Aku dan Mas Razan pamit tidur kepada Kak Nita setelah suamiku itu selesai memijit Farel. Kami langsung tidur karena kini mataku sudah mengantuk begitupun Mas Razan.
Beberapa jam berlalu aku terbangun ditengah malam karena bermimpi aneh tentang kehancuran rumah tanggaku. Ku lihat Mas Razan tak ada di tempat tidurnya. Dengan rasa kantuk yang masih menyelimuti mataku, aku berjalan menuju dapur karena tenggorokkanku merasa kering setelah terbangun tadi.Aku lupa menaruh botol milikku yang biasa aku letakkan sebelum tidur di atas nakas.Saat aku melewati kamar Kak Nita, terdengar suara d*sahan yang membuatku menempelkan telingaku pada pintu kamarnya yang tertutup rapat.Suara itu semakin menjadi diiringi ucapan-ucapan manis yang terlontar dari mulut Kakak kandungku. Dengan siapa dia melakukan hal itu? Apa jangan-jangan dengan Mas Razan? batinku yang seketika merasa tergores. Rasanya dadaku bergemuruh dengan tubuh bergetar memikirkan hal yang bahkan belum aku ketahui kepastiannya.Aku berjalan menuju dapur untuk mencari keberadaan suamiku, siapa tahu dia ada disana untuk mengambil minum juga. Tapi sayang, Mas Razan tak ada disana, aku juga berjalan cepat menuju halaman belakang tempat biasa dia bersantai saat tidak bisa tidur, tapi Mas Razan juga tidak ada disana.Kemana dia? batinku terus bertanya menepis kemungkinan yang ada di dalam kamar itu bukanlah suamiku."Hiks..hiks.." aku menangis sambil berjongkok menelungkupkan wajahku pada lutut karena pikiranku kini tertuju pada kebenaran tebakan itu.Iya, mungkin yang ada di dalam sana memang suamiku. Hatiku hancur, jiwaku rasanya melayang entah kemana mendapati penghianatan yang dia lakukan bersama Kakak kandungku sendiri. Entah apa yang terjadi dalam hidup ini jika aku harus kehilangannya dalam waktu sesingkat ini?"Kamu ngapain jongkok disana?" suara suamiku terdengar dari belakang.Aku menoleh cepat lalu berdiri sambil menghapus air mata karena takut ketahuan sudah menangis."Mas darimana aja sih? Malam-malam begini keluyuran?" tanyaku kesal."Mas habis telpon di luar, emangnya kenapa?" tanya Mas Razan lalu dia mendekatiku menyelidik mataku yang terlihat basah.Aku baru ingat kalau tadi aku tidak sempat mencarinya ke depan teras."Kamu nangis?" tanyanya lagi tanpa merasa berdosa."Enggak kok, aku cuma kelilipan aja," jawabku berbohong, bisa-bisa dia menertawakan ku kalau aku berkata jujur.Terlihat Marni yang baru saja datang sambil merapikan rambut dan juga rok mininya dari arah dapur karena kamarnya cukup dekat dengan dapur.Apa jangan-jangan Mas Razan bermain dengannya? batinku yang tidak bisa berpikir jernih tentang suamiku yang akhir-akhir ini sikapnya berubah."Kamu mau kemana Marni ini kan masih malam?" tanyaku memandang ke arah Marni di belakang Mas Razan."Eu,,saya..saya mau ambil jemuran saya lupa belum diangkat Bu," jawabnya yang masih terlihat ngantuk.Dia berjalan melewatiku untuk menaiki tangga karena tempat menjemur pakaian ada di rooftop atas. Aneh sekali kelakuannya, alasan yang baru saja ku dengar itu aku anggap aneh, karena waktu sudah menunjukkan jam dua pagi, dan dia berniat naik ke roortop untuk mengambil jemuran di pagi yang masih buta ini? Kenapa dia tidak menunggu matahari terbit saja?Ku lihat ada beberapa tanda merah di lehernya saat tak sengaja aku meliriknya yang baru saja lewat.Deg!Aku tahu itu bukanlah tanda gigitan nyamuk apalagi gigitan semut. Di bagian bawah lehernya juga terdapat tanda merah itu. Siapa yang sudah melakukannya? Bukankah Marni belum punya suami? Bukankah saat dia melamar pekerjaan statusnya masih perawan?Pikiranku kembali melayang bertebaran dan jatuh pada tatapan dinginku yang kini ku tunjukkan pada suamiku. Mas Razan masih disana menatapku heran, dengan ponselnya yang masih ada ditangan."Kamu habis darimana tadi, Mas? Jawab aku dengan jujur!" pintaku meninggikan suaraku."Kok kamu bersikap kayak gitu sih sayang? Mas kan udah bilang Mas habis telpon di luar sama temen," jawabnya yang membuatku semakin ragu untuk percaya."Temen siapa? Siapa yang malam-malam begini telponan sama suami orang?" tanyaku penuh interogasi."Temen Mas itu cowok sayang, dia barusan minta Mas ke Rumah sakit buat gantiin Sip malamnya karena dia tiba-tiba sakit," jawabnya lagi.Entah kenapa hati ini menepisnya merasa Mas Razan tengah berbohong padaku. Aku memang tak pernah membuka Handphonenya, aku juga tidak pernah tahu dengan siapa saja dia slalu bertukar pesan, karena itu adalah privasinya. Aku sangat menghargai suamiku dan sangat percaya padanya, tapi malam ini aku memberanikan diri untuk mengambil Handphone Mas Razan secara paksa ditangannya."Eeeh, kok diambil sih Handphone Mas!" ucapnya.Tak ku gubris ucapannya barusan. Aku membuka aplikasi hijau membaca beberapa pesan di grup Rumah Sakit tempat dia bekerja. Tak ada hal yang aneh apalagi mencurigakan. Disana hanya terdapat lawakan sesama Dokter pria yang tengah membahas si Dokter baru cantik bernama Sabrina yang menurutku ternyata jauh berbeda sekali dengan aslinya.Jadi itu yang membuatmu tersenyum setiap malam Mas? batinku yang mulai merasa lega karena sudah membaca seluruh isi pesan di aplikasi itu."Makasih Mas," ucapku sambil tersenyum lalu membalikkan bdan hendak pergi karena merasa malu sudah mengira hal yang buruk tentangnya."Sudah puas?!" teriaknya terdengar kecewa.Aku kembali membalikkan badan memandangnya yang memperlihatkan ekspresi kesal padaku."Permisi, Bu," ucap Marni yang baru turun dari tangga.Aku diam saja merasa kesal juga pada Marni yang berpakaian terbuka di tengah malam begini. Tidak bisakah dia berpakaian tidur yang lebih sopan? Apalagi disini ada tiga laki-laki yang tidak seharusnya melihat auratnya.Mas Razan tak melihat ke arah Marni. Dia menatapku sambil mendelikkan mata, lalu berjalan melewatiku menaiki tangga.Ngambek ceritanya. Terlihat jelas kalau dia sangat kecewa terhadap perlakuanku tadi yang tidak seperti biasanya. Mas Razan langsung pergi begitu saja meninggalkanku yang kini merasa bersalah padanya.Aku tak bisa berkata apapun lagi, perasaanku kini bercampur aduk tak menentu. Mau percaya, tapi tetap saja curiga. Mau curiga, tapi aku tidak menemukan bukti apapun tentang perselingkuhannya.Tak ingin membuat kepalaku pusing kembali, aku segera bergegas menuju kamar untuk istirahat karena malam ini tubuh dan otakku seakan terkuras habis oleh pikiran- pikiran negatif yang belum jelas kebenarannya.Pagi hari seperti biasa aku menyiapkan sarapan untuk Mas Razan yang akan segera berangkat bekerja. Meski ada beberapa asisten rumah tangga, aku tidak mengizinkan mereka memasak untuk suamiku. Karena Mas Razan pernah bilang, dia hanya ingin makan masakanku saja.Aku tersenyum saat melihat Mas Razan baru