Doni mendempet ke dekat Rina dan berbisik. "Bu maaf, tapi memang benar yang saya katakan. Mbak Delianya enggak ada di kantor ini. Pak Rian sangat berharap ibu tidak menyita waktunya untuk menunggu kehadirannya soalnya tidak akan datang." bisik Doni, setelah menerima sebuah pesan ancaman dari Rian untuk segera memulangkan kembali ibunya. Mau tak mau pun ia terpaksa membujuk dengan cara seperti ini, sekalipun orang yang sedang dibicarakan olehnya tepat ada didepan mereka. Delia sedikit mendengar suara Doni dibelakangnya, ia kemudian menoleh ke arahnya dan terkejut saat melihat disebelah Doni ada Rina yang usianya cukup dikatakan kategori ibu-ibu disertai dengan penampilannya yang cukup modis. Rina tidak percaya. "Udahlah sebanyak apapun kata pencegahan kamu, saya akan tetap menemui anak saya dan cari dengan mata kepala saya sendiri tentang keberadaan Delia." Merasa namanya disebut, Delia langsung menoleh ke arah mereka, Doni merasa gawat, menepuk jidatnya. "Ibu menyebut nama saya
"Saya tahu pasti kamu memendam sesuatu kan mengenai hubungan saya dan mbak Shanum? Saya ingin tahu selama ini apa yang terjadi antara saya dengan mbak Shanum." ucap Rian. "Apa yang diomongin orang-orang mengenai bapak amnesia itu benar pak?" "Iya saya benar amnesia." Doni membulat sesaat kedua matanya. Lalu ia mulai paham sekarang. "Pantesan." ucapnya. "Pantesan?" tanya Rian. "Sebelum bapak amnesia, bapak sering banget melibatkan diri ke dalam hidup mbak Shanum. ucap Doni. "Ya, saya inget sedikit-sedikit mengenai itu." ucap Rian.Doni tersenyum dan mulai ceritakan tentang beberapa hal penting yang pernah terjadi diantara mereka. "Mulai dari awal ya pak, jadi bapak pertama kali ketemu sama bu Shanum saat di rumah sakit, terus kebetulan bu Shanum juga sering menghubungi bapak sebagai pemilik kios di pasar. Dari sana bapak dan bu Shanum saling bekerja sama dalam bisnis beras bukan hanya sebagai pemilik kios dan penyewanya, setelah itu kalian saling komunikasi intens, cukup dekat ke
"Iya sih, cerai keputusan yang cukup berat tapi trauma yang mbak alami juga pastinya lebih berat lagi rasanya." ucap Rian. Shanum tersenyum tipis, entah kenapa didalam lubuk hatinya ia ingin mengucapkan terima kasih karena ia sudah mengerti dirinya. "Lalu anak mbak gimana? Kenapa enggak disuruh tinggal disini aja?" tanya Rian. "Mungkin kalau sudah lulus kuliah nanti, tapi kalo sekarang kayaknya harus sama ayahnya dulu. Biaya kuliahnya saya enggak kuat mas. Tapi ya itu, malah dianya angot-angotan enggak mau pulang, nginep terus di rumah orang. Aku juga udah ngebujuk mas Jaka, tapi malah gitu responnya. Jadi bingung." ucap Shanum. Rian tersenyum tipis cukup memahami situasinya dan bagaimana posisi Shanum disana. "Yaudah suruh tinggal aja disini mbak, nanti kuliahnya pindah kesini.""Saya gak ada biaya buat membayarnya mas." ucap Shanum tersenyum lirih. "Kalau sambil kerja disini gimana?" "Enggak mungkin kayaknya, disini juga palingan kerja jadi apa. Saya cuma ngerasa sayang aja uda
