Hujan mereda tatkala suara rem mobil menghentikan roda yang melaju cepat ke arah parkiran. Semuanya turun tak terkecuali dengan pak sopir, udara yang dingin setelah berjam-jam melewati jalanan tanpa macet, namun dengan guyuran hujan yang sangat lebat tiada henti. Masih dengan sisa rintik hujan yang masih berjatuhan semuanya turun dari mobil menuju kursi yang masih kosong di dalam kafe.
Semuanya duduk sambil mengibas percikan air di baju yang cukup basah. Pak sopir tersenyum menatap ke arah anak-anak yang sedang membersihkan air dari pakaian mereka. Uban pak sopir cukup banyak, hal itu terlihat setelah ia melepaskan topinya. Namun, wajahnya tak kelihatan tua sama sekali, tak sebanding dengan uban yang hampir seluruhnya memutih. Padahal sebelumnya pak sopir pernah bercerita bahwa sebentar lagi ia akan menimang cucu ke sembilannya, cucu ke sembilan dari anak bungsunya.
Seorang pelayan menghampiri kami dengan senyum lebar di wajahnya menawarkan menu kafe, yang langsung di terima oleh tangan gesit Rizam. Ia adalah teman paling bersemangat dalam urusan perut, padahal dialah yang paling kurus dari ketiga laki-laki yang ikut dalam ekspedisi ini. Rizam bertanya dengan cekatan pada kami. Ia menghafal dengan cepat pesanan itu. Dan menyerahkan kembali menu kafe.
Sambil lalu menunggu pesanan, aku mengecek beberapa berkas yang kusimpan di flashdisk OTG. Kelihatannya tak hanya aku yang sibuk, teman di sebelahku pun sama ia sedang mengubah beberapa dokumen di ponselnya. Ia kelihatan sedikit bingung namun jari-jari gesit mengetik.
Hujan kembali mengguyur jalanan, para pejalan kaki yang memakai payung berteduh di depan toko karena hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya. Tak hanya itu bahkan pengendara motor pun melakukan hal yang sama. Berteduh di depan toko atau di bawah tempat berteduh lainnya. Membiarkan motor mereka terguyur hujan sore ini.
Belakangan ini, cuaca memang tidak stabil. Tadi pagi mentari bersinar cukup cerah, namun tak butuh beberapa lama, mendung menyelimuti kota dan hujan tak hentinya turun hingga sore ini. Awan kelabu di atas sana seolah tak ingin pergi, itu artinya hujan akan cukup lama lagi berlangsung, mungkin hingga nanti malam.
Pelayan membawakan kami pesanan makanan, sejak tadi pagi kami tidak makan lagi. Bukan hanya karena hujan tapi karena rapat dadakan yang di adakan pukul 6 tadi. Kami belum menyentuh makanan apa pun hingga tiba di sini. Jadi, wajar saja jika Rizam kini memanggil pelayan lagi untuk menambah menu untuknya. Semuanya tersenyum menatap ke arahnya.
Aku meminum jus apel yang sudah kupesan tadi. Jus itu melewati kerongkonganku, rasanya terasa begitu segar setelah hampir seharian aku tidak menyantap makanan apa pun. Sedari tadi perutku sudah menuntut makan, hanya saja baru sempat kami menghentikan perjalanan. Aku menyantap hidangan lahap. Tak hanya aku tapi kami semua.
Kami kembali ke mobil setelah acara makan selesai, kami harus tiba di penginapan sebelum malam datang. Perjalanan masih kurang 90 menit lagi, Pak sopir atau pak Han kami menyebutnya demikian ia menginjak gas mobil. Mobil pun melaju dengan cepat melewati jalanan yang basah.
Rizam tampak heboh bercerita rasa makanan yang ia makan tadi, pada pak Han. Tak heran ia berbuat demikian, pasalnya kami sudah mengenal pak Han dengan baik. Kami sudah sangat akrab dengannya terlepas pak Han adalah sopir pribadi kami setiap kami ada tugas kelompok yang membutuhkan jasa sopir. Ia tampak riuh mendeskripsikan apa yang ia rasakan tadi, Azlan terkikik mendengar setiap kalimat Rizam.
Aku belum mengenal Rizam cukup lama, semenjak di umumkannya keputusan ini, aku cukup kaget harus sekelompok dengannya. Karena dia adalah manusia unik yang terlahir dengan rasa bahagia di hidupnya. Bagaimana tidak, dia adalah satu-satunya manusia yang mampu menerobos lampu merah hanya karena beralasan sisa bahan bakar di motornya cukup untuk 5 menit perjalanan. Dia juga pernah menaiki pohon mangga tetangga yang lebat berbuah hanya karena ia ingin melihat pemandangan jalanan dari rumahnya, padahal hal itu bisa dia lihat dari balkon lantai dua di rumahnya, alhasil dia menjadi buronan tetangga selama seminggu. Untuk masalah ini dia tidak menceritakan dengan detail alasannya kenapa.
Jam menunjukkan pukul 18.00 saat kami sampai di penginapan. Hujan sudah berhenti, lampu kuning di pagar penginapan menambah suasana berbeda. Kami sudah cukup jauh melangkah keluar dari lingkungan perkotaan tempat kami tinggal, dan sekarang sudah berada di daerah semi pedesaan yang cukup sunyi. Perjalanan kami akan di mulai dari sini esok pagi.
Tidak ada jadwal yang penting malam ini, selain Shalat Magrib dan makan malam serta istirahat yang cukup. Perjalanan besok memerlukan tenaga yang cukup kuat. Tidak hanya fisik namun juga batin.
Malam ini ada hal yang membuatku tidak bisa tidur, aku masih menatap langit-langit kamar dengan tatapan hampa. Beberapa kali ingin tidur kucoba pejamkan mata, namun masih susah untuk tertidur. Aku memijit kepala sejenak, kalimat Faleya barusan menggangguku. Dira dan Faleya sudah tidur cukup pulas dan hanya ada lampu tidur di atas meja yang masih menyala, aku masih belum bisa memejamkan mata.
Hingga akhirnya tubuhku menuntut lelah. Kemudian tertidur setelah hampir 180 menit mengalami insomnia dadakan. Begitulah aku menyebutnya kondisiku malam ini.
Jam menunjukkan pukul 04.00 pagi. Suasana di tempat ini begitu sunyi selain suara kumandang Adzan subuh yang menggema di langit subuh pagi ini. Aku, Dira dan faleya terbangun membersihkan diri kemudian menunaikan sholat subuh. Udara masih cukup dingin padahal AC sudah di matikan sejak kami tiba di sini.
Kami tidak berniat melanjutkan tidur, Faleya segera mengecek laptop dan beberapa berkas penting. Sedangkan Dira mengecek barang di dalam tas yang akan kami bawa. Aku memeriksa alat yang sudah kami siapkan jauh-jauh hari seperti teleskop, kaca pembesar, peta, kompas dan masih banyak lagi. Jangan tanyakan buku dan pulpen pada kami. Karena setiap orang dari kami berkewajiban membawa dua alat tulis itu.
Matahari sudah terbit di ufuk timur. Kami berniat untuk berkeliling kompleks pagi ini. Setelah menyelesaikan pekerjaan kami bertiga langsung keluar dan berkeliling di sekitar kompleks.
***
Di ujung jendela, seseorang menyeduh kopi manis yang masih mengepulkan asap. Sejak tadi subuh ia tidak tidur lagi, berbeda dengan Rizam dan Kay yang masih enggan berpisah dengan bantal dan selimutnya walaupun mereka sudah mandi sebelum subuh tadi. Kopi hangat itu sudah sisa separuh, ia masih fokus dengan peta yang ada di depannya berpikir cukup keras melihat jalur yang berliku. Sesekali ia menghembuskan nafas, dan meneguk kopi itu untuk kesekian kalinya.
Jam menunjukkan pukul 05.30 ia membuka jendela kamar membiarkan matahari yang muncul malu-malu menerpa wajahnya. Ia memejamkan mata sejenak dan menghirup embun pagi yang segar kemudian menatap langit pagi yang menenangkan. Ia mengambil kamera dan memotret beberapa pemandangan dari penginapan lantai 2 ini. Ia berkali-kali memeriksa hasil potretan itu dan tak sengaja menemukan 3 gadis cantik berbalut jaket abu tua seragam ciri khas mereka kali ini dalam ekspedisi.
Ia menekan tombol zoom in memperbesar salah satu gadis yang sedang tersenyum menatap ke samping kiri. Ia menatap pada objeknya di sana ada Dira, Sena, dan Faleya. Ia meraih laptop menyalin gambar yang ia ambil barusan dan menyimpannya. Dia kembali lagi ke balkon. Hendak menatap sosok itu lagi tapi mereka sudah hilang tak terlihat.
Ia berdecak sedikit kesal, namun sebuah panggilan telepon menghentikan decakannya. Suara berat terdengar dari seberang.
“Bersiap-siaplah kapten. Aku akan segera menemui kalian. Pukul 06.00 pagi ini.” Tanpa salam, tanpa apa pun suara berat dan kaku itu terdengar begitu khas di telinga Azlan. Tanpa menunggu jawaban apa pun sambungan terputus.
Tanpa basa-basi lagi Azlan menarik selimut dan bantal Kay dan Rizam. Keduanya tidak memperdulikan Azlan, mereka masih asyik dengan tidur mereka. Sekali lagi Azlan menarik selimut Kay. Kay terduduk malas mengucek matanya yang sedikit silau karena baru bangun tidur.
“Bukannya ekspedisi pukul 07.00 pagi ini?. Ini masih pukul 05.40 “ Ujar Kay. Azlan menggeleng sambil menarik bantal Rizam yang justru semakin asik dalam tidurnya.
“Tidak, Inspektur akan datang pukul 06.00 pagi ini. Dia sedang ada di jalan menuju kesini. Ayo Zam, bangunlah! Atau aku akan mencoret namamu dalam ekspedisi dan melaporkanmu pada inspektur.” Mendengar kalimat Azlan, tanpa banyak tenaga lagi Rizam terduduk seketika. Kay sudah tidak di kasur lagi iya segera mencuci muka dan membersihkan wajahnya dan merapikan pakaiannya.
“Kenapa tidak membangunkanku lebih awal. He’eh” Rizam protes mengomel tak jelas sambil menuju kamar mandi ia segera membersihkan wajahnya dan merapikan pakaiannya. Azlan sudah bersiap di depan pintu menyuruh anak buahnya untuk segera turun bersiap di lantai satu.
Tak lupa ia menghampiri kamar sebelah. Tempat Sena, Dira dan Faleya menginap.Tak butuh waktu lama mereka sudah siap di depan pintu dengan pakaian rapi serta tas ransel yang sekarang mereka kenakan.
Faleya tersenyum lebar pada Azlan. Aku hanya menatapnya datar, jika saja bukan karena kapten dalam ekspedisi ini mana mau berlama-lama bersamanya, itu sangat mengganggu.