saja turun dari tangga, tapi dia tak membalas senyum juga sapaanku.Di berjalan keluar membuatku segera mengikutinya."Mas, aku sudah siapkan sarapan, kamu gak mau sarapan dulu?" tanyaku lembut padanya yang baru menaruh tas kerjanya di mobil."Enggak, aku mau sarapan di RS aja!" jawabnya ketus sekali."Ya sudah, kalau gitu aku buatkan kamu bekal buat sarapan," aku hendak membalikkan badan tapi Mas Razan mencegahku."Gak usah!" ucapnya lalu melirik ke arah Farel yang berada dalam gendongan Kak Nita. Dia berjalan melewatiku ke arah bayi itu. Lalu mencium pipi gembul menggemaskan milik keponakanku. "Om berangkat kerja dulu ya sayang," ucapnya pada Farel yang tersenyum seolah mengerti.De
Aku tak mau melihat hal menyakitkan lagi dari sikap Mas Razan yang menurutku sudah banyak sekali berubah. Kuputuskan untuk pergi saja sekedar untuk menenangkan diri di tempat yang mungkin tak akan diketahui olehnya.Saat melewati kamar Kak Nita yang pintunya terbuka, aku melirik sekilas ke arah mereka yang tengah sibuk berbincang. Mas Razan tengah memeriksa keadaan Farel, sedangkan Kak Nita duduk diatas ranjangnya.Apa tidak ada tempat lain selain dikamar? Batinku rasanya geram sekali."Assalamu'alaikum,," terdengar ucapan salam cukup lantang dari arah depan.Sepertinya itu adalah suara Ibu dan Bapak. Aku segera menutup pintu kamar Kak Nita lalu menguncinya agar Ibu dan Bapak tidak mengetahui keberadaan Kak Nita di rumah. Seperti yang dikatakan Kak Nita waktu kemarin, dia tidak ingin sampai Ibu dan Bapak tahu dengan apa yang sudah menimpanya saat ini."Wa'alaikumsalam,," aku berjalan cepat mengabaikan teriakan Mas Razan dari dalam."Amira, apa kabar Nak, apa kamu sehat?" ucap Bapak sa
Aku dan Mas Razan sudah selesai bicara empat mata untuk menyelesaikan masalah yang baru saja terjadi dalam kehidupan rumah tangga kami.Mas Razan pamit pergi kembali ke Rumah Sakit setelah memastikan aku tidak lagi marah padanya. Sedangkan aku segera menghubungi Kak Nita untuk mengetahui dimana keberadaannya sekarang mumpung Bapak dan Ibu masih istirahat.Ternyata Kak Nita sudah pergi ke rumah temannya yang terletak tak jauh dari rumahku. Dia bilang, untuk sementara waktu dia akan menginap di rumah temannya."Baiklah kalau Kakak mau nginap disana, tapi ingat, telpon aku kalau butuh apa-apa atau terjadi sesuatu lagi sama Farel," suruhku padanya dalam panggilan telpon."Iya, nanti Kakak telpon kamu kalau Kakak butuh sesuatu, udah dulu ya, ini Farel nangis baru bangun tidur dia," Jawabnya sambil menutup telpon tanpa menunggu jawabanku.Aku pasrah saja, lalu bergegas pergi untuk membeli kebutuhan dapur yang sudah mulai menipis. Sesampainya di Mall aku berjalan menuju tempat bahan makanan
Bi Nani keluar dari kamarnya setelah ibu pergi. Dia segera mendekat ke arahku dengan ekspresi tidak enak karena aku sudah mengerjakan pekerjaannya."Aduh, Non, kenapa Non nyuci piring? Kenapa gak dibiarin sampai besok saja, biar Bibi atau si Marni yang kerjakan!" katanya heboh sekali."Gak apa-apa Bi, saya lagi pengen cuci piring aja, Bibi istirahat saja," jawabku lembut."Non, kenapa? Kok keliatannya sedih begitu?" tanya Bi Nani padaku."Enggak kok Bi, saya gak apa-apa, saya ke kamar dulu ya," aku segera pergi menuju kamar untuk istirahat.***********Entah kapan Mas Razan pulang semalam. Saat aku terbangun, tiba-tiba dia sudah memelukku dari belakang, sepertinya Mas Razan masih tidur pagi ini. Aku melepas perlahan tangannya yang melingkar."Akan ku buat kamu menyesal sudah melakukan semua itu padaku Mas! Aku bukan wanita bodoh dan naif lagi sekarang, sekali kamu melukaiku, aku akan membalasmu seumur hidup!" ujarku pada Mas Razan yang masih terlelap tidur.Aku segera membersihkan dir
"Jangan sekarang sayang, nanti Mas akan kasih semua ATM Mas sama kamu tapi jagan sekaranglah," jawabku."Kenapa? Sekarang atau nanti sama saja kan Mas? Sama-sama di kasih ke aku? Atau...Mas memang sayang banget ngasih ATM sama aku? Sayang kalau uangnya cepat habis?" tanyanya menyelidik membuatku kembali bepikir untuk menjawabnya."Iya, maksud Mas nanti saja ya, Mas janji akan ngasih semua ATM Mas sama kamu, bukannya Mas takut kamu boros atau habiskan uangnya, Mas masih ada keperluan lain selain membiayai sekolah Rania," ucapku hampir saja keceplosan."Baiklah Mas, nanti aku tunggu kesadaran Mas!" jawab Amira sambil pergi."Astaga! Kenapa Amira berubah? Perkataannya juga berubah, masa dia barusan bilang tunggu kesadaranku? Emangnya aku lagi kesurupan apa?" gumamku.Bergegas aku segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di atas meja sudah tersedia pakaian kerjaku yang sudah disiapkan Amira. Setelah berpakaian rapih aku segera mengambil tas kerjaku untuk segera berangkat."Mas
"Rinjani! Kamu udah punya pacar sekarang?" tanyaku pada Rinjani yang menoleh cepat."Enak aja, dia bukan pacar aku! Dia sepupu aku!" jawabnya lalu mendekati lelaki itu lalu memukul kepalanya berkali-kali."Kebiasaan lu! Buang kuntung rokok sembarangan lu!" ujarnya kesal."Ampun! Ampun Nyai ronggeng!" teriak laki-laki itu."Apa lu bilang? Awas ya lu ya!" kata Rinjani pada laki-laki itu yang seketika kabur.Aku tertawa lepas melihat tingkah lucu mereka. Mereka berdua sudah seperti Tom dan Jery yang selalu bertengkar setiap saat."Malah ketawa lagi lu!" ujar Rinjani kesal padaku."Habisnya kalian lucu banget wkwkwk.." "Dasar si PTD itu emang gak ada kerjaan! Kerjaannya cuma numpang aja di rumah gue udah gitu malah ngajak gue berantem terus lagi!" "Apa katamu tadi PTD? Apa itu PTD?" tanyaku penasaran kali saja itu nama sebuah pekerjaan yang disematkan pada sepupu Rinjani."Iya, PTD (Penganguran Tingkat Dewa)!" jawab Rinjani kesal lalu duduk di kursi ketika kita sudah berada di dalam rum
Aku mau periksa rahimku, mungkin saja rahimku bermasalah makannya sampai sekarang aku belum bisa hamil juga," jawabku pada Mas Razan."Dokter Dicky sedang istirahat makan Amira, nanti saja kamu periksanya, lagipula keadaan rahim kamu bagus, gak ada yang perlu di periksa, bulan lalu kita periksa semuaya masih baik-baik saja kan?" kata Mas Razan seolah mencegahku."Aku sudah ada janji sama Dokter Dicky Mas, silahkan dilanjut lagi makannya!" ujarku sambil berlalu pergi.Mataku berkaca-kaca tapi sebisa mungkin aku tetap bisa menahannya agar aku tidak menjatuhkan air mataku di depan Mas Razan. Aku harus tetap terlihat kuat meski sudah mengetahui semua nya.Dia tidak mengejarku lagi, entah menurut melanjutkan makan atau apalah aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.Seseorang sudah berdiri di depanku yang baru saja tersadar dari lamunan. Dia adalah Dokter Dicky, teman Mas Razan yang berprofesi sama dengannya."Hallo, Amira, kok sendirian?" Sapa Dokter Dicky padaku."Bisa bicara sebentar di rua
