"Bukan karena Ayah tidak mau bekerja keras untuk menghidupi ku?" Tanya Dirga, ia menatap ayahnya dengan tatapan tajam. Surendra menghela nafas, ia masih santai menanggapi emosi Dirga yang menggebu-gebu.“Tidak, bukan karena itu,” jawab Surendra, ia mengambil rokoknya satu batang dan menyalakannya.“Jadi karena apa? Karena Ayah ingin jadi orang kaya instan tanpa bekerja, iya kan? Karena ayah ingin kau mendapatkan warisan dariku begitu kan?!” ucap Dirga dengan nada meninggi.“Dirga Jaga sikapmu, apa kamu tinggal di rumah besar tidak diajarkan sopan santun!” Ucap Surendra berang. Dirga tak mengindahkan hardikan Surendra. Surendra menyesap rokoknya dan menghembuskannya kasar.“Jadi, benar karena itu? Karena ayah tidak mau capek-capek untuk memberi makanku dan menyekolahkan aku?!” Surendra menyugar rambutnya kasar. Baru saja bertemu hari ini ayah dan anak itu sudah bersitegang.“Ya! Benar!” ucap Surendra akhirnya. Dirga tidak menyangka ayah kandungnya tega menukarnya hanya karena uang. I
Air mata Rania menetes, ia kembali ke meja makan dan menutup makanan yang telah ia siapkan untuk Dirga. Rania termenung, andai saja dulu Dirga tidak ditukar, mungkin dia tidak akan begini, karena terbiasa hidup enak Dirga jadi tidak terbiasa hidup susah. Rania terpekur duduk di kursi, tiba-tiba Surendra bangun ia langsung ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Kemudian ia kembali lagi, kemudian mengambil sarapan dan segelas teh yang telah disiapkan untuk Dirga.“Ini punya Dirga Bang, punyamu di dapur belum aku siapkan,” ucap Rania, menarik kembali piring tersebut.“Ah, sama aja kan? Sini nasi gorengnya aku laper,” ucap Surendra merebut piring tersebut dengan paksa. Rania tidak berkutik. Surendra makan dengan lahap, Rania menatap suami tak berguna ini, ia jadi kepikiran apa yang diucapkan oleh Dirga semalam, mengapa dia tidak minta berpisah saja dengan Surendra. Bertahun-tahun hidup dengan Surendra membuat ia semakin tersiksa dengan kelakuan suaminya. Surendra acuh saat ditatap oleh R
“Kau tidak ingat padaku?” tanya wanita itu, memandang Surendra dengan ekor matanya.“Masih Bu, Bu Clarissa! Mengapa tak memberi tahuku jika Ibu mau datang ke sini, jadi saya bisa mempersiapkan penyambutan untuk Ibu, silahkan duduk Bu,” ucap Surendra agak kikuk. "Bagus kalau kamu masih ingat."Surendra mempersilahkan Clarissa untuk duduk. Kanaya dan Rania mengintip mereka dari pintu dapur, melihat heran pada wanita cantik yang datang ke rumah mereka. Tapi Clarissa tak mau duduk, ia tetap saja berdiri.“Bu, dia siapa ya? Apa dia simpanan Ayah? Apa wanita itu yang selalu memberikan Ayah uang?” tanya Kanaya pada Ibunya sambil terus memperhatikan Clarissa.“Nggak tahu, tapi sepertinya bukan, wanita ini kalau nggak salah dalang dibalik penukaran bayi Raka dan Dirga beberapa tahun yang lalu,” ucap Rania.“Oh aku baru ingat Bu, sepertinya memang dia, mengapa kita ngakak lapor ke polisi saja?” ucap Kanaya. "Tidak bisa, buktinya nggak ada, kita cuma orang miskin, orang kaya lebih berkuasa, j
Pagi menyingsing, rumah Pak Danuarta kini sudah terlihat sibuk. Raka kini sudah terbiasa dan sudah bisa menyesuaikan diri dengan keluarga itu. Ia sudah mulai dekat dengan Annisa dan Damar tak canggung lagi.Tapi terkadang ia masih juga membantu menyiram tanaman, kini Annisa tidak melarangnya lagi, tidak ada salahnya juga orang kaya bekerja, malah lebih bagus, walaupun sudah menjadi orang kaya Raka tetap menjadi anak yang rendah hati. Semua orang di rumah itu sangat menyayangi Raka.Annisa juga sudah mendatangi klinik tempat Raka dilahirkan dahulu, Annisa sudah berusaha meminta hasil rekaman CCTV pada saat itu, tapi pihak rumah sakit mengatakan rekaman tersebut sudah tak ada lagi, karena yang bekerja di bagian teknis juga sudah berganti orang. Apa lagi kejadiannya sudah sangat lama. Mereka mengatakan mungkin file nya sudah tidak ada lagi, entah mungkin hilang atau bagaimana tidak tahu pasti. Seharusnya rekaman itu masih ada, apa mungkin ada seseorang yang mengambil rekaman itu. Annis
