Baru saja ia selesai merapikan tensimeter, termometer dan pen light pada tempatnya, ketika seseorang menyapanya.
"Selamat pagi, dokter Cinta."
Cinta menoleh ke arah datangnya suara, ternyata di ambang pintu berdiri seorang pemuda berkulit hitam manis dengan wajah yang ramah, selama satu tahun bertugas di Puskesmas sebagai dokter PTT , Cinta baru sekali ini melihatnya .
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu? ” tanya Cinta, walau dengan sedikit enggan mengingat semua peralatannya sudah ia rapikan semua.Ah, kenapa sih, pemuda ini tidak datang dari tadi?
Dua jam lagi ia harus sudah sampai di bandara, jika tidak, mungkin baru seminggu lagi ia bisa terbang ke ibu kota Provinsi untuk kemudian melanjutkan penerbangan menuju Jakarta.
“Silakan langsung ke ruang pemeriksaan saja,” ujar Cinta tidak sabar saat melihat pemuda itu masih berdiri di depan pintu.
“Saya datang ke sini bukan hendak diperiksa,” ujarnya sedkit ragu. Wajahnya yang berpeluh menunjukkan pemuda ini pasti sudah melakukan perjalanan yang jauh untuk sampai ke Puskesmas ini.
“Lho, terus mau apa?” tanya Cinta heran, mayoritas orang ke Puskesmas ya pasti untuk berobat.
“Perkenalkan saya Arul. Saya hanya ingin mengucapkan terimakasih karena Dokter telah merawat Mama saya selama sakit beberapa waktu lalu, “
Kening Cinta berkerut, setiap hari ada puluhan pasien yang ia tangani dan tidak mungkin untuk mengingatnya satu per satu.
“Mama?” tanyanya pada Arul.
“Iya, mamaku, Mama Amina yang beberapa waktu lalu menderita stroke. Kata Mama, Dokter begitu telaten merawatnya sampai mengkhususkan diri datang ke rumah hampir setiap hari."
Cinta mengangguk-anggukan kepalanya, ia baru ingat kalau sekitar sebulan lalu pernah merawat ibu berusia enam puluh tiga tahun bernama Bu Amina, tapi baru kali ini ia melihat Arul padahal waktu itu hampir setiap hari ia selalu datang ke rumah Bu Amina untuk memantau perkembangan kesehatannya.
“Oh iya saya ingat sekarang, bagaimana kabar Bu Amina?”
“Baik Dok, sekarang sudah bisa berbicara normal kembali begitu juga jalannya sudah mulai lancar, meskipun masih dibantu dengan tongkat."
“Oh syukurlah, saya senang mendengarnya,” ucap Cinta antusias. “Sayang sekali saya tidak sempat menengok mamamu dan berpamitan padanya.”
“Mama titip salam dan membawakan ini untuk Dokter, katanya sebagai tanda mata supaya Dokter tetap mengingatnya.”
Arul memberikan sebuah bungkusan kecil kepada Cinta.
“Apa ini?”
“Bukalah.”
Cinta membuka bungkusan yang diberikan Arul padanya, ternyata sebuah selendang panjang bermotif indah dengan warna-warni kontras, tampaknya hasil tenunan sendiri.
“Ini mamamu yang membuat?” tanya Cinta sambil menatap selendang itu dengan kagum.
“Iya,dia menenunnya khusus untuk Dokter, ini motif tradisional Anggrek Wayabula, pewarna yang dipakai pun berasal dari kulit batang pohon, umbi dan dedaunan.”
“Bagus sekali, tolong sampaikan terimakasih pada mamamu ya.”
Arul mengangguk sambil tersenyum. “Iya, nanti saya sampaikan pada Mama.”
Cinta menyimpan selendang itu ke dalam tasnya.
“Ternyata ucapan Mama benar…” ucap Arul perlahan.
“Apanya yang benar ?” tanya Cinta sambil memandang Arul tidak mengerti.
“Dokter tidak hanya berwajah cantik tapi juga baik dan sangat menghargai orang lain,” ujarnya tanpa b**a-basi.
Cinta tertawa. “Ah, kamu ini ada-ada saja.”
“Pantas saja Mama sangat menyukai Dokter Cinta, makanya ketika saya pulang kemarin sore, Mama memaksa saya untuk segera menemui Dokter, sebelum Dokter kembali ke Jakarta.”
“Menemui saya, untuk apa?” tanya Cinta dengan pandangan tidak mengerti.
“Hm….anu, selain memberikan selendang ini, Mama menyuruh saya untuk melamar Dokter,” ujarnya agak malu.
