Kay menatap Azlan berusaha mencari penjelasan. Dari sirat matanya seolah banyak sekali pertanyaan di benaknya. Ia melangkah sedikit lebih dekat ke pembatas pepohonan.
Tak hanya cuaca di sini yang aneh karena yang tadinya hujan deras berubah menjadi terik. Namun, cuaca di desa sebelah juga tak kalah aneh yang awalnya terik berubah menjadi hujan deras seketika seperti hujan sebelumnya di daerah desa damai. Meskipun sebelumnya di sana terik panas matahari dan tidak ada tanda-tanda hujan akan turun.
Tapi setelah air di dalam kendi itu di tuang pada titik pusat itu, semuanya berbalik seketika. Banyak pertanyaan pula di benak Azlan dengan semua hal yang yang ia lihat sejak tadi. Tidak hanya aneh, ini seolah sihir baginya. Ia pun tidak yakin hujan ini merata di desa damai sebagaimana hujan pada umumnya.
“Kapten, ini sulit dijelaskan. Banyak sekali pertanyaan di benakku” Kay masih terus menatap apa yang ada di depannya.
Setelah wanita itu menyiram air, ada senyum terukir di wajahnya. Hujan deras mengguyur tubuhnya tapi tidak ada kekhawatiran di dalam dirinya. Ia tetap diam membiarkan seluruh tubuhnya basah oleh air hujan itu.
“Aku melihat apa yang kau lihat Kay, kurang lebih pertanyaanmu tak jauh berbeda denganku” Azlan menjawab.
Setelah wanita itu basah kuyup, ia membawa kendi itu dan pergi dari sana. Hal aneh yang baru terlihat adalah derasnya air hujan tidak membasahi benda setinggi 150 senti meter itu. Keduanya mencoba memahami apa yang mereka lihat.
“Ini sebuah permainan Kay” Gumam Azlan yang di setujui oleh Kay.
“Benar kapten. Dan sebaiknya kita segera kembali ke perkemahan untuk memikirkan hal ini lebih dalam. Kita juga harus menunaikan shalat duhur sebelum waktunya habis” Kay mengajak Azlan.
“Aku setuju. Mari kita kembali ke perkemahan, lebih cepat lebih baik Kay.” Kay setuju mereka kemudian mereka meninggalkan daerah perbatasan desa. Mereka berlari agar lebih cepat sampai di perkemahan.
***
“Mengapa hujan ini tiba-tiba berhenti dan cuaca seketika berubah menjadi terik matahari seperti ini?” Pertanyaan itu tak tertahankan di dalam benakku, aku perlu sebuah jawaban. Kami semua keluar dari tenda saat hujan reda dan berganti dengan terik matahari.
Sisa-sisa air di atas rumput hijau yang terhampar di halaman perkemahan masih terlihat jelas. Langit kembali cerah berwarna biru sebagaimana biasanya. Seolah tidak ada hujan deras sebelumnya.
“ Ini gila!” Rizam menggumam sambil terus menatap langit. Namun hal itu tidak mengubah kekhawatiran kami pada Azlan dan Kay. Mereka berdua belum kembali sedangkan cuaca berubah dengan aneh. Tanda tanya dalam pikiran kami semakin membesar.
“Abaikan dulu soal cuaca, aku khawatir dengan kapten dan Kay” Faleya masih terlihat pucat, kondisi mereka berdua bahkan lebih penting dari cuaca yang sangat aneh ini. Ia tidak memperdulikan apapun tentang cuaca ini.
“Ini sudah hampir lima jam. Apa kita akan tetap menunggu?” Dira mulai mengutarakan kecemasannya. Semua terdiam masih bingung menimbang-nimbang.
“Aku pun memikirkan hal yang sama.” Rizam terlihat gelisah dalam posisinya.
Namun tak lama dari pembicaraan mereka dua sosok laki-laki yang sangat mereka kenali muncul di balik pintu masuk jaring. Melihat itu aku segera berlari menuju tali kontrol dan memutarnya hingga pintu terbuka. Setelah keduanya masuk aku memutar balik tali kontrol.
