Aku tak mau melihat hal menyakitkan lagi dari sikap Mas Razan yang menurutku sudah banyak sekali berubah. Kuputuskan untuk pergi saja sekedar untuk menenangkan diri di tempat yang mungkin tak akan diketahui olehnya.
Saat melewati kamar Kak Nita yang pintunya terbuka, aku melirik sekilas ke arah mereka yang tengah sibuk berbincang. Mas Razan tengah memeriksa keadaan Farel, sedangkan Kak Nita duduk diatas ranjangnya.Apa tidak ada tempat lain selain dikamar? Batinku rasanya geram sekali."Assalamu'alaikum,," terdengar ucapan salam cukup lantang dari arah depan.Sepertinya itu adalah suara Ibu dan Bapak. Aku segera menutup pintu kamar Kak Nita lalu menguncinya agar Ibu dan Bapak tidak mengetahui keberadaan Kak Nita di rumah. Seperti yang dikatakan Kak Nita waktu kemarin, dia tidak ingin sampai Ibu dan Bapak tahu dengan apa yang sudah menimpanya saat ini."Wa'alaikumsalam,," aku berjalan cepat mengabaikan teriakan Mas Razan dari dalam."Amira, apa kabar Nak, apa kamu sehat?" ucap Bapak saat aku mencium punggung tangannya."Alhamdulillah Pak, aku sehat, bagaiamana dengan Bapak dan Ibu? Apa kalian sehat?" tanyaku sesuadah mencium tangan Ibuku yang berekspredi datar."Syukurlah kalau kamu sehat, alhamdulillah kami sehat Nak," ucap Bapak sambil tersenyum lalu mengedarkan pandangannya."Razan sudah berangkat ke Rumah Sakit ya?" tanya Bapak."Eu....eu..dia lagi di kamar tamu Pak, lagi cari sesuatu yang sempat tertinggal di kamar itu," jawabku dengan rasa bersalah yang amat sangat karena sudah berbohong."Kamu gak biarin kita duduk? Dari tadi kaki Ibu udah pegel!" ujar Ibu dengan tatapan nyalang padaku."Oh, iya. Maaf, bu, Amira sampai lupa, silahkan ibu sama Bapak duduk dulu biar nanti aku panggilkan Mas Razan kesini," ucapku seperti kepada tamu saja."Iya, tunggu Amira! Ini ada sedikit oleh-oleh dari kampung buat kamu sama Razan, sengaja Bapak bawa banyak, suami kamu kan suka banget sama makanan ini," ucap Bapak sambil tertawa."Iya, Pak, makasih," aku mengambil keresek berisi oleh-oleh itu lalu memanggil Muarni supaya menyimpan oleh-oleh itu ke dapur sambil memintanya untuk mempersiapkan teh hangat untuk Bapak dan IbuRagu hatiku untuk mengetuk pintu yang sedari tadi aku kunci. Ada rasa gengsi juga malu jika harus mengur Mas Razan lebih dulu karena sikapku yang tadi mungkin saja adalah kesalahpahaman saja."Mas, ada Bapak sama Ibu di ruang tamu lagi nungguin kamu!" ujarku mengeraskan suara agar Kak Nita mengerti lalu bersembunyi.Ckrek!Pintu terbuka setelah aku memutar kuncinya.Aku melirik ke dalam kamar sudah tidak ada Kak Nita disana. Mungkin dia sudah pergi lewat jendela, pikirku."Kenapa kamu kunci pintunya?" tanya Mas Razan, kini dia yang terlihat ngambek."Nanti aku jelaskan!" jawabku ketus.Kami bersamaan berjalan menuju ruang tamu menghampiri Ibu dan Bapak. Untungnya jarak antara Ruang tamu dan kamar Kak Nita cukup jauh, juga terhalang oleh tembok yang membagi ruangan dalam rumahku. Jadi, mereka tidak akan tahu apa yang tadi aku lakukan mengunci pintu kamar secara tiba-tiba.Kami berbincang penuh kehangatan setelah selama satu bulan lamanya tidak bertemu dikarenakan jarak dari kota Jakarta ke Garut cukup jauh. Kadang kala aku yang datang untuk mengunjungi mereka ke kampung.Selama berjam-jam berbincang, suara dering Handphone Mas Razan tak hentinya berbunyi membuat Bapak merasa tak enak karena mungkin saja itu dari pihak Rumah Sakit yang menghubungi."Kenapa telponnya tidak diangkat, siapa tahu penting?" tanya Bapak."Eu..enggak Pak, telponnya tidak terlalu penting kok," jawab Mas Razan sambil tersenyum pada Bapak lalu melirikku yang menatapnya penuh curiga."Dari selingkuhan ya?!" celetuk Ibu sambil menumpamg kaki lalu memainkan kuku jarinya yang habis melakukan perawatan."Astagfirulloh, jaga bicaramu Ibu!" kata Bapak dengan menajamkan matanya.Mas Razan melirikku yang tengah salah tungkah dengan ucapan Ibu karena aku merasa malu jika itu benar adanya. Juga aku merasa apa yang diucapkan Ibu itu ada benarnya."Maaf ya Nak Razan, Ibumu ini emang suka berlebihan kalau bercanda, kami mau istirahat dulu saja di kamar tamu ya," kata Bapak sambil menggiring Ibu yang terlihat marah padanya."Iya, Pak, kamarnya juga sudah aku...." aku berhenti bicara mengingat takut saja Kak Nita lupa membereskan baju Farel beserta perlengkapannya."Ya, mungkin sudah Marni bereskan tadi," lanjutku."Iya, Bapak kekamar dulu ya, mau istirahat," jawab Bapak sambil pergi.Berbeda dengan Ibu yang sudah pergi duluan tanpa sepatah katapun.Sikapnya memang seperti itu sejak dulu. Ibu selalu terlihat tidak suka padaku, entah karena apa, itu semua masih jadi misteri dalam hidupku. Dia selalu bersikap judes dan sinis, apalagi saat aku akan menikah dengan Mas Razan. Sepertinya dia kurang setuju pada hubungan kami.Entahlah..Yang terpenting bagiku hanyalah aku tetap menyayanginya walau sekeras apapun dia seakan menolak kasih sayangku."Amira..." panggil Mas Razan padaku dengan lembut."Apa?" sahutku masih ketus."Soal tadi...kamu salah paham sayang, maaf, Mas gak bermaksud buat kamu cemburu, Sabrina memeluk Mas karena dia sedang berduka atas kepergian kedua orangtuanya, Mas gak ada macam-macam sama dia, tadi...,""Iya, gak usah diterusin lagi!" potongku karena tak tahan membahas hal itu saat hatiku tengah gundah."Kamu gak percaya ya? Oke, kalau gitu Mas telpon Sabrina sekarang juga biar kamu percaya," Mas Razan mengambil Handphonenya yang tadi terus saja berdering."Gak usah Mas! Itu membuat aku jadi menyedihkan di mata teman mesra kamu itu!" ucapku sambil pergi meninggalkannya.Aku berjalan cepat menuju mobil yang terparkir hendak pergi menenangkan diri karena sudah tak tahan dengan perasaan yang kacau. Tapi Mas Razan segera menyusul, mencegah tanganku yang baru saja membuka pintu mobil."Kamu mau kemana Amira? Ayok kita selesaikan masalah kita di kamar, jangan kayak anak kecil, dikit-dikit kabur!" ujarnya yang membuatku semakin kesal saja.Jika bukan sedang diluar rumah, aku sudah membalas perkataannya karena merasa sakit hati dengan apa yang baru dia ucapkan.Aku berjalan mengekori Mas Razan menuju kamar. Terlihat Murni yang tengah mencuri-curi pandang pada suamiku saat dia tengah mengelap beberapa barang hiasan rumah.Marni, apa sebenarnya yang sedang terjadi padanya? Sepertinya dia sudah lama memperhatikan suamiku.Pintu sudah tertutup rapat saat kita sudah ada di dalam kamar. Aku duduk ditepi ranjang berhadapan Mas Razan yang kini duduk di kursi meja riasku."Mas tahu kamu pasti marah sama Mas Amira, apa alasannya kamu marah? Apalagi tadi kamu berbicara yang tidak pantas pada Mas. Sabrina bukan teman mesra atau pun pacar Mas, sebenarnya dia adalah teman lama Mas di kampung dulu, kita sudah lama berteman sejak kecil dan baru bisa bertemu kemarin di Rumah Sakit." Jelas Mas Razan sambil memegang tanganku.Hatiku sedikit lega mendengarnya. Tapi entah kenapa rasa curiga itu selalu muncul dalam hati. Ku pandang lekat-lekat netra indah berwarna coklat miliknya dengan beberapa pertanyaan dalam hati yang sulit untuk kuucapkan padanya.Apa kamu masih mencintaiku Mas? Benarkah dia hanya sekedar temanmu? Ataukah ada hal lain yang membuatmu berubah? Kenapa kamu begitu dekat sekarang bersama Kak Nita? Apa Marni juga pernah dekat denganmu?Pertanyaan itu terus saja bermunculan tak hentinya mengelilingi otakku. Begitu banyak pikiran negatif yang kini mengelilingi otakku. Hatiku seakan tetap menepis ucapan Mas Razan barusan.Aku dan Mas Razan sudah selesai bicara empat mata untuk menyelesaikan masalah yang baru saja terjadi dalam kehidupan rumah tangga kami.Mas Razan pamit pergi kembali ke Rumah Sakit setelah memastikan aku tidak lagi marah padanya. Sedangkan aku segera menghubungi Kak Nita untuk mengetahui dimana keberadaannya sekarang mumpung Bapak dan Ibu masih istirahat.Ternyata Kak Nita sudah pergi ke rumah temannya yang terletak tak jauh dari rumahku. Dia bilang, untuk sementara waktu dia akan menginap di rumah temannya."Baiklah kalau Kakak mau nginap disana, tapi ingat, telpon aku kalau butuh apa-apa atau terjadi sesuatu lagi sama Farel," suruhku padanya dalam panggilan telpon."Iya, nanti Kakak telpon kamu kalau Kakak butuh sesuatu, udah dulu ya, ini Farel nangis baru bangun tidur dia," Jawabnya sambil menutup telpon tanpa menunggu jawabanku.Aku pasrah saja, lalu bergegas pergi untuk membeli kebutuhan dapur yang sudah mulai menipis. Sesampainya di Mall aku berjalan menuju tempat bahan makanan
Bi Nani keluar dari kamarnya setelah ibu pergi. Dia segera mendekat ke arahku dengan ekspresi tidak enak karena aku sudah mengerjakan pekerjaannya."Aduh, Non, kenapa Non nyuci piring? Kenapa gak dibiarin sampai besok saja, biar Bibi atau si Marni yang kerjakan!" katanya heboh sekali."Gak apa-apa Bi, saya lagi pengen cuci piring aja, Bibi istirahat saja," jawabku lembut."Non, kenapa? Kok keliatannya sedih begitu?" tanya Bi Nani padaku."Enggak kok Bi, saya gak apa-apa, saya ke kamar dulu ya," aku segera pergi menuju kamar untuk istirahat.***********Entah kapan Mas Razan pulang semalam. Saat aku terbangun, tiba-tiba dia sudah memelukku dari belakang, sepertinya Mas Razan masih tidur pagi ini. Aku melepas perlahan tangannya yang melingkar."Akan ku buat kamu menyesal sudah melakukan semua itu padaku Mas! Aku bukan wanita bodoh dan naif lagi sekarang, sekali kamu melukaiku, aku akan membalasmu seumur hidup!" ujarku pada Mas Razan yang masih terlelap tidur.Aku segera membersihkan dir
"Jangan sekarang sayang, nanti Mas akan kasih semua ATM Mas sama kamu tapi jagan sekaranglah," jawabku."Kenapa? Sekarang atau nanti sama saja kan Mas? Sama-sama di kasih ke aku? Atau...Mas memang sayang banget ngasih ATM sama aku? Sayang kalau uangnya cepat habis?" tanyanya menyelidik membuatku kembali bepikir untuk menjawabnya."Iya, maksud Mas nanti saja ya, Mas janji akan ngasih semua ATM Mas sama kamu, bukannya Mas takut kamu boros atau habiskan uangnya, Mas masih ada keperluan lain selain membiayai sekolah Rania," ucapku hampir saja keceplosan."Baiklah Mas, nanti aku tunggu kesadaran Mas!" jawab Amira sambil pergi."Astaga! Kenapa Amira berubah? Perkataannya juga berubah, masa dia barusan bilang tunggu kesadaranku? Emangnya aku lagi kesurupan apa?" gumamku.Bergegas aku segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di atas meja sudah tersedia pakaian kerjaku yang sudah disiapkan Amira. Setelah berpakaian rapih aku segera mengambil tas kerjaku untuk segera berangkat."Mas
