Matahari hampir terbenam saat kami sampai di perkemahan. Saat kami tiba di sana. Kami telah melihat tenda berdiri tegak, Azlan menatap kami sinis. Aku meketakkan keranjang dan Faleya segera membasuhnya ke danau, Dira menatap Faleya dan segera membantunya. Aku berinisiatif mempersiapkan beberapa peralatan untuk masak.
Rizam mencoba membantuku, aku masih diam tak ingin menjelaskan apapun. Entah aku tidak mengerti apa yang Azlan pikirkan dengan ekspresi wajahnya yang terlihat tidak bersahabat seperti ini. Kay diam ia mengambil beberapa karpet untuk di gunakan untuk shlat maghrib nanti. Matahari sudah terbenam dengan sempurna, malam akan datang dan gelap sudah mulai terasa.
Aku terus saja memasak, Kay menghidupkan api sebagai penerang mala mini, api itu secepatnya menyala. Kebetulan sedari tadi aku tidak masak di depan tenda melainkan di dalam tenda khusus yang memang sengaja kami buat untuk kepentingan darurat. Kami, beranggapan bahwa aroma masakan mungkin bisa menggangu desa kacau yang kata pak tua mereka memliki kepribadian aneh. Karena kita memilih tempat disini, kami juga mengambil resiko untuk perjalanan dan misi ini.
Aku bingung dengan diriku sendiri, mengapa semua orang diam saat aku dan Faleya datang. Kami hanya melakukan apa yang harusnya di lakukan, tapi mengapa malah seperti erba salah seperti ini. Kami segera menunaikan shalat maghrib berjamaah, seperti sebelumya kami pun berzikir namun kali ini lebih panjang. Setalah nenerapa saat kami menunaikan shalat dan berdo’a. Kami mempersiapkan makan malam, Dira membantu membawakan barang, Kay membawa piring, Rizam membawa nasi yang baru saja matang, udara mengepul tatkala kami membuka tutupnya untuk megeluarkan uap.
“Aku tidak sabar ingin segera menyantapnya!” Seru Rizam, ia telah mengambil bagiannya” Kay mencoba mengusiknya.
“ Aku tidak yakin, makan malam ini cukup untuk kita semua. Jika gerakanmu selalu secepat ini” Kami semua terawa, ucapan keduanya mencairkan suasana. Aku mengambil piring dan sendok lalu mengulurkannya pada Kay karena dia duduk tidak jauh dariku. Kay mengambilnya dan tersenyum berterima kasih. Dira menatapku, kemudian segera mengambil piring dan menjulurkannya kepada Azlan.
Aku mengisayaratkan alis menatap Dira penyiratkan pertanyaan mengenai apa yang barusan ia lakukan. Ia tidak menjawab dan menatapku dengan senyum sedikit terpaksa. Mengapa semua orang bersikap aneh sejak tadi pikirku dalam hati.
Kay mengambil sayuran dan mencicipinya, sekali lagi ia mengulangi hal yang sama. Aku harap cemas dibuatya, pikiranku langsung mengarah kepada pikiran yang buruk mengenai komentar masakanku. Namun di luar dugaanku, Kay menyantapnya dengan lahap.
“Ini lebih enak dari yang pernah aku rasakan sebelumnya!” Serunya. Faleya membenarkan ia mengambil dua sendok sayur kemudian menambahkannya ke daam piringnya. Semuanya berkomentar hal yang sama Azlan tidak banyak berkomentar ia hanya mengangguk sesekali membenarkan komentar yang lain. Tapi itu sudah lebih dari cukup unutkku. Aku bisa menghela nafas lega dengan apa yang aku lakukan sekali lagi.
Setelah menunaikan shalat isya’ kami segera berkumpul di karpet yang sama untuk membuat agenda baru untuk besok. Kami membawa beberapa peralatan yang kami bawa dari penginapan kemarin. Aku mengecek ponsel di tengah-tengah kesibukan mengumpulkan barang, aku menyalakannya dan memencet tombol dial aku harus menghubungi nomor ini secepatnya. Panggilan tak terjawab berkali-kali terpampang di layar ponselku,waktu penelpon juga begitu lama dari panggilan itu berlangsung. Ada perasaan bingung di campur khawatir tatkala panggilan berakhir otomatis.
Aku mengecek jaringan di pojok kanan atas ponselku di sana terdapat simbol x yang berarti tidak ada jaringan. Aku menyesal dalam hati dan berniat mencari sinyal esok hari. Aku menutup ponselku dan menyimpannya kembali.
Aku mengeluarkan flashdisk. Aku meminjam laptop Azlan untuk mempernaharui data yang terbaru. Dengan bermodalkan buku catatan yang selalu aku bawa kemana pun aku pergi, aku berhasil menemukan beberapa hal sebagai tambahan dari laporan mengenai misi kami. Aku membuka laptop sekali lagi, dan mungkin akan selalu teringat dengan maslah passwords itu lagi. Aku sangat bersemangat mengetik berbagai macam kalimat di dalamnya dan gesit menambah kalimat yang perlu.
15 menit berlalu, dan Azlan membuka rapat suasana yang sangat asing namun akan menjadi kebiasaanku sebulan terakhir. Dalam beberapa kesempatan aku pernah mengalami hal seperti ini di rumah tapi kami melakukannya bersama keluarga sehingga tidak ada rasa takut di antara kami. Sedangkan di sini, kami berada di daerah pedalaman tanpa adanyal jaringan untuk menelpon, internet, tidak ada lampu dan tidak ada fasilitas apa pun itu. Aku menghela nafas menatap api unggun di samping kami.
