Giselle keluar dari kamar mandi dengan linglung. Kevin menunggu di ruangan. Membiarkan Giselle bersama perawat.“Saya tahu anda terkejut. Jika anda menggunakan pengaman, bisa dikatakan pengaman itu tidak bisa 100 % mencegah. Jadi selamat ya.” Perawat itu tersenyum. Kemudian membantu Giselle kembali duduk di ranjang. Jika tidak ingin terjadi, seharusnya Giselle bisa mencegah lebih ketat. Giselle mengusap perutnya perlahan. Tidak, jika ini sudah takdir, bagaimanapun ia tida bisa menolaknya. Giselle tersenyum tipis. “Terima kasih, Sus.” Kevin masuk ke dalam ruangan. “Bagaimana Sus?” tanyanya. “Selamat anda akan menjadi ayah,” balas perawat itu. “Tapi setelah ini, anda harus memeriksakan kandungan anda di dokter kandungan. Untuk mengetahui lebih jelas keadaan kandungan dan berapa lama kandungannya.” “Baik, Sus. Terima kasih.” “Kalau begitu saya pergi.” perawat itu meninggalkan ruangan. Kevin langsung memeluk Giselle dengan bahagia. “Kita akan segera menjadi orang tua.” Mengusap pun
“Jadi di sini kamu tinggal..” lirih Kevin. “Oh ya kemarin ada ibu-ibu yang mengadu padaku, dia bilang anak perempuannya hilang itu kamu?” tanyanya. “Di sana hanya ada satu perempuan yaitu kamu.”“Bagaimana fisik ibu itu?” “Giselle!” teriak seorang wanita. “Kamu baik-baik saja?” tanya ibu Asih yang berlari memeluk Giselle. “Seharusnya kamu tinggal bersama ibu saja agar lebih aman.” Ibu Asih terlihat kawatir dengan Giselle. “Oh—” menatap Kevin. “Terima kasih ya pak Polisi sudah menyelematkan anak saya.” Giselle tersenyum. “Giselle baik-baik saja bu.” Giselle menggandeng tangan Kevin. “Ini kekasih saya.” “Loh tapi bukannya ini pak polisi yang kemarin ya?” Kevin mengangguk. “Iya, bu. Saya polisi dari pasukan khusus kemarin. Saya kekasih Giselle. Saya tidak tahu kekasih saya kabur di sini dan berakhir diculik oleh para penjarah itu.” “Yaampun.” Bu Asih menepuk pelan bahu Giselle. “Kalau begitu ibu lega.” mengusap dadanya sendiri. “Ibu sangat takut kemarin kamu diculik. Untungnya ada
Di dalam pesawat Giselle menyandarkan kepalanya di bahu Kevin. Saat ini mereka dalam perjalanan kembali ke kota. Giselle berkali-kali menghela nafas. Mereka akan segera menikah namun entah bagaimana tanggapan orang tua Kevin. “Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Kevin. Mengusap bahu Giselle pelan. “Hanya tidak.” Giselle menggeleng. “Apa yang kamu takutkan?” Kevin menarik dagu Giselle agar menatapnya. “Hanya takut orang tua kamu tidak merestui kita.” Giselle mengerucutkan bibirnya. Kevin tertawa pelan. “Kamu tidak perlu kawatir tentang hal itu. Aku tidak pernah melibatkan mereka dalam setiap keputusanku. Tidak ada dengan restu mereka, kita akan tetap menikah.” Giselle mendongak ia tersenyum. kemudian kembali memeluk Kevin dari samping. ~~Makan malam yang direncanakan Kevin. Bagaimanapun sebagai walinya, orang tuanya wajib mengetahui rencana pernikahannya dengan Giselle. Sebuah restoran yang memang disukai oleh orang tuanya. Kevin dan Giselle datang lebih dulu. Mereka duduk d
Giselle tidak peduli jika pandagan orang tua Kevin tentangnya akan buruk. “Saya memang janda. Saya memang menjalin hubungan dengan Kevin saat saya masih menjadi istri orang. Tapi—” Giselle menghela nafas. “Hubunganku dengan Jordan sudah lama memburuk. Sampai Kevin membantu saya untuk keluar dari hubungan itu. Saya bukan wanita jalang yang menjalin hubungan dengan dua pria sekaligus. Jadi saya minta untuk anda menjaga perkataan anda. Saya menghormati anda sebagai ibu tiri dari calon suami saya.” “Dan untuk uncle. Saya sangat mencintai Kevin. Saya sangat mencitai anak anda ini dengan segenap hati saya. Saya tidak akan melepaskan Kevin begitu saja.” Tidak ketakutan apalagi keraguan saat mengatakannya. “Saya tidak peduli pandangan anda terhadap saya.” Giselle menoleh pada Kevin. “Ayo kita pergi.” Kevin tersenyum tipis. Ia memeluk pinggang Giselle dari samping. “That’s my girl!” “Bilang apa?” Giselle mendongak. “Cantikku kamu sangat hebat dan pemberani.” Kevin menarik Giselle ke rese
Giselle memejamkan mata—membiarkan sang pujaan hati menjamah tubuhnya. Mengoyak kain yang menutupi tubuhnya. Giselle membiarkan bibir Kevin menyentuh setiap inci kulitnya. Kevin menunduk. Mengecup beberapa kali perut Giselle yang masih rata. Ia begitu senang, ya Kevin tidak sabar menunggu kehadiran buah hati mereka. “Aku mencintaimu, sayang.” Giselle bergerak gelisah saat jemari Kevin masuk ke dalam miliknya. bergerak dengan gerakan yang cepat membuatnya tidak bisa menahan desahannya. “Kevin aku..ahh!” gelombang kenikmatan itu datang dan selesai. Kevin menindih Giselle. melakukan penyatuan miliknya dengan milik Giselle. Kevin mendorong miliknya perlahan sampai miliknya benar-benar memenuhi Giselle. “Kamu cantik sayang..” erang Kevin menggerakkan pinggulnya. “Giselle..” erang Kevin lagi. Tidak bisa membiarkan buah dada Giselle menganggur. Giselle mengusap kepala Kevin yang beramain di dadanya. menghisap puncak dadanya dengan bawah yang bergerak semakin cepat. “Ah… kevin!” Giselle
“Jadi ini kekasihmu.” Aland menganggukkan kepalanya. Di hadapannya duduk pasangan yang sedang romantis-romantisnya. “Boleh juga,” sambil menatap Kevin. “Hei!” Giselle mengibaskan tangannya di hadapan Aland. Kevin mengernyit—lebih dari dugaannya, ternyata mereka lebih akrab. Kevin mengulurkan tangan. “Kevin.” “Aland.” Menjabat uluran tangan Kevin. “Kami akan menikah.” Giselle tersenyum sembari menggandeng lengan Kevin. Ia menyerahkan undangan pertamanya pada Aland. “Kau harus datang.” Aland mengambilnya. “Dua minggu lagi. Waah kalian memang—” Aland menggeleng pelan. “Sangat luar biasa.” Giselle tertawa kecil. Ia memegang perutnya—ia sedikit mual. “Aku akan ke kamar mandi sebentar.” Giselle hendak pergi—namun Kevin juga ikut berdiri. “Jangan kamu di sini saja. Kamu juga gak akan bisa masuk ke toilet wanita.” Giselle mencegah Kevin dan berjalan sendirian menuju toilet. Kevin duduk kembali berhadapan dengan Aland. Kevin berdehem pelan sebelum mengajukan pertanyaan lebih dulu. “Aku
“Aku?” tanya Giselle yang kebingungan. “Kapan? Aku bertemu dengannya satu tahun yang lalu.” “Dulu ketika dirinya baru memulai karirnya. Saat dia ditolak casting, kamu datang. Kamu memberinya kartu dari sebuah agensi aktor.” Giselle mencoba mengingatnya. “Oh—aku ingat!” Giselle menyipitkan mata. “Waktu itu aku datang untuk melakukan pemotretan sebuah produk di lantai atas. Tapi aku berhenti saat melihat laki-laki culun yang sepertinya tertolak audisi. Aku memberinya kartu agensi yang ingin aku buang.” Giselle menoleh pada Kevin. “Aku tidak menyangka itu Aland. Astaga..” Giselle tertawa pelan. “Pantas saja aku tidak mengingatnya, dulu itu Aland sangat lusuh. Tidak seperti sekarang.” “Berbeda?” tanya Kevin. Giselle menangangguk. “Hm. Dia sekarang sangat tampan. Dulu itu dia sangat jelek—” Giselle berhenti berbicara saat menatap Kevin yang tengah menyipitkan mata. “Tapi masih tampan kamu.” Jemarinya terangkat mengusap rahang Kevin. “Demi apapun, masih tampan kamu.” Kevin berdecih p