Rizam menepuk bahu Azlan dan Kay saat keduanya tiba di hadapan kami. Aku mengamati kondisi mereka, aku bersyukur dalam hati mereka selamat. Tapi, saat melihat tangan Kay yang terbalut daun herbal aku langsung mengajukan pertanyaan.
“Kau terluka. Apa yang terjadi?” Rizam menatap Azlan ia melihat baju keduanya yang sudah kotor karena menghindari burung tadi.
“Kita perlu bicara di dalam” Azlan menjawab singkat menatap kami semua.
Mereka kembali ke dalam tenda seperti sebelumnya. Sena mengambil kotak p3k yang di simpan di dalam kotak putih di sudut tenda. Segera mungkin ia membersihkan luka Azlan dan membalut lukanya dengan perban tanpa aba-aba.
“ Jadi, ceritakan apa yang terjadi kapten!” Rizam mendesak.
“ Kami meneliti tumbuhan seperti kemarin. Dan memilih tempat dekat danau di wilayah penelitianku. Tiba-tiba burung menyerang kami. Hingga akhirnya kita berlari menjauh dan mengelabuhi mereka dengan jas hujan kami. Dan setelah itu, seekor burung mencakar tanganku sesaat sebelum aku berlari menjauh dari terkaman mereka”
Azlan meringis menjeda cerita, saat Sena membersihkan lukanya. Masih belum ada percakapan lain selain pokok masalahnya. Kay membuka jasnya yang sudah berubah warna sambil mendengarkan ucapan Azlan.
“Setelah itu, kami melihat hal aneh dari arah desa seberang tepatnya di daerah suku kanibal itu. Tepat di tempat aku dan Sena melihat ritual aneh malam itu. Dan kali ini lebih aneh” Azlan memijit kepalanya dengan tangan kanannya. Berpikir keras menjelaskan sesederhana mungkin.
“Kami melihat desa itu memiliki cuaca yang terik berbeda dengan cuaca kita yang hujan deras. Kemudian tak lama setelah itu seorang wanita menyiram air dari kendi pada sebuah benda setinggi satu setengah meter yang terletak di tengah tanah kosong itu. Seketika cuaca berubah menjadi terbalik” Jelas Azlan.
Semuanya menjadi terdiam dalam pikirannya masing-masing. Mencerna kalimat itu seolah mustahil dalam akal sehat manusia. Antara percaya dan tidak namun hal itu benar-benar terjadi.
“Itu berarti kita dalam bahaya, jika tidak paham bagaimana kehidupan mereka. Kita tidak cukup berdiam diri seperti ini, mungkin kita perlu mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya di balik cerita ini.” Rizam mengusulkan. Kay mengangguk setuju begitu pun dengan yang lainnya.
“Langkah berikutnya apa yang akan kita lakukan?” Faleya yang sudah terlihat membaik bertanya. Wajahnya sudah tidak pucat seperti sebelumnya. Ia sudah kembali ke wajah semulanya.
“Pak tua! kita akan bertanya padanya” Ujar Azlan. Semuanya setuju dengan ucapannya.
“Kalau begitu, kapan kita akan ke sana?” Sena bertanya.
“Sore ini.” Azlan menjawab singkat dan mantap.
“Kalau begitu, kau harus pergi secepatnya.” Sena berpendapat.
“Kalau begitu Rizam akan menemanimu.” Kay mengusulkan.
“Tidak. Sebaiknya Rizam mencari bahan makanan dengan Dira. Dan kamu Kay, kau mencari kayu bakar sebanyak mungkin dengan Faleya. Aku akan pergi bersama Sena ke rumah pak tua. Dan kita semua akan kembali sebelum malam datang” Azlan menggenggam tangannya yang sudah selesai di perban. Sena membereskan kotak p3k yang sedikit berserakan.
“Kalau begitu aku akan bersiap” Ujar Kay di ikuti oleh Rizam dan lainnya. Sebelum itu Azlan dan Rizam menunaikan shalat duhur. Setelah itu mereka bersiap melaksanakan misi mereka sore ini.