Sedangkan di kanan dan di kiri kami tidak ada lampu sama sekali, gelap gulita menyelimuti. Rasa takut pasti ada, tapi aku tidak merasa kesepian mereka membuatku sedikit berani meskipun sebelumnya kami dan para lelaki dari tim ini tidak pernah mengenal sama sekali sebelumnya. Bagi kami, setiap perkenalan adalah anugerah dan setiap perpisahan meninggalkan sejarah. Aku mencoba meyakinkan diriku berharap apa yang aku alami ini akan menjadi pengalaman terbaiki, hanya bermodalkan tekad, tak ada yang bisa menghentikanku. Hidupku adalah bagianku, aku tidak berkesempatan lain selain mengetahui jati diiriku sendiri. Bahkan hingga saat ini aku belum paham soal jati diri.
Justru di sini lah aku ingin mengenal diriku lebih jauh, memahami jiwaku cukup dalam, mendengarkan kata hatiku dengan tenang dan mengasah pemikiranku agar bisa lebih tepat dan berpkir cemerlang. Aku memegang kepalaku mencooba mentralisasikan keadaan. Menarik nafas perlahan dan merilekskan pikiranku.
“ Seperti yang kita tahu, misi kita bukanlah misi biasa, ini bukan proses menghabiskan liburan dengan santai. Tapi ini adalah proses memahami liburan dengan konsep yang berbeda. Biasanya selama ini kita menikmati liburan dengan aktivitas yang menyenangkan seperti berlibur ke tempat wisata dan sebagainya.” Azlan menarik nafas.
“Misi ini sangat sensitive kita harus peka menganalisis, memahami dengan kejelian, berpikir cepat dan tepat yakni dengan menyimpulkan berbagai penelitian tanpa banyak kata namun sarat makna.” Ia menarik nafas lagi memandang kami satu-persatu. Bentuk posisi kami yang melingkar membuatnya memperhatikan kami dengan seksama. Kami diam menatapnya. Ia mengangguk sebagai kesepakatan.
“Semua akan menjalankah misi sesuai dengan yang di perintahkan!” Serunya menyulurkan kertas satu persatu kepada kami. Kami membaca kertas itu dengan seksama. Azlan menjelaskan apa yang ada did ala kertas itu. Aku mencoba mendeengarkan meskipun tau hamper tak sebagian apa yang Azlan jelaskan ku dengarkan dengan baik.
“ Setelah membaca itu dengan seksama, kalian akan paham di sektor apa kalian akan menjalankan misi. “ Ujarnya dengan serius. Mendengar itu aku tersentak kaget dan memandang kertas kembali, membacanya sekali lagi dengan lebih teliti. Kali ini aku menggunakan fikiranku seratus persen. Aku pun mengangguk mengerti dengan ucapan Azlan.
Kali ini kami melakukan kegiatan rutin yang sudah disepakati kami, yakni penjagaan bergilir yang akan kami sampai misi kami selesai. Malam ini Kay akan bertugas dengan Rizam. Dan tugas itu akan dilakukan setelah pertemuan ini berakhir. Untuk yang belum melakukan tugas apa pun disarankan untuk tidur agar nanti bisa menggantikan yang berjaga sesuai jadwal. Malam ini aku tidak berjaga malam tapi aku memiliki misi lain yang lebih penting.
Setelah pertemuan usai aku menjalankan tugasku. Alhasil, setelah hampir Sembilan puluh menit berkutat dengan laptop aku mengusap wajahku. Rasa kantuk sudah mulai menguasai diriku, tapi pekerjaanku masih sisa seperempat mungkin tiga puluh menit lagi cukup untukku menyelesaikannya hiingga akhir.
Aku menguap berkali-kali. Rasa kantukku sudah terasa begitu hebat. Bahkan berkali-kali mataku terpejam tanpa sadar. Sekali lagi aku sudah tidak sadar, dan mataku terpejam. Hingga seseorang datang menyuruhku untuk istirahat. Aku pun tersadar dari tidur yang begitu singkat, mengucek kedua mataku perlahan agar kantukku hilang.
“ Pergilah ke tenda dan beristirahatlah, biar aku yang mengerjakan sisanya” Seru kay dengan ramah. Ia mengambil laptop dan mengetikkan setiap kalimat yang berada di buku catatan ke daftar laporan. Ia tersenyum sekali lagi, aku menggeleng dengan sikapnya, bagiku tanggungjawabku adalah milikku orang lain tidak bisa mengerjakannya hanya karena aku kelelahan. Aku mengambil kembali laptop itu, Kay menatap bertanya.
“ Tugasku adalah milikku. Terima kasih atas tawaranmu. Kembalilah, menjalankan tugasmu. Aku akan menyelesaikan ini secepatnya. “ Aku menggeleng tegas.
“ Aku hanya ingin membantumu, kita adalah tim” Serunya.
“ Aku tidak tau, apakah setelah ini kamu akan berpikir aku adalah perempuan yang keras kepala atau tidak. Tapi aku harap, kamu tidak berpikir aku bertinggi hati untuk menerima tawaranmu, tapi aku tidak ingin menjadi manja akan hal itu. Kamu pasti paham.” Jelasku dan meninggalkan Kay dan membawa laptop. Aku duduk lebih jauh dari Kay, tak ada yang kupikirkan lagi selain dengan menyelesaikannya dengan cepat dan tepat. Dengan tingkat fokus yang cukup tinggi aku sudah hampir menyelesaikannya.
“ Aku membutuhkan laptopku, apa tugasmu sudah selesai?” Suara khas itu mengganggu telingaku. Aku menggeleng mendengarnya tanpa menoleh.
“ Sedikit lagi” Gumamku.
“ Ini sudah lebih dari waktumu mengerjakan tugas” Nadanya meninggi. Aku menggerutu kesal.