"Rinjani! Kamu udah punya pacar sekarang?" tanyaku pada Rinjani yang menoleh cepat."Enak aja, dia bukan pacar aku! Dia sepupu aku!" jawabnya lalu mendekati lelaki itu lalu memukul kepalanya berkali-kali."Kebiasaan lu! Buang kuntung rokok sembarangan lu!" ujarnya kesal."Ampun! Ampun Nyai ronggeng!" teriak laki-laki itu."Apa lu bilang? Awas ya lu ya!" kata Rinjani pada laki-laki itu yang seketika kabur.Aku tertawa lepas melihat tingkah lucu mereka. Mereka berdua sudah seperti Tom dan Jery yang selalu bertengkar setiap saat."Malah ketawa lagi lu!" ujar Rinjani kesal padaku."Habisnya kalian lucu banget wkwkwk.." "Dasar si PTD itu emang gak ada kerjaan! Kerjaannya cuma numpang aja di rumah gue udah gitu malah ngajak gue berantem terus lagi!" "Apa katamu tadi PTD? Apa itu PTD?" tanyaku penasaran kali saja itu nama sebuah pekerjaan yang disematkan pada sepupu Rinjani."Iya, PTD (Penganguran Tingkat Dewa)!" jawab Rinjani kesal lalu duduk di kursi ketika kita sudah berada di dalam rum
Aku mau periksa rahimku, mungkin saja rahimku bermasalah makannya sampai sekarang aku belum bisa hamil juga," jawabku pada Mas Razan."Dokter Dicky sedang istirahat makan Amira, nanti saja kamu periksanya, lagipula keadaan rahim kamu bagus, gak ada yang perlu di periksa, bulan lalu kita periksa semuaya masih baik-baik saja kan?" kata Mas Razan seolah mencegahku."Aku sudah ada janji sama Dokter Dicky Mas, silahkan dilanjut lagi makannya!" ujarku sambil berlalu pergi.Mataku berkaca-kaca tapi sebisa mungkin aku tetap bisa menahannya agar aku tidak menjatuhkan air mataku di depan Mas Razan. Aku harus tetap terlihat kuat meski sudah mengetahui semua nya.Dia tidak mengejarku lagi, entah menurut melanjutkan makan atau apalah aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.Seseorang sudah berdiri di depanku yang baru saja tersadar dari lamunan. Dia adalah Dokter Dicky, teman Mas Razan yang berprofesi sama dengannya."Hallo, Amira, kok sendirian?" Sapa Dokter Dicky padaku."Bisa bicara sebentar di rua
Setelah membersihkan ruangan Sabrina aku segera pergi dari ruangannya dengan rasa penasaran yang masih tersimpan. BRAK!!Seseorang bertabrakan denganku. Dan ternyata itu adalah Sabrina yang baru saja datang dengan pakaian seksi yang dibalut dengan jas kerjanya. Sungguh terlihat seperti seorang penggoda."Eh, kamu istrinya Mas Razan kan?" tanya Sabrina padaku."Iya, kenapa memangnya?" "Tidak apa-apa, aku cuma nanya aja, emangnya Mas Razan gak malu, istrinya bekerja sebagai Office Girl di tempat ini?" kata Sabrina padaku."Aku tidak tahu, yang pasti aku tidak akan pernah malu dengan profesiku dengan bekerja sebgai Office Girle di tempat ini, mau itu Office Girl, pelayan, atau pekerjaan apapun itu tidak seharusnya membuat orang malu dengan pekerjaannya bukan? Yang seharusnya membuat seseorang malu itu sikapnya yang angkuh karena merendahkan profesi halal orang lain!" jawabku hendak pergi tapi Sabrina menangkap tanganku."Pantas saja Mas Razan selalu mengeluh tidak pernah dilayani denga
Setelah cukup puas melihat kehangatan kelurga kecil yang tampak begitu bahagia itu membuatku tak betah berlama-lama memperhatikan mereka dari kejauhan.Air mata yang sedari tadi tumpah sudah mulai mengering. Mas Razan maupun Kak Nita sudah tidak terlihat dalam pandanganku lagi.Segera aku menghidupkan mesin mobilku, menyalakan radio di dalam mobil. Kebetulan sekali sebuah lagu sedih bersenandung membuat air mataku kembali berjatuhan.Tring!Ponselku berbunyi tanda panggilan dari seseorang."Hallo?" ucapku sambil menghapus air mata setelah mengangkat telpon."Amira, ini nomer baru Kakak, malam ini Kakak akan pulang kembali ke rumah kamu untuk tinggal di sana lagi, Kakak malu sama temen numpang di rumahnya terus, kamu gak keberatan kan kalau Kakak tinggal di rumah kalian lagi?" tanya Kak Nita."Iya, Kak," jawabku lemas."Maksudnya? Iya gimana Mir? Iya boleh, apa Iya enggak boleh?" tanya Kak Nita."Terserah Kakak mau tinggal di rumah sampai kapanpun juga, aku gak bisa melarang atau mengi