Pas setelah menunaikan shalat ashar semuanya keluar dari tenda dengan mengubah kontrol menjadi mode out control yakni tali kontrol yang di ubah agar jaring bisa di buka dari luar. Meskipun membutuhkan waktu sekitar enam puluh menit untuk menyelesaikan itu akhirnya perubahan itu selesai. Satu hal yang pasti tali kontrol itu hanya bisa di buka oleh Azlan, Rizam, dan Kay sebab mereka mengikat sedemikian rupa dengan kencang. Agar perkemahan aman dari hewan buas jika tiba-tiba ada hewan buas menyerang.
“Bismillah. Semoga kita kembali dengan selamat dan mendapatkan apa yang kita butuhkan” Azlan mengucap kalimat perpisahan itu dengan tegas.
Perjalanan dari perkemahan menuju rumah pak tua berjarak cukup jauh. Sena dan Azlan berjalan beriringan untuk tiba di sana. Tidak ada percakapan antara Sena dan Azlan. Hingga suatu celutukan kecil Azlan membuat atmosfer di antara keduanya lebih baik. “Terima kasih balutan perbannya. Sepertinya lukaku akan sembuh besok” Azlan tertawa menggoda. “Semoga cepat sembuh” Aku menggumam datar. Ia tak menanggapi jawabanku dengan serius, ia justru membuat pernyataan baru. “Ngomong-ngomong soal perban. Kamu cukup gerak cepat dalam berinisiatif” Ujarnya “Hanya agar kamu tetap jadi kapten. Kan tidak mungkin seorang kapten lama-lama cidera” Aku menjawab apa adanya masih terus berjalan melihat pemandangan di samping kanan. “Kupikir ada alasan lain” Azlan berjalan lebih cepat dariku. “Tidak ada hal lain. Yang ada hanya kepedulian kelompok, aku hanya peduli padamu hanya karena kamu seorang kapten di kelompokku.” Aku menjawab jengkel. “Kapten kel
Mereka tiba sebelum matahari terbenam. Azlan tiba saat yang lainnya baru saja tiba di perkemahan. Matahari sudah berwarna jingga pekat. “Kita akan bersiap menunaikan shalat Maghrib sebelum memulai penjelasanku” Azlan memerintahkan semuanya untuk bersiap sesaat setelah menyimpan kayu dan bahan makanan di tempat khusus. Semuanya bersemangat melihat raut wajah Azlan yang terlihat begitu ceria saat mengucapkan kalimat itu. Tanda baik sedang ia tampakkan meskipun nyatanya tidak demikian. Ia mencoba membuat teman-temannya sedikit merasa lebih baik. “Kau bisa membersihkan diri dan bersiap untuk misi besok dan seterusnya. Kita tidak punya waktu bersantai.” Azlan berbisik di telinga Sena. Sena terdiam datar tanpa anggukan atau jawaban. Setelah kalimat itu selesai Azlan menjauh meninggalkan tenda menuju danau untuk membersihkan diri. Gelap sudah menyelimuti langit di atas sana. Sena, Dira dan Faleya bersiap mengenakan mukenah di dalam tenda. Mereka menunggu Maghrib di
Malam telah berlalu. Pagi telah datang memancarkan cahayanya sebagaimana biasa. Tugas susul-menyusul menungguku. Diariku telah mencapai lembar ke delapan, sebagaimana aku mengisinya dengan catatan-catatan singkat tentang kesanku menjalani hari-hari. Aku menyimpan diari, dan kembali berkutat dengan ponselku yang sepi tanpa bunyi notifikasi. Semuanya beraktivitas sebagaimana seharusnya. Tidak ada hujan yang melanda, tidak ada mendung yang menyelimuti langit perkemahan. Udara lebih sejuk dari sebelumnya, seolah terapi bagi otakku yang akhir-akhir ini sering pusing dan sering melihat sekilas memori lama dalam hidupku. Perkemahan ini adalah rumah kedua kami beberapa hari terakhir. Dira menjemur pakaian kotor di belakang tenda. Ah iya, kehidupan kami di sini persis sama seperti kehidupan di rumah. Memasak, mencuci, menyapu dan kegiatan lainnya yang juga tak kalah merepotkan di samping bertugas. Tapi kami melakukannya bersama-sama lagi pula teman-teman lainn
Faleya membawa segelas teh hangat dari luar tenda dan mengulurkannya pada Sena. Sena menerimanya dan menegaknya sekali. Kay masuk ke dalam tenda menghampiri keduanya setelah membereskan urusannya di luar. “Kau sudah baikan?” Tanyanya membawa buah yang di simpan di atas piring datar berbentuk persegi. “Cukup baik. Terima kasih” Aku menerima uluran piring itu dan berterima kasih. “Kau akan segera sembuh. Aku akan keluar untuk mengawasi penombak itu.” Kay tersenyum padaku dan Faleya. Kay tersenyum mengangguk ke arah Faleya. “Hati-hati” Faleya tersenyum membalasnya. Kay duduk di samping perapian sambil memanggang ubi singkong yang kemarin ia dapat dengan Faleya di dalam hutan. Ia membolak-balikkan ubi singkong itu dan menyantapnya sambil lalu mengawasi sekitar. Ia menuangkan segelas teh hangat dari samping perapian yang ia sisihkan setelah mendidih tadi. Ia menegak teh hangat itu dengan rasa dahaga yang begitu besar di tenggorokannya sehin
Sore telah tiba semuanya berdiri mendirikan sholat ashar, matahari telah berubah warna di kaki langit sana. Suara air danau yang mengalir, menentramkan sholat yang terlaksana dengan irama syahdu menenangkan jiwa-jiwa yang resah. Saat pikiran terlalu sesak dengan masalah, juga hati yang terasa berat dengan tekanan situasi semuanya kembali lagi pada sang Ilahi. Penombak itu memperhatikan kami yang mendirikan sholat berjamaah, ia merasa aneh untuk pertama kalinya melihat hal ini dalam hidupnya. Ia memperhatikan dengan seksama dan teliti bahkan ia sempat mengabaikan tali yang melingkar di pergelangan tangan dan kakinya dengan erat. Seolah ia bebas dari semua itu, ia merasa lebih baik dari sebelumnya. Setelah semuanya selesai, aku mempersiapkan makanan untuk makan malam. Faleya dan Dira membantu banyak, keduanya cekatan memotong sayur dan bergerak gesit memasukkan sayur-sayur itu pada panci yang sudah penuh dengan air yang mendidih. Aku meletakkan masakan yang sudah matan
“Aku butuh minum nyonya” Ujar penombak itu membuat Sena menoleh saat mengambil air minum untuk ia minum. Berpikir sejenak, akhirnya Sena menuangkan air pada gelas kayu yang lain untuk di berikan kepada penombak itu. “Terima kasih” Ujar penombak itu lagi setelah Sena menuangkan air itu ke mulutnya. Tanpa jawaban Sena pergi meninggalkannya. Di samping itu suara burung beterbangan di langit-langit perkemahan. Seperti ada yang menganggu ketenangan mereka. Sena berbalik menatap penombak itu, ia masih di ikat dengan tali pengikatnya. Sebuah tombak mendarat lagi tiga puluh sentimeter di depannya. Untuk kedua kalinya ia benar-benar merasa trauma. Ia melihat ke arah tombak itu di lemparkan. Banyak sekali penombak bertopeng yang mengelilingi perkemahan. Jaring otomatis itu belum tertutup sempurna. Sena menarik tali kontrolnya dan seketika jaring tertutup otomatis. Aku yakin jaring ini tidak akan membantu banyak dalam hal perlindungan. Tapi setidaknya me