"Ah, enggak... Cuma pengen deket aja sama calon mantu mama." ucap Rina. "Udahlah ma, enggak perlu aneh-aneh. Toh Rian enggak akan sampai kapanpun sama dia." ucap Rian kekeh. "Kenapa sih Yan? Delia tuh kayaknya cinta sama kamu loh, kamu tahu kan pesan mama, lebih enak mencintai seseorang yang mencintai kamu juga.""Iya iya."Rian pun pada akhirnya menuruti saja keinginan ibunya itu, memberikan nomor telepon Delia padanya. Tapi sekalipun ibunya mengatakan seperti itu, Rian tetap tidak akan menerima kembali Delia didalam hatinya. Ia sudah bertekad pada dirinya, tidak mungkin ia melanggar janjinya itu. Delia sedang dalam perjalanan menuju ke tempat biasanya bekerja, ia ingin melihat dulu situasi di acara pernikahan dekat sana, tempat kliennya berada. Tapi sayangnya muncul sebuah telepon dari nomor tidak dikenal. Ia khawatir kalau itu nomor telepon orang penting atau klien lainnya, hingga membuatnya menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengangkat teleponnya. Sangat mengejutkan saat
Yah, sepantasnya memang Rian lebih sebanding dengan Delia. Delia juga orang yang baik setahunya. Banyak orang mendukung mereka. Sekalipun.... Terkadang beberapa hal terpintas liar didalam kepalanya mengenai Rian, saat-saat ketika dirinya dan pria itu tertawa hingga bercanda, tak terasa sudah cukup lama dirinya mengenal pria itu, pintasan itu seolah menggoyahkan keteguhan hatinya yang dilanda kebimbangan. Dari sana muncul sebuah pertanyaan menggema seisi ruangnya, apakah setidak pantas itu dirinya di mata semua orang terkait Rian? Dan bodohnya kenapa mendadak muncul pertanyaan semacam itu didalam kepalanya? Seakan tidak sopan dan tidak melihat situasi saat setelah dirinya baru saja dimaki seperti itu oleh ibu Rian. Ah tidak, tidak.... Apa sebenarnya yang kau pikirkan! Mana ada sih... Ia tidak boleh menyukai lelaki itu. Sekalipun begitu banyak kenangan yang sudah terlewati bersamanya. Shanum kuat-kuat menolak diri dari perasaan itu. Dirinya menghela nafas dan kembali ke pekerjaannya
Rian sedikit pengang telinganya, ia menjauhkan hpnya dari telinga. Ia kembali berkata. "Udah dulu ya bu, nanti diceritain pas aku pulang." ucap Rian langsung mematikan sambungan teleponnya. Rian kembali memandang ke arah Shanum. "Mbak.... Saya harap mbak kembali pulih, saya menunggu mbak sadar dan kembali menyapa saya seperti biasa." ucap Rian lalu mulai pergi dari sana, menutup pintunya. Beberapa saat kemudian Rian pun sampai didepan rumahnya dan sudah disambut terlebih dahulu oleh ibunya. Bahkan langsung dicecar segala macam. "Kamu ngapain ke pasar lagi? Kamu tadi ke pasar kan nemuin mbak Shanum?!" tandas Rina. Rian langsung masuk bersama ibunya dan menutup pintunya terlebih dahulu. "Mbak Shanum tadi ditusuk sama preman dalam upaya ingin menyelamatkan aku." ucap Rian. "Hah?! Kamu.... Mau ditusuk katamu?! Bagus kan?! Terus aja kamu libatin ke dalam hidup si Shanum itu! Mama udah bilang kan ke kamu, dia itu cuma mau manfaatin kamu doang, mau harta kamu dan ini adalah hasil dari ka
"Tanya apa?" "Papa selama ini juga biayain kuliah Ghea?" tanya Gavin membuat Jaka tersentak. "Kenapa kamu ngomong kayak gitu?" tanya Jaka. "Ah enggak... Cuma tanya aja.... Soalnya kalau Ghea nunggak juga kan jadi beban buat papa." "Iya papa bayar kuliah Ghea juga." Gavin mengangguk dan tersenyum tipis. Meski dalam hati dirinya merasa....Jengah. Ternyata... Benar dugaannya. Kalau ia pasti membiayainya.... Gavin kembali berkata. "Apa papa cukup kuat buat nanggung biaya kuliah kita berdua?" tanya Gavin. "Siap... Memangnya kenapa?" tanya Jaka. "Papa yakin?" "Iyalah, kamu pikir papa enggak kuat cuma bayar beberapa juta. Kuat lah." ujar Jaka. Gavin mengangguk. Bukan berapa juta sebenarnya tapi mestinya belasan juta kalau untuk dua orang.Entahlah, Gavin merasa kalau sang papa mungkin akan kuat, tapi akan sedikit keteteran sepertinya.Ada tidak ya buat biaya sehari-hari dan bayar cicilan motor? Ah sudahlah... ia pokoknya akan fokus bekerja mulai dari sekarang. Dua hari kemudian
