Share

26

Penulis: Afidaraffi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Azlan masih menatap mata coklat tua Sena. Ucapan Sena barusan membuat pikirannya terganggu. Ia sedang berusaha membuat semua yang Sena katakan tidaklah benar adanya. Seketika ide briliannya datang, ia tersenyum kemudian menjawab singkat.

“Akhirnya kalimat yang kutunggu keluar juga. Aku berhasil membuatmu jatuh dalam perangkapku, nona” Suaranya Azlan masih pelan. Namun intonasi pengucapannya sangat tidak ramah.

Kini giliran Sena yang mencemaskan keadaannya yang tengah terpojokkan. Ia memutar otak sedemikian rupa agar dapat membungkam si kapten yang menyebalkan ini. Azlan melihat kecemasan di dalam raut wajah Sena. Dengan senang hati ia berdehem bangga atas jawabannya.

“Tentu saja, terkadang seseorang yang punya selera humor rendah suka bercanda tidak tau tempat.” Sena menaikkan sebelah alisnya. Suasana semakin membeku, tiba-tiba saja rasa udara yang panas berubah menjadi sangat dingin dan mencekik.

Azlan sekali lagi sadar. Sena tidaklah sama seperti pe

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Selangkah Berjejak   27

    Sena segera melepaskan gigitannya dari tangan Azlan saat ular itu berlalu di depan mereka. Azlan menatap Sena dengan tatapan tajam. Bukan ular yang menggigitnya, namun Sena yang terkejut spontan membuka mulutnya dan menggigit tangan Azlan yang membekam mulutnya. Sena meminta maaf dan segera mengobati tangan Azlan yang terluka karena giginya. Jujur saja, luka di tangan pasti cukup sakit. Ada darah yang mengucur di tangannya. Azlan terdiam tanpa basa-basi saat Sena cekatan membersihkan lukanya dan membalut dengan hansaplast. Sena merasa sangat menyesal dengan kejadian barusan. Ia tidak ingin menatap Azlan karena rasa gugup yang ia rasakan. Ia merasa telah berbuat tidak baik padanya. “Aku tidak sengaja, maaf!” Gumamnya yang masih terdengar jelas di telinga Azlan. Azlan seketika melepas tangannya dari Sena dan kembali duduk di tempatnya. Sena semakin merasa bersalah. Suara langkah kaki dari pasukan itu mendekat ke arah semak-semak, membuat situasi dingin

  • Selangkah Berjejak   28

    Pangeran Corlen tersenyum menetralkan suasana pagi. Azlan membalasnya singkat sedikit ramah namun tegas. Ia menjawab kalimat pangeran itu dengan tegas.“Apa yang ingin kau tau?” Azlan mengamati sekitar dengan ekor matanya. Semua prajurit berdiri lebih dekat ke arahnya. Ia tersenyum miring melihat beberapa perubahan yang terjadi.Setiap senyuman hanyalah bingkai, di sini tidak ada yang benar-benar tulus melakukannya. Bahkan jika itu sebuah permainan maka pilihan teraman saat ini adalah ikut bermain. Sekali pun belum paham alur permainan.“Simpel saja, aku hanya ingin tau pembunuh saudaraku” Pangeran Corlen menjawab singkat. Seolah ia paham arah lawan dalam permainannya. Senyumnya masih mengembangkan di wajahnya.“Akan ku jelaskan singkat tentang kami, jika kau mencurigai kami adalah dalang dari pembunuhan.” Azlan menarik nafasnya berat dan menghembuskan dengan cepat. Pangeran Corlen bersiap mendengarkan.“

  • Selangkah Berjejak   29

    Mereka akhirnya berjalan meninggalkan perkemahan semua barang di kemas dengan baik tanpa menyisakan jejak apa pun. Mereka berjalan beriringan tanpa percakapan. Pikiran mereka menerawang satu sama lain. Perjalanan yang seharusnya sedikit singkat terasa lebih panjang dalam keheningan. Langkah yang tidak pernah di perhitungkan, kini mulai terbilang dan membosankan. Suasana hati, lelah dan segala hal yang terjadi membuat pikiran mereka tidak diam saja. Siapa yang bertahan? Tidak ada. Siapa yang bisa di percaya? Tidak ada. Siapa yang berhak di salahkan? Tidak ada. Ini hanya perjalanan hidup, semuanya akan kembali dan berjuang dalam kehidupan mereka masing-masing. Jangan percaya ucapan tentang kepedulian itu, itu hanya bualan saja. Mereka tak bisa melukai siapa pun. Tapi kau yang di lukai amarahmu, dan juga harapan-harapan itu. Kejadian-kejadian itu terputar ulang dengan jelas. Pertempuran, luka, kematian, semua hal janggal itu tergambar jelas di kepala mereka. Kini, semuanya harus kembal