“Kami sudah siap kapten, apa kami bisa segera turun?” Tanya Dira pada Azlan. “Tentu, inspektur sudah dalam perjalanan menuju kemari. 5 menit lagi dia akan sampai.” Jawabnya sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, aku pun mengecek jam tangan di tanganku. Bukan melihat jam, tapi mengecek apakah jamku berfungsi dengan baik.
Kami menuruni tangga, ponselku bergetar menampilkan nama seseorang yang cukup akrab denganku. Tak sempat kuangkat panggilan telepon itu. Azlan sudah mencegahku menerimanya.
“Kita tidak punya banyak waktu dengan hal yang tidak penting, sebaiknya abaikan pekerjaan itu jika tidak begitu penting.” Rasanya tanganku geram di buatnya. Ingin rasanya segera mendarat di pipi kanannya. Hanya saja aku tidak bisa melawannya karena dia adalah sang kapten. Ini menyebalkan.
Sejak tahu tadi malam dari Faleya bahwa Azlan adalah kaptennya. Aku hampir tidak semangat dengan keputusan ekspedisi ini, jika saja bukan karena keinginanku ingin ikut ekspedisi ini dan mengingat betapa amat susah aku dapatkan restu dari mama, yang aku bujuk hampir sebulan. Hingga akhirnya mama mengizinkanku, semua itu tidak pernah berjalan mudah dengan begitu, aku tidak mungkin menyia-nyiakan pengorbananku hanya karena seorang Azlan. Fiuh, ini menyebalkan.
Kami sudah sampai di lantai 1 dan berkumpul di meja makan. Kami akan sarapan bersama pagi ini, sekaligus rapat membahas perjalanan pertama yang akan kami tempuh. Dan akan di pimpin oleh kapten Azlan yang menyebalkan.
Inspektur sudah tiba saat tak berselang lama setelah kami berkumpul di meja makan. Pak inspektur sudah tidak muda lagi, kerutan di wajahnya sudah jelas terlihat. Ubannya pun cukup banyak terlihat dari sisi rambut yang tidak tertutup kopiah. Iya, kopiah. Inspektur datang dengan pakaian khasnya.
Sarung dan kopiah juga baju koko kesayangannya. Mirip dengan ustadz yang akan mengisi pengajian. Untuk pertama kalinya aku tau siapa inspektur kami dalam ekspedisi ini, untuk kesan pertama yang terlintas di pikiranku adalah aneh. Tapi Dira justru menyambut dengan baik inspektur kami.
Bagaimana tidak aneh menurutku, kami akan melakukan ekspedisi dengan berbagai kemungkinan yang tidak mudah. Kami berpakaian lengkap dan jaket khusus kami untuk melakukan perjalanan panjang. Lalu, pak inspektur dengan santainya datang berpakaian seolah ustadz.
Pak inspektur tidak datang sendirian. Ia di temani oleh dua orang pengawal yang berpakaian rapi layaknya body guard bayaran dengan jaminan keamanan yang mumpuni. Aku memijit jidat dengan keanehan yang kulihat pagi ini.
Aku diam dengan semua hal menyebalkan yang hinggap di pikiranku hingga keanehan yang baru saja kulihat ini membuatku semakin merasa aneh dan tidak dapat berbicara apa pun selain diam dan memperhatikan. Acara sarapan kami berjalan dengan baik. Inspektur belum banyak bicara selain menyapa kami dengan sepatah dua patah kata sebelum sarapan tadi. Tidak ada yang memulai percakapan hingga semuanya selesai makan.
“Baiklah anak-anak saya tidak perlu bertanya kabar kalian, karena saya yakin sejauh ini kalian sudah mempersiapkan fisik kalian dengan baik. Perjalanan yang akan kalian lakukan ini tidaklah mudah, tetaplah bersama apa pun yang terjadi. Kuatkan solidaritas, hapuskan perbedaan, jangan saling adu keegoisan. Jangan berhenti menasehati, jangan bosan di nasehati. Penasehat harus punya standar untuk di patuhi, dan yang di nasehati harus tetap rendah hati dan jangan sampai merasa di hakimi.
Saya yakin kalian pasti paham maksud ucapan saya ini. Jadi, jangan ada yang merasa paling baik dalam perjalanan ini. Sebaik-baik kalian adalah yang bisa membantu yang lain jangan sampai ada yang tidak peduli satu sama lain. Jangan buat pertentangan dengan hal kecil, jangan biarkan emosi mengisi raga saat kita sedang tidak baik-baik saja.” Kami terdiam cukup lama meresapi kalimat itu baik-baik. Tidak ada suara apa pun, Kalimat itu sederhana namun sangat menyentuh.
“Dalam setiap tim, harus saling memahami. Jika ada yang emosi membara harus ada yang mengalah menjadi airnya. Ini misi bersama, tidak ada keberhasilan tanpa kerja sama sesama tim. Tidak ada kesuksesan jika masih tidak peduli satu sama lain. Kalian mengerti? “ Kalimat terakhir itu berubah menjadi kaku dan berat membuat kami yang awalnya tersentuh, tersentak kaget seketika. Dan segera menjawab tegas “mengerti inspektur!” Inspektur tersenyum menatap kami satu persatu, terutama pada Azlan dia menghentikan tatapannya tepat ke arahnya.