Rian sedikit heran dengannya yang tampak sepanik itu, dirinya lamtas bertanya. "Kenapa mbak?" tanyanya. "Mas.... Mas Jaka kesini sama Gavin!" "Loh, gimana kok bisa tahu?" tanya Rian."Aku yang ngasih tahu, tadi pagi aku kasih tahu Gavin aku yang ada dirumah sakit." "Dikasih tahu juga kalau mbak habis ditusuk orang?" "Iya." "Pantesan. Mereka mungkin khawatir sama mbak." "Oh gitu ya.... Aku kasih aja ya serloknya sekarang." ujar Shanum yang langsung memberikan serlok keberadaannya saat ini. Beberapa saat kemudian ayah Jihan masih belum kembali juga dari luar, setelah dicek juga tidak ada siapapun diluar. Sekalipun begitu, Jihan terus diajak mengobrol oleh Shanum akan tetapi tiba-tiba saja suara seseorang mengetuk pintunya, Jihan mengira itu papanya ternyata bukan.... Itu... Jaka dan Gavin yang setelahnya langsung melotot saat melihat Shanum sedang bersama seorang anak dan seorang pria. Apakah mungkin dia.... Anak dari hasil selingkuhannya bersama Rian dulu? Entah kenapa pemikir
Tapi tentunya ia tidak bisa terus mendiamkan dirinya begitu saja, ia mesti menjawabnya."Iya, ibu gue hamil." ucap Gavin. Ghea terlihat sedih saat itu. Ia kemudian berkata. "O-oh selamat ya." "Iya, makasih." ucap Gavin masih melihat bagaimana raut wajah itu terpancar. Ghea sepertinya sedang membandingkan dengan kejadiannya kemarin saat keguguran. Ia sekaligus merasa terpukul dibalik rasa senangnya itu, dan Gavin tahu itu. Ia jadi merasa tidak enak. Entah apa yang dipikirkannya sekarang, jujur Gavin tidak mau mengutarakan hal ini tapi sayangnya ia tidak bisa melewatkan perkataan Ghea begitu saja. Shanum kini sedang berdiam diri dirumahnya dan sibuk menonton televisi, belakangan setelah menerima kabar dari dokter tentang kehamilannya, ia jadi lebih sering berada didalam rumah. Tidak lagi ke pasar, dan lebih menyerahkan masalah kerjaan kepada dua karyawannya. Rian juga menjelaskan kalau dirinya tidak mengijinkan Shanum pergi kemanapun selagi dirinya sedang hamil muda, karena khawatir y
"Iya ngerti, tapi aku juga ngerti kalau mama kamu melakukan ini semua untuk kamu sendiri." ucap Shanum, membuat Rian sedikit menimbang perkataaannya. Rian diam saja saat itu. Rina entah kenapa jadi berterima kasih atas hal itu. Ia merasa sedikit tertolong atas pembelaan Shanum. Ia jadi merasa tidak enak dan berbalik respek dengannya. Setelahnya Shanum pun diajak pulang bersama Rian kembali. Namun Rina menahan Shanum mengikuti Rian ke dalam mobil, ia berbicara empat mata terlebih dulu dengannya. Memegang tangannya. "Makasih banget atas pembelaan kamu tadi, mama benar-benar menyesal sekarang udah ngelakuin hal kayak gitu ke kamu. Mama benar-benar meminta maaf ya Num, mama khilaf, mama janji enggak bakalan ngelakuin hal kayak gitu lagi, mama janji akan bersikap baik ke kamu setelah ini. Maafin kesalahan mama yang kemarin ya Num." ucap Rina penuh harap. Shanum tersenyum dan mengangguk. "Iya mah, enggak apa-apa." ucap Shanum. "Kamu memang baik Num, mama ngerasa bersalah banget sama kamu