  • Selangkah Berjejak   01

    Hujan mereda tatkala suara rem mobil menghentikan roda yang melaju cepat ke arah parkiran. Semuanya turun tak terkecuali dengan pak sopir, udara yang dingin setelah berjam-jam melewati jalanan tanpa macet, namun dengan guyuran hujan yang sangat lebat tiada henti. Masih dengan sisa rintik hujan yang masih berjatuhan semuanya turun dari mobil menuju kursi yang masih kosong di dalam kafe. Semuanya duduk sambil mengibas percikan air di baju yang cukup basah. Pak sopir tersenyum menatap ke arah anak-anak yang sedang membersihkan air dari pakaian mereka. Uban pak sopir cukup banyak, hal itu terlihat setelah ia melepaskan topinya. Namun, wajahnya tak kelihatan tua sama sekali, tak sebanding dengan uban yang hampir seluruhnya memutih. Padahal sebelumnya pak sopir pernah bercerita bahwa sebentar lagi ia akan menimang cucu ke sembilannya, cucu ke sembilan dari anak bungsunya. Seorang pelayan menghampiri kami dengan senyum lebar di wajahnya menawarkan menu kafe, yang langsung d

  • Selangkah Berjejak   02

    Azlan memotret beberapa pohon dari atas kapal. “Perjalanan ini membutuhkan waktu 2 jam 15 menit. Untuk tiba di pulau yang akan kita tinggali beberapa hari” Ucapan Azlan membuat Faleya seketika menjawab. “Pulau? “ “Ya, pulau” Tegas Azlan. Faleya membelalakkan mata tak percaya ia bahagia namun sedikit ragu. Ia menatapku aku hanya tersenyum mengangguk berharap semuanya akan menyenangkan. Faleya menatap danau yang begitu jernih. “Jangan di tatap Faleya, atau buaya akan muncul ke permukaan!” Kali ini Faleya sudah sedikit pucat, ia bergidik ngeri dan segera menggeser tubuhnya ke tengah kapal dekat denganku. Namun, hanya itulah yang membuatnya takut. Ia tidak peduli apakah Azlan bercanda atau serius intinya ia bahagia berada di atas kapal ini. Melihat danau dari jauh sudah membuatnya lupa kalimat Azlan barusan. Perjalanan cukup menyenangkan, terpaan angin yang membelai wajah kami dengan perlahan menenangkan kelelahan kami selama berjalan tadi

  • Selangkah Berjejak   03

    Matahari hampir terbenam saat kami sampai di perkemahan. Saat kami tiba di sana. Kami telah melihat tenda berdiri tegak, Azlan menatap kami sinis. Aku meketakkan keranjang dan Faleya segera membasuhnya ke danau, Dira menatap Faleya dan segera membantunya. Aku berinisiatif mempersiapkan beberapa peralatan untuk masak. Rizam mencoba membantuku, aku masih diam tak ingin menjelaskan apapun. Entah aku tidak mengerti apa yang Azlan pikirkan dengan ekspresi wajahnya yang terlihat tidak bersahabat seperti ini. Kay diam ia mengambil beberapa karpet untuk di gunakan untuk shlat maghrib nanti. Matahari sudah terbenam dengan sempurna, malam akan datang dan gelap sudah mulai terasa. Aku terus saja memasak, Kay menghidupkan api sebagai penerang mala mini, api itu secepatnya menyala. Kebetulan sedari tadi aku tidak masak di depan tenda melainkan di dalam tenda khusus yang memang sengaja kami buat untuk kepentingan darurat. Kami, beranggapan bahwa aroma masakan mun