Setelah membersihkan ruangan Sabrina aku segera pergi dari ruangannya dengan rasa penasaran yang masih tersimpan. BRAK!!Seseorang bertabrakan denganku. Dan ternyata itu adalah Sabrina yang baru saja datang dengan pakaian seksi yang dibalut dengan jas kerjanya. Sungguh terlihat seperti seorang penggoda."Eh, kamu istrinya Mas Razan kan?" tanya Sabrina padaku."Iya, kenapa memangnya?" "Tidak apa-apa, aku cuma nanya aja, emangnya Mas Razan gak malu, istrinya bekerja sebagai Office Girl di tempat ini?" kata Sabrina padaku."Aku tidak tahu, yang pasti aku tidak akan pernah malu dengan profesiku dengan bekerja sebgai Office Girle di tempat ini, mau itu Office Girl, pelayan, atau pekerjaan apapun itu tidak seharusnya membuat orang malu dengan pekerjaannya bukan? Yang seharusnya membuat seseorang malu itu sikapnya yang angkuh karena merendahkan profesi halal orang lain!" jawabku hendak pergi tapi Sabrina menangkap tanganku."Pantas saja Mas Razan selalu mengeluh tidak pernah dilayani denga
"Aku yakin banget dia ada disana tadi, di dekat pohon kelapa, dan dia memakai jaket warna hitam," aku kekeh karena sangat yakin jika itu benar Kakakku."Ya udah, kamu jangan panik begitu, tenangin diri dulu ya, jangan khawatir, dia tidak akan berbuat jahat lagi sama kamu, mungkin dia cuma kebetulan lewat saja," balas Daniel sambil mengelus pundakku. "Aku beli minum dulu ya, biar kamu lebih tenang setelah minum." Ujarnya lagi lalu pergi.Rinjani menggiring tubuhku untuk duduk di salah satu kursi panjang yang terdapat di pinggir pantai. Dia berkali-kali mengelus punggungku untuk menenangkan karena dia tahu sendiri bagaimana rasa traumaku beberapa waktu lalu saat aku harus kehilangan calon bayiku karena kecelakaan yang di lakukan oleh Kak Nita."Tenang Amira, kamu akan baik-baik saja, jangan khawatir, kan ada aku." Ucap Rinjani.Tak lama Daniel datang dengan sebotol air mineral di tangannya. "Minum dulu Mir, biar kamu lebih tenang," ucapnya mengulurkan sebotol air itu padaku."Iya, terim
Aku hanya diam saja berpura tak mendrngar pertanyaan dari Rama. Dia tetap saja mendesak memberiku pertanyaan lagi."Apa mau bulan ini juga kalian merid?" tanyanya lagi yang membuat aku dan Daniel juga Rinjani berlirikan."Bukan bulan ini, tapi besok!" jawab Rinjani tegas.Rama terkikik geli setengah mengejek mendengar hal itu. Aku rasa ada yang berbeda dengan sikapnya. Tapi ku abaikan saja. Setelah acara itu selesai, kami semua pergi ke pantai untuk merayakan kembali hari ulang tahunku.Tentu saja aku meminta izin pada Ibu dan Bapak untuk pergi ke pantai bersama teman-temanku. Mereka langsung mengizinkan karena bukan hanya aku yang meminta izin, tapi Daniel juga. Sepertinya Ibu dan Bapak sudah terpikat oleh sikap baik Daniel padaku yang selama ini cukup dekat dengan keluarga kami.******Kembali kami menghabiskan waktu bersama di pantai setelah sampai dan memakan waktu cukup lama. Kami sampai tepat pukul tiga sore. Aku duduk di tepi pantai sambil menikmati hembusan angin sore. Tiba-
Bi Ningrum berhenti di sebuah taman yang sudah di dekorasi dengan dekorasi yang sangat indah. Terdapat ucapan selamat ulang tahun di dalam dekorasi yang terpasang membuat dahiku mengernyit. Disana juga sudah tertata rapih beberapa meja bundar lengkap dengan kursi yang mungkin akan menjadi tempat duduk beberapa tamu.Sebuah kue besar dengan angka 27 di atasnya yang terpampang di atas meja sudah jelas sekali memberitahuku bahwa acara surprise itu di tunjukkan untukku."Happy Birthday Amira" Tampak Daniel yang tiba-tiba muncul dari balik dekorasi itu sambil menebar senyuman termanis padaku."Happy Birthday Amira!" ucapnya berteriak. Beberapa orang juga muncul sambil berteriak terutama Rinjani, Rama dan juga Erlika yang tanpa berekspresi."Tunggu!" ujarku membuat senyum mereka memudar berganti degan ekspresi kebingungan."Ada apa Amira?" tanya Rinjani menghampiriku yang jaraknya beberapa meter."Emangnya kalian yakin hari ini hari ulang tahunku?" tanyaku."Lah, bukannya tanggal ulang tah
Nisa menjelaskan mereka berdua sempat berbincang di depan toko dan tak sengaja dia mendengarnya. Maksud mereka datang ke toko mungkin untuk mengundangku ke acara pernikahan mereka, begitu kata Nisa."Aku dengar mereka lagi ngobrol tentang undangan pernikahan Bu, mungkin saja Ibu mau di undang ke acara pernikahan mereka." Jelas Nisa.Mobil yang kini sedang aku kendarai melaju lambat, kala mengingat penjelasan Nisa waktu di toko. Aku menghentikannya di depan sebuah Mall.Setelah memarkirkan mobil aku turun. Beranjak berjalan menuju sebuah toko minuman lalu memesannya. Aku duduk di sebuah kursi menunggu minuman datang."Hai, Amira!" sapa Rama bersama seorang perempuan cantik menghampiriku yang sedang duduk termenung.Aku tersenyum membalas sapaannya. Dia duduk bersama wanita itu. "Malam-malam nongkrong disini, sendirian lagi, Daniel kemana?" tanya Rama.Mendengar pertanyaan itu aku sudah mengerti. Setiap orang pasti akan mengira kami sudah memiliki hubungan selain berteman. Aku jadi mera
"Assalamu'alaikum...," ucapku saat membuka pintu rumah setelah sampai di kota kelahiranku."Hallo! Amira, apa kabar!" Rinjani menerobos memelukku dengan di penuhi aura kebahagiaan di wajahnya."Alhamdulillah, baik, aduh! Pelan-pelan dong meluknya!" kataku pada Rinjani yang terlalu bersemangat."Kangen tahu! Kamu nih ya, malah kabur ke luar negri, giliran temen nikah gak ada, kesel deh!" gerutunya sambil mengiringi langkahku berjalan menghampiri Bapak dan Ibu yang tengah duduk di sofa."Gimana jalan-jalannya Mir, pasti senangkan?" tanya Ibu padaku yang mencium punggung tangannya."Alhamdulillah Bu, Amira udah lebih baik sekarang, suasana di sana enak banget, tapi dingin karena lagi musim salju." Jawabku lalu mencium punggung tangan Bapak."Coba kalau kita ikut kesana, Ibu sih gak mau ikut, jadinya Bapak juga gak bisa ikut!" kata Bapak meluapkan kekesalannya."Malas Pak, perjalanannya jauh, naik pesawat lagi. Bapak kan tahu kalau ibu takut naik pesawat." Jawab Ibu membela diri."Iya-iya
Aku dan Daniel berjalan kaki ketika sudah sampai di tempat tujuan. Kami harus menaiki tangga panjang menuju menara.Sesekali aku berhenti berjalan karena kelelahan. Dengan tingkah konyolnya dia memintaku untuk menaiki punggungnya menawarkan diri untuk siap menggendongku."Naiklah!" katanya sambil berjongkok."Eh, gak usah, aku masih bisa jalan kok," tolakku."Yakin, bakal kuat naik ke tangga berikutnya?" ejeknya padaku."Yakinlah, ayok lanjut!" ajakku sambil menaiki anak tangga berikutnya.Beberapa menit berikutnya kami sudah sampai di puncak menara. Disana terdapat banyak sekali gembok yang terpasang di sepanjang tempat. "Mau coba pasang gembok? Tulis sebuah tanda, atau permintaan, buat seru-seruan aja." Usul Daniel saat aku berdiri melihat satu persatu gembok yang sudah terpasang.Aku menyetujuinya. Kami membeli gembok serta menulis sesuatu lalu memasangnya di tempat yang cukup ruang. "Selesai!" teriak Daniel kegirangan."Kamu tulis apaan?" aku mengintip gembok yang baru saja di p
Ternyata Daniel juga menginap di hotel yang sama dengan kami. Aku sudah bisa menebaknya sendiri, ulah siapa yang membuatnya sampai datang ke Korea untuk mengikutiku. Siapa lagi kalau bukan Mbak Karina.Selain teman semasa SMA Kak Nita, Mbak Karina masih mempunyai ikatan keluarga dengan Daniel. Dia pernah bercerita mengenai perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua Daniel yang sengaja di tolak mentah-mentah oleh Daniel karena Daniel lebih memilih menunggu jandaku.Malu rasanya mendengar cerita itu. Bukan apa-apa, aku merasa menjadi duri yang tidak seharusnya membuat Daniel membantah kedua orang tuanya. Tapi, mau bagaimana lagi, aku tidak tahu apa-apa, berita itu juga ku dengar beberapa bulan yang lalu dari Mbak Karina."Besok kita jalan-jalan ke Namsan Tower yuk!" ajak Daniel saat kita makan malam bersama."Hmm..boleh," jawabku sambil kembali melahap makanan yang belum habis.Mbak Karina hanya tersenyum melihat kita. Dia selertinya mendukung Daniel untuk kembali mendekatiku."Kaya
~~ POV Amira ~~Karena kejadian beberapa waktu lalu yang mengharuskanku mengalami depresi telah kehilangan bayi yang berada dalam kandunganku, membuatku harus pergi ke luar negri untuk menenngkan diri.Ya, aku pergi ke negri gingseng untuk sekedar melepas beban pikiran yang selama ini selalu berkecamuk menguras hati dan pikiranku.Terbersit dalam ingatan sosok Daniel yang selama ini selalu ada untukku saat aku tengah duduk di sebuah kursi taman merenung sendiri.Aku ingat sekali saat Daniel datang kembali dengan menawarkan ide cemerlang tentang bisnis yang sekarang sedang aku jalani. Dia yang memberiku ide untuk menjalankan bisnis kue di kotaku. Dia juga yang selalu ada untukku di saat aku kesusahan menjalani kehamilan di usia-usia rentan. Bahkan dia selalu berusaha sebisa mungkin menuruti keinginan ngidamku. Kami memang hanya teman, akupun tidak lebih menilainya memberi perhatian hanya sekedar mengasihaniku meski dia pernah mengungkap rasa."Amira!" teriak seseorang yang suaranya ta
"Apa yang sebenarnya terjadi Bu?" tanyaku pada Mamah yang masih berderai air mata.Mamah hanya melirikku sekilas lalu melihat Nita yang sama halnya tengah menangis. Bapak tidak terlihat di sana, entah kemana dia."Kenapa kalian diam? Saya sedang khawatir, tolong jawab, apa yang sebenarnya terjadi sama Amira?" desakku yang membuat Ibu bangkit."Kalau saja dari awal dia dan Nita tidak pernah mengenal kamu, semuanya tidak akan seperti ini!" ujar Ibu menatapku nyalang sambil menunjuk wajahku."Maksud Ibu?" tanyaku."Memang susah ngomong sama orang yang gak punya hati!" ujarnya lalu pergi menyisakan aku dan Nita. "Ada apa ini? Jadi selama ini kamu pulang kempung? Apa mereka sudah tahu hubungan kita?" "Iya!" jawab Nita singkat membuatku emosi."Jawab yang benar, jangan singkat-singkat!" bentakku."Bayi Amira meninggal, karena aku memarahinya saat aku datang ke rumah, aku bertengkar hebat sama dia sampai aku gak bisa mengendalikan diri mendorong dia ke bawah tangga, puas kamu dengan jawaban