bukan hanya mimpi. Itu masa lalu yang bangkit dalam mimpi. Anak gembrot itu tampak di belakang anak tinggi, melempar batu ke tempatku. Tidak ada yang kena. Terutama ketika aku bisa menghindarinya. Tampaknya permainan lempar tangkap bola berguna untuk situasi semacam ini. Aku mengerti sebenarnya Ayah hanya ingin membuatku siap sejak sangat dini—dengan cara paling halus yang bisa kuterima—yang mungkin tidak bisa dimengerti Ibu.Jadi, karena semua batu bisa dihindari dengan mudah. Kini yang datang tidak lagi batu. Botol, kelereng, sampah bau—apa pun selama bisa dilempar.Jeritan anak gembrot itu yang paling nyaring. “ANAK IBLIS!”“Usir dia dari sini!” sambut anak yang lain.“Pergi! Anak terkutuk harus pergi!”Tidak ada yang kulakukan. Hanya berdiri tegak.Semua lemparan itu bisa d
Belakangan aku baru menyadari bahwa jauh sebelum aku tiba di pondok—jauh sebelum aku dijelaskan segala hal tentang pemilik kemampuan—Ibu ternyata sudah menjelaskan semuanya, tentang bagaimana kami tidak normal.Semua dimulai ketika Ibu melarangku tidur sendirian. Ada bagian tubuhku yang masih sulit digerakkan, jadi gagasan tidur sendiri adalah hal terlarang menurut Ibu. Jadi, Ibu tidur di kamarku—entah berapa lama malam berlalu sejak aku babak belur, tetapi pada akhirnya di tengah kegelapan malam yang sunyi, aku bertanya, “Ibu belum tidur, kan? Boleh aku bilang sesuatu?”Ibu terpanggil, langsung menoleh menghadapku. “Kenapa, Sayang?”Hening sejenak, setidaknya beberapa saat ketika mata kami bertautan.“Ibu,” suaraku yang itu lumayan tajam. “Ibu bohong.”“Bohong?” Ibu lumayan terkejut. “Bohong apa?”“Ibu bilang aku tidak boleh bohong, jadi Ibu juga
Lompatan penglihatan berikutnya terjadi sangat cepat.Rasanya tidak terlihat jauh berbeda. Namun, sesuatu seperti mengambang. Aku melihat Ayah memeluk Ibu, dan seberapa bodohnya aku melihat itu, aku tahu Ibu seperti melarang Ayah melepasnya.Tampaknya kami sudah tidak di rumah yang terakhir kulihat. Kali ini kami di tempat yang jauh lebih bercahaya, seolah di luar ruangan ini, matahari bersinar menembus kubah tanah. Dan aku duduk dengan Reila. Reila menatap Ayah dan Ibu yang tengah berpelukan, memeluk boneka kuning, sembari termenung.Pada akhirnya, Ayah melepas pelukan, berhasil meyakinkan Ibu.Baru kusadari di dekat mereka ada orang yang familier: Kara. Jadi, selepas memeluk Ayah, Kara langsung berusaha menenangkan Ibu.Ayah menghampiriku. “Forlan, jaga Ibu dan Reila, oke?”Pertanyaan pertamaku langsung tajam. “Kapan Ayah pulang lagi?”“Secepatnya,” janji Ayah. “Kara butuh bantuan Ayah. Bila
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t