Azlan tak berani menatap balik, aku yakin tubuhnya sudah separuh dingin, bahkan sebagian lain mungkin berkeringat. Rizam tak berani mengangkat wajahnya, Kay pun sama tak bergerak sedikit pun. Aku dan Faleya melakukan hal yang sama kecuali Dira dia tampak sangat bersemangat mendengarkan meskipun menunduk. Dira benar-benar mengagumi Inspektur, hal itu selalu ia banggakan di hadapan kami. Inspektur adalah salah satu orang yang membuatnya berada di tim ini, karena bakatnya di bidang pengetahuan alam yang bisa di bilang di atas rata-rata membuatnya terpilih menjadi salah satu bagian dari kami.
“Kapten Azlan! Apakah kalian mengikuti saran dari saya waktu itu?” Tanyanya. Tak banyak berpikir lagi, Azlan mengangguk dan menjawab cepat. “ “Benar Inspektur, kami membawa ransel sesuai dengan yang Inspektur perintahkan waktu itu. Masing-masing kami tidak membawa barang-barang kami melainkan kami membawa barang tertentu yang sudah di tetapkan. “
“Bagus, saya percayakan perjalanan ini pada Anda Kapten! Baiklah marilah kita berdoa bersama semoga perjalanan ini di berikan keamanan dan kenyamanan hingga kalian pulang dan sampai ke rumah masing-masing. Berdoa di mulai!” Kami berdoa dalam hati, segala doa terbaik kami panjatkan kehadirat Allah, dengan penuh ketulusan. Dengan penuh kelapangan hati, dan dengan harapan terbaik kami. Setelah selesai berdoa Inspektur kemudian pamit untuk menyelesaikan misi berikutnya. Jam menunjukkan pukul 06.50 sepuluh menit lagi kami akan melakukan perjalanan itu.
Azlan mengambil alih perintah, ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan memulai membacanya. “Ini adalah salah satu hal yang tidak kalian ketahui dari saya. Tapi hal ini justru adalah latihan keikhlasan untuk kita terutama saya sendiri. Untuk ransel yang berisi bekal akan di pindahkan dari Saya pada Sena. Dan ransel Sena akan di pindahkan pada Saya.
Jadi Saya akan memakai ransel berisi peralatan ekspedisi. Sedangkan Ransel Faleya akan di tukar dengan Kay. Dan milik Dita akan di tukar dengan Rizam. Jadi untuk peralatan medis atau kesehatan akan di pegang Dira, untuk bekal pakaian akan di pegang rizam untuk laki-laki dan wanita di pegang Faleya. Dan Kay akan membawa ransel berisi kebutuhan lain-lain seperti kabel, powerbank dll.
Dan untuk ponsel semuanya di pegang sendiri. Ingatlah untuk hemat-hemat baterai, jangan lupa gunakan mode pesawat pada daerah yang tidak memiliki akses jaringan. Satu lagi, kita perlu berjalan berbaris aku di depan di ikuti Sena, Faleya, Rizam, Dira dan Kay. Perlu aku tegaskan bahwa kita harus saling membantu dalam banyak kesempatan. Jangan sampai tidak peduli satu sama lain, kalian paham kan!” Ujarnya cukup tegas.
Kami menjawab iya dengan cepat. Ia memasukkan kertas itu ke dalam sakunya, ia mengeluarkan pulpen dan buku catatan sedang di dalam tas ranselnya. Ia sibuk mencatat beberapa kalimat. Aku hanya menatap datar tak peduli, paling dia sedang mempersiapkan perintah berikutnya. Lagi pula, dia adalah seorang kapten, bukan pernyataan yang menyebalkan.
Kami berjalan ke arah Utara sesuai dengan petunjuk kapten dan peta yang di bawanya. Kami menyusuri perumahan sederhana yang berjejer rapi di kanan kiri jalan yang tidak terlalu lebar. Hari sudah mulai panas namun tidak sampai membakar kulit, toko dan beberapa rumah sudah di buka oleh penghuninya. Saatnya mereka memulai aktivitas, ada yang sibuk dengan anak-anak kecilnya. Ada yang masih sibuk dengan hewan peliharaannya entah itu ayam mereka maupun hewan lainnya.
Namun di balik semua kesibukan itu mereka tetap menyapa kami dengan senyuman, dan tatapan yang cukup menyiratkan sebuah rasa penasaran dengan penampilan kami. Tapi, bukankah itu hal yang wajar untuk kami yang belum pernah melewati jalanan di sini. Tentu saja hal itu mengundang rasa ingin tahu pada diri mereka, terlebih lagi kami menggunakan kostum yang hampir sama.
Sejauh kami melangkah, keringat sudah bercucuran deras, tas ransel yang kami bawa tidak biasa-biasa saja. Itu artinya kita harus ekstra kuat menggendong tas yang cukup besar itu di punggung kami. Kami melewati banyak tempat selama 60 menit pertama. Rumah-rumah warga setempat, toko sembako dan sejenisnya, warung makan dan beberapa warung yang menjual cemilan. Kami berhenti di sini, di salah satu pohon rindang yang memiliki tempat berteduh yang di buat khusus oleh warga setempat, kami mengeluarkan air mineral dari tas ranselku dan hendak meneguknya tapi Azlan menghalangi.
“Ini baru 60 menit pertama kita melakukan perjalanan, seharusnya kita tidak langsung kehausan begini!” Dia menutup buku yang sedari tadi ia buka, yang tadinya fokus menulis kini fokus menatapku dengan tatapan interogasi. “Kita masih punya banyak sisa perjalanan, mengapa terlalu mudah putus asa dan memanjakan diri dengan mengisi cairan tubuh” Rizam menunduk lesu, ia tak menjawab apa pun. Hingga akhirnya Kay angkat bicara, menawarkan tawaran solusi dari kejadian ini.
