Share

14. RUMAH #1

last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-28 14:00:39

Aku bermimpi yang menyakitkan.

Aku berada di gang kecil, sempit, dan gelap. Tak ada situasi yang harus bisa kumengerti karena begitu semua itu terjadi, aku sudah dilempari batu, botol, atau apa pun oleh anak-anak kecil. Mereka berteriak girang. “ANAK IBLIS!”

Tidak ada yang kulakukan, hanya berdiri tegak.

Dan ada anak yang lumayan tua. Cukup tinggi. Dia mencengkeram kausku, kemudian menonjok keras. Aku terbanting, dan anak-anak yang melempariku batu terdiam. Mereka kaget—atau takut. Anak-anak lebih tua itu semakin banyak, mulai mengelilingi gang sempit, dan aku diangkat.

“Jadi, ini anak dukun?”

Aku tidak bisa merasakan apa yang terjadi, tetapi mataku melihat beragam macam pukulan mendarat ke wajahku, perut, atau punggung. Hidungku perih bak mengeluarkan cairan. Gigiku penuh rasa besi. Namun, tidak ada yang terasa ketika pukulan itu mendarat ke tubuhku. Hanya efek samping yang terasa kemudian.

Serangan itu berakhi

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Selubung Memori   15. RUMAH #2

    Aku mulai bisa merasakan keberadaan tubuhku saat kepalaku terasa segar. Barangkali semua bermula sejak mataku setengah terbuka, yang membuatku bisa mendapati seorang perempuan dengan aroma manis bernuansa ketenangan. Binar matanya langsung cerah begitu mendapati mataku terbuka. “Kau bisa mendengarku?” tanyanya.Entah bagaimana aku mengangguk.Dia memandang sekeliling, seolah memastikan ruangan memang kosong. “Sudah mulai bekerja,” katanya. “Kau bisa minum ini?”Dia menawariku sesuatu. Bibir botol yang dingin, dan sesuatu terasa melalui tenggorokanku. Segar. Atau dingin. Namun, senyum manis perempuan itu berhasil membuatku tenang. “Aku menjagamu sampai bangun.”Kesadaranku menjauh lagi.Dan tiba-tiba mataku terbuka. Sepenuhnya.Kali ini aku bisa merasakan jelas apa yang terjadi pada tubuhku. Tidak ada perasaan aneh yang timbul seperti mimpi buruk, hanya tiba-tiba saja duduk tegak, melihat sekeli

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-30
  • Selubung Memori   16. RUMAH #3

    Layla benar. Aku berada di loteng. Kami menuruni tangga sempit yang hanya bisa memuat satu orang, dan ini hanya tangga kayu seperti yang biasa kugunakan memperbaiki atap bocor pondok. Loteng seperti ruangan isolasi terpisah. Butuh tenaga untuk masuk. Jadi, ketika kami berhasil sampai di lantai—yang tampaknya lantai kedua pondok—di sana ada ruang tengah dengan sofa melingkar, karpet bulu, dan televisi layar lebar yang tidak menyala. Di sana tersebar bingkai yang memajang potret tiap orang. Rasanya aku tahu itu potret penghuni, tetapi—terlalu banyak. Maka saat aku menatap itu dengan heran, Dalton berkata, “Tidak sebanyak itu.” “Apa?” sahutku. “Setiap daerah punya jumlah bingkai beda. Sepuluh tahun ini, bingkainya di lantai satu. Jadi, yang kau lihat di sini bukan penghuni sekarang.” “Berarti ini penghuni sepuluh tahun sebelumnya?” “Untuk mengenang,” ujarnya. “Sebagian besar sudah gugur.” Itu bukan topik yang ingin kubicarakan, ja

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-01
  • Selubung Memori   17. RUMAH #4

    Reila bilang ada beberapa yang harus kumengerti sebelum bergaul dengan penghuni lain, tetapi dia tidak punya waktu menjelaskan. “Mungkin Dalton yang cerita—eh,” dia seperti baru teringat, “Dalton bukan tipe yang menganggap itu penting, sih, jadi mungkin Jesse atau Nuel.” “Maksudmu, tentang mereka yang akan menjauhiku?” “Kurang lebih, tapi, lihat, deh, sepertinya kita tidak bisa bicara itu.” Kami hampir keluar pondok, dan tampaknya aku mengerti mengapa Reila seperti diburu sesuatu. Seorang wanita terlihat menunggu di ambang pintu bersama Kara dan Dokter Gelda. “Nah, itu Reila,” sebutnya. “Jangan tiba-tiba hilang, dong.” “Maaf,” kata Reila. “Lebih cepat pergi, lebih cepat juga kita kembali,” katanya. “Dan—” Dia menemukanku. “Wah! Forlan?” Aku bergidik, kaget wanita itu tahu tentangku. Kemudian wanita itu mendekat. Wanita yang punya rambut lurus dan diikat dengan gaya memikat—aku tidak tahu bagaimana cara dia menyusun, men

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Selubung Memori   18. RUMAH #5