“ Lebih berapa menit?” Tanyaku mengangkat wajah.
“ it’s thirty second” Dia menjawab cepat. Aku menatap jam yang melingkar di pergelangan tanganku.
“ Aku tidak tau jam milikmu yang rusak, atau jam itu memang tidak kau setel dengan benar.” Ujarku menatapnya tajam.
“ Kau mengejekku?” Tanyanya. Aku mengangguk.
“ Lebih tepatnya, membenarkan apa yang seharusnya kuucapkan. Aku tidak tahu jika kamu merasa demikian. “ Ponselku bordering, notifikasi alarm terdengar. Aku sengaja menyetel ponselku setiap mengerjakan sesuatu dengan alarm. Sehingga apa yang aku lakukan tidak pernah lebih dari batas yang ditentukan.
Aku menunjukkan ponselku mendekatkan ke wajahnya agar ia melihat dengan seksama. Kemudian mengulurkaan laptop setelah mencabut flashdisk milikku di sana. Aku pergi meninggalkannya setelah ia menerima laptop itu.
Aku memasuki tenda dengan mood yang kurang menyenangkan. Dan bergegas membaringkan tubuhku agar rasa jengkelku hilang, cahaya lampu damar yang samar-samar menerangi tenda kami dengan lembut. Tapi, suara-suara jangkrik yang bersahutan di belakang tenda kami menggangguku apalagi moodku masih belum stabil. Sedangakan Faleya dam Dira telah tertidur tanpa gangguan, aku membolak-balikkan tubuhku kadang miring ke kanan, atau sebaliknya yakni miring ke kiri begitu terus dan berulang. Hingga akhirnya, aku menatap langit-langit tenda yang berbentuk kerucut, perlahan memejamkan mata dan tertidur.
Aku bangun tepat ketika jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Aku berinisiatif membangunkan kedua temanku. Tapi merek ajuga telah bangun, dengan keadaan memakai mukenah. Mereka tersenyum dan menyuruhku istirahat beberapa saat lagi, tapi menolak tidak setuju. Mereka tidak memaksaku lagi.
“ Mengapa kalian tidak membangunkanku” Aku segera beranjak dari tempatku.
“Kami pikir kamu masih lelah, kami tidak sampai hati membangunkanmu.” Dira menjawab lembut. Aku pun menggeleng.
“ Tidurku cukup. Jika lebih dari ini, dan kalian tidak membangunkanku. Aku pasti akan sangat marah” Aku tersenyum di akhir kalimatku. Keduanya tersenyum dengan lebar.
Aku segera ke danau dengan membawa senter. Faleya menawarkan untuk menemaniku dan kami berdua berangkat. Ada keraguan di dalam diriku, aku di kuasai oleh rasa khawatir dan cemas.
Entah mengapa terlintas di pikiranku tentang buaya, aku mencemaskan buaya tiba-tiba muncul di danau ini. Namun, aku segera menepis pikiran itu, pikiran ini bisa membuatku mengalami ketakutan berlebih sehingga sulit bagiku untuk menenangkan hati. Dengan memaksakan diri perlahan rasa khawatirku hilang, aku mulai menyentuh air. Air sungai terasa begitu dingin menyentuh kuliku, namun sedingin apa pun air pagi ini kami tidak pernah surut untuk melakukan kebiasaan kami apalagi jika itu adalah kewajiban kami.
Setelah mencuci muka dan mengambil wudhu’ kami segera ke tenda lagi. Dira sedang mendirikan shalat, kami pun melakukan hal yang sama. Setelah itu sambil lalu menunggu waktu subuh tiba, aku mengambil buku dan membacanya. Buku, bersampul warna mint ini, membuatku penasaran dengan ceritanya beberapa hari terakhir sebelum berangkat. Itulah, mengapa aku membawanya untuk menyelesaikan bacaan yang tersisa.
Dira mengeluarkan buku ia mencatat sesuatu. Faleya kembali membaringkan diri sambil membaca buku hariannya. Ia mencoba menulis sesuatu di sana. Ia mendekat kea rah lamppu damar, dan melanjutkan apa yang ingin ia tulis. Posisi kami saat ini adalah duduk bersisian karena keterbatasan cahaya.
Setelah menunaikan sholat kami menyiapakan makanan. Kali ini kami bertiga melakukan tugas yang sama. Karena kayu bakar masih tersisa banyak sehingga tidak perlu lagi mencari kayu bakar hingga kayu habis. Jujur saja, dari kemarin aku mengerjakn tugasku dengan kaku, karena aku tidak menggunakan api manual seperti ini. Mungki bukan hanya aku tapi semua orang yang ada disini.
Sehingga, aku harus bekerja keras untuk membuat masakan dengan kematangan yang sesuai. ini adalah bagian dari pendidikan! Aku berseru dalam hati. Kami menggunakan peralatan seadanya dan menu masakan seadanya. Matahari sudah mengeluarkan sinarnya meskipun sedikit.
Kami telat selesai memasak. Saatnya untuk menyantap sarapan pagi ini. Tak butuh waktu lama kami segera menyantap masakan yang tersedia dengan lahap karena tugas berat tengah menanti kami untuk segera dimulai.
Kami mempersiapkan diri dengan baik tak lupa pula kami mengemasi barang yang mungkin akan diperlukan. Setelah siap dan berdo’a kami pun memulai perjalanan. Semangat membara begitu saja dalam pikiranku. Sedikit mengucap do’a lagi dalam hati aku melangkahkan kaki menyusuri hutan, tugas kali ini aku meneliti dengan Rizam kami memiliki target dengan beberapa pohom di sekitar sini. Kami pun berpencar menjadi tiga bagian yang masing-masing memiiki tugas penting.
Kebetulan tugas pertamaku dan Rizam yakni bertugas mengamati tanaman yang bisa di jadikan obat. Meskipun dia gemar makan dan gemar menikmati setiap menu-menu baru, ia tidak pernah lalai mengerkan tugasnya, baginya makan dan tugas saling melengkapi. Sehingga meskipun ia suka bercerita tentang masakan, ia tidak lupa caranya menjadi peneliti. Dia pandai mengatur porsi dengan baik.
Ia menghentikan langkahnya pada salah satu tumbuhan. Ia mengamati bentuk tumbuhan itu dengan teliti. Aku pun ikut mengamatinya tumbuhan ini tidak asing dimataku.
“ Sen, kamu tahu ini tumbuhan apa?” Dia bertanya, namun masih menatap tumbuhan dengan teliti seolah ada sesuatu yang menarik di sana.
“ Ini tidak asing di mataku, tapi aku tidak tahu apa namanya.” Aku ikut berjongkok mengamati tumbuhan ini. Ia tersenyum menatap tumbuhan itu. Aku mencoba mengamati lebih dekat, tapi tetap tidak mengetahui apa-apa.
“ Ini adalah tumbuhan yang sangat familiar Sen,” Dia mencoba menjelaskan.
“ Ini tanaman yang biasanya akan menjadi alternatif kita waktu kecil. “
“ Alternatif?” Aku mengerutkan kening.
“ Iya ketika kita luka biasanya kita akan mengambil ini untuk mengobati luka kita” Rizam menjelaskan. Aku mengangguk mencerna kalimatnya, mencoba mengingat-ingat.
Seketika,,
Suara benturan terdengar, hewan-hewan mengaum, suara tembak terdengar, suara ledakan terdengar samar.
Aku memegang kepalaku, Rizam segera memegang lenganku. Kepalaku sedikit nyeri, seperti melihat sesuatu tapi rasa sakit itu sudah pergi dengan sendirinya. Aku melepaskan tangan Rizam dan tersenyum ke arahnya. Mencoba menjelaskan aku baik-baik saja, ia masih mengamati kondisiku, aku tetap meyakinkannya.
Ia akhirnya mengalah dan mengangguk. Kemudian kami melanjutkan tugas kami, aku segera mengambil buku dan pen. Aku berusaha terlihat sehat agar Rizam tidak mencurigai apa pun.
***
Di sudut lain, Kay dan Faleya menatap beberapa jamur yang tumbuh di sekitar danau. Kay meneliti jamur-jamur itu, ia mencoba memotong menggunakan guntingkecil khusus. Ia ingin meniti jamur itu. Kebetulan dirinya dan Faleya bertugas meneliti tumbuhan yang dapat di konsumsi.
Faleya tidak memperhatikan Kay ia sibuk menimpuk nyamuk yang bertengger di depan wajahnya. Ia geram setelah berkali-kali menimpuk nyamuk-ntamuk itu namun tidak ada satu pun yang mengenainya. Sesekali ia meloncat dan kembali sibuk menatap buku saat Kay menoleh.
Kay memberikan potongan jamur pada Faleya tanpa menoleh. Namun, Faleya enggan menerimanya. Ia masih sibuk bertarung dengan nyamuk-nyamuk itu, ia sampai tidak sadar dengan tangan Kay yang sudah sedaritadi mengulurkan jamur terbungkus plastic bersih.
Hingga Kay menoleh dan menatap Faleya heran, ia menurunkan tangannya. Dan berdiri, Faleya yang membelakanginya tidak sadar bahwa Kay kini memfokuskan pandangannya ke arahnya seratus persen. Faleya kaget saat mengetahui bahwa Kay telah berdiri di depanya saat ia berbalik. Kay menatapnya sambil menyilangkan kedua tangannya. Ia menatap nyamuk dan menimpuk sekali tepuk dua nyamuk mati di telapak tangannya.
Faleya bingung sambil membelalakkan matanya, ia mencoba menimpuk nyamuk itu berkali-kali namun ia gagal. Dan sekarang ia meihat Kay sekali tepuk sudah membunuh dua nyamuk. Faleya mengalihkan perhatian dengan membuka buku catatannya mencoba mencatat apa yang perlu di catat.
“ Selanjutnya” Ia mencoba sibuk mencatat. Kay mengambil buku catatannya, dan melihat buku catatan yang masih kosong. Kay membalikkan buku itu menghadap ke arah Faleya.
“ Coba di baca Fal, sepertinya aku tidak bisa membaca tulisanmu!” Serunya tegas, tersirat marah di matanya.
“ Aku tidak akan mengulanginya, maafkan aku Kay” Gumam Faleya. Kay mengembalikan buku catatan kepada Faleya.
“ Aku tidak menerima permintaan kedua kalinya Fal!” Ia berseru sekali lagi. Faleya mengangangguk cepat dan menerima buku itu lengkap dengan jamur yang sudah di bungkus rapi. Ia kemudia mencatat setiap kalimat yang perlu di catat. Sesekai ia menimpali apa yang perlu, kali ini dia sudah berubah menjadi sangat profesional. Nyamuk itu sudah tidak menjadi hambatan baginya. Ia sudah tidak peduli, tatapan Kay dan ucapannya membuatnya fokus berkali-kali. Bahkan jika di depannya kini ada kaca pun tetap akan ia injak demi mengikuti langakah Kay karena takutnya ia membuat kesalahan lagi.
Setelah merasa cukup, ia beralih jenis jamur yang lain yang jaraknya tidak begitu jauh. Faleya sudah mencatat banyak kalimat di buku catatannya. Ia menghabiskan lima lembar untuk bab awal yang baru saja di bahas, ia mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangan. Ia seperti kelelahan mencatat dan menambahkan kalimat-kalimat itu.