  • Selangkah Berjejak   04

    Waktu pukul 17.00 saat kami tiba di area perkemahan. Kami segera membersihkan diri dan bersiap untuk shalat magrib. Kebutulan shalat ashar sudah kita kerjakan saat bertugas tadi. Kami mempersiapkan diri dengan baik, setelah shalat maghrib nanti Azlan dan Rizam akan memasak menu makan malam, malam ini sesuai jadwal yang telah di tentukan. Akhirnya, aku bisa duduk di dalam tenda dengan tenang, sambil lalu menunggu waktu maghrib tiba aku menyempatkan diri menulis sesuatu di buku kecil yang ku dapatkan dari Kay saat di atas kapal waktu itu. Buku ini ku jadikan sebagai buku khusus yang mencatat delapan atau lebih kata yang bermakna sebagai kenangan yang bisa kubaca. Buku berwarna-warni ini membuatku semangat untuk menulis setiap hari. Aku tersenyum kemudian menuliskan sesuatu di halaman pertama.. Perjalanan yang indah tidak terlepas dari pengelaman yang bermakna aku menuliskan kalimat pertama di dalam buku diaryku. Aku tersenyum kecut, dalam hati ada sesuatu y

  • Selangkah Berjejak   05

    Aku mengangguk meyakinkan kondisiku dalam keadaan baik-baik saja. Rizam mengangguk kecut, semuanya terdiam beberapa saat memikirkan tentang suku kanibal itu, aku pun terpikir hal yang sama. Namun, kepalaku nyeri sesekali saat kupaksa mengingat hal itu. Aku pun mencoba menarik nafas membiarkan rasa lega di dadaku yang sedikit sesak karena terlalu banyak berpikir. “Kalian sudah menunaikan shalat isya’?” Tanyaku mereka semua menggeleng cepat seolah baru tersadar dari lamunan. Azlan melangkah keluar segera mengakhiri pembicaraan kita. Aku menyusulnya semuanya pun demikian. Kami semua bergantian ke danau sebab beberapa orang di antara kami menjaga tenda agar tetap aman. Setelah semuanya selesai, kami mendirikan shalat berlajut dengan makan malam. Nasi yang sudah matang sedari tadi kini sudah hampir dingin, tidak ada asap mengepul lagi di atasnya. Namun masih nikmat untuk di makan. Kami menghabiskan makan malam tanpa percakapan, setelah semuanya selesai aku kembali ke tend

Bab terbaru

  • Selangkah Berjejak   29

    Mereka akhirnya berjalan meninggalkan perkemahan semua barang di kemas dengan baik tanpa menyisakan jejak apa pun. Mereka berjalan beriringan tanpa percakapan. Pikiran mereka menerawang satu sama lain. Perjalanan yang seharusnya sedikit singkat terasa lebih panjang dalam keheningan. Langkah yang tidak pernah di perhitungkan, kini mulai terbilang dan membosankan. Suasana hati, lelah dan segala hal yang terjadi membuat pikiran mereka tidak diam saja. Siapa yang bertahan? Tidak ada. Siapa yang bisa di percaya? Tidak ada. Siapa yang berhak di salahkan? Tidak ada. Ini hanya perjalanan hidup, semuanya akan kembali dan berjuang dalam kehidupan mereka masing-masing. Jangan percaya ucapan tentang kepedulian itu, itu hanya bualan saja. Mereka tak bisa melukai siapa pun. Tapi kau yang di lukai amarahmu, dan juga harapan-harapan itu. Kejadian-kejadian itu terputar ulang dengan jelas. Pertempuran, luka, kematian, semua hal janggal itu tergambar jelas di kepala mereka. Kini, semuanya harus kembal

  • Selangkah Berjejak   28

    Pangeran Corlen tersenyum menetralkan suasana pagi. Azlan membalasnya singkat sedikit ramah namun tegas. Ia menjawab kalimat pangeran itu dengan tegas.“Apa yang ingin kau tau?” Azlan mengamati sekitar dengan ekor matanya. Semua prajurit berdiri lebih dekat ke arahnya. Ia tersenyum miring melihat beberapa perubahan yang terjadi.Setiap senyuman hanyalah bingkai, di sini tidak ada yang benar-benar tulus melakukannya. Bahkan jika itu sebuah permainan maka pilihan teraman saat ini adalah ikut bermain. Sekali pun belum paham alur permainan.“Simpel saja, aku hanya ingin tau pembunuh saudaraku” Pangeran Corlen menjawab singkat. Seolah ia paham arah lawan dalam permainannya. Senyumnya masih mengembangkan di wajahnya.“Akan ku jelaskan singkat tentang kami, jika kau mencurigai kami adalah dalang dari pembunuhan.” Azlan menarik nafasnya berat dan menghembuskan dengan cepat. Pangeran Corlen bersiap mendengarkan.“

  • Selangkah Berjejak   27

    Sena segera melepaskan gigitannya dari tangan Azlan saat ular itu berlalu di depan mereka. Azlan menatap Sena dengan tatapan tajam. Bukan ular yang menggigitnya, namun Sena yang terkejut spontan membuka mulutnya dan menggigit tangan Azlan yang membekam mulutnya. Sena meminta maaf dan segera mengobati tangan Azlan yang terluka karena giginya. Jujur saja, luka di tangan pasti cukup sakit. Ada darah yang mengucur di tangannya. Azlan terdiam tanpa basa-basi saat Sena cekatan membersihkan lukanya dan membalut dengan hansaplast. Sena merasa sangat menyesal dengan kejadian barusan. Ia tidak ingin menatap Azlan karena rasa gugup yang ia rasakan. Ia merasa telah berbuat tidak baik padanya. “Aku tidak sengaja, maaf!” Gumamnya yang masih terdengar jelas di telinga Azlan. Azlan seketika melepas tangannya dari Sena dan kembali duduk di tempatnya. Sena semakin merasa bersalah. Suara langkah kaki dari pasukan itu mendekat ke arah semak-semak, membuat situasi dingin

  • Selangkah Berjejak   26

    Azlan masih menatap mata coklat tua Sena. Ucapan Sena barusan membuat pikirannya terganggu. Ia sedang berusaha membuat semua yang Sena katakan tidaklah benar adanya. Seketika ide briliannya datang, ia tersenyum kemudian menjawab singkat. “Akhirnya kalimat yang kutunggu keluar juga. Aku berhasil membuatmu jatuh dalam perangkapku, nona” Suaranya Azlan masih pelan. Namun intonasi pengucapannya sangat tidak ramah. Kini giliran Sena yang mencemaskan keadaannya yang tengah terpojokkan. Ia memutar otak sedemikian rupa agar dapat membungkam si kapten yang menyebalkan ini. Azlan melihat kecemasan di dalam raut wajah Sena. Dengan senang hati ia berdehem bangga atas jawabannya. “Tentu saja, terkadang seseorang yang punya selera humor rendah suka bercanda tidak tau tempat.” Sena menaikkan sebelah alisnya. Suasana semakin membeku, tiba-tiba saja rasa udara yang panas berubah menjadi sangat dingin dan mencekik. Azlan sekali lagi sadar. Sena tidaklah sama seperti pe

  • Selangkah Berjejak   25

    Pagi sudah kembali bersinar setelah beberapa hari lalu. Kehidupan kembali normal. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Kejadian penyerangan, Kay yang terluka. Hingga banyak hal yang mereka alami lainnya.Kini saatnya untuk melanjutkan penelitian yang sempat tertunda. Aku, Azlan, dan Kay sudah bersiap untuk mendapatkan daun herbal baru sebagai formula. Teman-teman yang lain masih menunggu di area perkemahan untuk menjaga-jaga.Kami membawa barang secukupnya. Namun tidak begitu banyak. Hanya satu ransel sedang yang berisi persediaan makanan. Dan beberapa keperluan lainnya yang tidak begitu banyak.Semuanya sudah berdiri di ambang pintu area perkemahan. Kami tersenyum menyemangati. Kami berpamitan setelah semuanya di rasa sudah siap.Perjalanan selalu terasa indah. Namun, tak selamanya satu tim akan selalu bersama. Kadang kita perlu untuk berpisah sejenak untuk menyelesaikan tujuan kami.Kami akan kembali maksimal tujuh puluh dua jam dari waktu kam

  • Selangkah Berjejak   24

    Sena Menerima kotak itu dan hendak membukanya. Dira yang penasaran ikut menunggu Sena agar segera melihat apa yang ada di balik kotak itu. Tak sempat membuka kotak itu Azlan dan lainnya datang. Sena menghentikan gerakannya. Mereka semua fokus menyambut Azlan dan yang lainnya. Ia meletakkan kotak itu di samping laptop. Mereka membawa beberapa kebutuhan sehari-hari. Kayu kering, buah-buahan, sayuran dan sebagainya. Mereka membawanya dengan alat dari kayu seadanya. Setelah semuanya di rapikan di tempat yang seharusnya. Dira membawa minuman yang sudah ia buat tadi. Minuman segar yang berasal dari air danau yang sejuk. Ia membuat minuman sejenis squash delight alami. Azlan meraih laptop yang terdiam. Ia menatap Sena yang kini menatapnya balik. “Kau sudah menyusun penjadwalan Minggu ini?” Tanyanya tanpa sedikitpun menyentuh minuman yang dibuat Dira untuknya. Ia mengecek beberapa penjadwalan yang dibuat oleh Sena. Sena tersenyum mengangguk. “

  • Selangkah Berjejak   23

    Colven datang dengan tangan terkepal. Raut wajahnya sembab oleh Air mata. Namun tatapannya tajam berapi-api. Ratu Enase menatapnya dengan tatapan sayu. Ratu Enase beranjak hendak menyentuh wajah tampan putranya. Miss Alna menatap keduanya sedikit mengukir senyum memberi ekspresi positif. “Amam” Gumam Colven ia segera menyentuh tangan Ratu Enase. Ratu Enase menyentuh kepala Pangeran Colven. “ Putra Amam. Kemanakah kau akan pergi? Mengapa terlihat rapi sekali, Nak” Ratu Enase menyentuh pundak Colven. Mata Ratu Enase bertanya-tanya mencoba mencari jawaban. Melihat Colven yang sudah siap dengan semua persenjataan dan pakaian yang lebih rapi dari sebelumnya. “ Aku akan pergi Aman, Abam menyuruhku untuk melakukan sebuah misi.” Jawab Colven, ia menyentuh balik tangan Ratu Enase. Ratu Enase menggeleng tidak pasrah dengan ucapan Colven. “ Kemanakah kamu akan pergi Nak? Amam menginginkanmu tinggal di sini.” Belum sempat menjawab ucapan Ratu Enase. Raja

  • Selangkah Berjejak   22

    Flashback on. Sesi pemakaman sudah siap. Raja Colse yang sedari tadi melihat putra sulungnya itu hanya bisa melihat pasrah pada tubuh putra sulungnya yang mendingin. Ia menyentuh tangan putranya yang terlipat kaku. Derai airmata membasahi pipinya. Corlen yang duduk di samping ayahnya mencoba tegar menghadapi situasi yang ia alami. Ia melihat sang bunda yang terduduk lemas di samping kakaknya pun tak kuasa ia lihat. Pemandangan ini seolah cambuk bagi dirinya. Bak panah api di hatinya. Dan sebuah tombak yang menghancurkan raganya. Pangeran Corlen yang terlihat sangat belia di ajarkan dewasa oleh keadaan. Hanya ia satu-satunya putra ayahnya hari ini. Ia merasa sangat terpukul dengan kejadian ini. Belum lagi ia melihat tubuh kakak paling baik yang baginya kakaknya lebih dari sekedar saudara. Ia menganggap sang kakak sebagai sahabat yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya. Kini ia meratapi tubuh kaku itu. Tanpa suara hanya ada air mata.

  • Selangkah Berjejak   21

    Kini kami berada di atas tikar yang tak pernah di lipat kecuali hujan, itu pun jarang jika kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun begitu ia adalah satu-satunya karpet yang bertahan dari guyuran hujan tanpa basah. Hal itu karena ia terbuat dari plastik tahan air. Karpet berwarna merah tua ini merupakan karpet serbaguna yang biasa digunakan untuk shalat maupun sarapan, makan pagi maupun makan malam. Kami telah membentuk lingkaran bersiap menikmati sarapan pagi bersama. Kay sudah bisa mengondisikan posisi duduknya. Tangannya sudah bisa digunakan meskipun belum sempurna. Goresan panjang itu membuat siapa pun yang melihatnya akan iba. Namun senyum Kay tak pernah lepas dari bibirnya. Ia seolah menjelaskan bahwa ia baik-baik saja dengan lukanya. Kebetulan aku duduk diantara Kay dan Azlan. Aku membagikan piring seperti biasanya. Di lanjutkan dengan Dira dan Faleya yang mengisi piring-piring itu dengan menu. Tapi pagi ini ada sedikit kecangg

DMCA.com Protection Status