Kurasa orientasi baru dimulai saat kami pindah ruangan.
Kali ini ruangan serba putih, dan bukan mimpi. Papan tulis, proyektor, meja, kursi, hanya diisi aku, Profesor Neil, dan Kara. Ketika aku merasakan ruangan bak ruang interogasi, Profesor Neil bertanya, “Ingatanmu hilang, benar?”
Sedikit—hanya sedikit, tetapi aku merasakan ancaman di matanya. “Iya.”
Profesor Neil duduk di salah satu kursi, Kara di sebelahnya, lalu memintaku duduk di depannya. Kami dipisahkan meja ketika Profesor Neil menghela napas. “Sejujurnya hilang ingatan itu kasus yang langka. Kau perlu mendapat penanganan khusus dari tim medis—kau akan tahu apa itu tim medis—tapi sekarang, setidaknya aku punya hipotesis yang mungkin memberimu harapan: ingatanmu punya peluang kembali kalau memenuhi satu syarat.”
“Dan? Apa syaratnya?”
Dia mengacungkan telunjuknya. “Kau bukan pemilik kemampuan roh.”
Aku hampi
Profesor Neil bilang dia harus di laboratorium—yang kusadari kalau tempat kami bicara juga bagian laboratorium—jadi saat keluar Balai Dewan, Kara berkata, “Sungguh, maaf, Nak, tapi aku harus segera melatih. Bisakah kau berkeliling hanya dengan Jesse? Kau bisa menemuiku di gelanggang nanti.”“Bukan masalah,” kataku. “Jesse lumayan asyik diajak ngobrol.”Kara tersenyum lega. “Bagus. Nikmati waktumu, Nak.”Jadi, di depan Balai Dewan ada semacam selasar kayu yang—sebenarnya—berada di ketinggian. Dibilang selasar, sepertinya ada yang membuat Balai Dewan terhubung dengan sesuatu layaknya area pribadi di antara pohon pinus. Dari bawah sini, Jesse terlihat berbaring di sana, menikmati waktunya sebelum menemukanku berjalan. “Kau sudah selesai?” tanyanya.“Kurasa begitu,” jawabku.“Kau tidak terlihat menyedihkan.” Dia berada di tempat—yang aku ya
Barangkali aku akan berakhir semalaman di depan batu nisan kalau Jenderal tidak tiba-tiba bersuara, “Mereka pasangan yang heboh.”Aku, yang pada saat itu, tengah memeluk kaki, membenamkan kepala, entah bagaimana langsung mengangkat mata, melihat Jenderal berdiri tegak di sebelahku dengan aura keterlaluan hebat. Dia menatap jauh ke depan, membiarkan angin kecil mengibarkan jubahnya, dan—dari sudut ini pun, wajahnya masih misterius dengan seluruh selubung hitam pekat bayangan itu.Betapa bodohnya, aku baru sadar dan bangkit, “Oh. Maaf, Jenderal.”“Buang formalitas menjengkelkan itu, Bocah Kencur,” ketusnya. “Aku tak pernah punya otoritas penuh sampai membuatmu takut padaku.”“Tapi ....” Andai dia ingat sudah memberikan mata penuh dunia kiamat itu.“Waktu sudah berlalu sejak perang terakhir,” ucapnya. “Generasi penerus selalu tumbuh lebih cepat dari angin. Begitu kau s
Ketika kami berjalan menuju danau, aku mendesak Jesse, “Katakan padaku di mana Lembah Palapa. Jauh? Dekat? Berapa jauh dari sini?”Jesse sepertinya mulai muak karena aku terus mengoceh sejak kami keluar Telaga. “Tidak tahu, Bocah Alam,” desisnya. “Tidak ada kandidat baru yang tiba-tiba meminta misi menjaga Lembah Palapa. Reila pasti bilang itu enteng, tapi kau tahu Reila? Dia jenius. Dia kandidat paling jenius. Dari sistem rangking terkuat di sini, Reila urutan kedua dari kesadaran bertarung. Kalau kau membandingkan diri dengannya—yang bilang menjaga itu mudah—kau pasti mati dalam dua detik.”Dibilang seperti itu pertanyaanku semakin banyak. “Misi menjaga itu sulit? Lalu—apa? Rangking? Kesadaran bertarung? Di sini ada sistem rangking?”Setidaknya, dia tidak meladeni pertanyaanku sampai kami tiba di danau.Bukan danau yang tadi, tetapi danau yang lebih asli—secara harfiah. Jadi, kami t
Gerha ada di dekat perkebunan, jadi kami melihat penghuni yang memetik sesuatu. Caping mereka terlihat seperti terbakar dengan matahari terik seperti itu.“Kita bisa mencoret dua daftar di sini,” kata Jesse pada kertas. “Sejujurnya aku tak menyangka Jenderal akan muncul. Aku baru mau memanggil, dan tiba-tiba Jenderal lewat dengan aura yang,” dia merinding, “asing.”“Jenderal tampaknya misterius,” kataku. “Dia tiba-tiba hilang.”“Yah, kalau kau tahu Jenderal seperti apa, biasanya muncul secara tiba-tiba. Misalnya, saat kita sekarang lagi membicarakannya, dia bisa muncul. Dengan mata merah dan suara penuh aura membunuh, dia pasti melihatkan dunia kiamat.”Dibilang seperti itu, aku langsung mengedarkan pandangan. Kami masih di jalan berpaving, dan tidak ada siapa-siapa kecuali penghuni yang terdengar ricuh di perkebunan. Aku bisa saja bilang itu lelucon tidak lucu, tetapi mengingat Jende