“Apa? melamar saya ?!” tanya Cinta kaget, ia berharap pendengarannya salah, baru kali ini ada orang melamar to the point begini
Arul menganggukan kepalanya. “Iya, mulanya saya juga menolak keinginan Mama yang terasa konyol itu, jujur saja saya tadi terpaksa datang ke sini, maaf ini memang agak berlebihan dan terlalu mendadak,” ujar Arul sambil sedikit tersipu malu, ia kemudian melanjutkan kembali ucapannya.
“Tapi, sungguh setelah melihat Dokter, saya jadi yakin kalau pilihan Mama tidak salah.”
Cinta terhenyak, sejak pertama kali menginjakkan kaki di pulau kecil yang indah ini, untuk menjalankan tugasnya sebagai dokter PTT, ada beberapa laki-laki yang mencoba mendekatinya, ada Benny pemilik kapal penangkap ikan, Pak Albert duda beranak tiga, Hassan Hehahua pedagang kelontongan dan Haji Burhanuddin pemilik kebun pala, tapi tidak ada yang seberani ini langsung melamarnya!
“Bagaimana Dokter ?” tanyanya sambil memandang Cinta, harus Cinta akui kalau mata itu begitu bening dan polos .
Tak perlu berpikir panjang lagi Cinta menggeleng tegas. “Maaf, Arul, bukan saya tidak menghormati keinginan Mama Amina, tapi saya tidak mungkin menerima lamaran ini.”
“Kenapa? Apakah karena kami hanya orang kampung tak berpunya sedangkan Dokter berasal dari keluarga kaya di Jakarta?”
"Oh, bukan itu alasannya, saya tidak pernah punya pikiran seperti itu, tapi semuanya begitu tiba-tiba, apalagi saya sudah mempunyai tunangan di Jakarta dan Insya Allah segera setelah saya pulang dari sini kami akan segera menikah,”
“Tunangan?”
Cinta mengangguk.
Kali ini Arul terdiam, ada gurat kekecewaan yang tiba-tiba menyeruak di matanya, ternyata Dokter Cinta sudah bertunangan, kenapa tidak terpikir sebelumnya akan kemungkinan ini.
Cinta sebetulnya tidak enak hati melihat wajah Arul yang tiba-tiba murung, tapi bagaimanapun juga ia harus tegas, Andhika tunangannya sudah menunggu di Jakarta, kalau tidak ada halangan dalam bilangan bulan Cinta sudah menjadi istri Dokter Andhika Widyatama, mantan kakak kelasnya di kampus, kedua orang tua mereka sudah merencanakan pertemuan lagi setelah kepulangan Cinta untuk membahas masalah pernikahan.
“Jadi Dokter sudah bertunangan ? Saya tidak melihat cincin melingkar di jari Dokter?” ucapnya seolah ingin meyakinkan kalau Cinta hanya berbohong kepadanya.
Cinta meraih sebuah benda kecil dari sakunya, setiap mengambil air wudhu ia memang selalu melepas cincin putih bermata berlian itu, disematkannya kembali benda itu di jari manisnya untuk menegaskan kalau pemuda itu tidak mungkin mewujudkan niatnya.
“Sayang sekali ya…” Desahnya. “Mudah-mudahan Mama tidak terlalu kecewa mendengar berita ini.”
“Maafkan saya dan tolong sampaikan maaf pada mamamu ya,” ujar Cinta akhirnya, bagaimanapun juga Arul melakukan ini semua karena permintaan mamanya.
“Ya…ya, nanti akan saya sampaikan pada mamaku."
Cinta melirik jam di pergelangan tangannya, “Maaf, Saya harus pergi sekarang, kalau tidak saya akan ketinggalan pesawat.”
“Dokter sudah mau pergi?”
Cinta mengangguk. “Ini hari terakhir saya dinas di sini.”
“Iya saya tahu, kemarin para tetangga membicarakan hal itu pada Mama, menyesal sekali padahal kita baru saja berjumpa."
“Yah mungkin suatu hari, kita bisa berjumpa lagi,” gumam Cinta dengan ragu. Sejujurnya ia tidak berharap bisa bertemu dengan lelaki itu lagi.
Sekarang, nanti dan selamanya.
“Bagaimana kalau Dokter saya antar sampai bandara?”Cinta menggeleng. “Saya bisa sewa bentor,” elaknya, bentor adalah sejenis beca yang menggunakan motor.“Hari semakin mendung dan bawaan Dokter juga banyak, kebetulan saya membawa mobil, biarpun mobil tua tapi masih oke lho jalannya, ayolah anggap saja ini untuk merayakan perkenalan kita, atau mungkin sebagai tanda perpisahan,” tawar Arul setengah memaksaCinta berpikir sejenak, naik bentor dengan bawaan sebanyak ini pasti merepotkan apalagi perjalanan yang akan ditempuh cukup jauh, tapi Arul baru beberapa menit saja ia kenal, ia khawatir terhadap kemungkinan Arul akan berbuat macam-macam padanya. Ah ia segera menepis prasangka buruk itu dari pikirannya.“Baiklah,” ucap Cinta akhirnya, Arul tersenyum senang memperlihatkan sederetan giginya yang putih, diam-diam Cinta memperhatikan lelaki itu, cukup keren sebenarnya, bahkan posturnya lebih gagah dari Andhika&
Ketika beberapa saat kemudian ia tersadar, yang pertama kali didengarnya adalah raungan sirine mobil ambulan dan hiruk pikuk orang-orang di sekelilingnya, Cinta merasakan tubuhnya ditandu, tapi sekujur tubuh terutama kakinya terasa begitu berat, sayup – sayup terdengar suara seseorang, ia merasa mengenalnya.Ya…ya itu suara Arul! Ternyata lelaki itu masih ada di bandara seperti janjinya Cinta mencoba untuk bangkit mencari arah suara itu, tapi kepalanya terasa begitu berat.“Dokter Cinta, syukurlah Dokter sudah sadar.” Suara Arul tiba-tiba terasa sangat dekat di telinga Cinta.Cinta berusaha membuka matanya, sepasang mata bening itu sedang menatapnya dengan pandangan sangat cemas, ada butiran air di sudut matanya.“Ka … kamu … ?”“Iya, saya masih ada di bandara sesuai janji saya, sungguh saya tidak menyangka kalau akan terjadi seperti ini, syukurlah tidak ad
"Kok, kamu jadi bengong?” tanya Cinta melihat tatapan mata Andhika yang menerawang.Andhika tersentak. “Eh, enggak, aku tiba-tiba kepikiran sesuatu, tapi sudahlah aku senang akhirnya kamu sudah sadar kembali.”“Kata Mami kamu menungguiku selama ini ?”Andhika mengangguk, “Tentu saja, beberapa teman kuliah kita juga sempat datang, ada Anya, Widhi, Ronggur bahkan Robin yang sekarang tinggal di Bandung menyempatkan diri datang di sela–sela seminar yang diikutinya.”Cinta tersenyum, bahagia rasanya dikelilingi oleh orang–orang yang mencintainya.“Aku kangen sama kamu.““Aku juga.”“Bagaimana kalau aku tidak bisa pulih lagi ?” tanya Cinta cemas“Hus, jangan bicara seperti itu, kamu kayak bukan dokter aja, ingat setengah dari pengobatan itu adalah sugesti.”Cinta tertawa, itu yang
BAB 5CINTA HANYA SEPENGGAL DUSTADua bulan berbaring tiada daya bukan sesuatu yang menyenangkan, apalagi bagi orang yang sudah terbiasa dengan segudang aktivitas. Cinta merasakan hal itu, ia merasa merana harus menghabiskan waktunya hanya dengan berbaring tanpa mampu melakukan apapun.Sering ia mengingat masa–masa ia melakukan PTT beberapa waktu lalu. Ia merasa sangat terkesan dengan pengalamannya di sana. Selain karena bisa menyumbangkan ilmunya ia juga sangat kagum dengan keramahan penduduk pulau itu, itulah mengapa sebabnya ia memendam keinginannya untuk mengabdi ke sana suatu saat nanti.Sayang keinginan itu rasanya mustahil terwujud jika melihat kondisinya seperti sekarang ini.Tiba-tiba ia jadi ingat Arul. Saat dalam keadaan setengah sadar ia merasa kalau Arul yang menungguinya di dalam ambulan selama perjalanan ke rumah sakit. Ah, ia belum sempat mengucapkan terimakasih pada le
BAB 5CINTA HANYA SEPENGGAL DUSTADua bulan berbaring tiada daya bukan sesuatu yang menyenangkan, apalagi bagi orang yang sudah terbiasa dengan segudang aktivitas. Cinta merasakan hal itu, ia merasa merana harus menghabiskan waktunya hanya dengan berbaring tanpa mampu melakukan apapun.Sering ia mengingat masa–masa ia melakukan PTT beberapa waktu lalu. Ia merasa sangat terkesan dengan pengalamannya di sana. Selain karena bisa menyumbangkan ilmunya ia juga sangat kagum dengan keramahan penduduk pulau itu, itulah mengapa sebabnya ia memendam keinginannya untuk mengabdi ke sana suatu saat nanti.Sayang keinginan itu rasanya mustahil terwujud jika melihat kondisinya seperti sekarang ini.Tiba-tiba ia jadi ingat Arul. Saat dalam keadaan setengah sadar ia merasa kalau Arul yang menungguinya di dalam ambulan selama perjalanan ke rumah sakit. Ah, ia belum sempat mengucapkan terimakasih pada le