“Sayang,” panggil Kevin. Ia hendak masuk ke dalam kamar mandi untuk menyusul Giselle. Namun Giselle menolaknya mentah-mentah karena ingin membersihkan diri sendiri. Giselle juga beralasan tubuhnya terlalu bau sehingga tidak mau membuat Kevin mual. Padahal ia suka apapun tentang Giselle. Sekalipun itu keringat wanita itu. kevin sama sekali tidak mempermasalahkannya. Tapi Giselle meninggalkannya begitu saja. “Sayaaaang!” rengek Kevin di depan kamar mandi. Tak lama kamar mandi terbuka. Giselle sudah menggunakan piyaman lucu. Kevin yang tersenyum jahil menarik pergelangan Giselle. “Kevin jangan!” teriak Giselle. Ia segera mendorong tubuh Kevin ke dalam kamar mandi. Tidak lupa mengunci kamar mandi dari luar agar pria itu tidak bisa keluar. “SAYAAANG!” teriak Kevin seperti seorang burung yang kehilangan induknya. “Udah sana mandi jangan teriak-teriak. Nanti dikiranya aku ngapa-ngapain kamu lagi,” balas Giselle. setelah itu meninggalkan Kevin. Giselle berjalan ke arah lemari. Di sanal
Sial sekali, pagi ini Ana harus terlambat karena ayahnya, Royce kesiangan bangun setelah menonton bola dini hari. Royce dan Helena sama saja, suka menonton sampai larut. Sampai-sampai paginya terlambat bangun. “Maaf ya. Dad kesiangan bangun.” Royce memberhentikan mobilnya di depan sekolah. “Pasti kamu dihukum. Tapi gak papa.” Royce mengecup puncak kepala anaknya. “Semangat ya dihukumnya.” “DAD!” teriak Ana yang sungguh kesal. Ia turun tanpa menyalami tangan orang tuanya itu. kemudian berjalan dengan gontai masuk ke sekolah. Maka benar saja. Ia harus dihukum karena terlambat. Untuk siang hari setelah istirahat, ia harus membersihkan lapangan basket yang luasnya melebihi stadion. Ana berjalan ke arah gudang, di sanalah ia mengambil peralatan kebersihan. Namun sayup-sayup saat ia masuk ke dalam gudang. Telinganya harus ternodai oleh suara menjijikkan. Ana membeku di tempatnya berdiri. ~~ “Untuk yang terakhir kali kelas 12 diijinkan untuk mengikuti perlombaan. Karena setelah in
Extra capter Alvaro dewasa International Alexandra school adalah sekolah internasional yang terisi dengan anak-anak orang kaya. Orang tua murid yang berasal dari kaum berjois. Hingga terjadilah sistem kasta yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. “Ana, kak Alvaro itu sangat tampan ya.” Raya menyenggol lengan Ana. Melihat seorang laki-laki yang menggunakan seragam basket itu memasuki koridor sekolah. Laki-laki yang menjadi incaran para perempuan. Alvaro Pradana, putra satu-satunya dan digadang-gadang menjadi penerus dari Devian group. Alvaro Pradana, pemuda yang saat ini menginjak kelas 12. Dengan pesonanya yang mampu meluluhkan seluruh hati perempuan yang ada di sekolah. Mendapat julukan si pemain. Pemain hati perempuan. Namun, ada satu perempuan yang ia hindari. Perempuan yang sedari dulu ia anggap sebagai adiknya. Alvaro bersikap baik dengan Ana. Ana tersenyum. Ia pun menyetujui jika Alvaro memang begitu tampan. “Iya aku setuju—" “Hai adik, minta permennya.” Alvaro
