"Belum. Vin dirumah Riko bu." "Ya Allah Gavin. Pulang nak, kamu kalau kabur terus gimana kuliah kamu nanti? Yang bayar biayanya kan ayah kamu." ucap Shanum. "Ayo pulang ya habis ini." ujarnya lagi. "Maaf bu, soal kuliah biar Vin aja yang bayar, Vin bentar lagi magang bu di perusahaan teman Gavin. Ibu enggak perlu khawatir.""Enggak gitu Vin, jangan kayak gitu. Kamu tetap harus kuliah dibayarin ayah kamu. Nanti kamu capek bayar sendirian. Kamu gak bisa kayak gitu. Pulang ya nak?" tanya Shanum. "Maaf bu enggak." ucap Gavin yang langsung mengakhiri sambungan teleponnya. Shanum menghela nafas. "Ck, dimatiin lagi." Ghea sudah sampai dikampusnya, ia berjalan masuk ke dalam kelasnya, disana ia sudah disambut oleh kedua temannya Sisil dan Hera, namun Ghea mengabaikan mereka sambil terus menundukkan kepalanya ketika masuk ke dalam kelas, merasa kalau dirinya sedang dijadikan pusat perhatian orang-orang disekitarnya. Ia hanya fokus ke arah kursinya lalu duduki, sambil terus menunduk dan me
"Y-ya karena aku pengen menebus kesalahanku, makanya aku ingin bersikap baik sama dia dan karena aku merasa kalau mbak Shanum memang orang yang baik." ujar Delia. Rian terdiam sedikit tidak menyangka juga, tapi apakah benar yang ia katakan barusan dari dalam hatinya? Apakah ia tulus?Shanum terus browsing untuk mencari dimana keberadaan sekolah Jihan. Jihan juga ikut menjadi juri dalam mengenali sekolah itu benar atau bukan. "Ih ini tan!" mendadak Jihan menunjuk ke hape dalam ekspresi kagetnya. Tentu saja Shanum merasa cukup senang. "Ini beneran Han? Posisi bangunannya kayak gini? Dan ada beberapa pohon didepannya?" tanya Shanum. "Iya tan, ini." Shanum langsung membaca dengan teliti dimana alamat sekolahnya."MI. Al-ikhlas 02. Jalan raden inten, nomor 02, daerah Jakarta pusat. Eh ini ada mapnya, cuma dua jam dari sini Han. Alhamdulillah ya Allah akhirnya ketemu juga." ucap Shanum penuh syukur. "Tante mau kesana?" tanya Jihan. "Iya, kapan ya kira-kira. Takutnya toko kalo ditingga
Sesampainya didalam rumahnya, Ghea langsung memberikan Jaka segelas air putih dan diminumlah olehnya saat itu juga. Suatu upaya untuk dirinya agar lebih tenang. "Om enggak nyangka ternyata kabar itu juga sampai kesini, om enggak benar-benar menyangka mereka sejulid itu sama kita." ucap Jaka. "Udahlah om, enggak usah terlalu dipikirin." "Kalo om dijulidin gitu, om langsung labrak Ge. Kamu juga harusnya labrak aja.""Tetangga soalnya om, nanti muncul keributan, aku lagi yang kena. Lagipula aku tinggal disini enggak ada yang dewasa, kalo enggak ada masalah enggak ada yang jadi penengah." ucap Ghea. "Ya terus kamu mau digituin aja? Om sih enggak, langsung dijelasin langsung." "Iya, kadang pernah sih dikampus kayak gitu, ah enggak.... Bahkan udah tiga kali aku ngelabrak orang kayak gitu terkait masalah ini. Eh ujung-ujungnya kena semprotan dosen lagi. Untung enggak di D.O." ucap Ghea. "Biarin aja selama kita benar mah." Esok paginya. Shanum memutuskan untuk pergi ke Jakarta saat itu be