“Kita masih belum terlalu jauh dari warung makan, aku yakin di sana pasti ada minuman. Aku akan berjalan ke sana untuk membeli minuman untuk kita minum di sini. Bekal yang Sena bawa, sebaiknya kita simpan nanti jika kita sudah berada di tempat yang sulit menjangkau makanan” Kay menjelaskan membuat kami semua mengangguk. Azlan masih diam hingga akhirnya menyetujuinya.
Kay beranjak menjauh dari kami, aku menawarkan untuk ikut. Namun lagi-lagi Azlan mencegah. “ Sebaiknya Kay saja, yang lain tidak perlu ikut” Kalimat menyebalkan itu keluar lagi dari mulutnya. Kay mengangguk membenarkan, aku pun menurut. Entah apa yang ada di pikiran manusia yang satu ini, ini sangat menyebalkan.
20 menit berlalu Kay kembali dengan 2 botol air mineral besar. Namun, menyedihkan ketika kami hanya menghabiskan 1 botol besarnya itu artinya aku akan membawa botol berisi 2500ml itu di punggungku. Itu sangat menyiksaku, lagi-lagi aku hanya bisa pasrah. Hingga akhirnya Rizam menawarkan untuk membantu.
“Sen, sebaiknya botol itu aku yang bawa. Barang bawaanmu di ranselku sudah cukup banyak!” Serunya. Namun Azlan kembali menolak.
“Setiap orang dalam tim punya tanggung jawab masing-masing. Jadi, biarkan Sena melakukan tanggungannya sendiri. Zam!” Rizam pun menurut, aku tersenyum kecut ke arahnya Dira hanya menatap iba sedikit, lagi pula dia cukup menyebalkan dalam urusan kali ini dia tidak ikut membela sama sekali. Lagi pula, hal ini memang tanggung jawabku. Jadi, tidak salah apa pun reaksi mereka.
Setelah acara minum tadi yang cukup panjang, kami melakukan perjalanan hingga tiba di ujung jalan. Kami sudah berada di pinggir danau. Semuanya terpesona dengan keasrian danau ini. Hijau jernih dan tumbuhan di pinggir sungai yang begitu terawat. Azlan menatap peta, benar gumamnya pelan.
Ia menemui salah seorang pemilik kapal, ia berbicara cukup lama di sana. Hingga akhirnya keduanya datang, kami pun naik ke atas perahu yang terbilang cukup besar. Lebih lebar dan lebih panjang dari perahu lainnya.
Azlan memotret beberapa pohon dari atas kapal. “Perjalanan ini membutuhkan waktu 2 jam 15 menit. Untuk tiba di pulau yang akan kita tinggali beberapa hari” Ucapan Azlan membuat Faleya seketika menjawab. “Pulau? “ “Ya, pulau” Tegas Azlan. Faleya membelalakkan mata tak percaya ia bahagia namun sedikit ragu. Ia menatapku aku hanya tersenyum mengangguk berharap semuanya akan menyenangkan. Faleya menatap danau yang begitu jernih. “Jangan di tatap Faleya, atau buaya akan muncul ke permukaan!” Kali ini Faleya sudah sedikit pucat, ia bergidik ngeri dan segera menggeser tubuhnya ke tengah kapal dekat denganku. Namun, hanya itulah yang membuatnya takut. Ia tidak peduli apakah Azlan bercanda atau serius intinya ia bahagia berada di atas kapal ini. Melihat danau dari jauh sudah membuatnya lupa kalimat Azlan barusan. Perjalanan cukup menyenangkan, terpaan angin yang membelai wajah kami dengan perlahan menenangkan kelelahan kami selama berjalan tadi
Matahari hampir terbenam saat kami sampai di perkemahan. Saat kami tiba di sana. Kami telah melihat tenda berdiri tegak, Azlan menatap kami sinis. Aku meketakkan keranjang dan Faleya segera membasuhnya ke danau, Dira menatap Faleya dan segera membantunya. Aku berinisiatif mempersiapkan beberapa peralatan untuk masak. Rizam mencoba membantuku, aku masih diam tak ingin menjelaskan apapun. Entah aku tidak mengerti apa yang Azlan pikirkan dengan ekspresi wajahnya yang terlihat tidak bersahabat seperti ini. Kay diam ia mengambil beberapa karpet untuk di gunakan untuk shlat maghrib nanti. Matahari sudah terbenam dengan sempurna, malam akan datang dan gelap sudah mulai terasa. Aku terus saja memasak, Kay menghidupkan api sebagai penerang mala mini, api itu secepatnya menyala. Kebetulan sedari tadi aku tidak masak di depan tenda melainkan di dalam tenda khusus yang memang sengaja kami buat untuk kepentingan darurat. Kami, beranggapan bahwa aroma masakan mun
Waktu pukul 17.00 saat kami tiba di area perkemahan. Kami segera membersihkan diri dan bersiap untuk shalat magrib. Kebutulan shalat ashar sudah kita kerjakan saat bertugas tadi. Kami mempersiapkan diri dengan baik, setelah shalat maghrib nanti Azlan dan Rizam akan memasak menu makan malam, malam ini sesuai jadwal yang telah di tentukan. Akhirnya, aku bisa duduk di dalam tenda dengan tenang, sambil lalu menunggu waktu maghrib tiba aku menyempatkan diri menulis sesuatu di buku kecil yang ku dapatkan dari Kay saat di atas kapal waktu itu. Buku ini ku jadikan sebagai buku khusus yang mencatat delapan atau lebih kata yang bermakna sebagai kenangan yang bisa kubaca. Buku berwarna-warni ini membuatku semangat untuk menulis setiap hari. Aku tersenyum kemudian menuliskan sesuatu di halaman pertama.. Perjalanan yang indah tidak terlepas dari pengelaman yang bermakna aku menuliskan kalimat pertama di dalam buku diaryku. Aku tersenyum kecut, dalam hati ada sesuatu y