“Ana sangat lucu, Mom.” Alvaro memandang seorang balita yang sedang merangkak. Balita perempuan yang menggemaskan. “Nanti kamu pacaran sama Ana saja ya.” Helena mengusap puncak kepala Alvaro. “Heh!” Irene menyenggol bahu Helena. “Mana ada, masih anak kecil tidak usah berpikir pacar-pacaran.” Alvaro memandang kedua orang yang sedang bertengkar itu sebentar. kemudian mendekati Ana yang sedang bermain dengan sebuah boneka. Alvaro menunduk—mengusap pipi Ana pelan. “Kamu suka bermain boneka?” Alvaro tersenyum. “Lihat-lihat saja.” Helena memandang dua anak yang sedang bermain. Tepatnya, Alvaro yang menjaga Ana. “Alvaro memang menantu idaman.” “Aduh..” Irene menggeleng. “Masih kecil disebut menantu. Helena memang gila.” Irene berdecak pelan. Setelah bermain seharian di rumah Helena, akhirnya Irene pulang juga. Alvaro berada di samping Irene. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk tapi ternyata masih berusaha membuka mata. “Tidur saja, Al. Mom akan membangunkan kamu nanti.” Al
Ia membawa barang-barang itu namun dari belakang ada beruang yang terus menempel di tubuhh kecilnya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, Devain tidak melepaskan pelukannya pada istrinya. “Bagaimana dengan hot wife?” tanya Devian membalikkan tubuh Irene. “Aku tidak suka tubuh kamu dilihat orang lain.” “Tidak ada yang melihat.” Irene mendongak. “Lagipula malam-malam tidak akan ada yang melihat.” Devian berdecak. “Dress seperti ini hanya boleh digunakan di hadapanku. Tidak boleh digunakan di luar.” Mengangkat dagu Irene. Menatap kedua bola mata istrinya itu dengan bola matanya yang tajam. “Baiklah.” Irene mengangguk. “Besok aku akan ke rumah Helena, kamu..” Devian mengusap pinggang Irene. “Saat libur aku ikut. Lusa kan libur. Aku janji tidak akan mengurusi pekerjaan lagi.” “Tapi jika kamu masih mengurusi pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?” “Goda aku. Goda aku dengan tubuhmu yang seksi ini sayangku..” tangan Devian yang nakal sudah bergilya di belakang Dress Irene. “Be
“Bisa.” Devian mengambil satu balon dan melepasnya ke udara. “Waah..” kagum Alvaro melihat balon yang berwarna kuning menyala itu di udara. “Tapi—” Devian menunjuk beberapa anak-anak yang bermain di sekitar mereka. “Apa kamu tidak ingin memberikan balon-balon ini pada mereka? Mungkin saja mereka juga ingin.” Alvaro menatap gerombolan anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvari memandang anak-anak itu lebih lama, karena menurutnya sedikit berbeda dengannya. “Kenapa?” tanya Devian. “Kamu tidak ingin memberikan balon ini pada mereka?” Alvaro menggeleng pelan. “Tapi, kenapa beberapa dari mereka membawa makanan? Mereka berjualan? Ada yang membawa karung besar juga.” Devian mengangguk. “Mereka sedang bekerja. Sebagian dari mereka membantu orang tua mereka mencari uang dengan berjualan. Kamu ingin membantu mereka?” “Bagaimana caranya Dad?” Devian mengeluarkan dompetnya. “Sebentar.” Mengambil uangnya yang berwarna merah sebanyak 20 puluhan. “Setiap
Beberapa bulan kemudian. “Akhh!!” Teriakan Irene yang terakhir kali. Disusul dengan tangisan seorang bayi. “Selamat bayinya berjenis kelamin laki-laki.” Dokter itu menggendong seorang bayi kecil yang baru saja keluar dari perut Irene. Devian menitikkan air mata. “Hai boy.” Menggendong bayinya dengan hati-hati. “Nama kamu Alvaro Pradana.” Devian tersenyum saling memandang dengan Irene. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk mengusap puncak kepala istrinya. “Terima kasih sudah berjuang.” Alvaro Pradana, putra sulung dari pasangan Devian dan Irene. Seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Devian mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri. 5 tahun berlalu, Alvaro tumbuh menjadi anak yang begitu cerdas. Setiap harinya selalu haus bertanya. Diusianya yang menginjak 4 tahun, bocah itu sudah memasuki sekolah. Berbaur dengan anak-anak lain tanpa kesulitan. Hal tersebut membuat Irene tidak berhentinya bangga. “MOM!” teriak Alvaro