Ini bukanlah suatu hal yang sulit, sebab sebelum kami bergabung dengan tim. Kami telah di tempa bamyak tes, tidak hanya tes tulis atau lisan. Kami juga melewati tes fisik, tes IQ, tes pencatatan cepat, tes mental, tes bakat, dan tes lainnya yang lebih sederhana.
Kami menikmati setiap tes, namun tidak semua tes itu bisa dinikmati, ada kalanya kami pura-pura menikmatinya. Dalam artian tes tidak berjalan dengan baik sehingga kami harus mempersiapkan tes remidi sebagai harapan terakhir. Namun, beruntung! Tim kami tidak ada yang jatuh pada remidi setelah tes. Kami cukup tidak percaya bisa satu tim antara satu dengan lainnya. Kami dari jurusan yang berbeda, namun kami mencintai petualangan dan Alam itulah yang membuat kami berada di sini bersama.
***
“ Getah tanaman ini mengandung racun dosis rendah. Kandungan nya antara lain lobelin, lobelamin, isotomin, saponin, flavonoid, dan pelifenol. Sifat tumbuhan ini ialah sebagai zat antiimflasi, anti kanker, analgesic, dan hemostatik.
Khasiatnya antara lain untuk mengobati sakit gigi, sakit mata, obat asma, obat radang tenggorokan dan mampu menyembuhkan luka. Selain itu tumbuhan ini dapat di temukan di dekat peraianatau tanah lembab.” Azlan mengamati tumbuhan yamg memiliki daun hijau tua dan bergerigi itu. Azlan dan Dira beda di sudut danau yang lain mereka mencari beberapa tumbuhan yang bisa di gunakan sebagai pengobatan alami tanpa efek samping.
Azlan meneliti beberapa daun dan bunga, Dira tampak begitu lelah. Tampak bahwa tangannya sudah kram karena menulis berlembar-lembar tulisan tangan di bukunya.ia sangat senang sekaligus khawatir satu kelompok dengan Azlan. Senangnya karena ia bisa melakukan sesuatu dengan perintah sang komandan jadi tidak ada keraguan terhadap perintah di dalamnya. Namun, khawatirnya ia tidak bisa membuat sedikitpun kesalahan atau ia akan memperpanjang waktu bersama Azlan satu kali lagi. Itulah masalahnya, ia tidak biasanya bekerja di bawah tekanan meskipun ia selalu bekerja keras sebelumnya.
“ Tidak ada keterangan yang tertinggal?” Azlan bertanya.
“ Tidak, aku juga sudah menambahi beberapa kalimat yang perlu” Dira menjawab kokoh.
“Bagus setelah ini kita akan memperdalam satu peneitian. Pastinya partner saya sudah bukan kamu” Azlan menjelaskan.
“ Kamu adalah partner saya yang paling cekatan” Tambahnya. Dira bersyukur dalam hati itu artinya setelah ini ia akan satu partner dengan orang lain.
“ Tentu, Tim butuh ke kompakan dan ketelitian. Kita akan segera menyelesaikan ini’ Ia mengangguk tegas. Azlan mengangguk ia mengulurkan daun-daun itu dan beberapa bagian lain dari tumbuhan itu kepada Dira. Ia segera menyimpannya dan melanjutkan beberapa tugas yang masih tertunda.
Waktu pukul 17.00 saat kami tiba di area perkemahan. Kami segera membersihkan diri dan bersiap untuk shalat magrib. Kebutulan shalat ashar sudah kita kerjakan saat bertugas tadi. Kami mempersiapkan diri dengan baik, setelah shalat maghrib nanti Azlan dan Rizam akan memasak menu makan malam, malam ini sesuai jadwal yang telah di tentukan. Akhirnya, aku bisa duduk di dalam tenda dengan tenang, sambil lalu menunggu waktu maghrib tiba aku menyempatkan diri menulis sesuatu di buku kecil yang ku dapatkan dari Kay saat di atas kapal waktu itu. Buku ini ku jadikan sebagai buku khusus yang mencatat delapan atau lebih kata yang bermakna sebagai kenangan yang bisa kubaca. Buku berwarna-warni ini membuatku semangat untuk menulis setiap hari. Aku tersenyum kemudian menuliskan sesuatu di halaman pertama.. Perjalanan yang indah tidak terlepas dari pengelaman yang bermakna aku menuliskan kalimat pertama di dalam buku diaryku. Aku tersenyum kecut, dalam hati ada sesuatu y
Aku mengangguk meyakinkan kondisiku dalam keadaan baik-baik saja. Rizam mengangguk kecut, semuanya terdiam beberapa saat memikirkan tentang suku kanibal itu, aku pun terpikir hal yang sama. Namun, kepalaku nyeri sesekali saat kupaksa mengingat hal itu. Aku pun mencoba menarik nafas membiarkan rasa lega di dadaku yang sedikit sesak karena terlalu banyak berpikir. “Kalian sudah menunaikan shalat isya’?” Tanyaku mereka semua menggeleng cepat seolah baru tersadar dari lamunan. Azlan melangkah keluar segera mengakhiri pembicaraan kita. Aku menyusulnya semuanya pun demikian. Kami semua bergantian ke danau sebab beberapa orang di antara kami menjaga tenda agar tetap aman. Setelah semuanya selesai, kami mendirikan shalat berlajut dengan makan malam. Nasi yang sudah matang sedari tadi kini sudah hampir dingin, tidak ada asap mengepul lagi di atasnya. Namun masih nikmat untuk di makan. Kami menghabiskan makan malam tanpa percakapan, setelah semuanya selesai aku kembali ke tend
Tugasku sudah selesai Rizam pun demikian kami membereskan semua peralatan penelitian kami. Kami memutuskan untuk berjaga mengambil jadwal lebih awal dari yang sudah di tentukan. Semuanya menyetujui keputusan kami dan mengubah jadwal untuk Minggu ini. “Sebaiknya kita istirahat sesudah subuh saja Sen. Aku pikir kita perlu membuka mata agar penjagaan lebih aman. Tapi jika kamu butuh lebih banyak istirahat kamu bisa istirahat saja dulu nanti ku bangunkan” Ucap Rizam. Sebagai jawaban aku menggeleng tidak setuju. “Aku tidak mengantuk lagi. Tidak apa-apa aku akan berjaga juga sesuai kesepakatan” Jawabku tegas. Angin malam di tengah hutan membuat kulitku menggigil kedinginan. Untunglah, aku membawa jaket dari tenda tadi, sehingga angin dingin tidak menembus tulang-tulangku. Meskipun kami di daerah perkemahan, namun tetap saja suasana hutan memberikan suasana yang berbeda. “Aku penasaran dengan persis apa yang kamu lihat tentang suku kanibal” Rizam menatap ten
“Bagaimana kita akan melakukannya, kapten?” Kay sedikit ragu. Air hujan membasahi wajahnya, ratusan tetes air itu membasahi jas hujan yang membungkus tubuhnya. Azlan menunjuk jas hujannya. “Kita akan mengelabuhi mereka dengan ini” Azlan menatap serius. “Baiklah. Aku ikut” Kay berujar serius. “Kau harus ikut. Tapi dengarkan aku, kau hanya perlu melepas jas hujan. Dan menghilanglah di balik semak-semak. Aku tau kamu pasti paham maksudku, jangan sampai dirimu ketahuan berlari.” Azlan menjelaskan. “Aku paham kapten” Kay tersenyum semangat. Ia merapikan jas hujan dengan seringai singkat di wajahnya. Ada semangat yang tiba-tiba mengobar di dalam jiwanya. Ia sudah geram dengan kelakuan burung-burung itu, terlebih lagi ia geram karena mereka enggan pergi saja tanpa perlu membuat keduanya repot. Sebelum pergi kami melihat burung-burung itu. Jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya. Azlan melihat satu persatu burung itu, ia melihat hal janggal di sana
Kay menatap Azlan berusaha mencari penjelasan. Dari sirat matanya seolah banyak sekali pertanyaan di benaknya. Ia melangkah sedikit lebih dekat ke pembatas pepohonan. Tak hanya cuaca di sini yang aneh karena yang tadinya hujan deras berubah menjadi terik. Namun, cuaca di desa sebelah juga tak kalah aneh yang awalnya terik berubah menjadi hujan deras seketika seperti hujan sebelumnya di daerah desa damai. Meskipun sebelumnya di sana terik panas matahari dan tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Tapi setelah air di dalam kendi itu di tuang pada titik pusat itu, semuanya berbalik seketika. Banyak pertanyaan pula di benak Azlan dengan semua hal yang yang ia lihat sejak tadi. Tidak hanya aneh, ini seolah sihir baginya. Ia pun tidak yakin hujan ini merata di desa damai sebagaimana hujan pada umumnya. “Kapten, ini sulit dijelaskan. Banyak sekali pertanyaan di benakku” Kay masih terus menatap apa yang ada di depannya. Setelah wanita itu menyiram air, ada se
Perjalanan dari perkemahan menuju rumah pak tua berjarak cukup jauh. Sena dan Azlan berjalan beriringan untuk tiba di sana. Tidak ada percakapan antara Sena dan Azlan. Hingga suatu celutukan kecil Azlan membuat atmosfer di antara keduanya lebih baik. “Terima kasih balutan perbannya. Sepertinya lukaku akan sembuh besok” Azlan tertawa menggoda. “Semoga cepat sembuh” Aku menggumam datar. Ia tak menanggapi jawabanku dengan serius, ia justru membuat pernyataan baru. “Ngomong-ngomong soal perban. Kamu cukup gerak cepat dalam berinisiatif” Ujarnya “Hanya agar kamu tetap jadi kapten. Kan tidak mungkin seorang kapten lama-lama cidera” Aku menjawab apa adanya masih terus berjalan melihat pemandangan di samping kanan. “Kupikir ada alasan lain” Azlan berjalan lebih cepat dariku. “Tidak ada hal lain. Yang ada hanya kepedulian kelompok, aku hanya peduli padamu hanya karena kamu seorang kapten di kelompokku.” Aku menjawab jengkel. “Kapten kel
Mereka tiba sebelum matahari terbenam. Azlan tiba saat yang lainnya baru saja tiba di perkemahan. Matahari sudah berwarna jingga pekat. “Kita akan bersiap menunaikan shalat Maghrib sebelum memulai penjelasanku” Azlan memerintahkan semuanya untuk bersiap sesaat setelah menyimpan kayu dan bahan makanan di tempat khusus. Semuanya bersemangat melihat raut wajah Azlan yang terlihat begitu ceria saat mengucapkan kalimat itu. Tanda baik sedang ia tampakkan meskipun nyatanya tidak demikian. Ia mencoba membuat teman-temannya sedikit merasa lebih baik. “Kau bisa membersihkan diri dan bersiap untuk misi besok dan seterusnya. Kita tidak punya waktu bersantai.” Azlan berbisik di telinga Sena. Sena terdiam datar tanpa anggukan atau jawaban. Setelah kalimat itu selesai Azlan menjauh meninggalkan tenda menuju danau untuk membersihkan diri. Gelap sudah menyelimuti langit di atas sana. Sena, Dira dan Faleya bersiap mengenakan mukenah di dalam tenda. Mereka menunggu Maghrib di
Malam telah berlalu. Pagi telah datang memancarkan cahayanya sebagaimana biasa. Tugas susul-menyusul menungguku. Diariku telah mencapai lembar ke delapan, sebagaimana aku mengisinya dengan catatan-catatan singkat tentang kesanku menjalani hari-hari. Aku menyimpan diari, dan kembali berkutat dengan ponselku yang sepi tanpa bunyi notifikasi. Semuanya beraktivitas sebagaimana seharusnya. Tidak ada hujan yang melanda, tidak ada mendung yang menyelimuti langit perkemahan. Udara lebih sejuk dari sebelumnya, seolah terapi bagi otakku yang akhir-akhir ini sering pusing dan sering melihat sekilas memori lama dalam hidupku. Perkemahan ini adalah rumah kedua kami beberapa hari terakhir. Dira menjemur pakaian kotor di belakang tenda. Ah iya, kehidupan kami di sini persis sama seperti kehidupan di rumah. Memasak, mencuci, menyapu dan kegiatan lainnya yang juga tak kalah merepotkan di samping bertugas. Tapi kami melakukannya bersama-sama lagi pula teman-teman lainn
Mereka akhirnya berjalan meninggalkan perkemahan semua barang di kemas dengan baik tanpa menyisakan jejak apa pun. Mereka berjalan beriringan tanpa percakapan. Pikiran mereka menerawang satu sama lain. Perjalanan yang seharusnya sedikit singkat terasa lebih panjang dalam keheningan. Langkah yang tidak pernah di perhitungkan, kini mulai terbilang dan membosankan. Suasana hati, lelah dan segala hal yang terjadi membuat pikiran mereka tidak diam saja. Siapa yang bertahan? Tidak ada. Siapa yang bisa di percaya? Tidak ada. Siapa yang berhak di salahkan? Tidak ada. Ini hanya perjalanan hidup, semuanya akan kembali dan berjuang dalam kehidupan mereka masing-masing. Jangan percaya ucapan tentang kepedulian itu, itu hanya bualan saja. Mereka tak bisa melukai siapa pun. Tapi kau yang di lukai amarahmu, dan juga harapan-harapan itu. Kejadian-kejadian itu terputar ulang dengan jelas. Pertempuran, luka, kematian, semua hal janggal itu tergambar jelas di kepala mereka. Kini, semuanya harus kembal
Pangeran Corlen tersenyum menetralkan suasana pagi. Azlan membalasnya singkat sedikit ramah namun tegas. Ia menjawab kalimat pangeran itu dengan tegas.“Apa yang ingin kau tau?” Azlan mengamati sekitar dengan ekor matanya. Semua prajurit berdiri lebih dekat ke arahnya. Ia tersenyum miring melihat beberapa perubahan yang terjadi.Setiap senyuman hanyalah bingkai, di sini tidak ada yang benar-benar tulus melakukannya. Bahkan jika itu sebuah permainan maka pilihan teraman saat ini adalah ikut bermain. Sekali pun belum paham alur permainan.“Simpel saja, aku hanya ingin tau pembunuh saudaraku” Pangeran Corlen menjawab singkat. Seolah ia paham arah lawan dalam permainannya. Senyumnya masih mengembangkan di wajahnya.“Akan ku jelaskan singkat tentang kami, jika kau mencurigai kami adalah dalang dari pembunuhan.” Azlan menarik nafasnya berat dan menghembuskan dengan cepat. Pangeran Corlen bersiap mendengarkan.“
Sena segera melepaskan gigitannya dari tangan Azlan saat ular itu berlalu di depan mereka. Azlan menatap Sena dengan tatapan tajam. Bukan ular yang menggigitnya, namun Sena yang terkejut spontan membuka mulutnya dan menggigit tangan Azlan yang membekam mulutnya. Sena meminta maaf dan segera mengobati tangan Azlan yang terluka karena giginya. Jujur saja, luka di tangan pasti cukup sakit. Ada darah yang mengucur di tangannya. Azlan terdiam tanpa basa-basi saat Sena cekatan membersihkan lukanya dan membalut dengan hansaplast. Sena merasa sangat menyesal dengan kejadian barusan. Ia tidak ingin menatap Azlan karena rasa gugup yang ia rasakan. Ia merasa telah berbuat tidak baik padanya. “Aku tidak sengaja, maaf!” Gumamnya yang masih terdengar jelas di telinga Azlan. Azlan seketika melepas tangannya dari Sena dan kembali duduk di tempatnya. Sena semakin merasa bersalah. Suara langkah kaki dari pasukan itu mendekat ke arah semak-semak, membuat situasi dingin
Azlan masih menatap mata coklat tua Sena. Ucapan Sena barusan membuat pikirannya terganggu. Ia sedang berusaha membuat semua yang Sena katakan tidaklah benar adanya. Seketika ide briliannya datang, ia tersenyum kemudian menjawab singkat. “Akhirnya kalimat yang kutunggu keluar juga. Aku berhasil membuatmu jatuh dalam perangkapku, nona” Suaranya Azlan masih pelan. Namun intonasi pengucapannya sangat tidak ramah. Kini giliran Sena yang mencemaskan keadaannya yang tengah terpojokkan. Ia memutar otak sedemikian rupa agar dapat membungkam si kapten yang menyebalkan ini. Azlan melihat kecemasan di dalam raut wajah Sena. Dengan senang hati ia berdehem bangga atas jawabannya. “Tentu saja, terkadang seseorang yang punya selera humor rendah suka bercanda tidak tau tempat.” Sena menaikkan sebelah alisnya. Suasana semakin membeku, tiba-tiba saja rasa udara yang panas berubah menjadi sangat dingin dan mencekik. Azlan sekali lagi sadar. Sena tidaklah sama seperti pe
Pagi sudah kembali bersinar setelah beberapa hari lalu. Kehidupan kembali normal. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Kejadian penyerangan, Kay yang terluka. Hingga banyak hal yang mereka alami lainnya.Kini saatnya untuk melanjutkan penelitian yang sempat tertunda. Aku, Azlan, dan Kay sudah bersiap untuk mendapatkan daun herbal baru sebagai formula. Teman-teman yang lain masih menunggu di area perkemahan untuk menjaga-jaga.Kami membawa barang secukupnya. Namun tidak begitu banyak. Hanya satu ransel sedang yang berisi persediaan makanan. Dan beberapa keperluan lainnya yang tidak begitu banyak.Semuanya sudah berdiri di ambang pintu area perkemahan. Kami tersenyum menyemangati. Kami berpamitan setelah semuanya di rasa sudah siap.Perjalanan selalu terasa indah. Namun, tak selamanya satu tim akan selalu bersama. Kadang kita perlu untuk berpisah sejenak untuk menyelesaikan tujuan kami.Kami akan kembali maksimal tujuh puluh dua jam dari waktu kam
Sena Menerima kotak itu dan hendak membukanya. Dira yang penasaran ikut menunggu Sena agar segera melihat apa yang ada di balik kotak itu. Tak sempat membuka kotak itu Azlan dan lainnya datang. Sena menghentikan gerakannya. Mereka semua fokus menyambut Azlan dan yang lainnya. Ia meletakkan kotak itu di samping laptop. Mereka membawa beberapa kebutuhan sehari-hari. Kayu kering, buah-buahan, sayuran dan sebagainya. Mereka membawanya dengan alat dari kayu seadanya. Setelah semuanya di rapikan di tempat yang seharusnya. Dira membawa minuman yang sudah ia buat tadi. Minuman segar yang berasal dari air danau yang sejuk. Ia membuat minuman sejenis squash delight alami. Azlan meraih laptop yang terdiam. Ia menatap Sena yang kini menatapnya balik. “Kau sudah menyusun penjadwalan Minggu ini?” Tanyanya tanpa sedikitpun menyentuh minuman yang dibuat Dira untuknya. Ia mengecek beberapa penjadwalan yang dibuat oleh Sena. Sena tersenyum mengangguk. “
Colven datang dengan tangan terkepal. Raut wajahnya sembab oleh Air mata. Namun tatapannya tajam berapi-api. Ratu Enase menatapnya dengan tatapan sayu. Ratu Enase beranjak hendak menyentuh wajah tampan putranya. Miss Alna menatap keduanya sedikit mengukir senyum memberi ekspresi positif. “Amam” Gumam Colven ia segera menyentuh tangan Ratu Enase. Ratu Enase menyentuh kepala Pangeran Colven. “ Putra Amam. Kemanakah kau akan pergi? Mengapa terlihat rapi sekali, Nak” Ratu Enase menyentuh pundak Colven. Mata Ratu Enase bertanya-tanya mencoba mencari jawaban. Melihat Colven yang sudah siap dengan semua persenjataan dan pakaian yang lebih rapi dari sebelumnya. “ Aku akan pergi Aman, Abam menyuruhku untuk melakukan sebuah misi.” Jawab Colven, ia menyentuh balik tangan Ratu Enase. Ratu Enase menggeleng tidak pasrah dengan ucapan Colven. “ Kemanakah kamu akan pergi Nak? Amam menginginkanmu tinggal di sini.” Belum sempat menjawab ucapan Ratu Enase. Raja
Flashback on. Sesi pemakaman sudah siap. Raja Colse yang sedari tadi melihat putra sulungnya itu hanya bisa melihat pasrah pada tubuh putra sulungnya yang mendingin. Ia menyentuh tangan putranya yang terlipat kaku. Derai airmata membasahi pipinya. Corlen yang duduk di samping ayahnya mencoba tegar menghadapi situasi yang ia alami. Ia melihat sang bunda yang terduduk lemas di samping kakaknya pun tak kuasa ia lihat. Pemandangan ini seolah cambuk bagi dirinya. Bak panah api di hatinya. Dan sebuah tombak yang menghancurkan raganya. Pangeran Corlen yang terlihat sangat belia di ajarkan dewasa oleh keadaan. Hanya ia satu-satunya putra ayahnya hari ini. Ia merasa sangat terpukul dengan kejadian ini. Belum lagi ia melihat tubuh kakak paling baik yang baginya kakaknya lebih dari sekedar saudara. Ia menganggap sang kakak sebagai sahabat yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya. Kini ia meratapi tubuh kaku itu. Tanpa suara hanya ada air mata.
Kini kami berada di atas tikar yang tak pernah di lipat kecuali hujan, itu pun jarang jika kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun begitu ia adalah satu-satunya karpet yang bertahan dari guyuran hujan tanpa basah. Hal itu karena ia terbuat dari plastik tahan air. Karpet berwarna merah tua ini merupakan karpet serbaguna yang biasa digunakan untuk shalat maupun sarapan, makan pagi maupun makan malam. Kami telah membentuk lingkaran bersiap menikmati sarapan pagi bersama. Kay sudah bisa mengondisikan posisi duduknya. Tangannya sudah bisa digunakan meskipun belum sempurna. Goresan panjang itu membuat siapa pun yang melihatnya akan iba. Namun senyum Kay tak pernah lepas dari bibirnya. Ia seolah menjelaskan bahwa ia baik-baik saja dengan lukanya. Kebetulan aku duduk diantara Kay dan Azlan. Aku membagikan piring seperti biasanya. Di lanjutkan dengan Dira dan Faleya yang mengisi piring-piring itu dengan menu. Tapi pagi ini ada sedikit kecangg