"Jangan sekarang sayang, nanti Mas akan kasih semua ATM Mas sama kamu tapi jagan sekaranglah," jawabku.
"Kenapa? Sekarang atau nanti sama saja kan Mas? Sama-sama di kasih ke aku? Atau...Mas memang sayang banget ngasih ATM sama aku? Sayang kalau uangnya cepat habis?" tanyanya menyelidik membuatku kembali bepikir untuk menjawabnya."Iya, maksud Mas nanti saja ya, Mas janji akan ngasih semua ATM Mas sama kamu, bukannya Mas takut kamu boros atau habiskan uangnya, Mas masih ada keperluan lain selain membiayai sekolah Rania," ucapku hampir saja keceplosan."Baiklah Mas, nanti aku tunggu kesadaran Mas!" jawab Amira sambil pergi."Astaga! Kenapa Amira berubah? Perkataannya juga berubah, masa dia barusan bilang tunggu kesadaranku? Emangnya aku lagi kesurupan apa?" gumamku.Bergegas aku segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di atas meja sudah tersedia pakaian kerjaku yang sudah disiapkan Amira.Setelah berpakaian rapih aku segera mengambil tas kerjaku untuk segera berangkat."Mas! Gak sarapan dulu?" tanya Amira yang berpapasan denganku di bawah tangga."Enggak sayang, hari ini Mas sarapan di Rumah Sakit saja, takut keburu telat," jawabku beralasan."Kalau begitu, tunggu dulu, aku mau ambil bekal makanan yang sudah aku siapkan tadi," kata Amira sambil pergi.Hah? Dia sudah mempersiapkan bekal makan? Tau dari mana dia kalau aku akan makan di tempat kerja? Dia memang peramal yang handal! batinku merasa heran dengan sikapnya."Ini bekal makanannya Mas," ucapnya sambil mengulurkan kotak makan kecil padaku."Ingat! Jangan dibanting lagi ya, hehehe..." kataku mengajaknya bercanda.Amira hanya tersenyum saja menanggapinya. Dia mencium punggung tanganku lalu aku kecup keningnya."Mas berangkat dulu ya!" ucapku."Iya, hati-hati Mas," jawabnya tanpa memperhatikan aku dari pintu.Ada apa dengan Amira? Dia tidak seperti biasanya?Saat aku baru saja masuk ke dalam mobil yang kini dikendarai oleh supirku yang baru masuk kerja lagi, aku melihat Bapak dan Ibu Amira sudah ada di luar sambil membawa koper besar mereka. Sepertinya hari ini mereka akan segera pulang ke kamnpung.Syukurlah kalau begitu, Nita bisa kembali tinggal di rumah dan aku tidak perlu mencuri waktu kepada Amira dengan beralasan hal yang tidak mudah.Setelah sampai di Rumah Sakit aku segera masuk ke ruanganku. Betapa terkejutnya aku saat melihat Sabrina tengah berdiri di depan pintu."Sabrina?! Ngapain kamu berdiri disini? Bikin kaget aja!" ujarku sambil melewatinya."Mas.. nanti malam jadi ya!" Sabrina berjalan mendekatiku lalu meraba bahuku dengan penuh sesasional.Jujur saja, perlakuannya itu membuat imanku goyah. Tapi aku tetap menolaknya secara halus, bagiku ini bukan saatnya untuk kembali bermain dengan wanita setelah aku pusing memikirkan dua wanita yang selalu uring-uringan gak jelas."Gak bisa Sabrina, aku gak bisa lakuin itu, aku sudah punya istri sekarang!" jawabku dengan sibuk memilih surat-surat di atas meja."Mas...." panggilnya manja yang tengah duduk di atas meja kerjaku."Sabrina! Jangan begitu, duduk di kursi yang benar, bagaimana kalau yang lain lihat kelakuan kamu seperti ini, mereka bisa-bisa menganggap kamu ada hubungan sama aku!" Peringatku padanya yang berusaha menggodaku.Sabrina menurut, dia berdiri di sampingku. Kebetulan asistenku baru datang."Permisi, maaf Pak, saya telat, gak sempat bersihin ruangan dulu," ucapnya yang baru saja datang.Dia melirik Sabrina dengan sinis. Entah apa yang ada di hatinya, yang pasti dia selalu tidak akur dengan Sabrina."Iya, gak apa-apa, lain kali kamu datang lebih awal, biar ruangan saya sudah bersih sebelum saya masuk!""Baik, Pak," Asistenku pergi ke tempatnya.Sedangkan Sabrina sekarang masih berdiri di sampingku. Aku menyuruhnya untuk segera pergi ke ruangannya agar tidak menjadi pembicaraan banyak orang sekalipun aku pernah menjekaskan pada rekan sesama Dokter kalau dia masih ada hubungan keluarga denganku.~~POV Amira~~Hari ini Ibu dan Bapak memutuskan untuk pulang kembali ke kampung. Kebetulan sekali Mas Razan baru saja berangkat ke tempat bekerja. Mas Razan tidak tahu jika kedua orang tuaku akan pulang kampung hari ini, mereka jarang sekali ngobrol karena Mas Razan lebih sering pulang terlambat."Amira, ingat pesan Ibu!" peringat Ibu lagi padaku."Iya, bu," jawabku setelah mencium tangannya."Ada apa Bu? Pesan apa?" tanya Bapak penasaran."Itu loh, Ibu memberi pesan sama Amira agar dia selalu berhati-hati dengan sikap suaminya, kemarin kan Razan pulang terlambat, bisa saja Razan berselingkuh dulu sebelum dia pulang kesini!" kata Ibu."Hush! Kamu ini Bu! Kalau bicara sembarangan terus! Jangan bicara seperti itu kalau kamu belum tahu kebenarannya, bicara yang baik-baik kepada anak, jangan buat dia jadi kepikiran gara-gara ucapanmu itu!" tegas Bapak sedikit marah.Ibu hanya terdiam sambil melirikku yang juga hanya terdiam seribu bahasa."Amira, Bapak yakin Razan adalah suami yang baik, kamu harus selalu nurut sama dia, jangan selalu menuntut untuk dikasih perhatian atau apapun, layani suami kamu dengan baik ya, insya Alloh dia akan selalu menyayangi kamu," ucap Bapak sambil mengusap bahuku.Berbeda halnya dengan Ibuku yang kini juga langsung pergi menuju mobil yang sudah terparkir di halaman rumah."Jangan ambil pusing dengan ucapan Ibumu itu, jangan dipikirkan, orang tua terjadang selalu berlebihan kepada anakknya karena dia terlalu sayang. Bapak pulang dulu ya, jaga diri baik-baik ya," ucap Bapak sebelum dia pergi.Aku hanya tersenyum sambil mengangguk setelah menjawab ucapannya. Ku lihat Bapak melambaikan tangannya di balik kaca mobil yang terbuka. Aku membalasnya dengan mataku yang sudah berkaca-kaca"Terimakasih Bapak, hanya kamu cinta pertama dalam hidupku, cuma Bapaklah yang selalu menyayangiku sepenuh hati," ucapku dengan air mata yang kini membasahi pipi.Aku teringat dengan niatku untuk mencari pekerjaan. Segera aku menghapus air mata lalu mencari Bi Nani untuk berpesan sesuatu karena hari ini aku akan pergi ke rumah Rinjani teman lamaku.Aku mengendarai mobilku sendiri karena Pak Bagus kini tengah mengantar suamiku ke tempat kerjanya. Di perjalanan tak habisnya air mataku mengalir mengingat penghianatan yang sudah dilakukan suamiku, betapa sakitnya saat mengingat ucapan Bapak sebelum dia pergi tadi. Dia begitu percaya pada Mas Razan, entah akan seperti apa perasannya jika suatu saat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."Amiraa!" teriak Rinjani heboh saat mobilku baru saja terparkir di rumahnya."Hallo, apa kabar?" sapaku sambil memeluknya yang sedari tadi berjingkrak heboh seperti anak kecil saat melihatku datang.Kami memang sudah cukup lama tidak bertemu, makannya Rinjani begitu antusias saat bertemu kembali denganku."Aku baik, kamu sendiri gimana? Udah isi belum?" tanyanya yang membuatku menggeleng sambil manyun."Yaahh..zonk lagi hahaha..suami kamu kurang tajam kali wkwkwkwk..." ujarnya yang suka sekali bercanda."Hahahaha...iya kali ya!"jawabku santai sambil tertawa."Masuk yuk!" ajaknya padaku yang mengikuti langkahnya.Toing!Sebuah kuntung rokok terbang ke hadapan kami membuatku mengernyitkan dahi, lalu seseorang mucul dari pintu yang terbuka."Maaf, tadi gak ada tempat buang kuntung!" ucapnya.Bukannya laki-laki itu yang menemukan dompetku di Mal? aku berbicara dalam hati saat melihat laki-laki tampan mirip Taehyung BTS itu."Rinjani! Kamu udah punya pacar sekarang?" tanyaku pada Rinjani yang menoleh cepat."Enak aja, dia bukan pacar aku! Dia sepupu aku!" jawabnya lalu mendekati lelaki itu lalu memukul kepalanya berkali-kali."Kebiasaan lu! Buang kuntung rokok sembarangan lu!" ujarnya kesal."Ampun! Ampun Nyai ronggeng!" teriak laki-laki itu."Apa lu bilang? Awas ya lu ya!" kata Rinjani pada laki-laki itu yang seketika kabur.Aku tertawa lepas melihat tingkah lucu mereka. Mereka berdua sudah seperti Tom dan Jery yang selalu bertengkar setiap saat."Malah ketawa lagi lu!" ujar Rinjani kesal padaku."Habisnya kalian lucu banget wkwkwk.." "Dasar si PTD itu emang gak ada kerjaan! Kerjaannya cuma numpang aja di rumah gue udah gitu malah ngajak gue berantem terus lagi!" "Apa katamu tadi PTD? Apa itu PTD?" tanyaku penasaran kali saja itu nama sebuah pekerjaan yang disematkan pada sepupu Rinjani."Iya, PTD (Penganguran Tingkat Dewa)!" jawab Rinjani kesal lalu duduk di kursi ketika kita sudah berada di dalam rum
Aku mau periksa rahimku, mungkin saja rahimku bermasalah makannya sampai sekarang aku belum bisa hamil juga," jawabku pada Mas Razan."Dokter Dicky sedang istirahat makan Amira, nanti saja kamu periksanya, lagipula keadaan rahim kamu bagus, gak ada yang perlu di periksa, bulan lalu kita periksa semuaya masih baik-baik saja kan?" kata Mas Razan seolah mencegahku."Aku sudah ada janji sama Dokter Dicky Mas, silahkan dilanjut lagi makannya!" ujarku sambil berlalu pergi.Mataku berkaca-kaca tapi sebisa mungkin aku tetap bisa menahannya agar aku tidak menjatuhkan air mataku di depan Mas Razan. Aku harus tetap terlihat kuat meski sudah mengetahui semua nya.Dia tidak mengejarku lagi, entah menurut melanjutkan makan atau apalah aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.Seseorang sudah berdiri di depanku yang baru saja tersadar dari lamunan. Dia adalah Dokter Dicky, teman Mas Razan yang berprofesi sama dengannya."Hallo, Amira, kok sendirian?" Sapa Dokter Dicky padaku."Bisa bicara sebentar di rua
Setelah membersihkan ruangan Sabrina aku segera pergi dari ruangannya dengan rasa penasaran yang masih tersimpan. BRAK!!Seseorang bertabrakan denganku. Dan ternyata itu adalah Sabrina yang baru saja datang dengan pakaian seksi yang dibalut dengan jas kerjanya. Sungguh terlihat seperti seorang penggoda."Eh, kamu istrinya Mas Razan kan?" tanya Sabrina padaku."Iya, kenapa memangnya?" "Tidak apa-apa, aku cuma nanya aja, emangnya Mas Razan gak malu, istrinya bekerja sebagai Office Girl di tempat ini?" kata Sabrina padaku."Aku tidak tahu, yang pasti aku tidak akan pernah malu dengan profesiku dengan bekerja sebgai Office Girle di tempat ini, mau itu Office Girl, pelayan, atau pekerjaan apapun itu tidak seharusnya membuat orang malu dengan pekerjaannya bukan? Yang seharusnya membuat seseorang malu itu sikapnya yang angkuh karena merendahkan profesi halal orang lain!" jawabku hendak pergi tapi Sabrina menangkap tanganku."Pantas saja Mas Razan selalu mengeluh tidak pernah dilayani denga
Setelah cukup puas melihat kehangatan kelurga kecil yang tampak begitu bahagia itu membuatku tak betah berlama-lama memperhatikan mereka dari kejauhan.Air mata yang sedari tadi tumpah sudah mulai mengering. Mas Razan maupun Kak Nita sudah tidak terlihat dalam pandanganku lagi.Segera aku menghidupkan mesin mobilku, menyalakan radio di dalam mobil. Kebetulan sekali sebuah lagu sedih bersenandung membuat air mataku kembali berjatuhan.Tring!Ponselku berbunyi tanda panggilan dari seseorang."Hallo?" ucapku sambil menghapus air mata setelah mengangkat telpon."Amira, ini nomer baru Kakak, malam ini Kakak akan pulang kembali ke rumah kamu untuk tinggal di sana lagi, Kakak malu sama temen numpang di rumahnya terus, kamu gak keberatan kan kalau Kakak tinggal di rumah kalian lagi?" tanya Kak Nita."Iya, Kak," jawabku lemas."Maksudnya? Iya gimana Mir? Iya boleh, apa Iya enggak boleh?" tanya Kak Nita."Terserah Kakak mau tinggal di rumah sampai kapanpun juga, aku gak bisa melarang atau mengi
Setelah berdebat cukup panjang bersama Sabrina aku segera pulang ke rumah. Seperti biasa Mas Razan belum pulang. Dengan leluasa aku memeriksa Handphonenya. Pertama aku memeriksa galeri Handphone Mas Razan. Mataku melotot melihat ada beberapa foto Mas Razan dengan Sabrina tanpa busana berada di atas ranjang yang sama.Mereka melakukan swa poto di sebuah kamar hotel, membuatku menutup mulutku merasa tak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. "Kamu benar-benar sudah membuat aku muak Mas! Kamu pikir aku akan diam saja dengan apa yang sudah kamu lakukan padaku? Kamu salah orang mengiraku Amira yang dulu, aku bukan Amira yang dulu, akan ku buat kamu menyesal sudah melakukan ini padaku Mas!" tak terasa air mataku kembali terjatuh membasahi pipi.Walau bagaimanapun aku masih mencintai suamiku. Tujuh tahun menjalin hubungan pernikahan, dan selama sebelas tahun aku mengenalnya, tak pernah aku menyangka akan mendapat penghaianatan seperti ini.Aku terlalu rapuh jika harus mengakhiri semu
Setelah beberapa menit akhirnya kami sampai di depan gedung rumah sakit bernama "RS.FATIH". Aku terburu-buru turun dari motor sport Danile yang akhirnya membuatku hampir terjatuh, untung saja Daniel memegang pinggangku, pandangan kami terkunci beberapa detik.~~ POV Razan ~~Pagi ini adalah pagi yang amat memuakkan bagiku. Bagaimana tidak, baru saja aku melahap sesuap makanan ke mulut sambil memuji masakkan Amira yang begitu lezat, dia malah merespon ucapanku dengan hal yang membuatku tersulut emosi.Karena kesal, aku meninggalkannya bernagkat ke rumah sakit sendirian. Ku biarkan saja dia berangkat sendiri, hatiku masih kesal mengingat dia selalu saja menyangkut pautkan apapun dengan Sabrina. Deg!Tiba-tiba saja jantungku berdegup, rasanya hatiku geram saa melihat pemandangan buruk di hadapanku. Dari kejauhan, ku lihat Amira dan Daniel tengah saling memandang sambil berpelukkan. Dadaku bergemuruh menahan amarah, aku segera berjalan cepat menghampiri mereka."Apa yang sedang kalian l
Saat bekerja memeriksa beberapa pasien, pikiranku tak fokus karena mengingat kejadian bersama Amira tadi.Kepalaku jadi pusing karena terlalu keras berpikir, juga rasa cemas yang belum kunjung habis mengelilingi otakku. Amira memang sudah membuat kepalaku pusing hari ini. Saat jam istirahat tiba, aku segera mencari Amira ke ruangan Office Girl. Lagi, ku lihat pemandangan buruk di depan mataku. Terlihat Amira yang tengah menangis, bersamaan Daniel yang kini tengah memegang tangannya dengan air kran yang mengucur ke bagian tangan kiri Amira. "Minggir! Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku mendorong tubuh Daniel agar menjauh dari istriku, Amira hanya melirikku tanpa menjawab."Tangan Mbak Amira terkena air panas! Hatinya juga panas sekarang!" jawab Daniel padaku.Mendengar hal itu sorot mataku menajam padanya. Lancang sekali OB sepertinya berbicara menyudutkanku di saat situasi seperti ini. "Sayang, ayok ikut Mas ke ruangan, biar Mas coba periksa kamu, lalu nanti Mas obati lukanya," a
"Asslamu'alaikum," ucapku setelah membuka pintu saat pulang ke rumah berniat untuk membawa beberapa pakaianku."Wa'alaikumsalam, kamu dari mana Amira? Kok baru pulang?" tanya Mamah Rani, ibunda Mas Razan yang kini tengah duduk di atas sofa."Eu...Amira baru saja pulang bekerja Mah, Mamah sama Papah kapan datang?" tanyaku lalu menghampiri kedua orang yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri sambil mencium tangan keduanya."Baru aja kami datang Mir. O, ya, kamu kerja apa? Kok malah bekerja, emangnya gajih Razan gak cukup buat kebutuhan kamu?" tanya Mamah Rani."Iya, Papah juga baru aja mau tanya gitu, bukannya gajih Razan itu besar? Belum lagi dia juga mempunyai bisnis lain di luar kota, seharusnya kamu tidak perlu bekerja seperti ini," sambung Papah Andri. "Eu.., Amira bekerja karena Amira bosan diam di rumah terus, makannya Amira memutuskan untuk bekerja saja," jawabku agak gugup terpaksa berbohong kembali untuk menutupi aib suamiku."Sebentar Mah, Pah, Amira mau ke belakang dulu pa
"Aku yakin banget dia ada disana tadi, di dekat pohon kelapa, dan dia memakai jaket warna hitam," aku kekeh karena sangat yakin jika itu benar Kakakku."Ya udah, kamu jangan panik begitu, tenangin diri dulu ya, jangan khawatir, dia tidak akan berbuat jahat lagi sama kamu, mungkin dia cuma kebetulan lewat saja," balas Daniel sambil mengelus pundakku. "Aku beli minum dulu ya, biar kamu lebih tenang setelah minum." Ujarnya lagi lalu pergi.Rinjani menggiring tubuhku untuk duduk di salah satu kursi panjang yang terdapat di pinggir pantai. Dia berkali-kali mengelus punggungku untuk menenangkan karena dia tahu sendiri bagaimana rasa traumaku beberapa waktu lalu saat aku harus kehilangan calon bayiku karena kecelakaan yang di lakukan oleh Kak Nita."Tenang Amira, kamu akan baik-baik saja, jangan khawatir, kan ada aku." Ucap Rinjani.Tak lama Daniel datang dengan sebotol air mineral di tangannya. "Minum dulu Mir, biar kamu lebih tenang," ucapnya mengulurkan sebotol air itu padaku."Iya, terim
Aku hanya diam saja berpura tak mendrngar pertanyaan dari Rama. Dia tetap saja mendesak memberiku pertanyaan lagi."Apa mau bulan ini juga kalian merid?" tanyanya lagi yang membuat aku dan Daniel juga Rinjani berlirikan."Bukan bulan ini, tapi besok!" jawab Rinjani tegas.Rama terkikik geli setengah mengejek mendengar hal itu. Aku rasa ada yang berbeda dengan sikapnya. Tapi ku abaikan saja. Setelah acara itu selesai, kami semua pergi ke pantai untuk merayakan kembali hari ulang tahunku.Tentu saja aku meminta izin pada Ibu dan Bapak untuk pergi ke pantai bersama teman-temanku. Mereka langsung mengizinkan karena bukan hanya aku yang meminta izin, tapi Daniel juga. Sepertinya Ibu dan Bapak sudah terpikat oleh sikap baik Daniel padaku yang selama ini cukup dekat dengan keluarga kami.******Kembali kami menghabiskan waktu bersama di pantai setelah sampai dan memakan waktu cukup lama. Kami sampai tepat pukul tiga sore. Aku duduk di tepi pantai sambil menikmati hembusan angin sore. Tiba-
Bi Ningrum berhenti di sebuah taman yang sudah di dekorasi dengan dekorasi yang sangat indah. Terdapat ucapan selamat ulang tahun di dalam dekorasi yang terpasang membuat dahiku mengernyit. Disana juga sudah tertata rapih beberapa meja bundar lengkap dengan kursi yang mungkin akan menjadi tempat duduk beberapa tamu.Sebuah kue besar dengan angka 27 di atasnya yang terpampang di atas meja sudah jelas sekali memberitahuku bahwa acara surprise itu di tunjukkan untukku."Happy Birthday Amira" Tampak Daniel yang tiba-tiba muncul dari balik dekorasi itu sambil menebar senyuman termanis padaku."Happy Birthday Amira!" ucapnya berteriak. Beberapa orang juga muncul sambil berteriak terutama Rinjani, Rama dan juga Erlika yang tanpa berekspresi."Tunggu!" ujarku membuat senyum mereka memudar berganti degan ekspresi kebingungan."Ada apa Amira?" tanya Rinjani menghampiriku yang jaraknya beberapa meter."Emangnya kalian yakin hari ini hari ulang tahunku?" tanyaku."Lah, bukannya tanggal ulang tah
Nisa menjelaskan mereka berdua sempat berbincang di depan toko dan tak sengaja dia mendengarnya. Maksud mereka datang ke toko mungkin untuk mengundangku ke acara pernikahan mereka, begitu kata Nisa."Aku dengar mereka lagi ngobrol tentang undangan pernikahan Bu, mungkin saja Ibu mau di undang ke acara pernikahan mereka." Jelas Nisa.Mobil yang kini sedang aku kendarai melaju lambat, kala mengingat penjelasan Nisa waktu di toko. Aku menghentikannya di depan sebuah Mall.Setelah memarkirkan mobil aku turun. Beranjak berjalan menuju sebuah toko minuman lalu memesannya. Aku duduk di sebuah kursi menunggu minuman datang."Hai, Amira!" sapa Rama bersama seorang perempuan cantik menghampiriku yang sedang duduk termenung.Aku tersenyum membalas sapaannya. Dia duduk bersama wanita itu. "Malam-malam nongkrong disini, sendirian lagi, Daniel kemana?" tanya Rama.Mendengar pertanyaan itu aku sudah mengerti. Setiap orang pasti akan mengira kami sudah memiliki hubungan selain berteman. Aku jadi mera
"Assalamu'alaikum...," ucapku saat membuka pintu rumah setelah sampai di kota kelahiranku."Hallo! Amira, apa kabar!" Rinjani menerobos memelukku dengan di penuhi aura kebahagiaan di wajahnya."Alhamdulillah, baik, aduh! Pelan-pelan dong meluknya!" kataku pada Rinjani yang terlalu bersemangat."Kangen tahu! Kamu nih ya, malah kabur ke luar negri, giliran temen nikah gak ada, kesel deh!" gerutunya sambil mengiringi langkahku berjalan menghampiri Bapak dan Ibu yang tengah duduk di sofa."Gimana jalan-jalannya Mir, pasti senangkan?" tanya Ibu padaku yang mencium punggung tangannya."Alhamdulillah Bu, Amira udah lebih baik sekarang, suasana di sana enak banget, tapi dingin karena lagi musim salju." Jawabku lalu mencium punggung tangan Bapak."Coba kalau kita ikut kesana, Ibu sih gak mau ikut, jadinya Bapak juga gak bisa ikut!" kata Bapak meluapkan kekesalannya."Malas Pak, perjalanannya jauh, naik pesawat lagi. Bapak kan tahu kalau ibu takut naik pesawat." Jawab Ibu membela diri."Iya-iya
Aku dan Daniel berjalan kaki ketika sudah sampai di tempat tujuan. Kami harus menaiki tangga panjang menuju menara.Sesekali aku berhenti berjalan karena kelelahan. Dengan tingkah konyolnya dia memintaku untuk menaiki punggungnya menawarkan diri untuk siap menggendongku."Naiklah!" katanya sambil berjongkok."Eh, gak usah, aku masih bisa jalan kok," tolakku."Yakin, bakal kuat naik ke tangga berikutnya?" ejeknya padaku."Yakinlah, ayok lanjut!" ajakku sambil menaiki anak tangga berikutnya.Beberapa menit berikutnya kami sudah sampai di puncak menara. Disana terdapat banyak sekali gembok yang terpasang di sepanjang tempat. "Mau coba pasang gembok? Tulis sebuah tanda, atau permintaan, buat seru-seruan aja." Usul Daniel saat aku berdiri melihat satu persatu gembok yang sudah terpasang.Aku menyetujuinya. Kami membeli gembok serta menulis sesuatu lalu memasangnya di tempat yang cukup ruang. "Selesai!" teriak Daniel kegirangan."Kamu tulis apaan?" aku mengintip gembok yang baru saja di p
Ternyata Daniel juga menginap di hotel yang sama dengan kami. Aku sudah bisa menebaknya sendiri, ulah siapa yang membuatnya sampai datang ke Korea untuk mengikutiku. Siapa lagi kalau bukan Mbak Karina.Selain teman semasa SMA Kak Nita, Mbak Karina masih mempunyai ikatan keluarga dengan Daniel. Dia pernah bercerita mengenai perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua Daniel yang sengaja di tolak mentah-mentah oleh Daniel karena Daniel lebih memilih menunggu jandaku.Malu rasanya mendengar cerita itu. Bukan apa-apa, aku merasa menjadi duri yang tidak seharusnya membuat Daniel membantah kedua orang tuanya. Tapi, mau bagaimana lagi, aku tidak tahu apa-apa, berita itu juga ku dengar beberapa bulan yang lalu dari Mbak Karina."Besok kita jalan-jalan ke Namsan Tower yuk!" ajak Daniel saat kita makan malam bersama."Hmm..boleh," jawabku sambil kembali melahap makanan yang belum habis.Mbak Karina hanya tersenyum melihat kita. Dia selertinya mendukung Daniel untuk kembali mendekatiku."Kaya
~~ POV Amira ~~Karena kejadian beberapa waktu lalu yang mengharuskanku mengalami depresi telah kehilangan bayi yang berada dalam kandunganku, membuatku harus pergi ke luar negri untuk menenngkan diri.Ya, aku pergi ke negri gingseng untuk sekedar melepas beban pikiran yang selama ini selalu berkecamuk menguras hati dan pikiranku.Terbersit dalam ingatan sosok Daniel yang selama ini selalu ada untukku saat aku tengah duduk di sebuah kursi taman merenung sendiri.Aku ingat sekali saat Daniel datang kembali dengan menawarkan ide cemerlang tentang bisnis yang sekarang sedang aku jalani. Dia yang memberiku ide untuk menjalankan bisnis kue di kotaku. Dia juga yang selalu ada untukku di saat aku kesusahan menjalani kehamilan di usia-usia rentan. Bahkan dia selalu berusaha sebisa mungkin menuruti keinginan ngidamku. Kami memang hanya teman, akupun tidak lebih menilainya memberi perhatian hanya sekedar mengasihaniku meski dia pernah mengungkap rasa."Amira!" teriak seseorang yang suaranya ta
"Apa yang sebenarnya terjadi Bu?" tanyaku pada Mamah yang masih berderai air mata.Mamah hanya melirikku sekilas lalu melihat Nita yang sama halnya tengah menangis. Bapak tidak terlihat di sana, entah kemana dia."Kenapa kalian diam? Saya sedang khawatir, tolong jawab, apa yang sebenarnya terjadi sama Amira?" desakku yang membuat Ibu bangkit."Kalau saja dari awal dia dan Nita tidak pernah mengenal kamu, semuanya tidak akan seperti ini!" ujar Ibu menatapku nyalang sambil menunjuk wajahku."Maksud Ibu?" tanyaku."Memang susah ngomong sama orang yang gak punya hati!" ujarnya lalu pergi menyisakan aku dan Nita. "Ada apa ini? Jadi selama ini kamu pulang kempung? Apa mereka sudah tahu hubungan kita?" "Iya!" jawab Nita singkat membuatku emosi."Jawab yang benar, jangan singkat-singkat!" bentakku."Bayi Amira meninggal, karena aku memarahinya saat aku datang ke rumah, aku bertengkar hebat sama dia sampai aku gak bisa mengendalikan diri mendorong dia ke bawah tangga, puas kamu dengan jawaban