"Ah, enggak... Cuma pengen deket aja sama calon mantu mama." ucap Rina. "Udahlah ma, enggak perlu aneh-aneh. Toh Rian enggak akan sampai kapanpun sama dia." ucap Rian kekeh. "Kenapa sih Yan? Delia tuh kayaknya cinta sama kamu loh, kamu tahu kan pesan mama, lebih enak mencintai seseorang yang mencintai kamu juga.""Iya iya."Rian pun pada akhirnya menuruti saja keinginan ibunya itu, memberikan nomor telepon Delia padanya. Tapi sekalipun ibunya mengatakan seperti itu, Rian tetap tidak akan menerima kembali Delia didalam hatinya. Ia sudah bertekad pada dirinya, tidak mungkin ia melanggar janjinya itu. Delia sedang dalam perjalanan menuju ke tempat biasanya bekerja, ia ingin melihat dulu situasi di acara pernikahan dekat sana, tempat kliennya berada. Tapi sayangnya muncul sebuah telepon dari nomor tidak dikenal. Ia khawatir kalau itu nomor telepon orang penting atau klien lainnya, hingga membuatnya menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengangkat teleponnya. Sangat mengejutkan saat
Yah, sepantasnya memang Rian lebih sebanding dengan Delia. Delia juga orang yang baik setahunya. Banyak orang mendukung mereka. Sekalipun.... Terkadang beberapa hal terpintas liar didalam kepalanya mengenai Rian, saat-saat ketika dirinya dan pria itu tertawa hingga bercanda, tak terasa sudah cukup lama dirinya mengenal pria itu, pintasan itu seolah menggoyahkan keteguhan hatinya yang dilanda kebimbangan. Dari sana muncul sebuah pertanyaan menggema seisi ruangnya, apakah setidak pantas itu dirinya di mata semua orang terkait Rian? Dan bodohnya kenapa mendadak muncul pertanyaan semacam itu didalam kepalanya? Seakan tidak sopan dan tidak melihat situasi saat setelah dirinya baru saja dimaki seperti itu oleh ibu Rian. Ah tidak, tidak.... Apa sebenarnya yang kau pikirkan! Mana ada sih... Ia tidak boleh menyukai lelaki itu. Sekalipun begitu banyak kenangan yang sudah terlewati bersamanya. Shanum kuat-kuat menolak diri dari perasaan itu. Dirinya menghela nafas dan kembali ke pekerjaannya
Rian sedikit pengang telinganya, ia menjauhkan hpnya dari telinga. Ia kembali berkata. "Udah dulu ya bu, nanti diceritain pas aku pulang." ucap Rian langsung mematikan sambungan teleponnya. Rian kembali memandang ke arah Shanum. "Mbak.... Saya harap mbak kembali pulih, saya menunggu mbak sadar dan kembali menyapa saya seperti biasa." ucap Rian lalu mulai pergi dari sana, menutup pintunya. Beberapa saat kemudian Rian pun sampai didepan rumahnya dan sudah disambut terlebih dahulu oleh ibunya. Bahkan langsung dicecar segala macam. "Kamu ngapain ke pasar lagi? Kamu tadi ke pasar kan nemuin mbak Shanum?!" tandas Rina. Rian langsung masuk bersama ibunya dan menutup pintunya terlebih dahulu. "Mbak Shanum tadi ditusuk sama preman dalam upaya ingin menyelamatkan aku." ucap Rian. "Hah?! Kamu.... Mau ditusuk katamu?! Bagus kan?! Terus aja kamu libatin ke dalam hidup si Shanum itu! Mama udah bilang kan ke kamu, dia itu cuma mau manfaatin kamu doang, mau harta kamu dan ini adalah hasil dari ka
"Tanya apa?" "Papa selama ini juga biayain kuliah Ghea?" tanya Gavin membuat Jaka tersentak. "Kenapa kamu ngomong kayak gitu?" tanya Jaka. "Ah enggak... Cuma tanya aja.... Soalnya kalau Ghea nunggak juga kan jadi beban buat papa." "Iya papa bayar kuliah Ghea juga." Gavin mengangguk dan tersenyum tipis. Meski dalam hati dirinya merasa....Jengah. Ternyata... Benar dugaannya. Kalau ia pasti membiayainya.... Gavin kembali berkata. "Apa papa cukup kuat buat nanggung biaya kuliah kita berdua?" tanya Gavin. "Siap... Memangnya kenapa?" tanya Jaka. "Papa yakin?" "Iyalah, kamu pikir papa enggak kuat cuma bayar beberapa juta. Kuat lah." ujar Jaka. Gavin mengangguk. Bukan berapa juta sebenarnya tapi mestinya belasan juta kalau untuk dua orang.Entahlah, Gavin merasa kalau sang papa mungkin akan kuat, tapi akan sedikit keteteran sepertinya.Ada tidak ya buat biaya sehari-hari dan bayar cicilan motor? Ah sudahlah... ia pokoknya akan fokus bekerja mulai dari sekarang. Dua hari kemudian