Azlan mengepalkan tangannya dengan erat atas apa yang ia dengar. Di hatinya sudah tidak ada lagi benci terhadap penombak itu. Ia fokus untuk menyembuhkan luka itu terlebih dahulu. “Kau harus bertahan” Seru Azlan gusar sambil terus menghentikan darah yang keluar. Penombak itu sangat pucat. “Sen, kau punya daun herbal bukan. Bisakah kau membantuku?” Tanya Azlan pada Sena. “Tentu. Aku akan membuatnya segera”. Sena gesit meracik daun herbal yang belum di awetkan. Ia menghaluskan dan membuatnya menjadi pasta, serta menyaring sari-sari daun herbal itu agar membantu mempercepat pemulihan. “Ini.” Sena menyodorkan obat herbal. Azlan menerimanya dengan cepat dengan cekatan mengoleskan pada luka penombak itu. “Kau akan sembuh. Aku akan menceritakan semuanya nanti” Ujar Azlan. Penombak itu menggeleng tidak setuju. “Aku ingin mendengarnya, aku akan sembuh dengan cepat” Jawab penombak itu, wajahnya semakin pucat. Azlan tidak punya pilihan lain ia ha
“Kapten, aku telah menyiapkan semuanya! “ Seru Kay sambil membawa kayu yang di butuhkan. Azlan mengulurkan mangkuk berisi air dan beberapa jenis tumbuhan yang mengandung wewangian. “Simpan mangkuk ini di sampingnya. Aku akan segera menyelesaikan tugasku” Kay mengangguk dan segera kembali ke tempatnya. “Sen, tutup semua pintu tenda. Awasi sekitar dengan yang lainnya” Azlan memerintahkan Sena, semuanya bertugas sesuai perintah masing-masing. Kami berada di luar jaring perkemahan. Mereka akan melakukan proses pemakaman untuk penombak itu di halaman perkemahan. Sehingga mereka perlu waktu dan keamanan untuk itu. Faleya mengamati sekitar, ia siap dengan senjatanya. Dia tidak pernah kaku menggunakan senjata apa pun, fisiknya sangat kuat dan dia juga sangat terbiasa dengan pertempuran. Bahkan tak hanya itu dia juga pandai bela diri, kakinya berdiri kokoh siap memasang kuda-kuda jika hal buruk terjadi. “Mereka akan mengubur penombak itu di dalam
Mereka akhirnya berjalan meninggalkan perkemahan semua barang di kemas dengan baik tanpa menyisakan jejak apa pun. Mereka berjalan beriringan tanpa percakapan. Pikiran mereka menerawang satu sama lain. Perjalanan yang seharusnya sedikit singkat terasa lebih panjang dalam keheningan. Langkah yang tidak pernah di perhitungkan, kini mulai terbilang dan membosankan. Suasana hati, lelah dan segala hal yang terjadi membuat pikiran mereka tidak diam saja. Siapa yang bertahan? Tidak ada. Siapa yang bisa di percaya? Tidak ada. Siapa yang berhak di salahkan? Tidak ada. Ini hanya perjalanan hidup, semuanya akan kembali dan berjuang dalam kehidupan mereka masing-masing. Jangan percaya ucapan tentang kepedulian itu, itu hanya bualan saja. Mereka tak bisa melukai siapa pun. Tapi kau yang di lukai amarahmu, dan juga harapan-harapan itu. Kejadian-kejadian itu terputar ulang dengan jelas. Pertempuran, luka, kematian, semua hal janggal itu tergambar jelas di kepala mereka. Kini, semuanya harus kembal
Pangeran Corlen tersenyum menetralkan suasana pagi. Azlan membalasnya singkat sedikit ramah namun tegas. Ia menjawab kalimat pangeran itu dengan tegas.“Apa yang ingin kau tau?” Azlan mengamati sekitar dengan ekor matanya. Semua prajurit berdiri lebih dekat ke arahnya. Ia tersenyum miring melihat beberapa perubahan yang terjadi.Setiap senyuman hanyalah bingkai, di sini tidak ada yang benar-benar tulus melakukannya. Bahkan jika itu sebuah permainan maka pilihan teraman saat ini adalah ikut bermain. Sekali pun belum paham alur permainan.“Simpel saja, aku hanya ingin tau pembunuh saudaraku” Pangeran Corlen menjawab singkat. Seolah ia paham arah lawan dalam permainannya. Senyumnya masih mengembangkan di wajahnya.“Akan ku jelaskan singkat tentang kami, jika kau mencurigai kami adalah dalang dari pembunuhan.” Azlan menarik nafasnya berat dan menghembuskan dengan cepat. Pangeran Corlen bersiap mendengarkan.“
Sena segera melepaskan gigitannya dari tangan Azlan saat ular itu berlalu di depan mereka. Azlan menatap Sena dengan tatapan tajam. Bukan ular yang menggigitnya, namun Sena yang terkejut spontan membuka mulutnya dan menggigit tangan Azlan yang membekam mulutnya. Sena meminta maaf dan segera mengobati tangan Azlan yang terluka karena giginya. Jujur saja, luka di tangan pasti cukup sakit. Ada darah yang mengucur di tangannya. Azlan terdiam tanpa basa-basi saat Sena cekatan membersihkan lukanya dan membalut dengan hansaplast. Sena merasa sangat menyesal dengan kejadian barusan. Ia tidak ingin menatap Azlan karena rasa gugup yang ia rasakan. Ia merasa telah berbuat tidak baik padanya. “Aku tidak sengaja, maaf!” Gumamnya yang masih terdengar jelas di telinga Azlan. Azlan seketika melepas tangannya dari Sena dan kembali duduk di tempatnya. Sena semakin merasa bersalah. Suara langkah kaki dari pasukan itu mendekat ke arah semak-semak, membuat situasi dingin
Azlan masih menatap mata coklat tua Sena. Ucapan Sena barusan membuat pikirannya terganggu. Ia sedang berusaha membuat semua yang Sena katakan tidaklah benar adanya. Seketika ide briliannya datang, ia tersenyum kemudian menjawab singkat. “Akhirnya kalimat yang kutunggu keluar juga. Aku berhasil membuatmu jatuh dalam perangkapku, nona” Suaranya Azlan masih pelan. Namun intonasi pengucapannya sangat tidak ramah. Kini giliran Sena yang mencemaskan keadaannya yang tengah terpojokkan. Ia memutar otak sedemikian rupa agar dapat membungkam si kapten yang menyebalkan ini. Azlan melihat kecemasan di dalam raut wajah Sena. Dengan senang hati ia berdehem bangga atas jawabannya. “Tentu saja, terkadang seseorang yang punya selera humor rendah suka bercanda tidak tau tempat.” Sena menaikkan sebelah alisnya. Suasana semakin membeku, tiba-tiba saja rasa udara yang panas berubah menjadi sangat dingin dan mencekik. Azlan sekali lagi sadar. Sena tidaklah sama seperti pe
Pagi sudah kembali bersinar setelah beberapa hari lalu. Kehidupan kembali normal. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Kejadian penyerangan, Kay yang terluka. Hingga banyak hal yang mereka alami lainnya.Kini saatnya untuk melanjutkan penelitian yang sempat tertunda. Aku, Azlan, dan Kay sudah bersiap untuk mendapatkan daun herbal baru sebagai formula. Teman-teman yang lain masih menunggu di area perkemahan untuk menjaga-jaga.Kami membawa barang secukupnya. Namun tidak begitu banyak. Hanya satu ransel sedang yang berisi persediaan makanan. Dan beberapa keperluan lainnya yang tidak begitu banyak.Semuanya sudah berdiri di ambang pintu area perkemahan. Kami tersenyum menyemangati. Kami berpamitan setelah semuanya di rasa sudah siap.Perjalanan selalu terasa indah. Namun, tak selamanya satu tim akan selalu bersama. Kadang kita perlu untuk berpisah sejenak untuk menyelesaikan tujuan kami.Kami akan kembali maksimal tujuh puluh dua jam dari waktu kam