Shanum seusai dari masjid kembali lagi ke tokonya, dirinya merasa cukup aman disana bersama dengan Reza, lelaki itu tampak gagah berdiri disampingnya bahkan selama berada diperlindungannya ia merasa cukup lega, sekalipun Shanum merasa penasaran siapa sebenarnya orang yang menulis memakai lipstik merah tadi, apakah mungkin dia adalah pria yang selama ini mengincarnya? Shanum merasa sangat ketakutan, ia akhirnya sampai ke tokonya kembali. Namun mendadak ia mendengar ponselnya berbunyi. Ternyata dari Rian. "Saya udah telepon polisi barusan, sekarang lagi dilacak nomornya antara 2 kali 24 jam, nanti bakal dikasih tahu lagi hasilnya." ucap Rian. "Oh yaudah mas semoga aja bisa langsung ada hasilnya. Supaya kita enggak repot lagi nyari. Barusan juga ada yang neror aku lagi mas." ucap Shanum seraya membeberkan penjelasan tentang teror yang terjadi tadi, tak pelak semakin membuat Rian cemas. "Kamu yang sabar ya disana, palingan cuma sampai dua hari aja, nanti bakalan ketahuan hasilnya." ucap
"Orangnya kabur mas?" Shanum mendekati Rian. Tentu Rian mengangguk. "Aku khawatir aja dia bakalan ngelakuin hal lebh dari ini." "Intinya mah yang penting hapenya itu, kita mesti dapetin informasi tentang dirinya secepat mungkin. Keburu dia kabur dari kejaran kita." "Iya, kamu udah telepon lagi tukang sentra hape itu?" "Bentar, saya telepon dulu. Mudah-mudahan aja sudah kelar." ucap Rian penuh harap, dirinya langsung menelepon sentranya dan lantas terhubung. "Hapenya sudah selesai pak, anda bisa kesini ya mengambilnya." ucap tukang hape itu, membuat Rian merasa sangat bersyukur atas hal itu. Ia benar-benar lega begitupun dengan Shanum.Ia pun memutuskan pergi dari sana. "Aku pergi ya. Kamu jaga diri disini." ucap Rian, Shanum meniyakannya seraya berkata. "Hati-hati ya." Shanum mendapatkan telepon dari Gavin, Shanum menerimanya. "Bu, katanya kemarin ibu diteror ya? Sekarang masih ada teror gak?" "Udah kamu enggak perlu khawatirin ibu, kamu jaga diri kamu aja ya disana. Banyakin bel
"Belum, tunggu besok ya. Katanya perlu diperiksa dulu dalamnya, entahlah apa yang harus diperiksa. Mudah-mudahan aja bisa selesai secepatnya. Supaya kita bisa tahu siapa pelakunya." ucap Rian."Iya mas." Esok siangnya Diana sudah berada di tempat kerjanya, ia tak sengaja berpapasan dengan Gavin yang sedang membawa beberapa berkas dan buku yang cukup banyak. Diana segera dekati Gavin dan ambil salah satu bukunya. "Kalo bebannya terlalu berat, lo bisa kasih salah satu beban itu ke teman lo." ucap Diana seakan menyindir Gavin yang saat iut memang sedang kepayahan membawanya. "Sayangnya gue terbiasa melakukan apa-apa sendiri." ucap Gavin. "Hilih terlalu mandiri lo. Hati-hati, nanti kebiasaan sampe tua. Apa-apa sendiri." ucap Diana. "Selama enggak merepotkan orang gak masalah kan?"Mereka sambil jalan saat itu membawa buku dan berkas itu, jalan berdampingan. Gavin tiba-tiba nyeletuk. "Gimana nyokap lo? Jadi cerai?" tanya Gavin menyinggung."Kayaknya masih dalam proses." "Kasian banget
Gavin semakin jengkel dengan sosok Ivan, dia memang benar-benar mesti diberi pelajaran, meski sayangnya ia langsung menahan itu semua karena dirinya tidak benar-benar ingin membuat keributan disana. Riko cukup sebal disana, dirinya segera berkata pada Nara. "Nar, lo tuh nyari ribut mulu bikin gue empet dengernya. Males banget sumpah ngedenger celotehan lo yang gak berguna itu. Cewek-cewek kok nyari ribut, sekalipun lo banyak harta dan ada Ivan di samping lo juga, enggak semestinya lo bersikap kayak gitu ke orang, emang lo sendiri enggak diajarin adab yang baik apa sama orang tua lo?" ucap Riko. "Halah pake segala ajarin gue adab lagi, orang tua gue aja gak pernah ngomongin gituan, adab segala." ucap Nara meremehkan. "Kalian sendiri emang adabnya udah baik hah?" tanya Ivan heran. "Udahlah jangan pada ribut." ucap Gavin yang kemudian angkat bicara. "Ayo dong Vin panggil ibu sama Ghea. Ayo kita tunggu kok. Ibuuuu aku mencintaimu." ucap Nara membuat beberapa dari mereka termasuk Gavi
"Tapi om Rian gimana bu? Udah tahu soal ini?" tanya Gavin cemas. "Iya udah tahu, makanya mau menyewa pengawal buat ibu." ucap Shanum. "Oh gitu, kayak waktu itu ya bu. Yaudah kalo itu yang terbaik. Mudah-mudahan aja setelah itu udah enggak ada lagi yang neror ibu." ucap Gavin. "Iya ibu juga pesen ya sama kamu supaya kamu hati-hati disana, khawatirnya yang neror ibu juga berkemungkinan neror kamu juga.""Enggak kok bu, Gavin aman disini.""Hati-hati aja ya nak." "Iya." Esok paginya Shanum sudah berada di pasarnya, ia bersama seorang pengawal yang berjaga didepan kiosnya. Ia merasa lebih lega sekarang, ia juga lebih leluasa untuk pergi kemanapun, bahkan saat ini ia memutuskan untuk pergi membeli sayuran, ia berkeinginan untuk memasak buat nanti sore, khawatirnya Rian bosan beli diluar terus. Masih didalam pasar, ia membelikannya. Ketika sedang berbelanja, tentu sang penjual sayur yang sudah kenal lama dengan Shanum lantas berbisik padanya. "Itu siapa? Suami baru yang ketiga ya?" ta
"Gak ada." "Perawakanny kayak gimana coba?" tanya Rian."Pakaian serba hitam, dia setinggi kamu mas. Dan kayaknya dia juga seumuran kamu." ucap Shanum. "Hmm siapa ya. Kamu apa mau saya laporkan polisi tentang kasus ini?" tanya Rian."Enggak mas, gak usah." "Yakin gak mau? Ini masalahnya udah menakutkan loh kayak gini, mengancam nyawa." "Iya mas." "Saya laporkan aja ya." ucap Rian. "Yaudah." "Apa perlu saya nyewa bodyguard untuk melindungi kamu?" tanya Rian. "Emang gak ngerepotin kamu mas?" tanya Shanum. "Enggak kok, usahakan dalam waktu ke depan ini kamu jangan keluar rumah dulu ya, khawatirnya orang itu muncul lagi. Atau sampai para bodyguard itu ada." ucap Rian."Iya mas, makasih ya."Beberapa jam sebelumnya.Ghea keheranan melihat Jaka tampak marah seperti itu. Bahkan sampai menaruh hape yang dipegangnya kasar. "Barusan mbak Shanum?" tanyanya. "Ini gara-gara kamu yang terlalu lama berurusan dengan mereka!"Ghea makin mengernyit heran. Kok jadi?"Kalau kamu enggak berur
Shanum kini sedang sendirian di kamarnya mengecek di komputer barang masuk dan keluar. Ibunya sedang pergi ke sawah sekarang. Sepertinya mulai dari siang ini sampai maghrib nanti dirinya akan terus sendirian, namun tiba-tiba saja muncul ketukan pintu. Shanum heran, apakah mungkin itu ibunya? Tahu saja barusan Shanum mengunci seluruh pintunya khawatir ada penyusup masuk, ia masih berpikir kalau yang mengetuk pntu saat ini adalah ibunya, ia lantas membuka kunci pintunya dan buka. Namun tiba-tiba saja tidak ada siapapun disana. Shanum mulai cemas. Kenapa bisa tidak ada orang padahal terdengar sangat nyaring suara orang yang mengetuk. Shanum lihat sekeliling namun tidak dirinya temukan siapapun disana, sepi sekali malahan, Shanum mulai curiga, apakah hanya orang iseng? Atau jangan-jangan.... Orang yang memberikan ancaman teror di whatsapp? Shanum ketakutan, ia sesegera mungkin langsung menutup pintunya dan kunci. Namun tiba-tiba saja muncul suara gebukan pintu yang sangat kencang hingga