Rian sedikit heran dengannya yang tampak sepanik itu, dirinya lamtas bertanya. "Kenapa mbak?" tanyanya. "Mas.... Mas Jaka kesini sama Gavin!" "Loh, gimana kok bisa tahu?" tanya Rian."Aku yang ngasih tahu, tadi pagi aku kasih tahu Gavin aku yang ada dirumah sakit." "Dikasih tahu juga kalau mbak habis ditusuk orang?" "Iya." "Pantesan. Mereka mungkin khawatir sama mbak." "Oh gitu ya.... Aku kasih aja ya serloknya sekarang." ujar Shanum yang langsung memberikan serlok keberadaannya saat ini. Beberapa saat kemudian ayah Jihan masih belum kembali juga dari luar, setelah dicek juga tidak ada siapapun diluar. Sekalipun begitu, Jihan terus diajak mengobrol oleh Shanum akan tetapi tiba-tiba saja suara seseorang mengetuk pintunya, Jihan mengira itu papanya ternyata bukan.... Itu... Jaka dan Gavin yang setelahnya langsung melotot saat melihat Shanum sedang bersama seorang anak dan seorang pria. Apakah mungkin dia.... Anak dari hasil selingkuhannya bersama Rian dulu? Entah kenapa pemikir
Rian hanya terdiam melengos. Menandakan yang dikatakannya sudah pasti benar. Rina tak habis pikir. "Haduh Riann... Kenapa sih kamu suka banget libatin diri ke dalam hidup Shanum itu? Mama kan udah pernah bilang." Rian merasa sebal dengan perkataan ibunya yang seakan menganggapnya seperti anak kecil saat itu. Ia langsung pergi meninggalkannya begitu saja sekalipun perkataannya belum selesai. "Hey Rian! Mama belum selesai ngomong!" tandas Rina ikut mengejar Rian bersama Delia. Kini Gavin dan Jaka kembali lagi ke ruang rawat Shanum, Jihan sudah pulang barusan, tersisa mereka bertiga kini. "Mas Rian kemana?" tanya Shanum. "Heh, sudah ketahuan sekali kan kalau kamu sangat mengharapkan dia? Pantas saja selama ini kamu berhubungan sama dia ternyata mengubah sifatmu yang semula selalu nurut sama aku." Shanum merasa kesal. Ia berkata. "Maksud kamu aku berubah karena kenal Rian? Salah... Sifatku berubah karena kamu yang ketahuan selingkuh mas. Kamu nyadar gak sih?" tanya Shanum. Gavin lang
"Karena mungkin ada selisih paham mbak, tapi sedengar aku sih ibunya mas Rian enggak ngrestuin mas Rian sama siapa gitu... Makanya jadi saling bertengkar. Neneknya mendukung tapi ibunya enggak mendukung." ucap Delia mencoba memberikan klue, membuat Shanum mendadak diselubungi oleh banyak pertanyaan. Apakah mungkin yang dimaksud adalah orang yang beberapa waktu lalu sering dibahas oleh nenek Aisyah, yang akan dijodohkan dengan Rian, atau apa mungkin.... Itu... Dirinya sendiri? Kan masalah yang akhir-akhir ini terjadi adalah masalah Shanum dengan ibunya Rian... Tapi masa iya sih, kepedean banget ya dirinya sampai berpikir kalau nenek Aisyah mau menjodohkan dirinya dengan Rian? "Emang siapa mbak yang mau dijodohkan sama mas Rian?" tanya Shanum. "Aku enggak tahu soal itu mbak. Mungkin cantik ya orangnya." ucap Delia. Shanum mengangguk. "Oh iya kamu kesini mau ngapain?" tanya Shanum. "Aku rencananya mau ngajakin mbak piknik ke puncak sama mama mas Rian. Tapi nanti kok, setelah mbak u
"Tapi nunggu abis dulu makannya." bisiknya lagi. Kemudian Rian berkata pada Shanum. "Mama tuh sebenarnya punya emang punya hipertensi belakangan ini, Rian harusnya kasih tahu Shanum dulu kalo mau masakin biat mama tuh, biar enggak kayak gini jadinya." ucap Rina. "Iya mah, maafin Yan." "Maafin saya tan. Saya benar-benar enggak tahu. Apa perlu saya belikan makanan sekarang? Tante makan itu aja?" tanya Shanum. "Enggak, gak perlu." "Enggak apa-apa tan, saya belikan sekarang ya." ucap Shanum yang langsung bangkit. "Saya bilang gak perlu! Kamu ngerti gak sih?!" tandasnya membuat mereka semua tersentak. Shanum otomatis duduk kembali di atas tikarnya. Ia merasa sangat tidak enak ketika itu, Rian cukup memahami perasaannya. "Ngaco banget sih, lagian beli makanan disini ya mahal, kayak yang punya banyak duit aja." gerutu Rina. Rian tidak terima dengan perkataannya. "Mah udah dong jangan marah mulu. Mbak Shanum kan enggak sengaja dan enggak tahu tentang ini. Masa harus dimarahin terua sih