Profesor Neil bilang dia harus di laboratorium—yang kusadari kalau tempat kami bicara juga bagian laboratorium—jadi saat keluar Balai Dewan, Kara berkata, “Sungguh, maaf, Nak, tapi aku harus segera melatih. Bisakah kau berkeliling hanya dengan Jesse? Kau bisa menemuiku di gelanggang nanti.”
“Bukan masalah,” kataku. “Jesse lumayan asyik diajak ngobrol.”
Kara tersenyum lega. “Bagus. Nikmati waktumu, Nak.”
Jadi, di depan Balai Dewan ada semacam selasar kayu yang—sebenarnya—berada di ketinggian. Dibilang selasar, sepertinya ada yang membuat Balai Dewan terhubung dengan sesuatu layaknya area pribadi di antara pohon pinus. Dari bawah sini, Jesse terlihat berbaring di sana, menikmati waktunya sebelum menemukanku berjalan. “Kau sudah selesai?” tanyanya.
“Kurasa begitu,” jawabku.
“Kau tidak terlihat menyedihkan.” Dia berada di tempat—yang aku ya
Barangkali aku akan berakhir semalaman di depan batu nisan kalau Jenderal tidak tiba-tiba bersuara, “Mereka pasangan yang heboh.”Aku, yang pada saat itu, tengah memeluk kaki, membenamkan kepala, entah bagaimana langsung mengangkat mata, melihat Jenderal berdiri tegak di sebelahku dengan aura keterlaluan hebat. Dia menatap jauh ke depan, membiarkan angin kecil mengibarkan jubahnya, dan—dari sudut ini pun, wajahnya masih misterius dengan seluruh selubung hitam pekat bayangan itu.Betapa bodohnya, aku baru sadar dan bangkit, “Oh. Maaf, Jenderal.”“Buang formalitas menjengkelkan itu, Bocah Kencur,” ketusnya. “Aku tak pernah punya otoritas penuh sampai membuatmu takut padaku.”“Tapi ....” Andai dia ingat sudah memberikan mata penuh dunia kiamat itu.“Waktu sudah berlalu sejak perang terakhir,” ucapnya. “Generasi penerus selalu tumbuh lebih cepat dari angin. Begitu kau s
Ketika kami berjalan menuju danau, aku mendesak Jesse, “Katakan padaku di mana Lembah Palapa. Jauh? Dekat? Berapa jauh dari sini?”Jesse sepertinya mulai muak karena aku terus mengoceh sejak kami keluar Telaga. “Tidak tahu, Bocah Alam,” desisnya. “Tidak ada kandidat baru yang tiba-tiba meminta misi menjaga Lembah Palapa. Reila pasti bilang itu enteng, tapi kau tahu Reila? Dia jenius. Dia kandidat paling jenius. Dari sistem rangking terkuat di sini, Reila urutan kedua dari kesadaran bertarung. Kalau kau membandingkan diri dengannya—yang bilang menjaga itu mudah—kau pasti mati dalam dua detik.”Dibilang seperti itu pertanyaanku semakin banyak. “Misi menjaga itu sulit? Lalu—apa? Rangking? Kesadaran bertarung? Di sini ada sistem rangking?”Setidaknya, dia tidak meladeni pertanyaanku sampai kami tiba di danau.Bukan danau yang tadi, tetapi danau yang lebih asli—secara harfiah. Jadi, kami t
Gerha ada di dekat perkebunan, jadi kami melihat penghuni yang memetik sesuatu. Caping mereka terlihat seperti terbakar dengan matahari terik seperti itu.“Kita bisa mencoret dua daftar di sini,” kata Jesse pada kertas. “Sejujurnya aku tak menyangka Jenderal akan muncul. Aku baru mau memanggil, dan tiba-tiba Jenderal lewat dengan aura yang,” dia merinding, “asing.”“Jenderal tampaknya misterius,” kataku. “Dia tiba-tiba hilang.”“Yah, kalau kau tahu Jenderal seperti apa, biasanya muncul secara tiba-tiba. Misalnya, saat kita sekarang lagi membicarakannya, dia bisa muncul. Dengan mata merah dan suara penuh aura membunuh, dia pasti melihatkan dunia kiamat.”Dibilang seperti itu, aku langsung mengedarkan pandangan. Kami masih di jalan berpaving, dan tidak ada siapa-siapa kecuali penghuni yang terdengar ricuh di perkebunan. Aku bisa saja bilang itu lelucon tidak lucu, tetapi mengingat Jende
Area Gerha pemilik kemampuan seperti padang rumput di balik bukit.Dan tempat ini jauh lebih segar dan keren dibanding area Gerha darah biru. Barangkali susunan Gerha tetap melingkar, tetapi di pusat lingkaran tidak ada lagi tungku api, melainkan sumur batu tua, dengan tungku obor raksasa di atasnya. Dua tiang kayu berdiri di sisinya, menjulang setinggi Gerha paling tinggi, dengan papan sasaran tembak setiap satu meter ke atas. Aku tahu itu papan target karena beberapa lubang membekas di sana. Di puncak dua tiang, berkibar panji bendera merah putih yang dikibaskan angin. Terlihat begitu megah, dan hebat.Kemudian titik pertama Gerha—seperti asrama Gerha darah biru—berdiri bangunan seperti rumah Joglo dengan lampu-lampu kuning berkesan megah. Baru dari pusat itu, Gerha berurutan ke samping membentuk lingkaran—berbeda dengan Gerha darah biru yang membentuk setengah lingkaran. Belum lagi Gerha pemilik kemampuan terlihat jauh lebih luas dengan adanya peka