"Vin, ibu di Jakarta sekarang, kamu udah pulang kuliah kan? Ibu ke kampus kamu ya?" tanya Shanum. "Loh, ibu disini? Kok bisa bu? Mau ngapain? Vin, lagi kuliah." ucap Gavin. "Iya ada perlu tadi, ibu ke kampus kamu ya sekarang." ucap Shanum langsung mematikan ponselnya padahal Gavin belum selesai bicara ketika itu. Shanum langsung pergi saat itu juga. Menyusul Gavin ke kampusnya. Shanum keluar dari angkot, dan tak lama ia pun tiba dihadapan kampus Gavin. Ia langsung berjalan cepat menuju area dalam kampus, disana ia mulai menelepon kembali Gavin saat itu, kebetulan juga banyak yang sudah pulang untuk kuliah pagi, mungkin Gavin juga sudah pulang sekarang. Namun ketika sedang semangatnya ia masuk ke dalam kampus, mendadak kedua matanya membulat saat melihat Ghea dihadapan sana, berniat akan pulang juga, sudah memakai tasnya bersama teman-temannya.Apalagi saat dilihatnya Ghea memakai tas yang super mahal dari Jaka dulu, yang harganya 8 jutaan. Sangat tidak dipercaya, ia terlalu bersema
Doni mendempet ke dekat Rina dan berbisik. "Bu maaf, tapi memang benar yang saya katakan. Mbak Delianya enggak ada di kantor ini. Pak Rian sangat berharap ibu tidak menyita waktunya untuk menunggu kehadirannya soalnya tidak akan datang." bisik Doni, setelah menerima sebuah pesan ancaman dari Rian untuk segera memulangkan kembali ibunya. Mau tak mau pun ia terpaksa membujuk dengan cara seperti ini, sekalipun orang yang sedang dibicarakan olehnya tepat ada didepan mereka. Delia sedikit mendengar suara Doni dibelakangnya, ia kemudian menoleh ke arahnya dan terkejut saat melihat disebelah Doni ada Rina yang usianya cukup dikatakan kategori ibu-ibu disertai dengan penampilannya yang cukup modis. Rina tidak percaya. "Udahlah sebanyak apapun kata pencegahan kamu, saya akan tetap menemui anak saya dan cari dengan mata kepala saya sendiri tentang keberadaan Delia." Merasa namanya disebut, Delia langsung menoleh ke arah mereka, Doni merasa gawat, menepuk jidatnya. "Ibu menyebut nama saya
"Saya tahu pasti kamu memendam sesuatu kan mengenai hubungan saya dan mbak Shanum? Saya ingin tahu selama ini apa yang terjadi antara saya dengan mbak Shanum." ucap Rian. "Apa yang diomongin orang-orang mengenai bapak amnesia itu benar pak?" "Iya saya benar amnesia." Doni membulat sesaat kedua matanya. Lalu ia mulai paham sekarang. "Pantesan." ucapnya. "Pantesan?" tanya Rian. "Sebelum bapak amnesia, bapak sering banget melibatkan diri ke dalam hidup mbak Shanum. ucap Doni. "Ya, saya inget sedikit-sedikit mengenai itu." ucap Rian.Doni tersenyum dan mulai ceritakan tentang beberapa hal penting yang pernah terjadi diantara mereka. "Mulai dari awal ya pak, jadi bapak pertama kali ketemu sama bu Shanum saat di rumah sakit, terus kebetulan bu Shanum juga sering menghubungi bapak sebagai pemilik kios di pasar. Dari sana bapak dan bu Shanum saling bekerja sama dalam bisnis beras bukan hanya sebagai pemilik kios dan penyewanya, setelah itu kalian saling komunikasi intens, cukup dekat ke
"Iya sih, cerai keputusan yang cukup berat tapi trauma yang mbak alami juga pastinya lebih berat lagi rasanya." ucap Rian. Shanum tersenyum tipis, entah kenapa didalam lubuk hatinya ia ingin mengucapkan terima kasih karena ia sudah mengerti dirinya. "Lalu anak mbak gimana? Kenapa enggak disuruh tinggal disini aja?" tanya Rian. "Mungkin kalau sudah lulus kuliah nanti, tapi kalo sekarang kayaknya harus sama ayahnya dulu. Biaya kuliahnya saya enggak kuat mas. Tapi ya itu, malah dianya angot-angotan enggak mau pulang, nginep terus di rumah orang. Aku juga udah ngebujuk mas Jaka, tapi malah gitu responnya. Jadi bingung." ucap Shanum. Rian tersenyum tipis cukup memahami situasinya dan bagaimana posisi Shanum disana. "Yaudah suruh tinggal aja disini mbak, nanti kuliahnya pindah kesini.""Saya gak ada biaya buat membayarnya mas." ucap Shanum tersenyum lirih. "Kalau sambil kerja disini gimana?" "Enggak mungkin kayaknya, disini juga palingan kerja jadi apa. Saya cuma ngerasa sayang aja uda