Area Gerha pemilik kemampuan seperti padang rumput di balik bukit.Dan tempat ini jauh lebih segar dan keren dibanding area Gerha darah biru. Barangkali susunan Gerha tetap melingkar, tetapi di pusat lingkaran tidak ada lagi tungku api, melainkan sumur batu tua, dengan tungku obor raksasa di atasnya. Dua tiang kayu berdiri di sisinya, menjulang setinggi Gerha paling tinggi, dengan papan sasaran tembak setiap satu meter ke atas. Aku tahu itu papan target karena beberapa lubang membekas di sana. Di puncak dua tiang, berkibar panji bendera merah putih yang dikibaskan angin. Terlihat begitu megah, dan hebat.Kemudian titik pertama Gerha—seperti asrama Gerha darah biru—berdiri bangunan seperti rumah Joglo dengan lampu-lampu kuning berkesan megah. Baru dari pusat itu, Gerha berurutan ke samping membentuk lingkaran—berbeda dengan Gerha darah biru yang membentuk setengah lingkaran. Belum lagi Gerha pemilik kemampuan terlihat jauh lebih luas dengan adanya peka
Kesan pertamaku pada Joglo: tempat ini begitu elegan dan bersahaja.Tempat ini seperti gudang senjata sekaligus tempat pertemuan. Ada begitu banyak senjata, mulai dari pedang besi yang tidak terlalu berharga sampai pedang ringan, perisai, tombak, panah, bahkan senjata api. Joglo sekilas seperti Pendopo, tetapi aura pejuang di sini terasa membara lebih tajam. Belum lagi, beberapa bagian memiliki rak buku berjajar layaknya tempat ini pusat ilmu pengetahuan yang telah diturunkan selama ratusan tahun. Lingkaran besar yang menjorok ke bawah berada di pusat ruangan, mengeluarkan aura panas kuat dengan tungku api yang meletup pelan. Sepuluh kursi melingkar seperti kursi pertemuan, dan desain kursi itu terlihat mengeluarkan kekuatan yang memancar. Desain ukirannya begitu indah, tetapi itu tidak terlalu sebanding dengan aura gadis yang duduk di depan tungku, bersimbah keringat, dan napasnya terengah-engah.Jesse menghampirinya. Dia menoleh, mengangkat kepalanya.Dia gadi
Joglo punya ruang tersembunyi.Jadi, kami berjalan di bawah tangga sisi kanan, dan kupikir Elton akan naik, tetapi dia meraba rak buku di bawah tangga. Sungguh, rak itu bahkan tidak terlihat karena gelap. Aku tidak bisa melihat secara pasti apa yang dilakukannya, tetapi dia seperti mendorong rak, menggeser kotak yang hampir setinggi atap.Dan seperti yang kubayangkan: tangga rahasia.“Pastikan tidak ada siapa pun saat melakukan ini,” peringat Jesse.“Kalian memulai gerakan tertentu?” tuduhku. “Pemberontakan?”“Kujawab saat kita di ruangan.”Kami turun. Jalannya cukup gelap, tetapi seberkas cahaya di bawah seperti menyinari tangga. Jadi, ketika kami tiba di ruangan, aku langsung membeku. Bukan karena ruangan itu penuh nuansa gelap pemberontakan, nuansa ruangan itu justru terasa cerah sampai membuatku tergugah. Rasanya seperti penuh kenangan.Secara teknis, itu di bawah tanah, tetapi ruang
Aku tidak habis pikir ruangan itu di bawah tanah karena punya kompor.Jadi, aku dan Lavi sedang di dapur karena Lavi baru sadar cangkir kurang satu—iya, untukku, dan dia menghabiskannya. Dia mencetuskan buat teh sebelum Jesse bicara, tetapi aku butuh bicara dengannya. Maka kami sudah di dapur, yang sebenarnya berjarak tujuh langkah dari sofa Jesse.“Kaget dengan informasi?” tanya Lavi. Tangannya menuang air.“Aku terlihat begitu, ya?”“Aku sudah dengar soal bebanmu. Tidak apa-apa. Aku takkan membedakan temanku. Kalau punya masalah, kau bebas datang padaku.”Entah bagaimana aku senang dia menyebut itu bebanku.Lavi terus mengoceh betapa dia sebenarnya bisa membuat minuman yang jauh lebih enak di dapur utama—yang baru kumengerti kalau dapur utama yang dia maksud itu dapur Padang Anushka. Dengan bangga dia bilang punya bakat masak luar biasa. Aku sedikit membuat lelucon kalau bakatnya ban