"Y-ya karena aku pengen menebus kesalahanku, makanya aku ingin bersikap baik sama dia dan karena aku merasa kalau mbak Shanum memang orang yang baik." ujar Delia. Rian terdiam sedikit tidak menyangka juga, tapi apakah benar yang ia katakan barusan dari dalam hatinya? Apakah ia tulus?Shanum terus browsing untuk mencari dimana keberadaan sekolah Jihan. Jihan juga ikut menjadi juri dalam mengenali sekolah itu benar atau bukan. "Ih ini tan!" mendadak Jihan menunjuk ke hape dalam ekspresi kagetnya. Tentu saja Shanum merasa cukup senang. "Ini beneran Han? Posisi bangunannya kayak gini? Dan ada beberapa pohon didepannya?" tanya Shanum. "Iya tan, ini." Shanum langsung membaca dengan teliti dimana alamat sekolahnya."MI. Al-ikhlas 02. Jalan raden inten, nomor 02, daerah Jakarta pusat. Eh ini ada mapnya, cuma dua jam dari sini Han. Alhamdulillah ya Allah akhirnya ketemu juga." ucap Shanum penuh syukur. "Tante mau kesana?" tanya Jihan. "Iya, kapan ya kira-kira. Takutnya toko kalo ditingga
Sesampainya didalam rumahnya, Ghea langsung memberikan Jaka segelas air putih dan diminumlah olehnya saat itu juga. Suatu upaya untuk dirinya agar lebih tenang. "Om enggak nyangka ternyata kabar itu juga sampai kesini, om enggak benar-benar menyangka mereka sejulid itu sama kita." ucap Jaka. "Udahlah om, enggak usah terlalu dipikirin." "Kalo om dijulidin gitu, om langsung labrak Ge. Kamu juga harusnya labrak aja.""Tetangga soalnya om, nanti muncul keributan, aku lagi yang kena. Lagipula aku tinggal disini enggak ada yang dewasa, kalo enggak ada masalah enggak ada yang jadi penengah." ucap Ghea. "Ya terus kamu mau digituin aja? Om sih enggak, langsung dijelasin langsung." "Iya, kadang pernah sih dikampus kayak gitu, ah enggak.... Bahkan udah tiga kali aku ngelabrak orang kayak gitu terkait masalah ini. Eh ujung-ujungnya kena semprotan dosen lagi. Untung enggak di D.O." ucap Ghea. "Biarin aja selama kita benar mah." Esok paginya. Shanum memutuskan untuk pergi ke Jakarta saat itu be
"Vin, ibu di Jakarta sekarang, kamu udah pulang kuliah kan? Ibu ke kampus kamu ya?" tanya Shanum. "Loh, ibu disini? Kok bisa bu? Mau ngapain? Vin, lagi kuliah." ucap Gavin. "Iya ada perlu tadi, ibu ke kampus kamu ya sekarang." ucap Shanum langsung mematikan ponselnya padahal Gavin belum selesai bicara ketika itu. Shanum langsung pergi saat itu juga. Menyusul Gavin ke kampusnya. Shanum keluar dari angkot, dan tak lama ia pun tiba dihadapan kampus Gavin. Ia langsung berjalan cepat menuju area dalam kampus, disana ia mulai menelepon kembali Gavin saat itu, kebetulan juga banyak yang sudah pulang untuk kuliah pagi, mungkin Gavin juga sudah pulang sekarang. Namun ketika sedang semangatnya ia masuk ke dalam kampus, mendadak kedua matanya membulat saat melihat Ghea dihadapan sana, berniat akan pulang juga, sudah memakai tasnya bersama teman-temannya.Apalagi saat dilihatnya Ghea memakai tas yang super mahal dari Jaka dulu, yang harganya 8 jutaan. Sangat tidak dipercaya, ia terlalu bersema
Doni mendempet ke dekat Rina dan berbisik. "Bu maaf, tapi memang benar yang saya katakan. Mbak Delianya enggak ada di kantor ini. Pak Rian sangat berharap ibu tidak menyita waktunya untuk menunggu kehadirannya soalnya tidak akan datang." bisik Doni, setelah menerima sebuah pesan ancaman dari Rian untuk segera memulangkan kembali ibunya. Mau tak mau pun ia terpaksa membujuk dengan cara seperti ini, sekalipun orang yang sedang dibicarakan olehnya tepat ada didepan mereka. Delia sedikit mendengar suara Doni dibelakangnya, ia kemudian menoleh ke arahnya dan terkejut saat melihat disebelah Doni ada Rina yang usianya cukup dikatakan kategori ibu-ibu disertai dengan penampilannya yang cukup modis. Rina tidak percaya. "Udahlah sebanyak apapun kata pencegahan kamu, saya akan tetap menemui anak saya dan cari dengan mata kepala saya sendiri tentang keberadaan Delia." Merasa namanya disebut, Delia langsung menoleh ke arah mereka, Doni merasa gawat, menepuk jidatnya. "Ibu menyebut nama saya
"Saya tahu pasti kamu memendam sesuatu kan mengenai hubungan saya dan mbak Shanum? Saya ingin tahu selama ini apa yang terjadi antara saya dengan mbak Shanum." ucap Rian. "Apa yang diomongin orang-orang mengenai bapak amnesia itu benar pak?" "Iya saya benar amnesia." Doni membulat sesaat kedua matanya. Lalu ia mulai paham sekarang. "Pantesan." ucapnya. "Pantesan?" tanya Rian. "Sebelum bapak amnesia, bapak sering banget melibatkan diri ke dalam hidup mbak Shanum. ucap Doni. "Ya, saya inget sedikit-sedikit mengenai itu." ucap Rian.Doni tersenyum dan mulai ceritakan tentang beberapa hal penting yang pernah terjadi diantara mereka. "Mulai dari awal ya pak, jadi bapak pertama kali ketemu sama bu Shanum saat di rumah sakit, terus kebetulan bu Shanum juga sering menghubungi bapak sebagai pemilik kios di pasar. Dari sana bapak dan bu Shanum saling bekerja sama dalam bisnis beras bukan hanya sebagai pemilik kios dan penyewanya, setelah itu kalian saling komunikasi intens, cukup dekat ke
"Iya sih, cerai keputusan yang cukup berat tapi trauma yang mbak alami juga pastinya lebih berat lagi rasanya." ucap Rian. Shanum tersenyum tipis, entah kenapa didalam lubuk hatinya ia ingin mengucapkan terima kasih karena ia sudah mengerti dirinya. "Lalu anak mbak gimana? Kenapa enggak disuruh tinggal disini aja?" tanya Rian. "Mungkin kalau sudah lulus kuliah nanti, tapi kalo sekarang kayaknya harus sama ayahnya dulu. Biaya kuliahnya saya enggak kuat mas. Tapi ya itu, malah dianya angot-angotan enggak mau pulang, nginep terus di rumah orang. Aku juga udah ngebujuk mas Jaka, tapi malah gitu responnya. Jadi bingung." ucap Shanum. Rian tersenyum tipis cukup memahami situasinya dan bagaimana posisi Shanum disana. "Yaudah suruh tinggal aja disini mbak, nanti kuliahnya pindah kesini.""Saya gak ada biaya buat membayarnya mas." ucap Shanum tersenyum lirih. "Kalau sambil kerja disini gimana?" "Enggak mungkin kayaknya, disini juga palingan kerja jadi apa. Saya cuma ngerasa sayang aja uda
"Ah, enggak... Cuma pengen deket aja sama calon mantu mama." ucap Rina. "Udahlah ma, enggak perlu aneh-aneh. Toh Rian enggak akan sampai kapanpun sama dia." ucap Rian kekeh. "Kenapa sih Yan? Delia tuh kayaknya cinta sama kamu loh, kamu tahu kan pesan mama, lebih enak mencintai seseorang yang mencintai kamu juga.""Iya iya."Rian pun pada akhirnya menuruti saja keinginan ibunya itu, memberikan nomor telepon Delia padanya. Tapi sekalipun ibunya mengatakan seperti itu, Rian tetap tidak akan menerima kembali Delia didalam hatinya. Ia sudah bertekad pada dirinya, tidak mungkin ia melanggar janjinya itu. Delia sedang dalam perjalanan menuju ke tempat biasanya bekerja, ia ingin melihat dulu situasi di acara pernikahan dekat sana, tempat kliennya berada. Tapi sayangnya muncul sebuah telepon dari nomor tidak dikenal. Ia khawatir kalau itu nomor telepon orang penting atau klien lainnya, hingga membuatnya menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengangkat teleponnya. Sangat mengejutkan saat
Yah, sepantasnya memang Rian lebih sebanding dengan Delia. Delia juga orang yang baik setahunya. Banyak orang mendukung mereka. Sekalipun.... Terkadang beberapa hal terpintas liar didalam kepalanya mengenai Rian, saat-saat ketika dirinya dan pria itu tertawa hingga bercanda, tak terasa sudah cukup lama dirinya mengenal pria itu, pintasan itu seolah menggoyahkan keteguhan hatinya yang dilanda kebimbangan. Dari sana muncul sebuah pertanyaan menggema seisi ruangnya, apakah setidak pantas itu dirinya di mata semua orang terkait Rian? Dan bodohnya kenapa mendadak muncul pertanyaan semacam itu didalam kepalanya? Seakan tidak sopan dan tidak melihat situasi saat setelah dirinya baru saja dimaki seperti itu oleh ibu Rian. Ah tidak, tidak.... Apa sebenarnya yang kau pikirkan! Mana ada sih... Ia tidak boleh menyukai lelaki itu. Sekalipun begitu banyak kenangan yang sudah terlewati bersamanya. Shanum kuat-kuat menolak diri dari perasaan itu. Dirinya menghela nafas dan kembali ke pekerjaannya