Setelah berdebat cukup panjang bersama Sabrina aku segera pulang ke rumah. Seperti biasa Mas Razan belum pulang. Dengan leluasa aku memeriksa Handphonenya. Pertama aku memeriksa galeri Handphone Mas Razan. Mataku melotot melihat ada beberapa foto Mas Razan dengan Sabrina tanpa busana berada di atas ranjang yang sama.Mereka melakukan swa poto di sebuah kamar hotel, membuatku menutup mulutku merasa tak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. "Kamu benar-benar sudah membuat aku muak Mas! Kamu pikir aku akan diam saja dengan apa yang sudah kamu lakukan padaku? Kamu salah orang mengiraku Amira yang dulu, aku bukan Amira yang dulu, akan ku buat kamu menyesal sudah melakukan ini padaku Mas!" tak terasa air mataku kembali terjatuh membasahi pipi.Walau bagaimanapun aku masih mencintai suamiku. Tujuh tahun menjalin hubungan pernikahan, dan selama sebelas tahun aku mengenalnya, tak pernah aku menyangka akan mendapat penghaianatan seperti ini.Aku terlalu rapuh jika harus mengakhiri semu
"Aku yakin banget dia ada disana tadi, di dekat pohon kelapa, dan dia memakai jaket warna hitam," aku kekeh karena sangat yakin jika itu benar Kakakku."Ya udah, kamu jangan panik begitu, tenangin diri dulu ya, jangan khawatir, dia tidak akan berbuat jahat lagi sama kamu, mungkin dia cuma kebetulan lewat saja," balas Daniel sambil mengelus pundakku. "Aku beli minum dulu ya, biar kamu lebih tenang setelah minum." Ujarnya lagi lalu pergi.Rinjani menggiring tubuhku untuk duduk di salah satu kursi panjang yang terdapat di pinggir pantai. Dia berkali-kali mengelus punggungku untuk menenangkan karena dia tahu sendiri bagaimana rasa traumaku beberapa waktu lalu saat aku harus kehilangan calon bayiku karena kecelakaan yang di lakukan oleh Kak Nita."Tenang Amira, kamu akan baik-baik saja, jangan khawatir, kan ada aku." Ucap Rinjani.Tak lama Daniel datang dengan sebotol air mineral di tangannya. "Minum dulu Mir, biar kamu lebih tenang," ucapnya mengulurkan sebotol air itu padaku."Iya, terim
Aku hanya diam saja berpura tak mendrngar pertanyaan dari Rama. Dia tetap saja mendesak memberiku pertanyaan lagi."Apa mau bulan ini juga kalian merid?" tanyanya lagi yang membuat aku dan Daniel juga Rinjani berlirikan."Bukan bulan ini, tapi besok!" jawab Rinjani tegas.Rama terkikik geli setengah mengejek mendengar hal itu. Aku rasa ada yang berbeda dengan sikapnya. Tapi ku abaikan saja. Setelah acara itu selesai, kami semua pergi ke pantai untuk merayakan kembali hari ulang tahunku.Tentu saja aku meminta izin pada Ibu dan Bapak untuk pergi ke pantai bersama teman-temanku. Mereka langsung mengizinkan karena bukan hanya aku yang meminta izin, tapi Daniel juga. Sepertinya Ibu dan Bapak sudah terpikat oleh sikap baik Daniel padaku yang selama ini cukup dekat dengan keluarga kami.******Kembali kami menghabiskan waktu bersama di pantai setelah sampai dan memakan waktu cukup lama. Kami sampai tepat pukul tiga sore. Aku duduk di tepi pantai sambil menikmati hembusan angin sore. Tiba-