“Seorang wanita mencoba melakukan pembunuhan di rumah sakit. Hal itu didasari oleh cinta. Cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Cintanya ditolak dan berusaha membunuh istri si pria.” Di layar televisi itu. ditayangkan sebuah kos-kosan kecil. “Wanita itu mengalami stress berat bertahun-tahun. Bisa dilihat dari rumahnya yang begitu kotor dan berserakan sampah. Saat ini polisi masih menyelidiki lebih lanjut kasus ini. namun, sudah dipastikan wanita itu mendapat hukuman penjara.” Klik! Layar dimatikan. Devian masih setia berada di samping istrinya. “Aku gagal lagi. Aku terlambat. Jika aku datang lebih cepat, dia tidak akan menyakiti kamu.” Devian menatap leher Irene yang sudah di olesi salep. Beberapa kali Devian mencium punggung tangan Irene. “Bagaimana Irene?” tanya Helena yang baru saja datang. “Maaf, maaf aku tidak bisa datang lebih cepat.” Devian menghela nafas. “Jalang itu memiliki cara untuk menyakiti Irene.” Helena mengusap punggung tangan Irene. Kedua matanya
“Bye Mom Dad!” Irene menyalami Giselle. Membiarkan mertuanya itu pergi. Setelah kepergian mertuanya, Irene menjadi sendirian dan merasa kesepian. Ia mengambil bungkusan yang berada di atas nakas. katanya sebuah kue buatan Giselle. tapi Irene tidak langsung memakannya. Ia masih takut dan trauma dengan apa yang terjadi. Ia menghela nafas dan berjalan ke arah jendela. menatap pemandangan sebuah taman kecil yang terisi oleh anak kecil. Irene tersenyum. tangannya mengusap perutnya sendiri. “Nanti bermain di taman juga, bersama Mom dan Dad. Sehat-sehat di perut Mom ya.” Irene senang berbicara dengan anaknya. “Permisi, ibu Irene..” panggil seorang suster. Irene menoleh ke belakang. Ia langsung memutar badannya dan mendekat ke arah ranjang. namun ia sudah disuntik beberapa menit yang lalu. Ia mendongak. “Siapa kau?!” Suster itu tersenyum dan membuka maskernya. “Aku akan membunuhmu.” Tangannya mencengkram tangan Irene. Suntik yang hendak disuntikkan itu entah berisi apa. Irene me
“Sayang aku bekerja dulu. Oh ya Mom dan Dad akan ke sini. Aku juga sudah meminta Helena untuk ke sini menemani kamu saat Mom dan Dad pulang.” Devian mengecup dahi Irene pelan. “Oh ya untuk malam hari nanti, aku akan menyuruh beberapa bodyguard berjaga di luar ruangan.” “Tapi—” ucapan Irene terpotong karena Devian yang mengecup bibirnya. “Sudah tidak ada tapi-tapi. Ini demi keselamatan kamu, keselamatan bayi kita.” Devian menunduk. mengecup perut Irene. “Daddy berangkat dulu. Jaga Mommy ya.” Irene memandang kepergian Devian. Ia mengambil ponsel. Menghubungi temannya yang katanya akan menjenguknya [Sebentar ya Irene, aku akan ke sana siang saja. Aku masih bersama Royce. Nanti aku akan ke sana.] Irene melotot. [Pagi-pagi masih bersama Royce. Kalian sedang membuat bayi kan?] [Hehehe Iya!] Helena di kamarnya membalas pesan dari Irene. Ia tertawa pelan dengan pertanyaan Irene. Tapi tebakan temannya itu memang benar. Ia smpai tertawa sendiri. “Siap babe.” Royce memeluk Helena dar