"Ah, enggak... Cuma pengen deket aja sama calon mantu mama." ucap Rina. "Udahlah ma, enggak perlu aneh-aneh. Toh Rian enggak akan sampai kapanpun sama dia." ucap Rian kekeh. "Kenapa sih Yan? Delia tuh kayaknya cinta sama kamu loh, kamu tahu kan pesan mama, lebih enak mencintai seseorang yang mencintai kamu juga.""Iya iya."Rian pun pada akhirnya menuruti saja keinginan ibunya itu, memberikan nomor telepon Delia padanya. Tapi sekalipun ibunya mengatakan seperti itu, Rian tetap tidak akan menerima kembali Delia didalam hatinya. Ia sudah bertekad pada dirinya, tidak mungkin ia melanggar janjinya itu. Delia sedang dalam perjalanan menuju ke tempat biasanya bekerja, ia ingin melihat dulu situasi di acara pernikahan dekat sana, tempat kliennya berada. Tapi sayangnya muncul sebuah telepon dari nomor tidak dikenal. Ia khawatir kalau itu nomor telepon orang penting atau klien lainnya, hingga membuatnya menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengangkat teleponnya. Sangat mengejutkan saat
Tapi tentunya ia tidak bisa terus mendiamkan dirinya begitu saja, ia mesti menjawabnya."Iya, ibu gue hamil." ucap Gavin. Ghea terlihat sedih saat itu. Ia kemudian berkata. "O-oh selamat ya." "Iya, makasih." ucap Gavin masih melihat bagaimana raut wajah itu terpancar. Ghea sepertinya sedang membandingkan dengan kejadiannya kemarin saat keguguran. Ia sekaligus merasa terpukul dibalik rasa senangnya itu, dan Gavin tahu itu. Ia jadi merasa tidak enak. Entah apa yang dipikirkannya sekarang, jujur Gavin tidak mau mengutarakan hal ini tapi sayangnya ia tidak bisa melewatkan perkataan Ghea begitu saja. Shanum kini sedang berdiam diri dirumahnya dan sibuk menonton televisi, belakangan setelah menerima kabar dari dokter tentang kehamilannya, ia jadi lebih sering berada didalam rumah. Tidak lagi ke pasar, dan lebih menyerahkan masalah kerjaan kepada dua karyawannya. Rian juga menjelaskan kalau dirinya tidak mengijinkan Shanum pergi kemanapun selagi dirinya sedang hamil muda, karena khawatir y
"Iya ngerti, tapi aku juga ngerti kalau mama kamu melakukan ini semua untuk kamu sendiri." ucap Shanum, membuat Rian sedikit menimbang perkataaannya. Rian diam saja saat itu. Rina entah kenapa jadi berterima kasih atas hal itu. Ia merasa sedikit tertolong atas pembelaan Shanum. Ia jadi merasa tidak enak dan berbalik respek dengannya. Setelahnya Shanum pun diajak pulang bersama Rian kembali. Namun Rina menahan Shanum mengikuti Rian ke dalam mobil, ia berbicara empat mata terlebih dulu dengannya. Memegang tangannya. "Makasih banget atas pembelaan kamu tadi, mama benar-benar menyesal sekarang udah ngelakuin hal kayak gitu ke kamu. Mama benar-benar meminta maaf ya Num, mama khilaf, mama janji enggak bakalan ngelakuin hal kayak gitu lagi, mama janji akan bersikap baik ke kamu setelah ini. Maafin kesalahan mama yang kemarin ya Num." ucap Rina penuh harap. Shanum tersenyum dan mengangguk. "Iya mah, enggak apa-apa." ucap Shanum. "Kamu memang baik Num, mama ngerasa bersalah banget sama kamu
