“Sayang,” panggil Kevin. Ia hendak masuk ke dalam kamar mandi untuk menyusul Giselle. Namun Giselle menolaknya mentah-mentah karena ingin membersihkan diri sendiri. Giselle juga beralasan tubuhnya terlalu bau sehingga tidak mau membuat Kevin mual. Padahal ia suka apapun tentang Giselle. Sekalipun itu keringat wanita itu. kevin sama sekali tidak mempermasalahkannya. Tapi Giselle meninggalkannya begitu saja. “Sayaaaang!” rengek Kevin di depan kamar mandi. Tak lama kamar mandi terbuka. Giselle sudah menggunakan piyaman lucu. Kevin yang tersenyum jahil menarik pergelangan Giselle. “Kevin jangan!” teriak Giselle. Ia segera mendorong tubuh Kevin ke dalam kamar mandi. Tidak lupa mengunci kamar mandi dari luar agar pria itu tidak bisa keluar. “SAYAAANG!” teriak Kevin seperti seorang burung yang kehilangan induknya. “Udah sana mandi jangan teriak-teriak. Nanti dikiranya aku ngapa-ngapain kamu lagi,” balas Giselle. setelah itu meninggalkan Kevin. Giselle berjalan ke arah lemari. Di sanal
“Aku juga mencintaimu, sayangku Kevin,” tegas Giselle. “Puas?” Kevin tertawa pelan. kemudian memandang Giselle lebih lama. Hanya dengan menatap wajah istrinya ini, Kevin begitu bahagia. Tidak pernah menyangka jika wanita yang pernah menjadi nyonya mudanya ini menjadi istrinya. “Kevin…” lirih Giselle. Ia mendekat dan mencium Kevin lebih dahulu. Mengalunkan kedua tangannya di leher Kevin. “Aku mencintaimu,” bisik Giselle disela-sela ciuman mereka. Kevin tersenyum tipis. Ciuman lembut mereka berubah menjadi panas. Suhu udara yang seakan memanas dan membuat tubuh mereka ingin saling memuaskan. Kevin menyatukan miliknya dengan milik Giselle. Bergerak perlahan hingga miliknya sepenuhnya memenuhi milik Giselle. “Sayang aku mencintaimu..” lirih Kevin menarik salah satu tangan Giselle. Dengan tangan lain yang menarik kaki Giselle sehingga membuatnya lebih leluasa memasukkan miliknya. Kenikmatan itu mereka rasakan bersama. Kevin menunduk—mengecup perut Giselle beberapa kali. Sampai akhirny
Di bawah sana, tangan Giselle sudah mengepal. Kevin menoleh ke samping—kemudian tangannya turun dan menggenggam tangan Giselle. “Coba katakan lagi,” balas Kevin. “Aku hamil anakmu Kevin!” Kevin berdecih pelan. “Sebenarnya aku tidak ingin mengungkapkan hal ini. Aku masih megnhargaimu sebagai temanku, tapi kau memang menyebalkan. Kau berusaha menghancurkan kehidupanku bersama istriku.” Kevin melempar beberapa foto di atas meja. “Pria itu adalah ayah dari anakmu. Kau kembali ke Indonesia karena kau hamil dan tidak tahu harus meminta pertanggung jawaban siapa. kau mencoba mendekatiku lagi, untuk menutupi kehamilanmu itu.” Ariel terbelalak melihat foto-foto dirinya bersama seorang pria di klub dan kemesraan mereka diberbagai tempat. lalu ada bukti tes kehamilan di sebuah rumah sakit US. “Aku tidak pernah tidur denganmu,” ucap Kevin. “Setelah kejadian itu, aku menjalani tes dan kita tidak pernah menjalani hubungan intim.” Kevin melempar bukti tesnya di atas meja lagi. “Cukup sampai d
