Setelah berdebat cukup panjang bersama Sabrina aku segera pulang ke rumah. Seperti biasa Mas Razan belum pulang. Dengan leluasa aku memeriksa Handphonenya. Pertama aku memeriksa galeri Handphone Mas Razan. Mataku melotot melihat ada beberapa foto Mas Razan dengan Sabrina tanpa busana berada di atas ranjang yang sama.Mereka melakukan swa poto di sebuah kamar hotel, membuatku menutup mulutku merasa tak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. "Kamu benar-benar sudah membuat aku muak Mas! Kamu pikir aku akan diam saja dengan apa yang sudah kamu lakukan padaku? Kamu salah orang mengiraku Amira yang dulu, aku bukan Amira yang dulu, akan ku buat kamu menyesal sudah melakukan ini padaku Mas!" tak terasa air mataku kembali terjatuh membasahi pipi.Walau bagaimanapun aku masih mencintai suamiku. Tujuh tahun menjalin hubungan pernikahan, dan selama sebelas tahun aku mengenalnya, tak pernah aku menyangka akan mendapat penghaianatan seperti ini.Aku terlalu rapuh jika harus mengakhiri semu
Setelah beberapa menit akhirnya kami sampai di depan gedung rumah sakit bernama "RS.FATIH". Aku terburu-buru turun dari motor sport Danile yang akhirnya membuatku hampir terjatuh, untung saja Daniel memegang pinggangku, pandangan kami terkunci beberapa detik.~~ POV Razan ~~Pagi ini adalah pagi yang amat memuakkan bagiku. Bagaimana tidak, baru saja aku melahap sesuap makanan ke mulut sambil memuji masakkan Amira yang begitu lezat, dia malah merespon ucapanku dengan hal yang membuatku tersulut emosi.Karena kesal, aku meninggalkannya bernagkat ke rumah sakit sendirian. Ku biarkan saja dia berangkat sendiri, hatiku masih kesal mengingat dia selalu saja menyangkut pautkan apapun dengan Sabrina. Deg!Tiba-tiba saja jantungku berdegup, rasanya hatiku geram saa melihat pemandangan buruk di hadapanku. Dari kejauhan, ku lihat Amira dan Daniel tengah saling memandang sambil berpelukkan. Dadaku bergemuruh menahan amarah, aku segera berjalan cepat menghampiri mereka."Apa yang sedang kalian l
Saat bekerja memeriksa beberapa pasien, pikiranku tak fokus karena mengingat kejadian bersama Amira tadi.Kepalaku jadi pusing karena terlalu keras berpikir, juga rasa cemas yang belum kunjung habis mengelilingi otakku. Amira memang sudah membuat kepalaku pusing hari ini. Saat jam istirahat tiba, aku segera mencari Amira ke ruangan Office Girl. Lagi, ku lihat pemandangan buruk di depan mataku. Terlihat Amira yang tengah menangis, bersamaan Daniel yang kini tengah memegang tangannya dengan air kran yang mengucur ke bagian tangan kiri Amira. "Minggir! Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku mendorong tubuh Daniel agar menjauh dari istriku, Amira hanya melirikku tanpa menjawab."Tangan Mbak Amira terkena air panas! Hatinya juga panas sekarang!" jawab Daniel padaku.Mendengar hal itu sorot mataku menajam padanya. Lancang sekali OB sepertinya berbicara menyudutkanku di saat situasi seperti ini. "Sayang, ayok ikut Mas ke ruangan, biar Mas coba periksa kamu, lalu nanti Mas obati lukanya," a
"Asslamu'alaikum," ucapku setelah membuka pintu saat pulang ke rumah berniat untuk membawa beberapa pakaianku."Wa'alaikumsalam, kamu dari mana Amira? Kok baru pulang?" tanya Mamah Rani, ibunda Mas Razan yang kini tengah duduk di atas sofa."Eu...Amira baru saja pulang bekerja Mah, Mamah sama Papah kapan datang?" tanyaku lalu menghampiri kedua orang yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri sambil mencium tangan keduanya."Baru aja kami datang Mir. O, ya, kamu kerja apa? Kok malah bekerja, emangnya gajih Razan gak cukup buat kebutuhan kamu?" tanya Mamah Rani."Iya, Papah juga baru aja mau tanya gitu, bukannya gajih Razan itu besar? Belum lagi dia juga mempunyai bisnis lain di luar kota, seharusnya kamu tidak perlu bekerja seperti ini," sambung Papah Andri. "Eu.., Amira bekerja karena Amira bosan diam di rumah terus, makannya Amira memutuskan untuk bekerja saja," jawabku agak gugup terpaksa berbohong kembali untuk menutupi aib suamiku."Sebentar Mah, Pah, Amira mau ke belakang dulu pa
[Aku lagi di Hotel Anggrek sama Mas Razan, datang aja kalau kamu penasaran, aku akan kasih kamu kejutan hari ini] Pesan itu di kirim oleh nomer tak di kenal. Aku sudah bisa menebaknya jika itu mungkin saja adalah nomer Sabrina.Dengan tangan mengepal aku berjalan cepat mencari taxi. Tak lama, setelah taxi datang aku memasukinya. Tak ku hiraukan teriakkan Dicky yang memanggil namaku berkali-kali. Aku masih kesal padanya, bukan karena apapun. Tapi dari ucapannya itu kini pikiranku semakin kacau.Setelah tiba di hotel yang di maksud aku segera menghampiri resefsionis hotel yang menolak untuk memberikan informasi mengenai keberadaan suamiku. Pesan itu jelas sekali memberikan aku informasi keberadaan Mas Razan saat ini, aku juga melihat ada beberapa barang Mas Razan dalam foto yang baru saja di kirim oleh nomer tak di kenal itu."Saya mohon Mbak, saya istri dari Pak Razan dan saya juga berhak mengetahui dimana keberadaan dia sekarang, jika dia sedang berada di hotel ini, bukankah saya jug
"Amira, sini bantu Mamah membuat kue untuk acara syukuran nanti malam," kata Mamah Rani padaku yang mulai tersadar dari lamunanku."Eh, iya, Mah," segera aku bangkit menghampirinya yang sedang berada di dapur."Memangnya nanti malam akan ada acara syukuran apa?" tanyaku pada Mamah Rani sambil membantunya."Adalah, kamu akan tahu sendiri nanti," jawabnya sambil tersenyum."Mamah selalu saja buat Amira penasaran," ucapku sambil tersenyum karena merasa sudah di jahili olehnya.Mamah Rani terkekeh. "Namanya juga surpise," katanya sambil terus melanjutkan pekerjaanya.Melihatnya tersenyum membuatku merasa senang. Karena baru beberapa menit yang lalu Mamah terlihat murung karena kondisi Papah Andri yang tiba-tiba drop harus terbaring di atas ranjang.Papah Andri tiba-tiba saja mengalami struk saat aku datang untuk menceritakan hal yang sebenarnya terjadi pada rumah tanggaku dan Mas Razqn. Padahal aku belum berbicara apapun, ku lihat Mamah Rani dan Kak Nita tengah berada di dekat tubuh Papah
Wajah Mas Razan terlihat gugup saat aku tanyai dia. "Eu, enggak, Mas gak terkejut kok," jawabnya kembali mengekpresikan wajahnya seperti biasa."Kapan kamu datang kesini?" tanya Mas Razan."Sudah lama," jawabku singkat."Hallo, sayang, Mamah kamu kemana? Kok kamu sama Tante Amira? Sini biar Om gendong kamu ya," kata Mas Razan pada Farel yang tersenyum melihatnya.Sakit sekali melihat hal itu, hatiku tercabik-cabik merasa menjadi seorang yang bodoh menyembunyikan rasa sakit ini. "Sini biar Mas yang gendong Farel," kata Mas Razan.Aku memberikan Farel padanya lalu berniat pergi. Tapi Mas Razan mencegahku dengan pertanyaannya."Mau kemana?" tanyanya."Ke dapur, bantuin Mamah," jawabku singkat juga."Bikinin Mas kopi hitam, antarkan kesini sekarang, udah lama Mas gak minum kopi buatan kamu," perintahnya yang segera aku anggukkan lalu aku pergi tanpa berkata apapun lagi.Sampai di dapur Mamah Rani masih sibuk membuat kue. Entah kejutan apa yang akan dia berikan untukku."Kamu mau buatkan k
"Mau kemana lo jam segini hujan-hujanan? Pake berdiri di pinggir jalan segala lagi," cerocos Rinjani."Mau ke rumah Mamah Rani, Mas Razan..., Mas Razan nyuruh aku datang lagi kesana," aku menjeda ucapanku karena mengigil.Tiba-tiba Daniel melepas jaketnya, dia memakaikannya ke punggungku. Reflek aku menoleh padanya."Pakai saja, nanti kamu sakit!" katanya."Modus lo Daniel!" kata Rinjani yang sekarang sedang mengemudi. Tak ada suara dari mulutnya seperti biasa. Dia diam saja, entah apa yang sedang di pikirkan. Biasanya Daniel banyak bicara, tapi kali ini dia diam saja."Kenapa?" tanyanya saat menoleh ke arahku yang memandangnya.Mungkin dia merasa sedang di tatap olehku yang tak sadar terlalu lama memandangnya dengan berjuta pertanyaan dalam hati."Ti-tidak apa-apa," jawabku gugup juga kedinginan.Tak seharusnya kami berdekatan di saat seperti ini. Tapi apa mau di kata, dia begitu baik padaku. Dan lagi hubungan kami hanya sebagai teman saja. Beberapa menit kemudian kami sudah sampai
"Aku yakin banget dia ada disana tadi, di dekat pohon kelapa, dan dia memakai jaket warna hitam," aku kekeh karena sangat yakin jika itu benar Kakakku."Ya udah, kamu jangan panik begitu, tenangin diri dulu ya, jangan khawatir, dia tidak akan berbuat jahat lagi sama kamu, mungkin dia cuma kebetulan lewat saja," balas Daniel sambil mengelus pundakku. "Aku beli minum dulu ya, biar kamu lebih tenang setelah minum." Ujarnya lagi lalu pergi.Rinjani menggiring tubuhku untuk duduk di salah satu kursi panjang yang terdapat di pinggir pantai. Dia berkali-kali mengelus punggungku untuk menenangkan karena dia tahu sendiri bagaimana rasa traumaku beberapa waktu lalu saat aku harus kehilangan calon bayiku karena kecelakaan yang di lakukan oleh Kak Nita."Tenang Amira, kamu akan baik-baik saja, jangan khawatir, kan ada aku." Ucap Rinjani.Tak lama Daniel datang dengan sebotol air mineral di tangannya. "Minum dulu Mir, biar kamu lebih tenang," ucapnya mengulurkan sebotol air itu padaku."Iya, terim
Aku hanya diam saja berpura tak mendrngar pertanyaan dari Rama. Dia tetap saja mendesak memberiku pertanyaan lagi."Apa mau bulan ini juga kalian merid?" tanyanya lagi yang membuat aku dan Daniel juga Rinjani berlirikan."Bukan bulan ini, tapi besok!" jawab Rinjani tegas.Rama terkikik geli setengah mengejek mendengar hal itu. Aku rasa ada yang berbeda dengan sikapnya. Tapi ku abaikan saja. Setelah acara itu selesai, kami semua pergi ke pantai untuk merayakan kembali hari ulang tahunku.Tentu saja aku meminta izin pada Ibu dan Bapak untuk pergi ke pantai bersama teman-temanku. Mereka langsung mengizinkan karena bukan hanya aku yang meminta izin, tapi Daniel juga. Sepertinya Ibu dan Bapak sudah terpikat oleh sikap baik Daniel padaku yang selama ini cukup dekat dengan keluarga kami.******Kembali kami menghabiskan waktu bersama di pantai setelah sampai dan memakan waktu cukup lama. Kami sampai tepat pukul tiga sore. Aku duduk di tepi pantai sambil menikmati hembusan angin sore. Tiba-
Bi Ningrum berhenti di sebuah taman yang sudah di dekorasi dengan dekorasi yang sangat indah. Terdapat ucapan selamat ulang tahun di dalam dekorasi yang terpasang membuat dahiku mengernyit. Disana juga sudah tertata rapih beberapa meja bundar lengkap dengan kursi yang mungkin akan menjadi tempat duduk beberapa tamu.Sebuah kue besar dengan angka 27 di atasnya yang terpampang di atas meja sudah jelas sekali memberitahuku bahwa acara surprise itu di tunjukkan untukku."Happy Birthday Amira" Tampak Daniel yang tiba-tiba muncul dari balik dekorasi itu sambil menebar senyuman termanis padaku."Happy Birthday Amira!" ucapnya berteriak. Beberapa orang juga muncul sambil berteriak terutama Rinjani, Rama dan juga Erlika yang tanpa berekspresi."Tunggu!" ujarku membuat senyum mereka memudar berganti degan ekspresi kebingungan."Ada apa Amira?" tanya Rinjani menghampiriku yang jaraknya beberapa meter."Emangnya kalian yakin hari ini hari ulang tahunku?" tanyaku."Lah, bukannya tanggal ulang tah
Nisa menjelaskan mereka berdua sempat berbincang di depan toko dan tak sengaja dia mendengarnya. Maksud mereka datang ke toko mungkin untuk mengundangku ke acara pernikahan mereka, begitu kata Nisa."Aku dengar mereka lagi ngobrol tentang undangan pernikahan Bu, mungkin saja Ibu mau di undang ke acara pernikahan mereka." Jelas Nisa.Mobil yang kini sedang aku kendarai melaju lambat, kala mengingat penjelasan Nisa waktu di toko. Aku menghentikannya di depan sebuah Mall.Setelah memarkirkan mobil aku turun. Beranjak berjalan menuju sebuah toko minuman lalu memesannya. Aku duduk di sebuah kursi menunggu minuman datang."Hai, Amira!" sapa Rama bersama seorang perempuan cantik menghampiriku yang sedang duduk termenung.Aku tersenyum membalas sapaannya. Dia duduk bersama wanita itu. "Malam-malam nongkrong disini, sendirian lagi, Daniel kemana?" tanya Rama.Mendengar pertanyaan itu aku sudah mengerti. Setiap orang pasti akan mengira kami sudah memiliki hubungan selain berteman. Aku jadi mera
"Assalamu'alaikum...," ucapku saat membuka pintu rumah setelah sampai di kota kelahiranku."Hallo! Amira, apa kabar!" Rinjani menerobos memelukku dengan di penuhi aura kebahagiaan di wajahnya."Alhamdulillah, baik, aduh! Pelan-pelan dong meluknya!" kataku pada Rinjani yang terlalu bersemangat."Kangen tahu! Kamu nih ya, malah kabur ke luar negri, giliran temen nikah gak ada, kesel deh!" gerutunya sambil mengiringi langkahku berjalan menghampiri Bapak dan Ibu yang tengah duduk di sofa."Gimana jalan-jalannya Mir, pasti senangkan?" tanya Ibu padaku yang mencium punggung tangannya."Alhamdulillah Bu, Amira udah lebih baik sekarang, suasana di sana enak banget, tapi dingin karena lagi musim salju." Jawabku lalu mencium punggung tangan Bapak."Coba kalau kita ikut kesana, Ibu sih gak mau ikut, jadinya Bapak juga gak bisa ikut!" kata Bapak meluapkan kekesalannya."Malas Pak, perjalanannya jauh, naik pesawat lagi. Bapak kan tahu kalau ibu takut naik pesawat." Jawab Ibu membela diri."Iya-iya
Aku dan Daniel berjalan kaki ketika sudah sampai di tempat tujuan. Kami harus menaiki tangga panjang menuju menara.Sesekali aku berhenti berjalan karena kelelahan. Dengan tingkah konyolnya dia memintaku untuk menaiki punggungnya menawarkan diri untuk siap menggendongku."Naiklah!" katanya sambil berjongkok."Eh, gak usah, aku masih bisa jalan kok," tolakku."Yakin, bakal kuat naik ke tangga berikutnya?" ejeknya padaku."Yakinlah, ayok lanjut!" ajakku sambil menaiki anak tangga berikutnya.Beberapa menit berikutnya kami sudah sampai di puncak menara. Disana terdapat banyak sekali gembok yang terpasang di sepanjang tempat. "Mau coba pasang gembok? Tulis sebuah tanda, atau permintaan, buat seru-seruan aja." Usul Daniel saat aku berdiri melihat satu persatu gembok yang sudah terpasang.Aku menyetujuinya. Kami membeli gembok serta menulis sesuatu lalu memasangnya di tempat yang cukup ruang. "Selesai!" teriak Daniel kegirangan."Kamu tulis apaan?" aku mengintip gembok yang baru saja di p
Ternyata Daniel juga menginap di hotel yang sama dengan kami. Aku sudah bisa menebaknya sendiri, ulah siapa yang membuatnya sampai datang ke Korea untuk mengikutiku. Siapa lagi kalau bukan Mbak Karina.Selain teman semasa SMA Kak Nita, Mbak Karina masih mempunyai ikatan keluarga dengan Daniel. Dia pernah bercerita mengenai perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua Daniel yang sengaja di tolak mentah-mentah oleh Daniel karena Daniel lebih memilih menunggu jandaku.Malu rasanya mendengar cerita itu. Bukan apa-apa, aku merasa menjadi duri yang tidak seharusnya membuat Daniel membantah kedua orang tuanya. Tapi, mau bagaimana lagi, aku tidak tahu apa-apa, berita itu juga ku dengar beberapa bulan yang lalu dari Mbak Karina."Besok kita jalan-jalan ke Namsan Tower yuk!" ajak Daniel saat kita makan malam bersama."Hmm..boleh," jawabku sambil kembali melahap makanan yang belum habis.Mbak Karina hanya tersenyum melihat kita. Dia selertinya mendukung Daniel untuk kembali mendekatiku."Kaya
~~ POV Amira ~~Karena kejadian beberapa waktu lalu yang mengharuskanku mengalami depresi telah kehilangan bayi yang berada dalam kandunganku, membuatku harus pergi ke luar negri untuk menenngkan diri.Ya, aku pergi ke negri gingseng untuk sekedar melepas beban pikiran yang selama ini selalu berkecamuk menguras hati dan pikiranku.Terbersit dalam ingatan sosok Daniel yang selama ini selalu ada untukku saat aku tengah duduk di sebuah kursi taman merenung sendiri.Aku ingat sekali saat Daniel datang kembali dengan menawarkan ide cemerlang tentang bisnis yang sekarang sedang aku jalani. Dia yang memberiku ide untuk menjalankan bisnis kue di kotaku. Dia juga yang selalu ada untukku di saat aku kesusahan menjalani kehamilan di usia-usia rentan. Bahkan dia selalu berusaha sebisa mungkin menuruti keinginan ngidamku. Kami memang hanya teman, akupun tidak lebih menilainya memberi perhatian hanya sekedar mengasihaniku meski dia pernah mengungkap rasa."Amira!" teriak seseorang yang suaranya ta
"Apa yang sebenarnya terjadi Bu?" tanyaku pada Mamah yang masih berderai air mata.Mamah hanya melirikku sekilas lalu melihat Nita yang sama halnya tengah menangis. Bapak tidak terlihat di sana, entah kemana dia."Kenapa kalian diam? Saya sedang khawatir, tolong jawab, apa yang sebenarnya terjadi sama Amira?" desakku yang membuat Ibu bangkit."Kalau saja dari awal dia dan Nita tidak pernah mengenal kamu, semuanya tidak akan seperti ini!" ujar Ibu menatapku nyalang sambil menunjuk wajahku."Maksud Ibu?" tanyaku."Memang susah ngomong sama orang yang gak punya hati!" ujarnya lalu pergi menyisakan aku dan Nita. "Ada apa ini? Jadi selama ini kamu pulang kempung? Apa mereka sudah tahu hubungan kita?" "Iya!" jawab Nita singkat membuatku emosi."Jawab yang benar, jangan singkat-singkat!" bentakku."Bayi Amira meninggal, karena aku memarahinya saat aku datang ke rumah, aku bertengkar hebat sama dia sampai aku gak bisa mengendalikan diri mendorong dia ke bawah tangga, puas kamu dengan jawaban