    Aku agak sulit mempercayai apa yang kulihat.Pertama yang kulihat, adalah bagian dalam Balai Dewan seperti istana. Dari pintu masuk ada dua tangga yang dipisahkan meja resepsionis. Lalu di sana seorang pemuda duduk seperti memainkan kotak. Dia baru menyadari kami saat Kara sudah mengetuk meja. “Nuel.”Pemuda itu mengangkat muka. “Oh, Kara, dan ....” dia melihatku.Aku hampir memperkenalkan diri, tetapi dia menyipitkan mata, mendadak berseru, “Kandidat baru! Kau sudah bangun?”“Eh,” kataku, tetapi dia langsung menjabat tanganku.“Aku Nuel, bro,” katanya. “Jenderal di dalam. Main Gaple.”“Ga-Gapele?” tanyaku.“Gaple,” ulang Nuel. “Permainan kartu dengan domino. Sebaiknya kau tahu Gaple karena Jenderal mengajakmu main. Kalau menolak,” tiba-tiba dia merinding, “kau pasti menyesal.”“Lanjutkan gadget

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Selubung Memori   19. RUMAH #6

    Kurasa orientasi baru dimulai saat kami pindah ruangan.Kali ini ruangan serba putih, dan bukan mimpi. Papan tulis, proyektor, meja, kursi, hanya diisi aku, Profesor Neil, dan Kara. Ketika aku merasakan ruangan bak ruang interogasi, Profesor Neil bertanya, “Ingatanmu hilang, benar?”Sedikit—hanya sedikit, tetapi aku merasakan ancaman di matanya. “Iya.”Profesor Neil duduk di salah satu kursi, Kara di sebelahnya, lalu memintaku duduk di depannya. Kami dipisahkan meja ketika Profesor Neil menghela napas. “Sejujurnya hilang ingatan itu kasus yang langka. Kau perlu mendapat penanganan khusus dari tim medis—kau akan tahu apa itu tim medis—tapi sekarang, setidaknya aku punya hipotesis yang mungkin memberimu harapan: ingatanmu punya peluang kembali kalau memenuhi satu syarat.”“Dan? Apa syaratnya?”Dia mengacungkan telunjuknya. “Kau bukan pemilik kemampuan roh.”Aku hampi

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-08
  • Selubung Memori   20. RUMAH #7

    Profesor Neil bilang dia harus di laboratorium—yang kusadari kalau tempat kami bicara juga bagian laboratorium—jadi saat keluar Balai Dewan, Kara berkata, “Sungguh, maaf, Nak, tapi aku harus segera melatih. Bisakah kau berkeliling hanya dengan Jesse? Kau bisa menemuiku di gelanggang nanti.”“Bukan masalah,” kataku. “Jesse lumayan asyik diajak ngobrol.”Kara tersenyum lega. “Bagus. Nikmati waktumu, Nak.”Jadi, di depan Balai Dewan ada semacam selasar kayu yang—sebenarnya—berada di ketinggian. Dibilang selasar, sepertinya ada yang membuat Balai Dewan terhubung dengan sesuatu layaknya area pribadi di antara pohon pinus. Dari bawah sini, Jesse terlihat berbaring di sana, menikmati waktunya sebelum menemukanku berjalan. “Kau sudah selesai?” tanyanya.“Kurasa begitu,” jawabku.“Kau tidak terlihat menyedihkan.” Dia berada di tempat—yang aku ya

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-10
  • Selubung Memori   21. RUMAH #8

    Barangkali aku akan berakhir semalaman di depan batu nisan kalau Jenderal tidak tiba-tiba bersuara, “Mereka pasangan yang heboh.”Aku, yang pada saat itu, tengah memeluk kaki, membenamkan kepala, entah bagaimana langsung mengangkat mata, melihat Jenderal berdiri tegak di sebelahku dengan aura keterlaluan hebat. Dia menatap jauh ke depan, membiarkan angin kecil mengibarkan jubahnya, dan—dari sudut ini pun, wajahnya masih misterius dengan seluruh selubung hitam pekat bayangan itu.Betapa bodohnya, aku baru sadar dan bangkit, “Oh. Maaf, Jenderal.”“Buang formalitas menjengkelkan itu, Bocah Kencur,” ketusnya. “Aku tak pernah punya otoritas penuh sampai membuatmu takut padaku.”“Tapi ....” Andai dia ingat sudah memberikan mata penuh dunia kiamat itu.“Waktu sudah berlalu sejak perang terakhir,” ucapnya. “Generasi penerus selalu tumbuh lebih cepat dari angin. Begitu kau s

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-12
  • Selubung Memori   22. PADANG ANUSHKA #1

    Ketika kami berjalan menuju danau, aku mendesak Jesse, “Katakan padaku di mana Lembah Palapa. Jauh? Dekat? Berapa jauh dari sini?”Jesse sepertinya mulai muak karena aku terus mengoceh sejak kami keluar Telaga. “Tidak tahu, Bocah Alam,” desisnya. “Tidak ada kandidat baru yang tiba-tiba meminta misi menjaga Lembah Palapa. Reila pasti bilang itu enteng, tapi kau tahu Reila? Dia jenius. Dia kandidat paling jenius. Dari sistem rangking terkuat di sini, Reila urutan kedua dari kesadaran bertarung. Kalau kau membandingkan diri dengannya—yang bilang menjaga itu mudah—kau pasti mati dalam dua detik.”Dibilang seperti itu pertanyaanku semakin banyak. “Misi menjaga itu sulit? Lalu—apa? Rangking? Kesadaran bertarung? Di sini ada sistem rangking?”Setidaknya, dia tidak meladeni pertanyaanku sampai kami tiba di danau.Bukan danau yang tadi, tetapi danau yang lebih asli—secara harfiah. Jadi, kami t

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-14

Bab terbaru

  • Selubung Memori   613. HUTAN BEKU #1

    Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L

  • Selubung Memori   612. GUA TEBING #9

    Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura

  • Selubung Memori   611. GUA TEBING #8

    Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status