Shanum seusai dari masjid kembali lagi ke tokonya, dirinya merasa cukup aman disana bersama dengan Reza, lelaki itu tampak gagah berdiri disampingnya bahkan selama berada diperlindungannya ia merasa cukup lega, sekalipun Shanum merasa penasaran siapa sebenarnya orang yang menulis memakai lipstik merah tadi, apakah mungkin dia adalah pria yang selama ini mengincarnya? Shanum merasa sangat ketakutan, ia akhirnya sampai ke tokonya kembali. Namun mendadak ia mendengar ponselnya berbunyi. Ternyata dari Rian. "Saya udah telepon polisi barusan, sekarang lagi dilacak nomornya antara 2 kali 24 jam, nanti bakal dikasih tahu lagi hasilnya." ucap Rian. "Oh yaudah mas semoga aja bisa langsung ada hasilnya. Supaya kita enggak repot lagi nyari. Barusan juga ada yang neror aku lagi mas." ucap Shanum seraya membeberkan penjelasan tentang teror yang terjadi tadi, tak pelak semakin membuat Rian cemas. "Kamu yang sabar ya disana, palingan cuma sampai dua hari aja, nanti bakalan ketahuan hasilnya." ucap
"Orangnya kabur mas?" Shanum mendekati Rian. Tentu Rian mengangguk. "Aku khawatir aja dia bakalan ngelakuin hal lebh dari ini." "Intinya mah yang penting hapenya itu, kita mesti dapetin informasi tentang dirinya secepat mungkin. Keburu dia kabur dari kejaran kita." "Iya, kamu udah telepon lagi tukang sentra hape itu?" "Bentar, saya telepon dulu. Mudah-mudahan aja sudah kelar." ucap Rian penuh harap, dirinya langsung menelepon sentranya dan lantas terhubung. "Hapenya sudah selesai pak, anda bisa kesini ya mengambilnya." ucap tukang hape itu, membuat Rian merasa sangat bersyukur atas hal itu. Ia benar-benar lega begitupun dengan Shanum.Ia pun memutuskan pergi dari sana. "Aku pergi ya. Kamu jaga diri disini." ucap Rian, Shanum meniyakannya seraya berkata. "Hati-hati ya." Shanum mendapatkan telepon dari Gavin, Shanum menerimanya. "Bu, katanya kemarin ibu diteror ya? Sekarang masih ada teror gak?" "Udah kamu enggak perlu khawatirin ibu, kamu jaga diri kamu aja ya disana. Banyakin bel
"Belum, tunggu besok ya. Katanya perlu diperiksa dulu dalamnya, entahlah apa yang harus diperiksa. Mudah-mudahan aja bisa selesai secepatnya. Supaya kita bisa tahu siapa pelakunya." ucap Rian."Iya mas." Esok siangnya Diana sudah berada di tempat kerjanya, ia tak sengaja berpapasan dengan Gavin yang sedang membawa beberapa berkas dan buku yang cukup banyak. Diana segera dekati Gavin dan ambil salah satu bukunya. "Kalo bebannya terlalu berat, lo bisa kasih salah satu beban itu ke teman lo." ucap Diana seakan menyindir Gavin yang saat iut memang sedang kepayahan membawanya. "Sayangnya gue terbiasa melakukan apa-apa sendiri." ucap Gavin. "Hilih terlalu mandiri lo. Hati-hati, nanti kebiasaan sampe tua. Apa-apa sendiri." ucap Diana. "Selama enggak merepotkan orang gak masalah kan?"Mereka sambil jalan saat itu membawa buku dan berkas itu, jalan berdampingan. Gavin tiba-tiba nyeletuk. "Gimana nyokap lo? Jadi cerai?" tanya Gavin menyinggung."Kayaknya masih dalam proses." "Kasian banget
Gavin semakin jengkel dengan sosok Ivan, dia memang benar-benar mesti diberi pelajaran, meski sayangnya ia langsung menahan itu semua karena dirinya tidak benar-benar ingin membuat keributan disana. Riko cukup sebal disana, dirinya segera berkata pada Nara. "Nar, lo tuh nyari ribut mulu bikin gue empet dengernya. Males banget sumpah ngedenger celotehan lo yang gak berguna itu. Cewek-cewek kok nyari ribut, sekalipun lo banyak harta dan ada Ivan di samping lo juga, enggak semestinya lo bersikap kayak gitu ke orang, emang lo sendiri enggak diajarin adab yang baik apa sama orang tua lo?" ucap Riko. "Halah pake segala ajarin gue adab lagi, orang tua gue aja gak pernah ngomongin gituan, adab segala." ucap Nara meremehkan. "Kalian sendiri emang adabnya udah baik hah?" tanya Ivan heran. "Udahlah jangan pada ribut." ucap Gavin yang kemudian angkat bicara. "Ayo dong Vin panggil ibu sama Ghea. Ayo kita tunggu kok. Ibuuuu aku mencintaimu." ucap Nara membuat beberapa dari mereka termasuk Gavi