"Kok, kamu jadi bengong?” tanya Cinta melihat tatapan mata Andhika yang menerawang.Andhika tersentak. “Eh, enggak, aku tiba-tiba kepikiran sesuatu, tapi sudahlah aku senang akhirnya kamu sudah sadar kembali.”“Kata Mami kamu menungguiku selama ini ?”Andhika mengangguk, “Tentu saja, beberapa teman kuliah kita juga sempat datang, ada Anya, Widhi, Ronggur bahkan Robin yang sekarang tinggal di Bandung menyempatkan diri datang di sela–sela seminar yang diikutinya.”Cinta tersenyum, bahagia rasanya dikelilingi oleh orang–orang yang mencintainya.“Aku kangen sama kamu.““Aku juga.”“Bagaimana kalau aku tidak bisa pulih lagi ?” tanya Cinta cemas“Hus, jangan bicara seperti itu, kamu kayak bukan dokter aja, ingat setengah dari pengobatan itu adalah sugesti.”Cinta tertawa, itu yang
Ketika beberapa saat kemudian ia tersadar, yang pertama kali didengarnya adalah raungan sirine mobil ambulan dan hiruk pikuk orang-orang di sekelilingnya, Cinta merasakan tubuhnya ditandu, tapi sekujur tubuh terutama kakinya terasa begitu berat, sayup – sayup terdengar suara seseorang, ia merasa mengenalnya.Ya…ya itu suara Arul! Ternyata lelaki itu masih ada di bandara seperti janjinya Cinta mencoba untuk bangkit mencari arah suara itu, tapi kepalanya terasa begitu berat.“Dokter Cinta, syukurlah Dokter sudah sadar.” Suara Arul tiba-tiba terasa sangat dekat di telinga Cinta.Cinta berusaha membuka matanya, sepasang mata bening itu sedang menatapnya dengan pandangan sangat cemas, ada butiran air di sudut matanya.“Ka … kamu … ?”“Iya, saya masih ada di bandara sesuai janji saya, sungguh saya tidak menyangka kalau akan terjadi seperti ini, syukurlah tidak ad
“Bagaimana kalau Dokter saya antar sampai bandara?”Cinta menggeleng. “Saya bisa sewa bentor,” elaknya, bentor adalah sejenis beca yang menggunakan motor.“Hari semakin mendung dan bawaan Dokter juga banyak, kebetulan saya membawa mobil, biarpun mobil tua tapi masih oke lho jalannya, ayolah anggap saja ini untuk merayakan perkenalan kita, atau mungkin sebagai tanda perpisahan,” tawar Arul setengah memaksaCinta berpikir sejenak, naik bentor dengan bawaan sebanyak ini pasti merepotkan apalagi perjalanan yang akan ditempuh cukup jauh, tapi Arul baru beberapa menit saja ia kenal, ia khawatir terhadap kemungkinan Arul akan berbuat macam-macam padanya. Ah ia segera menepis prasangka buruk itu dari pikirannya.“Baiklah,” ucap Cinta akhirnya, Arul tersenyum senang memperlihatkan sederetan giginya yang putih, diam-diam Cinta memperhatikan lelaki itu, cukup keren sebenarnya, bahkan posturnya lebih gagah dari Andhika&
Baru saja ia selesai merapikan tensimeter, termometer dan pen light pada tempatnya, ketika seseorang menyapanya."Selamat pagi, dokter Cinta."Cinta menoleh ke arah datangnya suara, ternyata di ambang pintu berdiri seorang pemuda berkulit hitam manis dengan wajah yang ramah, selama satu tahun bertugas di Puskesmas sebagai dokter PTT , Cinta baru sekali ini melihatnya .“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu? ” tanya Cinta, walau dengan sedikit enggan mengingat semua peralatannya sudah ia rapikan semua.Ah, kenapa sih, pemuda ini tidak datang dari tadi?Dua jam lagi ia harus sudah sampai di bandara, jika tidak, mungkin baru seminggu lagi ia bisa terbang ke ibu kota Provinsi untuk kemudian melanjutkan penerbangan menuju Jakarta.“Silakan langsung ke ruang pemeriksaan saja,” ujar Cinta tidak sabar saat melihat pemuda itu masih berdiri di depan pintu.“Saya datang ke sini bukan hendak diperik