Kevin berkacak pinggang. Kekesalannya menghilang saat melihat wajah Giselle yang memelas seperti menahan tangis. Akhirnya ia setuju untuk mengajari istrinya itu menembak. Ia mengambil Pistol dari tangan Radit. Giselle memegang pistol itu dengan bantuan Kevin yang berada di belakangnya. Giselle menatap papan yang menjadi targetnya. Dengan bantuan Kevin ia berhasil melepaskan tembakan pertamanya. “Waah!” Giselle meloncat dengan senang. Seketika lupa kalau dia sedang hamil. “Aku melakukannya. Tembakannya sempurna—” namun perutnya terasa seperti keram. “Akh!” ringis Giselle menyentuh perutnya. “Kenapa?” tanya Kevin yang panik. “Sakit..” lirih Giselle. Kevin menjadi semakin panik saat terlihat tetesan seperti air keluar dari pangkal paha Giselle. semua orang yang berada di sana juga ikut panik melihat Giselle yang tiba-tiba kesakitan. “Tolong siapkan mobil,” ucap Kevin pada salah satu juniornya. Radit mendekat. Akhirnya ia membantu Kevin memegangi Giselle dari belakang. “Langsung g
12 tahun kemudian. Seorang anak laki-laki baru saja memasuki sebuah sekolah menggunakan motor harley-nya. Semua orang pun tahu dia siapa. Devian Pradana, anak dari seorang Polisi berpangkat tinggi sekaligus cucu dari pemilik perusahaan properti terbesar di seluruh negeri. Jangan heran jika seluruh tubuhnya dihiasi oleh barang bermerek. Namun, semua itu bukanlah dari orang tuanya, melainkan dari kakeknya. Dari dulu, Devian selalu dimanja oleh kakeknya. Bahkan ia mendapatkan motor harley sebagai hadiah ulang tahun yang ke-17. “Motor baru nih.” Royce mendekati Devian yang baru saja memarkirkan motornya di parkiran sekolah. Devian menyugar rambutnya ketika helmnya terlepas. “Hadiah bro.” Devian menoleh—sudah biasa menjadi pusat perhatian pada siswi di sekolahnya. Mereka yang senantiasa memuji parasnya. Devian sih, suka. Siapa yang tidak suka dipuji tampan orang lain.“Gila ini kakek lo royal parah.” Royce menggeleng pelan. Ia memegang motor baru Devian dengan takjub. “Terus lo dapat a
“Gak ada. Sekarang.” Irene mengeluarkan ponselnya. “Gak ada uang receh bisa transfer ke-Qris gue. Ke rekening gue juga bisa. Nanti gue—” Irene mengeluarkan uang recehan dari saku. “Gue ganti nih pake uang gue.” Irene menatap mereka bertiga. “Jadi gak ada alasan buat gak bayar kas.” Royce menggeleng pelan. Akhirnya ia mengeluarkan ponselnya—memilih membayar kas dengan transfer. “Lo boleh pergi.” Irene mengusir Royce. Randi menepuk dadanya. “Istigfar Rin, Istigfar. Muka lo galak bener.” “Gaada istigfar, gue Kristen!” Irene mengadahkan tangannya. “Bayar kas cepet.” Randi mengeluarkan uangnya. Uang satu lembar berwarna merah. Kas kelas mereka adalah 10 ribu setiap hari senin. Randi menerima uang kembalian dari Irene dengan bibir yang manyun 10 cm. “Receh nih uang gue.” “Receh lah. Nanti juga lo beliin jajan dapat kembalian. Sok-sokan ngeluh receh!” Irene mengibaskan tangannya. “Lo boleh pergi.” Sampai pada seorang laki-laki yang duduk dengan santai. Irene mulai kesal dengan Devia
“Kayaknya gue ke US. Soalnya, ortu gue ambis banget supaya gue jadi pengacara kayak mereka,” balas Royce sambil membuang putung rokoknya yang sudah habis. “Gue di sini aja deh. Sambil belajar nerusin usaha ortu gue,” balas Randi. “Gimana lo?” tanyanya pada Devian. “Gue suka hal menantang. Gue pengen coba masuk akademi polisi dan gabung di unit pasukan khusus kayak bokap,” balas Devian. “Tapi kakek gue pernah nawarin mau kuliahin gue ke US. Kakek gue bahkan pernah bilang, kalau gue ngambil bisnis gue bakal di ajarin mimpin perusahaan.” “Udah gue duga sih.” Royce mengangguk. “Secara kakek lo sayang banget sama lo. Udah pasti lo mau dikasih perusahaan.” “Tapi gue gak terlalu minat ngelola bisnis. Gue pengen coba Polisi.” Devian mengedikkan bahu. “Walaupun katanya sulit buat masuk. Tapi justru itu yang bikin gue makin pengen coba.” Devian menerawang ke atas. Menatap langit biru yang cerah. Ia menghembuskan asap rokoknya. Orang tuanya tidak pernah mengarahkannya ataupun memaksanya unt
“Iya, terima kasih,” balas Irene. Bukannya kembali. Devian justru berdiri—tak lama mengambil duduk di hadapan Irene. “Lo gak capek belajar mulu?” “Capek.” Irene bertopang dagu. “Tapi gue gak mau disalip sama orang di hadapan gue ini.” Irene dan Devian adalah musuh. Tidak hanya musuh dalam uang per-kas an. Tapi juga dalam rangking di sekolah. Devian dan Irene saling mengejar untuk menjadi yang pertama. Oh bukan, lebih tepatnya hanya Irene yang berusaha menjadi yang pertama dalam ranking paralel. Kalau Devian sih, santai saja. Devian berdecih. “Segitunya lo.” “Kakek pandu itu beneran kakek lo?” tanya Irene. Devian mengangguk. “Kakek dari nyokap gue.” Irene mengangguk. “Oh..” hening. Devian tidak ada niat untuk melanjutkan pembicaraan mereka. “Gue baru aja pindah di sekitar sini. Itu kenapa gue suka jajan di sini.” “Udah ketebak. Muka-muka introvert kayak lo ini gak akan keluar jauh dari rumah.” Irene mengibaskan tangannya. “Udah sana lo, gue mau belajar.” Devian menggeleng pel
Sial sekali, pagi ini Ana harus terlambat karena ayahnya, Royce kesiangan bangun setelah menonton bola dini hari. Royce dan Helena sama saja, suka menonton sampai larut. Sampai-sampai paginya terlambat bangun. “Maaf ya. Dad kesiangan bangun.” Royce memberhentikan mobilnya di depan sekolah. “Pasti kamu dihukum. Tapi gak papa.” Royce mengecup puncak kepala anaknya. “Semangat ya dihukumnya.” “DAD!” teriak Ana yang sungguh kesal. Ia turun tanpa menyalami tangan orang tuanya itu. kemudian berjalan dengan gontai masuk ke sekolah. Maka benar saja. Ia harus dihukum karena terlambat. Untuk siang hari setelah istirahat, ia harus membersihkan lapangan basket yang luasnya melebihi stadion. Ana berjalan ke arah gudang, di sanalah ia mengambil peralatan kebersihan. Namun sayup-sayup saat ia masuk ke dalam gudang. Telinganya harus ternodai oleh suara menjijikkan. Ana membeku di tempatnya berdiri. ~~ “Untuk yang terakhir kali kelas 12 diijinkan untuk mengikuti perlombaan. Karena setelah in
Extra capter Alvaro dewasa International Alexandra school adalah sekolah internasional yang terisi dengan anak-anak orang kaya. Orang tua murid yang berasal dari kaum berjois. Hingga terjadilah sistem kasta yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. “Ana, kak Alvaro itu sangat tampan ya.” Raya menyenggol lengan Ana. Melihat seorang laki-laki yang menggunakan seragam basket itu memasuki koridor sekolah. Laki-laki yang menjadi incaran para perempuan. Alvaro Pradana, putra satu-satunya dan digadang-gadang menjadi penerus dari Devian group. Alvaro Pradana, pemuda yang saat ini menginjak kelas 12. Dengan pesonanya yang mampu meluluhkan seluruh hati perempuan yang ada di sekolah. Mendapat julukan si pemain. Pemain hati perempuan. Namun, ada satu perempuan yang ia hindari. Perempuan yang sedari dulu ia anggap sebagai adiknya. Alvaro bersikap baik dengan Ana. Ana tersenyum. Ia pun menyetujui jika Alvaro memang begitu tampan. “Iya aku setuju—" “Hai adik, minta permennya.” Alvaro
“Ana sangat lucu, Mom.” Alvaro memandang seorang balita yang sedang merangkak. Balita perempuan yang menggemaskan. “Nanti kamu pacaran sama Ana saja ya.” Helena mengusap puncak kepala Alvaro. “Heh!” Irene menyenggol bahu Helena. “Mana ada, masih anak kecil tidak usah berpikir pacar-pacaran.” Alvaro memandang kedua orang yang sedang bertengkar itu sebentar. kemudian mendekati Ana yang sedang bermain dengan sebuah boneka. Alvaro menunduk—mengusap pipi Ana pelan. “Kamu suka bermain boneka?” Alvaro tersenyum. “Lihat-lihat saja.” Helena memandang dua anak yang sedang bermain. Tepatnya, Alvaro yang menjaga Ana. “Alvaro memang menantu idaman.” “Aduh..” Irene menggeleng. “Masih kecil disebut menantu. Helena memang gila.” Irene berdecak pelan. Setelah bermain seharian di rumah Helena, akhirnya Irene pulang juga. Alvaro berada di samping Irene. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk tapi ternyata masih berusaha membuka mata. “Tidur saja, Al. Mom akan membangunkan kamu nanti.” Al
Ia membawa barang-barang itu namun dari belakang ada beruang yang terus menempel di tubuhh kecilnya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, Devain tidak melepaskan pelukannya pada istrinya. “Bagaimana dengan hot wife?” tanya Devian membalikkan tubuh Irene. “Aku tidak suka tubuh kamu dilihat orang lain.” “Tidak ada yang melihat.” Irene mendongak. “Lagipula malam-malam tidak akan ada yang melihat.” Devian berdecak. “Dress seperti ini hanya boleh digunakan di hadapanku. Tidak boleh digunakan di luar.” Mengangkat dagu Irene. Menatap kedua bola mata istrinya itu dengan bola matanya yang tajam. “Baiklah.” Irene mengangguk. “Besok aku akan ke rumah Helena, kamu..” Devian mengusap pinggang Irene. “Saat libur aku ikut. Lusa kan libur. Aku janji tidak akan mengurusi pekerjaan lagi.” “Tapi jika kamu masih mengurusi pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?” “Goda aku. Goda aku dengan tubuhmu yang seksi ini sayangku..” tangan Devian yang nakal sudah bergilya di belakang Dress Irene. “Be
“Bisa.” Devian mengambil satu balon dan melepasnya ke udara. “Waah..” kagum Alvaro melihat balon yang berwarna kuning menyala itu di udara. “Tapi—” Devian menunjuk beberapa anak-anak yang bermain di sekitar mereka. “Apa kamu tidak ingin memberikan balon-balon ini pada mereka? Mungkin saja mereka juga ingin.” Alvaro menatap gerombolan anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvari memandang anak-anak itu lebih lama, karena menurutnya sedikit berbeda dengannya. “Kenapa?” tanya Devian. “Kamu tidak ingin memberikan balon ini pada mereka?” Alvaro menggeleng pelan. “Tapi, kenapa beberapa dari mereka membawa makanan? Mereka berjualan? Ada yang membawa karung besar juga.” Devian mengangguk. “Mereka sedang bekerja. Sebagian dari mereka membantu orang tua mereka mencari uang dengan berjualan. Kamu ingin membantu mereka?” “Bagaimana caranya Dad?” Devian mengeluarkan dompetnya. “Sebentar.” Mengambil uangnya yang berwarna merah sebanyak 20 puluhan. “Setiap
Beberapa bulan kemudian. “Akhh!!” Teriakan Irene yang terakhir kali. Disusul dengan tangisan seorang bayi. “Selamat bayinya berjenis kelamin laki-laki.” Dokter itu menggendong seorang bayi kecil yang baru saja keluar dari perut Irene. Devian menitikkan air mata. “Hai boy.” Menggendong bayinya dengan hati-hati. “Nama kamu Alvaro Pradana.” Devian tersenyum saling memandang dengan Irene. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk mengusap puncak kepala istrinya. “Terima kasih sudah berjuang.” Alvaro Pradana, putra sulung dari pasangan Devian dan Irene. Seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Devian mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri. 5 tahun berlalu, Alvaro tumbuh menjadi anak yang begitu cerdas. Setiap harinya selalu haus bertanya. Diusianya yang menginjak 4 tahun, bocah itu sudah memasuki sekolah. Berbaur dengan anak-anak lain tanpa kesulitan. Hal tersebut membuat Irene tidak berhentinya bangga. “MOM!” teriak Alvaro
“Seorang wanita mencoba melakukan pembunuhan di rumah sakit. Hal itu didasari oleh cinta. Cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Cintanya ditolak dan berusaha membunuh istri si pria.” Di layar televisi itu. ditayangkan sebuah kos-kosan kecil. “Wanita itu mengalami stress berat bertahun-tahun. Bisa dilihat dari rumahnya yang begitu kotor dan berserakan sampah. Saat ini polisi masih menyelidiki lebih lanjut kasus ini. namun, sudah dipastikan wanita itu mendapat hukuman penjara.” Klik! Layar dimatikan. Devian masih setia berada di samping istrinya. “Aku gagal lagi. Aku terlambat. Jika aku datang lebih cepat, dia tidak akan menyakiti kamu.” Devian menatap leher Irene yang sudah di olesi salep. Beberapa kali Devian mencium punggung tangan Irene. “Bagaimana Irene?” tanya Helena yang baru saja datang. “Maaf, maaf aku tidak bisa datang lebih cepat.” Devian menghela nafas. “Jalang itu memiliki cara untuk menyakiti Irene.” Helena mengusap punggung tangan Irene. Kedua matanya
“Bye Mom Dad!” Irene menyalami Giselle. Membiarkan mertuanya itu pergi. Setelah kepergian mertuanya, Irene menjadi sendirian dan merasa kesepian. Ia mengambil bungkusan yang berada di atas nakas. katanya sebuah kue buatan Giselle. tapi Irene tidak langsung memakannya. Ia masih takut dan trauma dengan apa yang terjadi. Ia menghela nafas dan berjalan ke arah jendela. menatap pemandangan sebuah taman kecil yang terisi oleh anak kecil. Irene tersenyum. tangannya mengusap perutnya sendiri. “Nanti bermain di taman juga, bersama Mom dan Dad. Sehat-sehat di perut Mom ya.” Irene senang berbicara dengan anaknya. “Permisi, ibu Irene..” panggil seorang suster. Irene menoleh ke belakang. Ia langsung memutar badannya dan mendekat ke arah ranjang. namun ia sudah disuntik beberapa menit yang lalu. Ia mendongak. “Siapa kau?!” Suster itu tersenyum dan membuka maskernya. “Aku akan membunuhmu.” Tangannya mencengkram tangan Irene. Suntik yang hendak disuntikkan itu entah berisi apa. Irene me
“Sayang aku bekerja dulu. Oh ya Mom dan Dad akan ke sini. Aku juga sudah meminta Helena untuk ke sini menemani kamu saat Mom dan Dad pulang.” Devian mengecup dahi Irene pelan. “Oh ya untuk malam hari nanti, aku akan menyuruh beberapa bodyguard berjaga di luar ruangan.” “Tapi—” ucapan Irene terpotong karena Devian yang mengecup bibirnya. “Sudah tidak ada tapi-tapi. Ini demi keselamatan kamu, keselamatan bayi kita.” Devian menunduk. mengecup perut Irene. “Daddy berangkat dulu. Jaga Mommy ya.” Irene memandang kepergian Devian. Ia mengambil ponsel. Menghubungi temannya yang katanya akan menjenguknya [Sebentar ya Irene, aku akan ke sana siang saja. Aku masih bersama Royce. Nanti aku akan ke sana.] Irene melotot. [Pagi-pagi masih bersama Royce. Kalian sedang membuat bayi kan?] [Hehehe Iya!] Helena di kamarnya membalas pesan dari Irene. Ia tertawa pelan dengan pertanyaan Irene. Tapi tebakan temannya itu memang benar. Ia smpai tertawa sendiri. “Siap babe.” Royce memeluk Helena dar