Kesan pertamaku pada Joglo: tempat ini begitu elegan dan bersahaja.Tempat ini seperti gudang senjata sekaligus tempat pertemuan. Ada begitu banyak senjata, mulai dari pedang besi yang tidak terlalu berharga sampai pedang ringan, perisai, tombak, panah, bahkan senjata api. Joglo sekilas seperti Pendopo, tetapi aura pejuang di sini terasa membara lebih tajam. Belum lagi, beberapa bagian memiliki rak buku berjajar layaknya tempat ini pusat ilmu pengetahuan yang telah diturunkan selama ratusan tahun. Lingkaran besar yang menjorok ke bawah berada di pusat ruangan, mengeluarkan aura panas kuat dengan tungku api yang meletup pelan. Sepuluh kursi melingkar seperti kursi pertemuan, dan desain kursi itu terlihat mengeluarkan kekuatan yang memancar. Desain ukirannya begitu indah, tetapi itu tidak terlalu sebanding dengan aura gadis yang duduk di depan tungku, bersimbah keringat, dan napasnya terengah-engah.Jesse menghampirinya. Dia menoleh, mengangkat kepalanya.Dia gadi
Joglo punya ruang tersembunyi.Jadi, kami berjalan di bawah tangga sisi kanan, dan kupikir Elton akan naik, tetapi dia meraba rak buku di bawah tangga. Sungguh, rak itu bahkan tidak terlihat karena gelap. Aku tidak bisa melihat secara pasti apa yang dilakukannya, tetapi dia seperti mendorong rak, menggeser kotak yang hampir setinggi atap.Dan seperti yang kubayangkan: tangga rahasia.“Pastikan tidak ada siapa pun saat melakukan ini,” peringat Jesse.“Kalian memulai gerakan tertentu?” tuduhku. “Pemberontakan?”“Kujawab saat kita di ruangan.”Kami turun. Jalannya cukup gelap, tetapi seberkas cahaya di bawah seperti menyinari tangga. Jadi, ketika kami tiba di ruangan, aku langsung membeku. Bukan karena ruangan itu penuh nuansa gelap pemberontakan, nuansa ruangan itu justru terasa cerah sampai membuatku tergugah. Rasanya seperti penuh kenangan.Secara teknis, itu di bawah tanah, tetapi ruang
Aku tidak habis pikir ruangan itu di bawah tanah karena punya kompor.Jadi, aku dan Lavi sedang di dapur karena Lavi baru sadar cangkir kurang satu—iya, untukku, dan dia menghabiskannya. Dia mencetuskan buat teh sebelum Jesse bicara, tetapi aku butuh bicara dengannya. Maka kami sudah di dapur, yang sebenarnya berjarak tujuh langkah dari sofa Jesse.“Kaget dengan informasi?” tanya Lavi. Tangannya menuang air.“Aku terlihat begitu, ya?”“Aku sudah dengar soal bebanmu. Tidak apa-apa. Aku takkan membedakan temanku. Kalau punya masalah, kau bebas datang padaku.”Entah bagaimana aku senang dia menyebut itu bebanku.Lavi terus mengoceh betapa dia sebenarnya bisa membuat minuman yang jauh lebih enak di dapur utama—yang baru kumengerti kalau dapur utama yang dia maksud itu dapur Padang Anushka. Dengan bangga dia bilang punya bakat masak luar biasa. Aku sedikit membuat lelucon kalau bakatnya ban
Gerhaku, barangkali hal terbersih yang kulihat sejak kematian Aza.Hanya rumah sederhana. Satu kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan ruang depan. Tidak ada peralatan apa pun. Kompor bahkan tidak ada. Hanya tempat tidur dan lemari berisi pakaian yang tidak pernah kumiliki. Kaus dengan berbagai macam warna bertuliskan PADANG ANUSHKA, atau ilustrasi yang menggambarkan apa yang terlihat dari gelanggang di padang rumput: senjata dan pertarungan.Sebagian jiwaku kembali melihat pedang perunggu. Pedang itu tergantung, tidak tergores—bahkan kelihatan terasah. Kupikir aku perlu sungguhan berterima kasih pada Reila. Mungkin menyambutnya saat kembali atau apalah.Di dekat ranjang ada rak meja. Jadi, di dalam rak ada selembar amplop kecil, yang membuat heran ketika di depan Gerha terdapat kotak surat. Sayangnya, begitu membaca isi suratnya, aku tahu mengapa surat itu di sini.Surat itu berisi tulisan tangan yang terukir indah, dengan susunan kata yang terpusat d
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak