Reila bilang ada beberapa yang harus kumengerti sebelum bergaul dengan penghuni lain, tetapi dia tidak punya waktu menjelaskan.
“Mungkin Dalton yang cerita—eh,” dia seperti baru teringat, “Dalton bukan tipe yang menganggap itu penting, sih, jadi mungkin Jesse atau Nuel.”
“Maksudmu, tentang mereka yang akan menjauhiku?”
“Kurang lebih, tapi, lihat, deh, sepertinya kita tidak bisa bicara itu.”
Kami hampir keluar pondok, dan tampaknya aku mengerti mengapa Reila seperti diburu sesuatu. Seorang wanita terlihat menunggu di ambang pintu bersama Kara dan Dokter Gelda. “Nah, itu Reila,” sebutnya. “Jangan tiba-tiba hilang, dong.”
“Maaf,” kata Reila.
“Lebih cepat pergi, lebih cepat juga kita kembali,” katanya. “Dan—” Dia menemukanku. “Wah! Forlan?”
Aku bergidik, kaget wanita itu tahu tentangku.
Kemudian wanita itu mendekat. Wanita yang punya rambut lurus dan diikat dengan gaya memikat—aku tidak tahu bagaimana cara dia menyusun, men
Aku agak sulit mempercayai apa yang kulihat.Pertama yang kulihat, adalah bagian dalam Balai Dewan seperti istana. Dari pintu masuk ada dua tangga yang dipisahkan meja resepsionis. Lalu di sana seorang pemuda duduk seperti memainkan kotak. Dia baru menyadari kami saat Kara sudah mengetuk meja. “Nuel.”Pemuda itu mengangkat muka. “Oh, Kara, dan ....” dia melihatku.Aku hampir memperkenalkan diri, tetapi dia menyipitkan mata, mendadak berseru, “Kandidat baru! Kau sudah bangun?”“Eh,” kataku, tetapi dia langsung menjabat tanganku.“Aku Nuel, bro,” katanya. “Jenderal di dalam. Main Gaple.”“Ga-Gapele?” tanyaku.“Gaple,” ulang Nuel. “Permainan kartu dengan domino. Sebaiknya kau tahu Gaple karena Jenderal mengajakmu main. Kalau menolak,” tiba-tiba dia merinding, “kau pasti menyesal.”“Lanjutkan gadget
Kurasa orientasi baru dimulai saat kami pindah ruangan.Kali ini ruangan serba putih, dan bukan mimpi. Papan tulis, proyektor, meja, kursi, hanya diisi aku, Profesor Neil, dan Kara. Ketika aku merasakan ruangan bak ruang interogasi, Profesor Neil bertanya, “Ingatanmu hilang, benar?”Sedikit—hanya sedikit, tetapi aku merasakan ancaman di matanya. “Iya.”Profesor Neil duduk di salah satu kursi, Kara di sebelahnya, lalu memintaku duduk di depannya. Kami dipisahkan meja ketika Profesor Neil menghela napas. “Sejujurnya hilang ingatan itu kasus yang langka. Kau perlu mendapat penanganan khusus dari tim medis—kau akan tahu apa itu tim medis—tapi sekarang, setidaknya aku punya hipotesis yang mungkin memberimu harapan: ingatanmu punya peluang kembali kalau memenuhi satu syarat.”“Dan? Apa syaratnya?”Dia mengacungkan telunjuknya. “Kau bukan pemilik kemampuan roh.”Aku hampi
Profesor Neil bilang dia harus di laboratorium—yang kusadari kalau tempat kami bicara juga bagian laboratorium—jadi saat keluar Balai Dewan, Kara berkata, “Sungguh, maaf, Nak, tapi aku harus segera melatih. Bisakah kau berkeliling hanya dengan Jesse? Kau bisa menemuiku di gelanggang nanti.”“Bukan masalah,” kataku. “Jesse lumayan asyik diajak ngobrol.”Kara tersenyum lega. “Bagus. Nikmati waktumu, Nak.”Jadi, di depan Balai Dewan ada semacam selasar kayu yang—sebenarnya—berada di ketinggian. Dibilang selasar, sepertinya ada yang membuat Balai Dewan terhubung dengan sesuatu layaknya area pribadi di antara pohon pinus. Dari bawah sini, Jesse terlihat berbaring di sana, menikmati waktunya sebelum menemukanku berjalan. “Kau sudah selesai?” tanyanya.“Kurasa begitu,” jawabku.“Kau tidak terlihat menyedihkan.” Dia berada di tempat—yang aku ya
Barangkali aku akan berakhir semalaman di depan batu nisan kalau Jenderal tidak tiba-tiba bersuara, “Mereka pasangan yang heboh.”Aku, yang pada saat itu, tengah memeluk kaki, membenamkan kepala, entah bagaimana langsung mengangkat mata, melihat Jenderal berdiri tegak di sebelahku dengan aura keterlaluan hebat. Dia menatap jauh ke depan, membiarkan angin kecil mengibarkan jubahnya, dan—dari sudut ini pun, wajahnya masih misterius dengan seluruh selubung hitam pekat bayangan itu.Betapa bodohnya, aku baru sadar dan bangkit, “Oh. Maaf, Jenderal.”“Buang formalitas menjengkelkan itu, Bocah Kencur,” ketusnya. “Aku tak pernah punya otoritas penuh sampai membuatmu takut padaku.”“Tapi ....” Andai dia ingat sudah memberikan mata penuh dunia kiamat itu.“Waktu sudah berlalu sejak perang terakhir,” ucapnya. “Generasi penerus selalu tumbuh lebih cepat dari angin. Begitu kau s
Ketika kami berjalan menuju danau, aku mendesak Jesse, “Katakan padaku di mana Lembah Palapa. Jauh? Dekat? Berapa jauh dari sini?”Jesse sepertinya mulai muak karena aku terus mengoceh sejak kami keluar Telaga. “Tidak tahu, Bocah Alam,” desisnya. “Tidak ada kandidat baru yang tiba-tiba meminta misi menjaga Lembah Palapa. Reila pasti bilang itu enteng, tapi kau tahu Reila? Dia jenius. Dia kandidat paling jenius. Dari sistem rangking terkuat di sini, Reila urutan kedua dari kesadaran bertarung. Kalau kau membandingkan diri dengannya—yang bilang menjaga itu mudah—kau pasti mati dalam dua detik.”Dibilang seperti itu pertanyaanku semakin banyak. “Misi menjaga itu sulit? Lalu—apa? Rangking? Kesadaran bertarung? Di sini ada sistem rangking?”Setidaknya, dia tidak meladeni pertanyaanku sampai kami tiba di danau.Bukan danau yang tadi, tetapi danau yang lebih asli—secara harfiah. Jadi, kami t
Gerha ada di dekat perkebunan, jadi kami melihat penghuni yang memetik sesuatu. Caping mereka terlihat seperti terbakar dengan matahari terik seperti itu.“Kita bisa mencoret dua daftar di sini,” kata Jesse pada kertas. “Sejujurnya aku tak menyangka Jenderal akan muncul. Aku baru mau memanggil, dan tiba-tiba Jenderal lewat dengan aura yang,” dia merinding, “asing.”“Jenderal tampaknya misterius,” kataku. “Dia tiba-tiba hilang.”“Yah, kalau kau tahu Jenderal seperti apa, biasanya muncul secara tiba-tiba. Misalnya, saat kita sekarang lagi membicarakannya, dia bisa muncul. Dengan mata merah dan suara penuh aura membunuh, dia pasti melihatkan dunia kiamat.”Dibilang seperti itu, aku langsung mengedarkan pandangan. Kami masih di jalan berpaving, dan tidak ada siapa-siapa kecuali penghuni yang terdengar ricuh di perkebunan. Aku bisa saja bilang itu lelucon tidak lucu, tetapi mengingat Jende
Area Gerha pemilik kemampuan seperti padang rumput di balik bukit.Dan tempat ini jauh lebih segar dan keren dibanding area Gerha darah biru. Barangkali susunan Gerha tetap melingkar, tetapi di pusat lingkaran tidak ada lagi tungku api, melainkan sumur batu tua, dengan tungku obor raksasa di atasnya. Dua tiang kayu berdiri di sisinya, menjulang setinggi Gerha paling tinggi, dengan papan sasaran tembak setiap satu meter ke atas. Aku tahu itu papan target karena beberapa lubang membekas di sana. Di puncak dua tiang, berkibar panji bendera merah putih yang dikibaskan angin. Terlihat begitu megah, dan hebat.Kemudian titik pertama Gerha—seperti asrama Gerha darah biru—berdiri bangunan seperti rumah Joglo dengan lampu-lampu kuning berkesan megah. Baru dari pusat itu, Gerha berurutan ke samping membentuk lingkaran—berbeda dengan Gerha darah biru yang membentuk setengah lingkaran. Belum lagi Gerha pemilik kemampuan terlihat jauh lebih luas dengan adanya peka
Kesan pertamaku pada Joglo: tempat ini begitu elegan dan bersahaja.Tempat ini seperti gudang senjata sekaligus tempat pertemuan. Ada begitu banyak senjata, mulai dari pedang besi yang tidak terlalu berharga sampai pedang ringan, perisai, tombak, panah, bahkan senjata api. Joglo sekilas seperti Pendopo, tetapi aura pejuang di sini terasa membara lebih tajam. Belum lagi, beberapa bagian memiliki rak buku berjajar layaknya tempat ini pusat ilmu pengetahuan yang telah diturunkan selama ratusan tahun. Lingkaran besar yang menjorok ke bawah berada di pusat ruangan, mengeluarkan aura panas kuat dengan tungku api yang meletup pelan. Sepuluh kursi melingkar seperti kursi pertemuan, dan desain kursi itu terlihat mengeluarkan kekuatan yang memancar. Desain ukirannya begitu indah, tetapi itu tidak terlalu sebanding dengan aura gadis yang duduk di depan tungku, bersimbah keringat, dan napasnya terengah-engah.Jesse menghampirinya. Dia menoleh, mengangkat kepalanya.Dia gadi
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan