Tugasku sudah selesai Rizam pun demikian kami membereskan semua peralatan penelitian kami. Kami memutuskan untuk berjaga mengambil jadwal lebih awal dari yang sudah di tentukan. Semuanya menyetujui keputusan kami dan mengubah jadwal untuk Minggu ini.
“Sebaiknya kita istirahat sesudah subuh saja Sen. Aku pikir kita perlu membuka mata agar penjagaan lebih aman. Tapi jika kamu butuh lebih banyak istirahat kamu bisa istirahat saja dulu nanti ku bangunkan” Ucap Rizam. Sebagai jawaban aku menggeleng tidak setuju.
“Aku tidak mengantuk lagi. Tidak apa-apa aku akan berjaga juga sesuai kesepakatan” Jawabku tegas.
Angin malam di tengah hutan membuat kulitku menggigil kedinginan. Untunglah, aku membawa jaket dari tenda tadi, sehingga angin dingin tidak menembus tulang-tulangku. Meskipun kami di daerah perkemahan, namun tetap saja suasana hutan memberikan suasana yang berbeda.
“Aku penasaran dengan persis apa yang kamu lihat tentang suku kanibal” Rizam menatap tenda-tenda kami semua yang berada di depan kami sejauh 10 meter. Tenda-tenda itu di tutupi api unggun yang berkobar menghempaskan kedinginan kami. Di tambah lagi jaket tebalku yang kupakai menambah kehangatan tubuhku.
“Sangat menyeramkan. Aku melihat seseorang yang menjadi korban suku bejat itu. Seseorang itu dikuliti dan di makan bersama-sama tanpa belas kasihan.” Aku menyentuh kepalaku ada memori yang berputar-putar berkelebat di sana. Tapi aku segera menepisnya sebelum Rizam melihatku dan menyuruhku istirahat untuk yang kesekian kalinya.
“Semoga kita selalu selamat dan dilindungi Allah dimana pun dan kapan pun.” Aku mengaminkan doa nya. Ia pun mengamini doanya dengan tulus.
Kami berbincang cukup banyak bahkan hampir tak terasa bahwa jam sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Kami menambah kayu pada api yang sudah hampir redup. Dira dan Faleya muncul dari pintu tenda sambil mengucek kedua matanya ia mengenakan jaket di tubuhnya.
Di tenda lain Azlan dan Kay juga sudah bangun mereka bergegas ke sungai. Aku dan Rizam masih menunggu mereka kembali barulah kami akan segera bersiap menyambut subuh datang. Dan tidak lupa menunggunya dengan menikmati shalat di sepertiga malam.
Subuh pun datang meskipun tanpa adzan kami melihatnya dengan jam yang kami miliki. Kami menentukannya sebagaimana biasanya kami shalat, bahkan agak kami lewatkan sedikit agar lebih pas waktunya. Imam kali ini adalah Kay, Azlan menjadi makmum di belakangnya.
Setelah selesai shalat, aku mendapatkan dispensasi untuk istirahat begitupun Rizam di tenda kami masing-masing. Faleya dan Dira menyiapkan makanan meskipun dengan alat dan bahan seadanya keduanya bahu membahu menyiapkan masakan untuk pagi ini. Kay dan Azlan membantu menyiapkan dan membereskan halaman perkemahan.
Tapi ada yang berbeda pagi ini, aku sempat terpejam beberapa saat sebelum akhirnya mereka membangunkanku untuk sarapan. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi, namun langit masih gelap.
Kami sudah bersiap dengan mengenakan jas kami, niatnya pagi ini kami akan meneliti lebih pagi dari kemarin. Sebab kami ingin menuntaskan masalah tumbuhan dan ingin fokus pada penelitian. Jadi, jika nanti ada kekurangan bahan barulah kami akan kembali ke hutan untuk mengambil bahan.
Saat berada di karpet serbaguna kami, kami menyebutnya demikian sebagai gelar atas fungsinya yang sangat banyak. Antara lain untuk shalat, makan, dan berjaga malam. Kami bertanya perihal cuaca pagi ini satu sama lain. Kami saling menimpali satu sama lain.
“Antara tadi malam dan pagi ini sama-sama dingin.” Faleya berpendapat.
“Aku pun demikian. Bagaimana denganmu Sen?” Sahut Dira sambil bertanya menatapku.
“Sepanjang malam aku berada di samping api dan jaket pun ku kenakan. Aku mendapatkan kehangatan yang cukup. Tapi memang ada yang aneh. Selama di sini kita belum pernah merasakan hujan, biasanya sebelum hujan kita akan gerah. Tapi kenapa malah dingin begini ya, selama ini kan tidak pernah ada hujan yang turun yang bisa mempengaruhi suhu udara.”
Aku mengatakan sambil mengingat sedikit kebiasaan suhu di kotaku. Tapi, mungkin di tempat ini berbeda dari kotaku. Atau ada hal yang belum bisa dijelaskan mengenai ini.
“ Aneh !” Azlan bergumam.
Semuanya menatapnya, tidak ada percakapan lain. Kami segera menyelesaikan sarapan dan membereskan peralatan. Tak lupa pula kami membereskan karpet serbaguna. Cuaca sepertinya akan menurunkan hujan dengan lebat.
Tak lama kemudian hujan turun mengguyur perkemahan kami. Kami berlari menuju tenda tapi Azlan menyuruh kami berada dalam satu tenda. Dan ia menyuruh kami untuk menempati tenda laki-laki karena tenda mereka memang lebih besar dari kami.
Setelah berada dalam satu tenda Kay mengambil jas hujan plastik yang berada di sudut belakang tenda. Ia memakainya tanpa penjelasan kemudian keluar tenda. Ia mengambil kayu-kayu yang sudah basah karena hujan. Ia membawanya ke tempat penampungan kayu yang ia buat tadi sambil membersihkan halaman. Ia memikirkan untuk membuat bangunan untuk menyimpan kayu dan ternyata memang di butuhkan.
Bentuknya seperti persegi tanpa pembatas apa pun hanya ada empat pondasi dari kayu yang cukup besar setinggi 2 meter dan atapnya dari karpet tipis plastik yang belum di pakai. Di tambah dengan kayu yang berbentuk vertikal sebagai penyangga agar tidak jatuh saat ada hujan maupun hal lain jatuh di atasnya. Ide ini sangat brilian ia berhasil membuatnya dan sekarang kayu itu sebagian sudah ada di sana.
Azlan dan Rizam yang melihat itu kemudian bergegas menyusul. Mereka membantu menyelesaikan kayu itu. Kayu yang tersisa hanya tinggal sedikit paling hanya untuk satu hari atau dua hari lagi.
Mereka kembali lagi ke tenda dengan jas hujan plastik yang masih mereka pakai dengan terburu-buru. Azlan melepas jas hujan begitupun dengan Kay dan Rizam, mereka terlihat cemas satu sama lain.
“Apa yang mengganggu,?” Tanyaku pada keduanya. Kay menatap hujan yang turun dengan derasnya. Aku pun menatapnya, awan kelabu dan hujan lebat membuat keheningan.
“Hujan masih enggan berhenti, kita gagal meneliti sesuai jadwal” Kay menjawab apa adanya.
“Yang lebih mencemaskan lagi langit belum menunjukkan tanda-tanda hujan akan reda. Aku khawatir ini akan berlangsung lama. Kita juga perlu menambah bahan makanan untuk besok pagi” Rizam menimpali.
“Benar Kay, Zam. Kita tunggu sebentar lagi jika hujan enggan berhenti kita akan keluar untuk memeriksa keadaan.” Azlan menjelaskan dan mencoba memberikan solusi. Aku mengangguk setuju dengan idenya, kali ini ia bersikap bagaimana sikap seorang kapten seharusnya. Tidak banyak menuntut dan pastinya bertanggung jawab.
“Aku setuju” Ujar Kay dan Rizam. Faleya dan Dira pun demikian kami semua sepakat.
Jam menunjukkan pukul 09.00 hujan masih sama, kondisi dan situasi masih sama tidak ada perubahan. Azlan beranjak dari duduknya, ia mengambil jas hujan. Begitu juga dengan Kay dan Rizam. Mereka siap menerima perintah.
“Sesuai kesepakatan aku akan mengecek keadaan di sekitar.” Ujarnya.
“ Kay akan ikut, aku berharap Rizam juga ikut tapi kamu punya tanggung jawab lebih besar Zam. Tetaplah di tenda jaga mereka dan juga tenda kita. Aku dan Kay akan segera kembali.” Azlan tersenyum pada Rizam. Yang mengangguk mantap, Rizam agak sedikit kecewa dengan keputusan ini. Tapi dia tidak punya pilihan lain akhirnya ia pasrah dan menyetujuinya.
“Kami bisa menjaga diri!” Seruku pada Azlan. Sebagai jawaban ia menggeleng keras. Ia tidak ingin meninggalkan tenda tanpa seorang lelaki pun didalamnya.
“Kalian akan tetap di temani Rizam. Ini perintah!” Serunya menolak pernyataanku. Aku diam pasrah dan menerima keputusannya.
“Lagipula kita tau kondisi sekitar. Aku tidak ingin ada yang menggangu kita apalagi jika kalian hanya bertiga pasti sangat beresiko. Percayalah, kami akan kembali secepatnya.” Kay mencoba menepis kekhawatiran kami. Faleya menjawabnya.
“Baiklah”
Aku mengangguk dan tersenyum kecut dengan ucapan Kay. Semoga mereka baik-baik saja. Hujan masih terus turun bahkan saat keduanya sudah keluar tenda. Rizam ikut keluar untuk menutup jaring yang kontrolnya ada di samping tenda, sehingga tidak bisa ditutup atau pun di buka dari luar.
Azlan dan Kay mengangguk ke arah Rizam sebagai bentuk kesepakatan dan pamitan sebelum berangkat. Kemudian keduanya pun berjalan menyusuri hutan menerobos hujan yang deras. Mereka berdua berjalan menuju tempat penelitian kemarin, keduanya tiba di tempat penelitian Azlan sambil mengamati sekitar. Tempat penelitian Azlan yang dekat dengan danau membuat hujan yang jatuh di atas danau memercik ke permukaan danau lain. Keduanya mengambil bahan-bahan sesuai kebutuhan sesekali meneliti apa yang perlu dan dibutuhkan.
“Kapten, aku tidak bisa membantu mencatat. Keadaan hujan deras tidak memungkinkan” Kay menjelaskan suaranya samar kalah dengan suara hujan, namun masih terdengar jelas di telinga Azlan. Azlan mengangguk setuju dengan ucapannya.
“Tidak perlu di catat, tujuan kita bukan hanya untuk ini kan.” Ia menjawab menenangkan.
Tak lama dari perbincangan mereka, tiba-tiba segerombolan burung muncul di balik semak di seberang danau. Burung itu mendekat ke arah mereka dengan suara khas. Burung itu berwarna coklat muda dengan ukuran yang sama. Keduanya berlari agar terhindar dari burung-burung itu.
Masih dengan jas hujan yang sama, keduanya berlari ke sembarang arah. Mereka melewati pohon-pohon besar dan berhasil pergi dari jangkauan burung-burung itu. Mereka bersembunyi di balik pohon besar.
Awan sangat gelap, lebih gelap dari sebelumnya. Hujan tetap tidak mau menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Tidak seperti hujan di kota hujan di sini sangatlah berbeda.
“Kay, aku ada ide untuk mengelabuhi burung-burung itu. Aku akan mengalihkan perhatian mereka.” Ujar Azlan.
“Apa yang akan kita lakukan kapten?” Kay bertanya.
“Aku ingin mereka pergi dan meninggalkan kita berdua disini” Azlan meyakinkan.
“Bagaimana kita akan melakukannya, kapten?” Kay sedikit ragu. Air hujan membasahi wajahnya, ratusan tetes air itu membasahi jas hujan yang membungkus tubuhnya. Azlan menunjuk jas hujannya. “Kita akan mengelabuhi mereka dengan ini” Azlan menatap serius. “Baiklah. Aku ikut” Kay berujar serius. “Kau harus ikut. Tapi dengarkan aku, kau hanya perlu melepas jas hujan. Dan menghilanglah di balik semak-semak. Aku tau kamu pasti paham maksudku, jangan sampai dirimu ketahuan berlari.” Azlan menjelaskan. “Aku paham kapten” Kay tersenyum semangat. Ia merapikan jas hujan dengan seringai singkat di wajahnya. Ada semangat yang tiba-tiba mengobar di dalam jiwanya. Ia sudah geram dengan kelakuan burung-burung itu, terlebih lagi ia geram karena mereka enggan pergi saja tanpa perlu membuat keduanya repot. Sebelum pergi kami melihat burung-burung itu. Jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya. Azlan melihat satu persatu burung itu, ia melihat hal janggal di sana
Kay menatap Azlan berusaha mencari penjelasan. Dari sirat matanya seolah banyak sekali pertanyaan di benaknya. Ia melangkah sedikit lebih dekat ke pembatas pepohonan. Tak hanya cuaca di sini yang aneh karena yang tadinya hujan deras berubah menjadi terik. Namun, cuaca di desa sebelah juga tak kalah aneh yang awalnya terik berubah menjadi hujan deras seketika seperti hujan sebelumnya di daerah desa damai. Meskipun sebelumnya di sana terik panas matahari dan tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Tapi setelah air di dalam kendi itu di tuang pada titik pusat itu, semuanya berbalik seketika. Banyak pertanyaan pula di benak Azlan dengan semua hal yang yang ia lihat sejak tadi. Tidak hanya aneh, ini seolah sihir baginya. Ia pun tidak yakin hujan ini merata di desa damai sebagaimana hujan pada umumnya. “Kapten, ini sulit dijelaskan. Banyak sekali pertanyaan di benakku” Kay masih terus menatap apa yang ada di depannya. Setelah wanita itu menyiram air, ada se
Perjalanan dari perkemahan menuju rumah pak tua berjarak cukup jauh. Sena dan Azlan berjalan beriringan untuk tiba di sana. Tidak ada percakapan antara Sena dan Azlan. Hingga suatu celutukan kecil Azlan membuat atmosfer di antara keduanya lebih baik. “Terima kasih balutan perbannya. Sepertinya lukaku akan sembuh besok” Azlan tertawa menggoda. “Semoga cepat sembuh” Aku menggumam datar. Ia tak menanggapi jawabanku dengan serius, ia justru membuat pernyataan baru. “Ngomong-ngomong soal perban. Kamu cukup gerak cepat dalam berinisiatif” Ujarnya “Hanya agar kamu tetap jadi kapten. Kan tidak mungkin seorang kapten lama-lama cidera” Aku menjawab apa adanya masih terus berjalan melihat pemandangan di samping kanan. “Kupikir ada alasan lain” Azlan berjalan lebih cepat dariku. “Tidak ada hal lain. Yang ada hanya kepedulian kelompok, aku hanya peduli padamu hanya karena kamu seorang kapten di kelompokku.” Aku menjawab jengkel. “Kapten kel
Mereka tiba sebelum matahari terbenam. Azlan tiba saat yang lainnya baru saja tiba di perkemahan. Matahari sudah berwarna jingga pekat. “Kita akan bersiap menunaikan shalat Maghrib sebelum memulai penjelasanku” Azlan memerintahkan semuanya untuk bersiap sesaat setelah menyimpan kayu dan bahan makanan di tempat khusus. Semuanya bersemangat melihat raut wajah Azlan yang terlihat begitu ceria saat mengucapkan kalimat itu. Tanda baik sedang ia tampakkan meskipun nyatanya tidak demikian. Ia mencoba membuat teman-temannya sedikit merasa lebih baik. “Kau bisa membersihkan diri dan bersiap untuk misi besok dan seterusnya. Kita tidak punya waktu bersantai.” Azlan berbisik di telinga Sena. Sena terdiam datar tanpa anggukan atau jawaban. Setelah kalimat itu selesai Azlan menjauh meninggalkan tenda menuju danau untuk membersihkan diri. Gelap sudah menyelimuti langit di atas sana. Sena, Dira dan Faleya bersiap mengenakan mukenah di dalam tenda. Mereka menunggu Maghrib di
Malam telah berlalu. Pagi telah datang memancarkan cahayanya sebagaimana biasa. Tugas susul-menyusul menungguku. Diariku telah mencapai lembar ke delapan, sebagaimana aku mengisinya dengan catatan-catatan singkat tentang kesanku menjalani hari-hari. Aku menyimpan diari, dan kembali berkutat dengan ponselku yang sepi tanpa bunyi notifikasi. Semuanya beraktivitas sebagaimana seharusnya. Tidak ada hujan yang melanda, tidak ada mendung yang menyelimuti langit perkemahan. Udara lebih sejuk dari sebelumnya, seolah terapi bagi otakku yang akhir-akhir ini sering pusing dan sering melihat sekilas memori lama dalam hidupku. Perkemahan ini adalah rumah kedua kami beberapa hari terakhir. Dira menjemur pakaian kotor di belakang tenda. Ah iya, kehidupan kami di sini persis sama seperti kehidupan di rumah. Memasak, mencuci, menyapu dan kegiatan lainnya yang juga tak kalah merepotkan di samping bertugas. Tapi kami melakukannya bersama-sama lagi pula teman-teman lainn
Faleya membawa segelas teh hangat dari luar tenda dan mengulurkannya pada Sena. Sena menerimanya dan menegaknya sekali. Kay masuk ke dalam tenda menghampiri keduanya setelah membereskan urusannya di luar. “Kau sudah baikan?” Tanyanya membawa buah yang di simpan di atas piring datar berbentuk persegi. “Cukup baik. Terima kasih” Aku menerima uluran piring itu dan berterima kasih. “Kau akan segera sembuh. Aku akan keluar untuk mengawasi penombak itu.” Kay tersenyum padaku dan Faleya. Kay tersenyum mengangguk ke arah Faleya. “Hati-hati” Faleya tersenyum membalasnya. Kay duduk di samping perapian sambil memanggang ubi singkong yang kemarin ia dapat dengan Faleya di dalam hutan. Ia membolak-balikkan ubi singkong itu dan menyantapnya sambil lalu mengawasi sekitar. Ia menuangkan segelas teh hangat dari samping perapian yang ia sisihkan setelah mendidih tadi. Ia menegak teh hangat itu dengan rasa dahaga yang begitu besar di tenggorokannya sehin
Sore telah tiba semuanya berdiri mendirikan sholat ashar, matahari telah berubah warna di kaki langit sana. Suara air danau yang mengalir, menentramkan sholat yang terlaksana dengan irama syahdu menenangkan jiwa-jiwa yang resah. Saat pikiran terlalu sesak dengan masalah, juga hati yang terasa berat dengan tekanan situasi semuanya kembali lagi pada sang Ilahi. Penombak itu memperhatikan kami yang mendirikan sholat berjamaah, ia merasa aneh untuk pertama kalinya melihat hal ini dalam hidupnya. Ia memperhatikan dengan seksama dan teliti bahkan ia sempat mengabaikan tali yang melingkar di pergelangan tangan dan kakinya dengan erat. Seolah ia bebas dari semua itu, ia merasa lebih baik dari sebelumnya. Setelah semuanya selesai, aku mempersiapkan makanan untuk makan malam. Faleya dan Dira membantu banyak, keduanya cekatan memotong sayur dan bergerak gesit memasukkan sayur-sayur itu pada panci yang sudah penuh dengan air yang mendidih. Aku meletakkan masakan yang sudah matan
“Aku butuh minum nyonya” Ujar penombak itu membuat Sena menoleh saat mengambil air minum untuk ia minum. Berpikir sejenak, akhirnya Sena menuangkan air pada gelas kayu yang lain untuk di berikan kepada penombak itu. “Terima kasih” Ujar penombak itu lagi setelah Sena menuangkan air itu ke mulutnya. Tanpa jawaban Sena pergi meninggalkannya. Di samping itu suara burung beterbangan di langit-langit perkemahan. Seperti ada yang menganggu ketenangan mereka. Sena berbalik menatap penombak itu, ia masih di ikat dengan tali pengikatnya. Sebuah tombak mendarat lagi tiga puluh sentimeter di depannya. Untuk kedua kalinya ia benar-benar merasa trauma. Ia melihat ke arah tombak itu di lemparkan. Banyak sekali penombak bertopeng yang mengelilingi perkemahan. Jaring otomatis itu belum tertutup sempurna. Sena menarik tali kontrolnya dan seketika jaring tertutup otomatis. Aku yakin jaring ini tidak akan membantu banyak dalam hal perlindungan. Tapi setidaknya me
Mereka akhirnya berjalan meninggalkan perkemahan semua barang di kemas dengan baik tanpa menyisakan jejak apa pun. Mereka berjalan beriringan tanpa percakapan. Pikiran mereka menerawang satu sama lain. Perjalanan yang seharusnya sedikit singkat terasa lebih panjang dalam keheningan. Langkah yang tidak pernah di perhitungkan, kini mulai terbilang dan membosankan. Suasana hati, lelah dan segala hal yang terjadi membuat pikiran mereka tidak diam saja. Siapa yang bertahan? Tidak ada. Siapa yang bisa di percaya? Tidak ada. Siapa yang berhak di salahkan? Tidak ada. Ini hanya perjalanan hidup, semuanya akan kembali dan berjuang dalam kehidupan mereka masing-masing. Jangan percaya ucapan tentang kepedulian itu, itu hanya bualan saja. Mereka tak bisa melukai siapa pun. Tapi kau yang di lukai amarahmu, dan juga harapan-harapan itu. Kejadian-kejadian itu terputar ulang dengan jelas. Pertempuran, luka, kematian, semua hal janggal itu tergambar jelas di kepala mereka. Kini, semuanya harus kembal
Pangeran Corlen tersenyum menetralkan suasana pagi. Azlan membalasnya singkat sedikit ramah namun tegas. Ia menjawab kalimat pangeran itu dengan tegas.“Apa yang ingin kau tau?” Azlan mengamati sekitar dengan ekor matanya. Semua prajurit berdiri lebih dekat ke arahnya. Ia tersenyum miring melihat beberapa perubahan yang terjadi.Setiap senyuman hanyalah bingkai, di sini tidak ada yang benar-benar tulus melakukannya. Bahkan jika itu sebuah permainan maka pilihan teraman saat ini adalah ikut bermain. Sekali pun belum paham alur permainan.“Simpel saja, aku hanya ingin tau pembunuh saudaraku” Pangeran Corlen menjawab singkat. Seolah ia paham arah lawan dalam permainannya. Senyumnya masih mengembangkan di wajahnya.“Akan ku jelaskan singkat tentang kami, jika kau mencurigai kami adalah dalang dari pembunuhan.” Azlan menarik nafasnya berat dan menghembuskan dengan cepat. Pangeran Corlen bersiap mendengarkan.“
Sena segera melepaskan gigitannya dari tangan Azlan saat ular itu berlalu di depan mereka. Azlan menatap Sena dengan tatapan tajam. Bukan ular yang menggigitnya, namun Sena yang terkejut spontan membuka mulutnya dan menggigit tangan Azlan yang membekam mulutnya. Sena meminta maaf dan segera mengobati tangan Azlan yang terluka karena giginya. Jujur saja, luka di tangan pasti cukup sakit. Ada darah yang mengucur di tangannya. Azlan terdiam tanpa basa-basi saat Sena cekatan membersihkan lukanya dan membalut dengan hansaplast. Sena merasa sangat menyesal dengan kejadian barusan. Ia tidak ingin menatap Azlan karena rasa gugup yang ia rasakan. Ia merasa telah berbuat tidak baik padanya. “Aku tidak sengaja, maaf!” Gumamnya yang masih terdengar jelas di telinga Azlan. Azlan seketika melepas tangannya dari Sena dan kembali duduk di tempatnya. Sena semakin merasa bersalah. Suara langkah kaki dari pasukan itu mendekat ke arah semak-semak, membuat situasi dingin
Azlan masih menatap mata coklat tua Sena. Ucapan Sena barusan membuat pikirannya terganggu. Ia sedang berusaha membuat semua yang Sena katakan tidaklah benar adanya. Seketika ide briliannya datang, ia tersenyum kemudian menjawab singkat. “Akhirnya kalimat yang kutunggu keluar juga. Aku berhasil membuatmu jatuh dalam perangkapku, nona” Suaranya Azlan masih pelan. Namun intonasi pengucapannya sangat tidak ramah. Kini giliran Sena yang mencemaskan keadaannya yang tengah terpojokkan. Ia memutar otak sedemikian rupa agar dapat membungkam si kapten yang menyebalkan ini. Azlan melihat kecemasan di dalam raut wajah Sena. Dengan senang hati ia berdehem bangga atas jawabannya. “Tentu saja, terkadang seseorang yang punya selera humor rendah suka bercanda tidak tau tempat.” Sena menaikkan sebelah alisnya. Suasana semakin membeku, tiba-tiba saja rasa udara yang panas berubah menjadi sangat dingin dan mencekik. Azlan sekali lagi sadar. Sena tidaklah sama seperti pe
Pagi sudah kembali bersinar setelah beberapa hari lalu. Kehidupan kembali normal. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Kejadian penyerangan, Kay yang terluka. Hingga banyak hal yang mereka alami lainnya.Kini saatnya untuk melanjutkan penelitian yang sempat tertunda. Aku, Azlan, dan Kay sudah bersiap untuk mendapatkan daun herbal baru sebagai formula. Teman-teman yang lain masih menunggu di area perkemahan untuk menjaga-jaga.Kami membawa barang secukupnya. Namun tidak begitu banyak. Hanya satu ransel sedang yang berisi persediaan makanan. Dan beberapa keperluan lainnya yang tidak begitu banyak.Semuanya sudah berdiri di ambang pintu area perkemahan. Kami tersenyum menyemangati. Kami berpamitan setelah semuanya di rasa sudah siap.Perjalanan selalu terasa indah. Namun, tak selamanya satu tim akan selalu bersama. Kadang kita perlu untuk berpisah sejenak untuk menyelesaikan tujuan kami.Kami akan kembali maksimal tujuh puluh dua jam dari waktu kam
Sena Menerima kotak itu dan hendak membukanya. Dira yang penasaran ikut menunggu Sena agar segera melihat apa yang ada di balik kotak itu. Tak sempat membuka kotak itu Azlan dan lainnya datang. Sena menghentikan gerakannya. Mereka semua fokus menyambut Azlan dan yang lainnya. Ia meletakkan kotak itu di samping laptop. Mereka membawa beberapa kebutuhan sehari-hari. Kayu kering, buah-buahan, sayuran dan sebagainya. Mereka membawanya dengan alat dari kayu seadanya. Setelah semuanya di rapikan di tempat yang seharusnya. Dira membawa minuman yang sudah ia buat tadi. Minuman segar yang berasal dari air danau yang sejuk. Ia membuat minuman sejenis squash delight alami. Azlan meraih laptop yang terdiam. Ia menatap Sena yang kini menatapnya balik. “Kau sudah menyusun penjadwalan Minggu ini?” Tanyanya tanpa sedikitpun menyentuh minuman yang dibuat Dira untuknya. Ia mengecek beberapa penjadwalan yang dibuat oleh Sena. Sena tersenyum mengangguk. “
Colven datang dengan tangan terkepal. Raut wajahnya sembab oleh Air mata. Namun tatapannya tajam berapi-api. Ratu Enase menatapnya dengan tatapan sayu. Ratu Enase beranjak hendak menyentuh wajah tampan putranya. Miss Alna menatap keduanya sedikit mengukir senyum memberi ekspresi positif. “Amam” Gumam Colven ia segera menyentuh tangan Ratu Enase. Ratu Enase menyentuh kepala Pangeran Colven. “ Putra Amam. Kemanakah kau akan pergi? Mengapa terlihat rapi sekali, Nak” Ratu Enase menyentuh pundak Colven. Mata Ratu Enase bertanya-tanya mencoba mencari jawaban. Melihat Colven yang sudah siap dengan semua persenjataan dan pakaian yang lebih rapi dari sebelumnya. “ Aku akan pergi Aman, Abam menyuruhku untuk melakukan sebuah misi.” Jawab Colven, ia menyentuh balik tangan Ratu Enase. Ratu Enase menggeleng tidak pasrah dengan ucapan Colven. “ Kemanakah kamu akan pergi Nak? Amam menginginkanmu tinggal di sini.” Belum sempat menjawab ucapan Ratu Enase. Raja
Flashback on. Sesi pemakaman sudah siap. Raja Colse yang sedari tadi melihat putra sulungnya itu hanya bisa melihat pasrah pada tubuh putra sulungnya yang mendingin. Ia menyentuh tangan putranya yang terlipat kaku. Derai airmata membasahi pipinya. Corlen yang duduk di samping ayahnya mencoba tegar menghadapi situasi yang ia alami. Ia melihat sang bunda yang terduduk lemas di samping kakaknya pun tak kuasa ia lihat. Pemandangan ini seolah cambuk bagi dirinya. Bak panah api di hatinya. Dan sebuah tombak yang menghancurkan raganya. Pangeran Corlen yang terlihat sangat belia di ajarkan dewasa oleh keadaan. Hanya ia satu-satunya putra ayahnya hari ini. Ia merasa sangat terpukul dengan kejadian ini. Belum lagi ia melihat tubuh kakak paling baik yang baginya kakaknya lebih dari sekedar saudara. Ia menganggap sang kakak sebagai sahabat yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya. Kini ia meratapi tubuh kaku itu. Tanpa suara hanya ada air mata.
Kini kami berada di atas tikar yang tak pernah di lipat kecuali hujan, itu pun jarang jika kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun begitu ia adalah satu-satunya karpet yang bertahan dari guyuran hujan tanpa basah. Hal itu karena ia terbuat dari plastik tahan air. Karpet berwarna merah tua ini merupakan karpet serbaguna yang biasa digunakan untuk shalat maupun sarapan, makan pagi maupun makan malam. Kami telah membentuk lingkaran bersiap menikmati sarapan pagi bersama. Kay sudah bisa mengondisikan posisi duduknya. Tangannya sudah bisa digunakan meskipun belum sempurna. Goresan panjang itu membuat siapa pun yang melihatnya akan iba. Namun senyum Kay tak pernah lepas dari bibirnya. Ia seolah menjelaskan bahwa ia baik-baik saja dengan lukanya. Kebetulan aku duduk diantara Kay dan Azlan. Aku membagikan piring seperti biasanya. Di lanjutkan dengan Dira dan Faleya yang mengisi piring-piring itu dengan menu. Tapi pagi ini ada sedikit kecangg