Sena Menerima kotak itu dan hendak membukanya. Dira yang penasaran ikut menunggu Sena agar segera melihat apa yang ada di balik kotak itu. Tak sempat membuka kotak itu Azlan dan lainnya datang. Sena menghentikan gerakannya. Mereka semua fokus menyambut Azlan dan yang lainnya. Ia meletakkan kotak itu di samping laptop. Mereka membawa beberapa kebutuhan sehari-hari. Kayu kering, buah-buahan, sayuran dan sebagainya. Mereka membawanya dengan alat dari kayu seadanya. Setelah semuanya di rapikan di tempat yang seharusnya. Dira membawa minuman yang sudah ia buat tadi. Minuman segar yang berasal dari air danau yang sejuk. Ia membuat minuman sejenis squash delight alami. Azlan meraih laptop yang terdiam. Ia menatap Sena yang kini menatapnya balik. “Kau sudah menyusun penjadwalan Minggu ini?” Tanyanya tanpa sedikitpun menyentuh minuman yang dibuat Dira untuknya. Ia mengecek beberapa penjadwalan yang dibuat oleh Sena. Sena tersenyum mengangguk. “
Colven datang dengan tangan terkepal. Raut wajahnya sembab oleh Air mata. Namun tatapannya tajam berapi-api. Ratu Enase menatapnya dengan tatapan sayu. Ratu Enase beranjak hendak menyentuh wajah tampan putranya. Miss Alna menatap keduanya sedikit mengukir senyum memberi ekspresi positif. “Amam” Gumam Colven ia segera menyentuh tangan Ratu Enase. Ratu Enase menyentuh kepala Pangeran Colven. “ Putra Amam. Kemanakah kau akan pergi? Mengapa terlihat rapi sekali, Nak” Ratu Enase menyentuh pundak Colven. Mata Ratu Enase bertanya-tanya mencoba mencari jawaban. Melihat Colven yang sudah siap dengan semua persenjataan dan pakaian yang lebih rapi dari sebelumnya. “ Aku akan pergi Aman, Abam menyuruhku untuk melakukan sebuah misi.” Jawab Colven, ia menyentuh balik tangan Ratu Enase. Ratu Enase menggeleng tidak pasrah dengan ucapan Colven. “ Kemanakah kamu akan pergi Nak? Amam menginginkanmu tinggal di sini.” Belum sempat menjawab ucapan Ratu Enase. Raja
Flashback on. Sesi pemakaman sudah siap. Raja Colse yang sedari tadi melihat putra sulungnya itu hanya bisa melihat pasrah pada tubuh putra sulungnya yang mendingin. Ia menyentuh tangan putranya yang terlipat kaku. Derai airmata membasahi pipinya. Corlen yang duduk di samping ayahnya mencoba tegar menghadapi situasi yang ia alami. Ia melihat sang bunda yang terduduk lemas di samping kakaknya pun tak kuasa ia lihat. Pemandangan ini seolah cambuk bagi dirinya. Bak panah api di hatinya. Dan sebuah tombak yang menghancurkan raganya. Pangeran Corlen yang terlihat sangat belia di ajarkan dewasa oleh keadaan. Hanya ia satu-satunya putra ayahnya hari ini. Ia merasa sangat terpukul dengan kejadian ini. Belum lagi ia melihat tubuh kakak paling baik yang baginya kakaknya lebih dari sekedar saudara. Ia menganggap sang kakak sebagai sahabat yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya. Kini ia meratapi tubuh kaku itu. Tanpa suara hanya ada air mata.
Kini kami berada di atas tikar yang tak pernah di lipat kecuali hujan, itu pun jarang jika kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun begitu ia adalah satu-satunya karpet yang bertahan dari guyuran hujan tanpa basah. Hal itu karena ia terbuat dari plastik tahan air. Karpet berwarna merah tua ini merupakan karpet serbaguna yang biasa digunakan untuk shalat maupun sarapan, makan pagi maupun makan malam. Kami telah membentuk lingkaran bersiap menikmati sarapan pagi bersama. Kay sudah bisa mengondisikan posisi duduknya. Tangannya sudah bisa digunakan meskipun belum sempurna. Goresan panjang itu membuat siapa pun yang melihatnya akan iba. Namun senyum Kay tak pernah lepas dari bibirnya. Ia seolah menjelaskan bahwa ia baik-baik saja dengan lukanya. Kebetulan aku duduk diantara Kay dan Azlan. Aku membagikan piring seperti biasanya. Di lanjutkan dengan Dira dan Faleya yang mengisi piring-piring itu dengan menu. Tapi pagi ini ada sedikit kecangg