“Papa!” Damar memanggil Papanya. Kemudian Damar membisikkan kalimat tauhid di telinga sang Papa.Dokter melepaskan alat yang terpasang di tubuh Pak Danu, kemudian Dokter menggunakan alat kejut jantung sampai beberapa kali. Hingga tubuh Pak Danu terangkat, Damar memalingkan wajahnya tak sanggup melihat Pak Danu. Tapi sepertinya nyawa Pak Danu tidak bisa tertolong lagi. Dokter menggelengkan kepalanya. pertanda Pak Danu tidak bisa lagi diselamatkan.“Maaf Bu, kami sudah berusaha semampunya tapi Allah berkehendak lain, saya turut berduka cita Bu,” ucap Dokter tersebut. “Innalillahi wainnailaihi Raji’un,” ucap Damar. Damar mengusap wajah Pak Danu, Pak Danu terlihat tenang dan seperti orang yang sedang tidur. Damar melipat tangan Pak Danu dan menutup wajahnya.“Pa, Papamu Damar, Papamu...” ucap Bu Widya histeris sambil memeluk jasad suaminya yang sudah terbujur kaku. "Papa!" pekik Bu Widya.Bu Widya terus menangis dan meratap. Gendhis dan juga Annisa masuk ke dalam ruangan terkejut menden
“Permisi Bu, kami dari kepolisian, ingin mencari Surendra, apakah Pak Surendra ada Bu?” Rania kaget saat melihat dua orang berseragam polisi sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Rania terlihat gugup.“Siapa Bu?” tanya Dirga.“A-ada perlu apa ya Pak?” tanya Rania agak ketakutan.“Kami diperintahkan oleh atasan untuk membawa Pak Surendra ke kantor, ia surat penangkapannya,” ucap salah satu polisi tersebut. Polisi itu menyerahkan Selembar surat yang berisi perintah penangkapan untuk Surendra. Rania mengambilnya dan membaca isi suratnya, di dalam surat tersebut ada nama Surendra.Rania melihat ke arah belakang, menatap suaminya yang masih mabuk Karena Barus saja habis minum. Dirga menghampiri Rania dan mengambil kertas itu dari tangan Rania. Kemudian ia membacanya.“Masuk aja Pak, dia ada di dalam, Sedang teler,” ucap Dirga.“Dirga?” ucap Rania.“Jadi harus bagaimana Bu, Ayah memang bersalah mungkin, tidak mungkin kita menyembunyikannya dari polisi,” ucap Dirga. Kemudian dua orang pol
POV Raka Kini aku sudah tinggal di rumah besar ini, rumah besar yang dulu hanya aku lihat saja dan aku mengagumi rumah besar ini, berharap suatu saat aku bisa memiliki rumah besar seperti ini. Kemudian aku juga begitu menghormati Bu Annisa dan Pak Damar yang dulunya mereka adalah majikan Ibu Rania dan aku. Aku pikir aku hanya anak orang miskin yang tidak punya masa depan. Tapi ternyata akui adalah anak orang kaya.Tapi ternyata akulah anak kandung mereka, aku benar-benar tak habis pikir, mengapa Bapak Surendra tega menukar anak kandungnya dengan aku. Apa maksudnya hingga dia tega memisahkan anaknya Dirga dengan Ibu kandungnya?Sikap Dirga kini telah berubah, saat dia kecil ia tak seperti itu, dia begitu baik padaku. Tapi setelah ia besar, Dirga berubah aku tak tahu mengapa, dia menjadi angkuh dan sombong. Apa lagi saat mengetahui rahasia besar ini Dirga seperti tak suka padaku. Ia seperti sangat membenci diriku.Padahal bukan aku yang mencari tahu siapa Ibu kandungku, tapi Ibu Annis
Setelah ayah dan ibuku pulang ke Indonesia, aku melanjutkan kuliahku di sini, di Negeri orang tanpa keluarga teman-temanku. Aku harus bisa hidup mandiri di sini mengerjakan semuanya sendiri.Biaya hidup di sini sangatlah mahal, untuk sewa apartemen saja sampai kurang lebih 1000 dolar per bulan, itu pun apartemen yang tidak terlalu mewah, lain halnya uang semesteran, belum lagi untuk makan, listrik, gas dan lain-lain.Aku pikir aku harus berhemat di sini jadi aku memasak sendiri makanan dan berbelanja sendiri. Jika harus membeli makanan yang sudah jadi, aku takut jika kehalalannya tidak terjaga.Kemarin aku baru saja berbelanja keperluan untukku dalam seminggu ini, karena aku tak bisa jika tak makan nasi jadi aku membeli beras dan telur, jadi jika kepepet tinggal ceplok telur saja, beres.Aku belum mengenal room mate aku yang berada di apartemen ini, kami belum sempat berkenalan, apartemen tempat aku tinggal ada lima lantai. Yang aku tahu ada warga Kanada dan Mexico yang tinggal di si
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis