Home / Fantasi / Selubung Memori / 15. RUMAH #2

Share

15. RUMAH #2

last update Last Updated: 2021-08-30 14:00:55

Aku mulai bisa merasakan keberadaan tubuhku saat kepalaku terasa segar. Barangkali semua bermula sejak mataku setengah terbuka, yang membuatku bisa mendapati seorang perempuan dengan aroma manis bernuansa ketenangan. Binar matanya langsung cerah begitu mendapati mataku terbuka. “Kau bisa mendengarku?” tanyanya.

Entah bagaimana aku mengangguk.

Dia memandang sekeliling, seolah memastikan ruangan memang kosong. “Sudah mulai bekerja,” katanya. “Kau bisa minum ini?”

Dia menawariku sesuatu. Bibir botol yang dingin, dan sesuatu terasa melalui tenggorokanku. Segar. Atau dingin. Namun, senyum manis perempuan itu berhasil membuatku tenang. “Aku menjagamu sampai bangun.”

Kesadaranku menjauh lagi.

Dan tiba-tiba mataku terbuka. Sepenuhnya.

Kali ini aku bisa merasakan jelas apa yang terjadi pada tubuhku. Tidak ada perasaan aneh yang timbul seperti mimpi buruk, hanya tiba-tiba saja duduk tegak, melihat sekeli

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Selubung Memori   16. RUMAH #3

    Layla benar. Aku berada di loteng. Kami menuruni tangga sempit yang hanya bisa memuat satu orang, dan ini hanya tangga kayu seperti yang biasa kugunakan memperbaiki atap bocor pondok. Loteng seperti ruangan isolasi terpisah. Butuh tenaga untuk masuk. Jadi, ketika kami berhasil sampai di lantai—yang tampaknya lantai kedua pondok—di sana ada ruang tengah dengan sofa melingkar, karpet bulu, dan televisi layar lebar yang tidak menyala. Di sana tersebar bingkai yang memajang potret tiap orang. Rasanya aku tahu itu potret penghuni, tetapi—terlalu banyak. Maka saat aku menatap itu dengan heran, Dalton berkata, “Tidak sebanyak itu.” “Apa?” sahutku. “Setiap daerah punya jumlah bingkai beda. Sepuluh tahun ini, bingkainya di lantai satu. Jadi, yang kau lihat di sini bukan penghuni sekarang.” “Berarti ini penghuni sepuluh tahun sebelumnya?” “Untuk mengenang,” ujarnya. “Sebagian besar sudah gugur.” Itu bukan topik yang ingin kubicarakan, ja

    Last Updated : 2021-09-01
  • Selubung Memori   17. RUMAH #4

    Reila bilang ada beberapa yang harus kumengerti sebelum bergaul dengan penghuni lain, tetapi dia tidak punya waktu menjelaskan. “Mungkin Dalton yang cerita—eh,” dia seperti baru teringat, “Dalton bukan tipe yang menganggap itu penting, sih, jadi mungkin Jesse atau Nuel.” “Maksudmu, tentang mereka yang akan menjauhiku?” “Kurang lebih, tapi, lihat, deh, sepertinya kita tidak bisa bicara itu.” Kami hampir keluar pondok, dan tampaknya aku mengerti mengapa Reila seperti diburu sesuatu. Seorang wanita terlihat menunggu di ambang pintu bersama Kara dan Dokter Gelda. “Nah, itu Reila,” sebutnya. “Jangan tiba-tiba hilang, dong.” “Maaf,” kata Reila. “Lebih cepat pergi, lebih cepat juga kita kembali,” katanya. “Dan—” Dia menemukanku. “Wah! Forlan?” Aku bergidik, kaget wanita itu tahu tentangku. Kemudian wanita itu mendekat. Wanita yang punya rambut lurus dan diikat dengan gaya memikat—aku tidak tahu bagaimana cara dia menyusun, men

    Last Updated : 2021-09-04
  • Selubung Memori   18. RUMAH #5

    Aku agak sulit mempercayai apa yang kulihat.Pertama yang kulihat, adalah bagian dalam Balai Dewan seperti istana. Dari pintu masuk ada dua tangga yang dipisahkan meja resepsionis. Lalu di sana seorang pemuda duduk seperti memainkan kotak. Dia baru menyadari kami saat Kara sudah mengetuk meja. “Nuel.”Pemuda itu mengangkat muka. “Oh, Kara, dan ....” dia melihatku.Aku hampir memperkenalkan diri, tetapi dia menyipitkan mata, mendadak berseru, “Kandidat baru! Kau sudah bangun?”“Eh,” kataku, tetapi dia langsung menjabat tanganku.“Aku Nuel, bro,” katanya. “Jenderal di dalam. Main Gaple.”“Ga-Gapele?” tanyaku.“Gaple,” ulang Nuel. “Permainan kartu dengan domino. Sebaiknya kau tahu Gaple karena Jenderal mengajakmu main. Kalau menolak,” tiba-tiba dia merinding, “kau pasti menyesal.”“Lanjutkan gadget

    Last Updated : 2021-09-06
  • Selubung Memori   19. RUMAH #6

    Kurasa orientasi baru dimulai saat kami pindah ruangan.Kali ini ruangan serba putih, dan bukan mimpi. Papan tulis, proyektor, meja, kursi, hanya diisi aku, Profesor Neil, dan Kara. Ketika aku merasakan ruangan bak ruang interogasi, Profesor Neil bertanya, “Ingatanmu hilang, benar?”Sedikit—hanya sedikit, tetapi aku merasakan ancaman di matanya. “Iya.”Profesor Neil duduk di salah satu kursi, Kara di sebelahnya, lalu memintaku duduk di depannya. Kami dipisahkan meja ketika Profesor Neil menghela napas. “Sejujurnya hilang ingatan itu kasus yang langka. Kau perlu mendapat penanganan khusus dari tim medis—kau akan tahu apa itu tim medis—tapi sekarang, setidaknya aku punya hipotesis yang mungkin memberimu harapan: ingatanmu punya peluang kembali kalau memenuhi satu syarat.”“Dan? Apa syaratnya?”Dia mengacungkan telunjuknya. “Kau bukan pemilik kemampuan roh.”Aku hampi

    Last Updated : 2021-09-08
  • Selubung Memori   20. RUMAH #7

    Profesor Neil bilang dia harus di laboratorium—yang kusadari kalau tempat kami bicara juga bagian laboratorium—jadi saat keluar Balai Dewan, Kara berkata, “Sungguh, maaf, Nak, tapi aku harus segera melatih. Bisakah kau berkeliling hanya dengan Jesse? Kau bisa menemuiku di gelanggang nanti.”“Bukan masalah,” kataku. “Jesse lumayan asyik diajak ngobrol.”Kara tersenyum lega. “Bagus. Nikmati waktumu, Nak.”Jadi, di depan Balai Dewan ada semacam selasar kayu yang—sebenarnya—berada di ketinggian. Dibilang selasar, sepertinya ada yang membuat Balai Dewan terhubung dengan sesuatu layaknya area pribadi di antara pohon pinus. Dari bawah sini, Jesse terlihat berbaring di sana, menikmati waktunya sebelum menemukanku berjalan. “Kau sudah selesai?” tanyanya.“Kurasa begitu,” jawabku.“Kau tidak terlihat menyedihkan.” Dia berada di tempat—yang aku ya

    Last Updated : 2021-09-10
  • Selubung Memori   21. RUMAH #8

    Barangkali aku akan berakhir semalaman di depan batu nisan kalau Jenderal tidak tiba-tiba bersuara, “Mereka pasangan yang heboh.”Aku, yang pada saat itu, tengah memeluk kaki, membenamkan kepala, entah bagaimana langsung mengangkat mata, melihat Jenderal berdiri tegak di sebelahku dengan aura keterlaluan hebat. Dia menatap jauh ke depan, membiarkan angin kecil mengibarkan jubahnya, dan—dari sudut ini pun, wajahnya masih misterius dengan seluruh selubung hitam pekat bayangan itu.Betapa bodohnya, aku baru sadar dan bangkit, “Oh. Maaf, Jenderal.”“Buang formalitas menjengkelkan itu, Bocah Kencur,” ketusnya. “Aku tak pernah punya otoritas penuh sampai membuatmu takut padaku.”“Tapi ....” Andai dia ingat sudah memberikan mata penuh dunia kiamat itu.“Waktu sudah berlalu sejak perang terakhir,” ucapnya. “Generasi penerus selalu tumbuh lebih cepat dari angin. Begitu kau s

    Last Updated : 2021-09-12
  • Selubung Memori   22. PADANG ANUSHKA #1

    Ketika kami berjalan menuju danau, aku mendesak Jesse, “Katakan padaku di mana Lembah Palapa. Jauh? Dekat? Berapa jauh dari sini?”Jesse sepertinya mulai muak karena aku terus mengoceh sejak kami keluar Telaga. “Tidak tahu, Bocah Alam,” desisnya. “Tidak ada kandidat baru yang tiba-tiba meminta misi menjaga Lembah Palapa. Reila pasti bilang itu enteng, tapi kau tahu Reila? Dia jenius. Dia kandidat paling jenius. Dari sistem rangking terkuat di sini, Reila urutan kedua dari kesadaran bertarung. Kalau kau membandingkan diri dengannya—yang bilang menjaga itu mudah—kau pasti mati dalam dua detik.”Dibilang seperti itu pertanyaanku semakin banyak. “Misi menjaga itu sulit? Lalu—apa? Rangking? Kesadaran bertarung? Di sini ada sistem rangking?”Setidaknya, dia tidak meladeni pertanyaanku sampai kami tiba di danau.Bukan danau yang tadi, tetapi danau yang lebih asli—secara harfiah. Jadi, kami t

    Last Updated : 2021-09-14
  • Selubung Memori   23. PADANG ANUSHKA #2

    Gerha ada di dekat perkebunan, jadi kami melihat penghuni yang memetik sesuatu. Caping mereka terlihat seperti terbakar dengan matahari terik seperti itu.“Kita bisa mencoret dua daftar di sini,” kata Jesse pada kertas. “Sejujurnya aku tak menyangka Jenderal akan muncul. Aku baru mau memanggil, dan tiba-tiba Jenderal lewat dengan aura yang,” dia merinding, “asing.”“Jenderal tampaknya misterius,” kataku. “Dia tiba-tiba hilang.”“Yah, kalau kau tahu Jenderal seperti apa, biasanya muncul secara tiba-tiba. Misalnya, saat kita sekarang lagi membicarakannya, dia bisa muncul. Dengan mata merah dan suara penuh aura membunuh, dia pasti melihatkan dunia kiamat.”Dibilang seperti itu, aku langsung mengedarkan pandangan. Kami masih di jalan berpaving, dan tidak ada siapa-siapa kecuali penghuni yang terdengar ricuh di perkebunan. Aku bisa saja bilang itu lelucon tidak lucu, tetapi mengingat Jende

    Last Updated : 2021-09-16

Latest chapter

  • Selubung Memori   603. UJUNG TALI #9

    Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l

  • Selubung Memori   602. UJUNG TALI #8

    Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La

  • Selubung Memori   601. UJUNG TALI #7

    Lavi memeriksa arah, titik koordinat, perkiraan waktu—hingga kapan kami harus istirahat. Formasi kami cukup oke. Aku jelas membawa Lavi di punggung—dan kupikir Reila hanya akan melayang di udara bersama Leo. Namun, Leo punya ide yang lebih oke lagi: dia menggendong Reila.Tentunya Reila menolak. Dia bisa bergerak sendiri dengan membuat dia dan Leo melayang. Dia bisa menggerakkan dua orang dengan cepat mengikutiku. Leo protes. Jauh lebih efisien bila dia meringankan bobot dua orang dalam satu orang. Semestinya Reila yang paling tahu itu bisa lebih mudah dilakukan atau tidak, tetapi Leo yakin itu lebih efektif dan efisien. Lavi dan aku mempertimbangkan itu. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu itu bisa lebih oke atau tidak—karena ini pertama kali, jadi keputusan dikembalikan ke mereka berdua. Jadi, Leo mendebat Reila tentang waktu istirahat yang mungkin bisa lebih lama dan formasi yang bisa melebar jika tiga orang bergerak bersama. Dengan dirinya menggendong Rei

  • Selubung Memori   600. UJUNG TALI #6

    Tim pencari bambu kembali dengan beragam laporan. Dalton yang menjadi pembicaranya. “Kami sudah buat jebakan seperti tadi.”“Tadi?” tanya Reila.“Jebakan yang bakal bunyi keras seperti besi dipukul di kejauhan kalau ada yang kena. Jadi, itu bisa membuat kita dan sesuatu yang terjebak itu terkejut. Kami membuat ini di tempat istirahat tadi.”“Inovatif sekali,” komentar Leo. “Siapa yang jaga?”“Tidak ada. Kami semua tidur.”“Lumayan berbahaya,” koreksi Leo. “Besar sekali risikonya.”“Yah, kami tidak berniat tidur lama. Maksimal hanya dua jam,” jelas Yasha, ikut duduk melingkari tungku batu. “Dan kami punya roh alam yang berjaga. Kalau ada Penyihir di timmu, masalah keamanan bakal terjamin.”“Setidaknya, takkan ada monster.” Dalton sepakat.Kami duduk mengelilingi tungku batu, ada pepaya yang dipotong

  • Selubung Memori   599. UJUNG TALI #5

    Haswin dan Dalton bangun cukup mudah. Kupikir Haswin bakal sulit, tetapi dia sudah setengah bangun, jadi Yasha hanya perlu menyiram kepalanya. Matanya langsung terbuka. Dia tersentak, tetapi tidak menuntut. Dia justru memandang kami dan berkata, “Aku ketiduran. Maafkan aku.”Jadi, perjalanan dilanjutkan. Tidak ada yang mengantuk.Medannya masih area hutan dengan jarak pohon lumayan dekat dan semak tinggi, plus permukaan tanah yang tidak beraturan. Haswin berjalan di depan lagi—semata-mata karena kalau dia di belakang, dia bisa saja tertinggal tanpa pernah ada yang sadar. Jadi, yang berjalan di belakang: lagi-lagi Dalton dan aku. Yasha perlu memastikan Haswin benar-benar berjalan meskipun Haswin sudah berjanji, “Aku takkan tidur, sumpah. Aku sudah segar.”Dalton menguap, tetapi masih bisa memerhatikan kompas.Senter masih dipegang Haswin dan Yasha. Kompas Dalton mampu menyala meski cahayanya redup. Aku dikelilingi dua kunang-k

  • Selubung Memori   598. UJUNG TALI #4

    Ternyata aku terbangun sebelum Fin membangunkan.Tempat tidurku lebih lengang dari semestinya. Aku berkedip, mengerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaran, dan kusadari Yasha tidak ada di sampingku. Dalton masih ada. Haswin juga. Jadi, aku bangkit, merasakan keberadaan Yasha—benakku sudah dikuasai nuansa aneh—tetapi tidak. Dia dekat.Aku membuka pintu sulur. Yasha duduk di samping pintu, terkejut melihat pintu mendadak terbuka. Dia langsung melompat ke samping, mengarahkan belati ke arahku. Aku juga kaget, melompat, dan kami sadar di waktu yang sama.“Oh, sial, kukira siapa,” kata Yasha. Di sela-sela jarinya ada rokok.“Kau membuatku kaget karena tidak ada di tempat,” kataku. “Dan kau dua kali membuatku kaget karena ujung belatimu tipis kena mataku.”“Jam tiga masih setengah jam lagi,” katanya.“Itu juga kata-kataku.”“Aku tidur, sejujurnya. Bangun sepuluh

  • Selubung Memori   597. UJUNG TALI #3

    Suara Lavi menggema saat arloji hampir menunjukkan setengah satu.[“Kenapa kalian cukup dekat? Kalian tidak istirahat?”]Kujelaskan situasi tim kami kalau waktu istirahat kami sekitar setengah jam lagi. Aku sudah merasakan Lavi berhenti sejak setengah jam lalu—atau barangkali lebih. Aku lebih memusatkan perhatianku pada sekitar dibanding posisi Lavi. Saat aku penasaran dengan posisinya, dia seperti berhenti. Kami semakin dekat.[“Kami sudah buat tempat persembunyian. Cukup aman, tapi untukku yang sudah terbiasa dengan tempat persembunyianmu, aku tidak terlalu suka.”]Aku agak lama terdiam.Semua ucapan Lavi saat kami di Rumah Pohon terlintas di kepalaku. Entah bagaimana obrolan itu membuat caraku memikirkan Lavi sedikit berbeda. Biasanya aku tidak terlalu cemas—maksudku, dia pasti bisa menanganinya. Aku percaya dia bisa melewati banyak hal. Namun, sekarang, rasanya aku tidak benar-benar tenang k

  • Selubung Memori   596. UJUNG TALI #2

    Medan awal kami tidak terlalu mengerikan. Bahkan sesuai dugaanku. Tanah cukup rata. Pohon-pohon juga renggang, tidak seperti hutan alam liar biasanya. Aku bisa merasakan kami ada di area luar gunung. Kami di dataran tinggi normal. Tidak ada area berbahaya yang kurasakan. Hanya seperti alam liar normal.Meskipun begitu, bukan berarti areanya benar-benar datar. Masih ada celah-celah kecil seperti jurang bekas longsor. Biasanya itu bisa dihindari dengan mudah. Sayangnya, gelap. Malam telah menguasai alam liar. Haswin dan Yasha memakai senter sorot di kepalanya. Mereka mengikat senter itu di kepala, lalu mengarahkan itu ke sekitar yang membuat semua kelihatan jelas.“Cahayanya terlalu terang,” kata Dalton.“Kurasa begitu,” ujar Haswin.“Memberi cahaya terlalu terang seperti memberi sinyal musuh.”“Aku tahu itu.” Haswin akhirnya mengecilkan tingkat kecerahan senter.“Kelihatannya kita tidak di

  • Selubung Memori   595. UJUNG TALI #1

    Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-

DMCA.com Protection Status