Bi Ningrum berhenti di sebuah taman yang sudah di dekorasi dengan dekorasi yang sangat indah. Terdapat ucapan selamat ulang tahun di dalam dekorasi yang terpasang membuat dahiku mengernyit. Disana juga sudah tertata rapih beberapa meja bundar lengkap dengan kursi yang mungkin akan menjadi tempat duduk beberapa tamu.Sebuah kue besar dengan angka 27 di atasnya yang terpampang di atas meja sudah jelas sekali memberitahuku bahwa acara surprise itu di tunjukkan untukku."Happy Birthday Amira" Tampak Daniel yang tiba-tiba muncul dari balik dekorasi itu sambil menebar senyuman termanis padaku."Happy Birthday Amira!" ucapnya berteriak. Beberapa orang juga muncul sambil berteriak terutama Rinjani, Rama dan juga Erlika yang tanpa berekspresi."Tunggu!" ujarku membuat senyum mereka memudar berganti degan ekspresi kebingungan."Ada apa Amira?" tanya Rinjani menghampiriku yang jaraknya beberapa meter."Emangnya kalian yakin hari ini hari ulang tahunku?" tanyaku."Lah, bukannya tanggal ulang tah
Nisa menjelaskan mereka berdua sempat berbincang di depan toko dan tak sengaja dia mendengarnya. Maksud mereka datang ke toko mungkin untuk mengundangku ke acara pernikahan mereka, begitu kata Nisa."Aku dengar mereka lagi ngobrol tentang undangan pernikahan Bu, mungkin saja Ibu mau di undang ke acara pernikahan mereka." Jelas Nisa.Mobil yang kini sedang aku kendarai melaju lambat, kala mengingat penjelasan Nisa waktu di toko. Aku menghentikannya di depan sebuah Mall.Setelah memarkirkan mobil aku turun. Beranjak berjalan menuju sebuah toko minuman lalu memesannya. Aku duduk di sebuah kursi menunggu minuman datang."Hai, Amira!" sapa Rama bersama seorang perempuan cantik menghampiriku yang sedang duduk termenung.Aku tersenyum membalas sapaannya. Dia duduk bersama wanita itu. "Malam-malam nongkrong disini, sendirian lagi, Daniel kemana?" tanya Rama.Mendengar pertanyaan itu aku sudah mengerti. Setiap orang pasti akan mengira kami sudah memiliki hubungan selain berteman. Aku jadi mera
"Assalamu'alaikum...," ucapku saat membuka pintu rumah setelah sampai di kota kelahiranku."Hallo! Amira, apa kabar!" Rinjani menerobos memelukku dengan di penuhi aura kebahagiaan di wajahnya."Alhamdulillah, baik, aduh! Pelan-pelan dong meluknya!" kataku pada Rinjani yang terlalu bersemangat."Kangen tahu! Kamu nih ya, malah kabur ke luar negri, giliran temen nikah gak ada, kesel deh!" gerutunya sambil mengiringi langkahku berjalan menghampiri Bapak dan Ibu yang tengah duduk di sofa."Gimana jalan-jalannya Mir, pasti senangkan?" tanya Ibu padaku yang mencium punggung tangannya."Alhamdulillah Bu, Amira udah lebih baik sekarang, suasana di sana enak banget, tapi dingin karena lagi musim salju." Jawabku lalu mencium punggung tangan Bapak."Coba kalau kita ikut kesana, Ibu sih gak mau ikut, jadinya Bapak juga gak bisa ikut!" kata Bapak meluapkan kekesalannya."Malas Pak, perjalanannya jauh, naik pesawat lagi. Bapak kan tahu kalau ibu takut naik pesawat." Jawab Ibu membela diri."Iya-iya
Aku dan Daniel berjalan kaki ketika sudah sampai di tempat tujuan. Kami harus menaiki tangga panjang menuju menara.Sesekali aku berhenti berjalan karena kelelahan. Dengan tingkah konyolnya dia memintaku untuk menaiki punggungnya menawarkan diri untuk siap menggendongku."Naiklah!" katanya sambil berjongkok."Eh, gak usah, aku masih bisa jalan kok," tolakku."Yakin, bakal kuat naik ke tangga berikutnya?" ejeknya padaku."Yakinlah, ayok lanjut!" ajakku sambil menaiki anak tangga berikutnya.Beberapa menit berikutnya kami sudah sampai di puncak menara. Disana terdapat banyak sekali gembok yang terpasang di sepanjang tempat. "Mau coba pasang gembok? Tulis sebuah tanda, atau permintaan, buat seru-seruan aja." Usul Daniel saat aku berdiri melihat satu persatu gembok yang sudah terpasang.Aku menyetujuinya. Kami membeli gembok serta menulis sesuatu lalu memasangnya di tempat yang cukup ruang. "Selesai!" teriak Daniel kegirangan."Kamu tulis apaan?" aku mengintip gembok yang baru saja di p
Ternyata Daniel juga menginap di hotel yang sama dengan kami. Aku sudah bisa menebaknya sendiri, ulah siapa yang membuatnya sampai datang ke Korea untuk mengikutiku. Siapa lagi kalau bukan Mbak Karina.Selain teman semasa SMA Kak Nita, Mbak Karina masih mempunyai ikatan keluarga dengan Daniel. Dia pernah bercerita mengenai perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua Daniel yang sengaja di tolak mentah-mentah oleh Daniel karena Daniel lebih memilih menunggu jandaku.Malu rasanya mendengar cerita itu. Bukan apa-apa, aku merasa menjadi duri yang tidak seharusnya membuat Daniel membantah kedua orang tuanya. Tapi, mau bagaimana lagi, aku tidak tahu apa-apa, berita itu juga ku dengar beberapa bulan yang lalu dari Mbak Karina."Besok kita jalan-jalan ke Namsan Tower yuk!" ajak Daniel saat kita makan malam bersama."Hmm..boleh," jawabku sambil kembali melahap makanan yang belum habis.Mbak Karina hanya tersenyum melihat kita. Dia selertinya mendukung Daniel untuk kembali mendekatiku."Kaya
~~ POV Amira ~~Karena kejadian beberapa waktu lalu yang mengharuskanku mengalami depresi telah kehilangan bayi yang berada dalam kandunganku, membuatku harus pergi ke luar negri untuk menenngkan diri.Ya, aku pergi ke negri gingseng untuk sekedar melepas beban pikiran yang selama ini selalu berkecamuk menguras hati dan pikiranku.Terbersit dalam ingatan sosok Daniel yang selama ini selalu ada untukku saat aku tengah duduk di sebuah kursi taman merenung sendiri.Aku ingat sekali saat Daniel datang kembali dengan menawarkan ide cemerlang tentang bisnis yang sekarang sedang aku jalani. Dia yang memberiku ide untuk menjalankan bisnis kue di kotaku. Dia juga yang selalu ada untukku di saat aku kesusahan menjalani kehamilan di usia-usia rentan. Bahkan dia selalu berusaha sebisa mungkin menuruti keinginan ngidamku. Kami memang hanya teman, akupun tidak lebih menilainya memberi perhatian hanya sekedar mengasihaniku meski dia pernah mengungkap rasa."Amira!" teriak seseorang yang suaranya ta
"Apa yang sebenarnya terjadi Bu?" tanyaku pada Mamah yang masih berderai air mata.Mamah hanya melirikku sekilas lalu melihat Nita yang sama halnya tengah menangis. Bapak tidak terlihat di sana, entah kemana dia."Kenapa kalian diam? Saya sedang khawatir, tolong jawab, apa yang sebenarnya terjadi sama Amira?" desakku yang membuat Ibu bangkit."Kalau saja dari awal dia dan Nita tidak pernah mengenal kamu, semuanya tidak akan seperti ini!" ujar Ibu menatapku nyalang sambil menunjuk wajahku."Maksud Ibu?" tanyaku."Memang susah ngomong sama orang yang gak punya hati!" ujarnya lalu pergi menyisakan aku dan Nita. "Ada apa ini? Jadi selama ini kamu pulang kempung? Apa mereka sudah tahu hubungan kita?" "Iya!" jawab Nita singkat membuatku emosi."Jawab yang benar, jangan singkat-singkat!" bentakku."Bayi Amira meninggal, karena aku memarahinya saat aku datang ke rumah, aku bertengkar hebat sama dia sampai aku gak bisa mengendalikan diri mendorong dia ke bawah tangga, puas kamu dengan jawaban