Aku mengangguk meyakinkan kondisiku dalam keadaan baik-baik saja. Rizam mengangguk kecut, semuanya terdiam beberapa saat memikirkan tentang suku kanibal itu, aku pun terpikir hal yang sama. Namun, kepalaku nyeri sesekali saat kupaksa mengingat hal itu. Aku pun mencoba menarik nafas membiarkan rasa lega di dadaku yang sedikit sesak karena terlalu banyak berpikir. “Kalian sudah menunaikan shalat isya’?” Tanyaku mereka semua menggeleng cepat seolah baru tersadar dari lamunan. Azlan melangkah keluar segera mengakhiri pembicaraan kita. Aku menyusulnya semuanya pun demikian. Kami semua bergantian ke danau sebab beberapa orang di antara kami menjaga tenda agar tetap aman. Setelah semuanya selesai, kami mendirikan shalat berlajut dengan makan malam. Nasi yang sudah matang sedari tadi kini sudah hampir dingin, tidak ada asap mengepul lagi di atasnya. Namun masih nikmat untuk di makan. Kami menghabiskan makan malam tanpa percakapan, setelah semuanya selesai aku kembali ke tend
Tugasku sudah selesai Rizam pun demikian kami membereskan semua peralatan penelitian kami. Kami memutuskan untuk berjaga mengambil jadwal lebih awal dari yang sudah di tentukan. Semuanya menyetujui keputusan kami dan mengubah jadwal untuk Minggu ini. “Sebaiknya kita istirahat sesudah subuh saja Sen. Aku pikir kita perlu membuka mata agar penjagaan lebih aman. Tapi jika kamu butuh lebih banyak istirahat kamu bisa istirahat saja dulu nanti ku bangunkan” Ucap Rizam. Sebagai jawaban aku menggeleng tidak setuju. “Aku tidak mengantuk lagi. Tidak apa-apa aku akan berjaga juga sesuai kesepakatan” Jawabku tegas. Angin malam di tengah hutan membuat kulitku menggigil kedinginan. Untunglah, aku membawa jaket dari tenda tadi, sehingga angin dingin tidak menembus tulang-tulangku. Meskipun kami di daerah perkemahan, namun tetap saja suasana hutan memberikan suasana yang berbeda. “Aku penasaran dengan persis apa yang kamu lihat tentang suku kanibal” Rizam menatap ten
“Bagaimana kita akan melakukannya, kapten?” Kay sedikit ragu. Air hujan membasahi wajahnya, ratusan tetes air itu membasahi jas hujan yang membungkus tubuhnya. Azlan menunjuk jas hujannya. “Kita akan mengelabuhi mereka dengan ini” Azlan menatap serius. “Baiklah. Aku ikut” Kay berujar serius. “Kau harus ikut. Tapi dengarkan aku, kau hanya perlu melepas jas hujan. Dan menghilanglah di balik semak-semak. Aku tau kamu pasti paham maksudku, jangan sampai dirimu ketahuan berlari.” Azlan menjelaskan. “Aku paham kapten” Kay tersenyum semangat. Ia merapikan jas hujan dengan seringai singkat di wajahnya. Ada semangat yang tiba-tiba mengobar di dalam jiwanya. Ia sudah geram dengan kelakuan burung-burung itu, terlebih lagi ia geram karena mereka enggan pergi saja tanpa perlu membuat keduanya repot. Sebelum pergi kami melihat burung-burung itu. Jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya. Azlan melihat satu persatu burung itu, ia melihat hal janggal di sana
Kay menatap Azlan berusaha mencari penjelasan. Dari sirat matanya seolah banyak sekali pertanyaan di benaknya. Ia melangkah sedikit lebih dekat ke pembatas pepohonan. Tak hanya cuaca di sini yang aneh karena yang tadinya hujan deras berubah menjadi terik. Namun, cuaca di desa sebelah juga tak kalah aneh yang awalnya terik berubah menjadi hujan deras seketika seperti hujan sebelumnya di daerah desa damai. Meskipun sebelumnya di sana terik panas matahari dan tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Tapi setelah air di dalam kendi itu di tuang pada titik pusat itu, semuanya berbalik seketika. Banyak pertanyaan pula di benak Azlan dengan semua hal yang yang ia lihat sejak tadi. Tidak hanya aneh, ini seolah sihir baginya. Ia pun tidak yakin hujan ini merata di desa damai sebagaimana hujan pada umumnya. “Kapten, ini sulit dijelaskan. Banyak sekali pertanyaan di benakku” Kay masih terus menatap apa yang ada di depannya. Setelah wanita itu menyiram air, ada se
Perjalanan dari perkemahan menuju rumah pak tua berjarak cukup jauh. Sena dan Azlan berjalan beriringan untuk tiba di sana. Tidak ada percakapan antara Sena dan Azlan. Hingga suatu celutukan kecil Azlan membuat atmosfer di antara keduanya lebih baik. “Terima kasih balutan perbannya. Sepertinya lukaku akan sembuh besok” Azlan tertawa menggoda. “Semoga cepat sembuh” Aku menggumam datar. Ia tak menanggapi jawabanku dengan serius, ia justru membuat pernyataan baru. “Ngomong-ngomong soal perban. Kamu cukup gerak cepat dalam berinisiatif” Ujarnya “Hanya agar kamu tetap jadi kapten. Kan tidak mungkin seorang kapten lama-lama cidera” Aku menjawab apa adanya masih terus berjalan melihat pemandangan di samping kanan. “Kupikir ada alasan lain” Azlan berjalan lebih cepat dariku. “Tidak ada hal lain. Yang ada hanya kepedulian kelompok, aku hanya peduli padamu hanya karena kamu seorang kapten di kelompokku.” Aku menjawab jengkel. “Kapten kel
Mereka akhirnya berjalan meninggalkan perkemahan semua barang di kemas dengan baik tanpa menyisakan jejak apa pun. Mereka berjalan beriringan tanpa percakapan. Pikiran mereka menerawang satu sama lain. Perjalanan yang seharusnya sedikit singkat terasa lebih panjang dalam keheningan. Langkah yang tidak pernah di perhitungkan, kini mulai terbilang dan membosankan. Suasana hati, lelah dan segala hal yang terjadi membuat pikiran mereka tidak diam saja. Siapa yang bertahan? Tidak ada. Siapa yang bisa di percaya? Tidak ada. Siapa yang berhak di salahkan? Tidak ada. Ini hanya perjalanan hidup, semuanya akan kembali dan berjuang dalam kehidupan mereka masing-masing. Jangan percaya ucapan tentang kepedulian itu, itu hanya bualan saja. Mereka tak bisa melukai siapa pun. Tapi kau yang di lukai amarahmu, dan juga harapan-harapan itu. Kejadian-kejadian itu terputar ulang dengan jelas. Pertempuran, luka, kematian, semua hal janggal itu tergambar jelas di kepala mereka. Kini, semuanya harus kembal
Pangeran Corlen tersenyum menetralkan suasana pagi. Azlan membalasnya singkat sedikit ramah namun tegas. Ia menjawab kalimat pangeran itu dengan tegas.“Apa yang ingin kau tau?” Azlan mengamati sekitar dengan ekor matanya. Semua prajurit berdiri lebih dekat ke arahnya. Ia tersenyum miring melihat beberapa perubahan yang terjadi.Setiap senyuman hanyalah bingkai, di sini tidak ada yang benar-benar tulus melakukannya. Bahkan jika itu sebuah permainan maka pilihan teraman saat ini adalah ikut bermain. Sekali pun belum paham alur permainan.“Simpel saja, aku hanya ingin tau pembunuh saudaraku” Pangeran Corlen menjawab singkat. Seolah ia paham arah lawan dalam permainannya. Senyumnya masih mengembangkan di wajahnya.“Akan ku jelaskan singkat tentang kami, jika kau mencurigai kami adalah dalang dari pembunuhan.” Azlan menarik nafasnya berat dan menghembuskan dengan cepat. Pangeran Corlen bersiap mendengarkan.“
Sena segera melepaskan gigitannya dari tangan Azlan saat ular itu berlalu di depan mereka. Azlan menatap Sena dengan tatapan tajam. Bukan ular yang menggigitnya, namun Sena yang terkejut spontan membuka mulutnya dan menggigit tangan Azlan yang membekam mulutnya. Sena meminta maaf dan segera mengobati tangan Azlan yang terluka karena giginya. Jujur saja, luka di tangan pasti cukup sakit. Ada darah yang mengucur di tangannya. Azlan terdiam tanpa basa-basi saat Sena cekatan membersihkan lukanya dan membalut dengan hansaplast. Sena merasa sangat menyesal dengan kejadian barusan. Ia tidak ingin menatap Azlan karena rasa gugup yang ia rasakan. Ia merasa telah berbuat tidak baik padanya. “Aku tidak sengaja, maaf!” Gumamnya yang masih terdengar jelas di telinga Azlan. Azlan seketika melepas tangannya dari Sena dan kembali duduk di tempatnya. Sena semakin merasa bersalah. Suara langkah kaki dari pasukan itu mendekat ke arah semak-semak, membuat situasi dingin
Azlan masih menatap mata coklat tua Sena. Ucapan Sena barusan membuat pikirannya terganggu. Ia sedang berusaha membuat semua yang Sena katakan tidaklah benar adanya. Seketika ide briliannya datang, ia tersenyum kemudian menjawab singkat. “Akhirnya kalimat yang kutunggu keluar juga. Aku berhasil membuatmu jatuh dalam perangkapku, nona” Suaranya Azlan masih pelan. Namun intonasi pengucapannya sangat tidak ramah. Kini giliran Sena yang mencemaskan keadaannya yang tengah terpojokkan. Ia memutar otak sedemikian rupa agar dapat membungkam si kapten yang menyebalkan ini. Azlan melihat kecemasan di dalam raut wajah Sena. Dengan senang hati ia berdehem bangga atas jawabannya. “Tentu saja, terkadang seseorang yang punya selera humor rendah suka bercanda tidak tau tempat.” Sena menaikkan sebelah alisnya. Suasana semakin membeku, tiba-tiba saja rasa udara yang panas berubah menjadi sangat dingin dan mencekik. Azlan sekali lagi sadar. Sena tidaklah sama seperti pe
Pagi sudah kembali bersinar setelah beberapa hari lalu. Kehidupan kembali normal. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Kejadian penyerangan, Kay yang terluka. Hingga banyak hal yang mereka alami lainnya.Kini saatnya untuk melanjutkan penelitian yang sempat tertunda. Aku, Azlan, dan Kay sudah bersiap untuk mendapatkan daun herbal baru sebagai formula. Teman-teman yang lain masih menunggu di area perkemahan untuk menjaga-jaga.Kami membawa barang secukupnya. Namun tidak begitu banyak. Hanya satu ransel sedang yang berisi persediaan makanan. Dan beberapa keperluan lainnya yang tidak begitu banyak.Semuanya sudah berdiri di ambang pintu area perkemahan. Kami tersenyum menyemangati. Kami berpamitan setelah semuanya di rasa sudah siap.Perjalanan selalu terasa indah. Namun, tak selamanya satu tim akan selalu bersama. Kadang kita perlu untuk berpisah sejenak untuk menyelesaikan tujuan kami.Kami akan kembali maksimal tujuh puluh dua jam dari waktu kam
Sena Menerima kotak itu dan hendak membukanya. Dira yang penasaran ikut menunggu Sena agar segera melihat apa yang ada di balik kotak itu. Tak sempat membuka kotak itu Azlan dan lainnya datang. Sena menghentikan gerakannya. Mereka semua fokus menyambut Azlan dan yang lainnya. Ia meletakkan kotak itu di samping laptop. Mereka membawa beberapa kebutuhan sehari-hari. Kayu kering, buah-buahan, sayuran dan sebagainya. Mereka membawanya dengan alat dari kayu seadanya. Setelah semuanya di rapikan di tempat yang seharusnya. Dira membawa minuman yang sudah ia buat tadi. Minuman segar yang berasal dari air danau yang sejuk. Ia membuat minuman sejenis squash delight alami. Azlan meraih laptop yang terdiam. Ia menatap Sena yang kini menatapnya balik. “Kau sudah menyusun penjadwalan Minggu ini?” Tanyanya tanpa sedikitpun menyentuh minuman yang dibuat Dira untuknya. Ia mengecek beberapa penjadwalan yang dibuat oleh Sena. Sena tersenyum mengangguk. “
Colven datang dengan tangan terkepal. Raut wajahnya sembab oleh Air mata. Namun tatapannya tajam berapi-api. Ratu Enase menatapnya dengan tatapan sayu. Ratu Enase beranjak hendak menyentuh wajah tampan putranya. Miss Alna menatap keduanya sedikit mengukir senyum memberi ekspresi positif. “Amam” Gumam Colven ia segera menyentuh tangan Ratu Enase. Ratu Enase menyentuh kepala Pangeran Colven. “ Putra Amam. Kemanakah kau akan pergi? Mengapa terlihat rapi sekali, Nak” Ratu Enase menyentuh pundak Colven. Mata Ratu Enase bertanya-tanya mencoba mencari jawaban. Melihat Colven yang sudah siap dengan semua persenjataan dan pakaian yang lebih rapi dari sebelumnya. “ Aku akan pergi Aman, Abam menyuruhku untuk melakukan sebuah misi.” Jawab Colven, ia menyentuh balik tangan Ratu Enase. Ratu Enase menggeleng tidak pasrah dengan ucapan Colven. “ Kemanakah kamu akan pergi Nak? Amam menginginkanmu tinggal di sini.” Belum sempat menjawab ucapan Ratu Enase. Raja
Flashback on. Sesi pemakaman sudah siap. Raja Colse yang sedari tadi melihat putra sulungnya itu hanya bisa melihat pasrah pada tubuh putra sulungnya yang mendingin. Ia menyentuh tangan putranya yang terlipat kaku. Derai airmata membasahi pipinya. Corlen yang duduk di samping ayahnya mencoba tegar menghadapi situasi yang ia alami. Ia melihat sang bunda yang terduduk lemas di samping kakaknya pun tak kuasa ia lihat. Pemandangan ini seolah cambuk bagi dirinya. Bak panah api di hatinya. Dan sebuah tombak yang menghancurkan raganya. Pangeran Corlen yang terlihat sangat belia di ajarkan dewasa oleh keadaan. Hanya ia satu-satunya putra ayahnya hari ini. Ia merasa sangat terpukul dengan kejadian ini. Belum lagi ia melihat tubuh kakak paling baik yang baginya kakaknya lebih dari sekedar saudara. Ia menganggap sang kakak sebagai sahabat yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya. Kini ia meratapi tubuh kaku itu. Tanpa suara hanya ada air mata.
Kini kami berada di atas tikar yang tak pernah di lipat kecuali hujan, itu pun jarang jika kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun begitu ia adalah satu-satunya karpet yang bertahan dari guyuran hujan tanpa basah. Hal itu karena ia terbuat dari plastik tahan air. Karpet berwarna merah tua ini merupakan karpet serbaguna yang biasa digunakan untuk shalat maupun sarapan, makan pagi maupun makan malam. Kami telah membentuk lingkaran bersiap menikmati sarapan pagi bersama. Kay sudah bisa mengondisikan posisi duduknya. Tangannya sudah bisa digunakan meskipun belum sempurna. Goresan panjang itu membuat siapa pun yang melihatnya akan iba. Namun senyum Kay tak pernah lepas dari bibirnya. Ia seolah menjelaskan bahwa ia baik-baik saja dengan lukanya. Kebetulan aku duduk diantara Kay dan Azlan. Aku membagikan piring seperti biasanya. Di lanjutkan dengan Dira dan Faleya yang mengisi piring-piring itu dengan menu. Tapi pagi ini ada sedikit kecangg