"Tapi om Rian gimana bu? Udah tahu soal ini?" tanya Gavin cemas. "Iya udah tahu, makanya mau menyewa pengawal buat ibu." ucap Shanum. "Oh gitu, kayak waktu itu ya bu. Yaudah kalo itu yang terbaik. Mudah-mudahan aja setelah itu udah enggak ada lagi yang neror ibu." ucap Gavin. "Iya ibu juga pesen ya sama kamu supaya kamu hati-hati disana, khawatirnya yang neror ibu juga berkemungkinan neror kamu juga.""Enggak kok bu, Gavin aman disini.""Hati-hati aja ya nak." "Iya." Esok paginya Shanum sudah berada di pasarnya, ia bersama seorang pengawal yang berjaga didepan kiosnya. Ia merasa lebih lega sekarang, ia juga lebih leluasa untuk pergi kemanapun, bahkan saat ini ia memutuskan untuk pergi membeli sayuran, ia berkeinginan untuk memasak buat nanti sore, khawatirnya Rian bosan beli diluar terus. Masih didalam pasar, ia membelikannya. Ketika sedang berbelanja, tentu sang penjual sayur yang sudah kenal lama dengan Shanum lantas berbisik padanya. "Itu siapa? Suami baru yang ketiga ya?" ta
"Gak ada." "Perawakanny kayak gimana coba?" tanya Rian."Pakaian serba hitam, dia setinggi kamu mas. Dan kayaknya dia juga seumuran kamu." ucap Shanum. "Hmm siapa ya. Kamu apa mau saya laporkan polisi tentang kasus ini?" tanya Rian."Enggak mas, gak usah." "Yakin gak mau? Ini masalahnya udah menakutkan loh kayak gini, mengancam nyawa." "Iya mas." "Saya laporkan aja ya." ucap Rian. "Yaudah." "Apa perlu saya nyewa bodyguard untuk melindungi kamu?" tanya Rian. "Emang gak ngerepotin kamu mas?" tanya Shanum. "Enggak kok, usahakan dalam waktu ke depan ini kamu jangan keluar rumah dulu ya, khawatirnya orang itu muncul lagi. Atau sampai para bodyguard itu ada." ucap Rian."Iya mas, makasih ya."Beberapa jam sebelumnya.Ghea keheranan melihat Jaka tampak marah seperti itu. Bahkan sampai menaruh hape yang dipegangnya kasar. "Barusan mbak Shanum?" tanyanya. "Ini gara-gara kamu yang terlalu lama berurusan dengan mereka!"Ghea makin mengernyit heran. Kok jadi?"Kalau kamu enggak berur
Shanum kini sedang sendirian di kamarnya mengecek di komputer barang masuk dan keluar. Ibunya sedang pergi ke sawah sekarang. Sepertinya mulai dari siang ini sampai maghrib nanti dirinya akan terus sendirian, namun tiba-tiba saja muncul ketukan pintu. Shanum heran, apakah mungkin itu ibunya? Tahu saja barusan Shanum mengunci seluruh pintunya khawatir ada penyusup masuk, ia masih berpikir kalau yang mengetuk pntu saat ini adalah ibunya, ia lantas membuka kunci pintunya dan buka. Namun tiba-tiba saja tidak ada siapapun disana. Shanum mulai cemas. Kenapa bisa tidak ada orang padahal terdengar sangat nyaring suara orang yang mengetuk. Shanum lihat sekeliling namun tidak dirinya temukan siapapun disana, sepi sekali malahan, Shanum mulai curiga, apakah hanya orang iseng? Atau jangan-jangan.... Orang yang memberikan ancaman teror di whatsapp? Shanum ketakutan, ia sesegera mungkin langsung menutup pintunya dan kunci. Namun tiba-tiba saja muncul suara gebukan pintu yang sangat kencang hingga