Setelah ayah dan ibuku pulang ke Indonesia, aku melanjutkan kuliahku di sini, di Negeri orang tanpa keluarga teman-temanku. Aku harus bisa hidup mandiri di sini mengerjakan semuanya sendiri.Biaya hidup di sini sangatlah mahal, untuk sewa apartemen saja sampai kurang lebih 1000 dolar per bulan, itu pun apartemen yang tidak terlalu mewah, lain halnya uang semesteran, belum lagi untuk makan, listrik, gas dan lain-lain.Aku pikir aku harus berhemat di sini jadi aku memasak sendiri makanan dan berbelanja sendiri. Jika harus membeli makanan yang sudah jadi, aku takut jika kehalalannya tidak terjaga.Kemarin aku baru saja berbelanja keperluan untukku dalam seminggu ini, karena aku tak bisa jika tak makan nasi jadi aku membeli beras dan telur, jadi jika kepepet tinggal ceplok telur saja, beres.Aku belum mengenal room mate aku yang berada di apartemen ini, kami belum sempat berkenalan, apartemen tempat aku tinggal ada lima lantai. Yang aku tahu ada warga Kanada dan Mexico yang tinggal di si
Aku masih berdiri melihat gadis itu berjalan meninggalkan aku, dia itu sombong atau bagaimana ya? Tapi aku suka gayanya, dia tak terlihat gampangan, ia juga tak pernah dekat dengan seorang pun di kampus. Bahkan, ia sering menyendiri di kampus.Setelah ia tak terlihat lagi, aku pun turun ke lantai dua, di mana kamarku berada.“Huuffft, cape juga, setelah joging harus naik tangga pula, mana bawa barang berat lagi,” gerutuku. Setelah istirahat sebentar kurebahkan tubuhku di sofa, sambil mendengarkan musik yang ku putar dari ponselku. Karena lelah akhirnya aku pun tertidur dengan pulasnya.Beberapa saat kemudian aku terbangun ketika mendengar bunyi bel. Ah, ternyata lama juga aku tertidur, hampir Zuhur. Aku bangkit dari dudukku berjalan dengan malas ke arah pintu, siapa gerangan yang siang-siang begini? Kemudian aku membuka pintu, ada seorang gadis yang berdiri membelakangiku. Kemudian ia berbalik.“You?” Aku terkejut saya melihat siapa yang datang.“Aku bawakan makanan untukmu. Karena
“Jean... aku pusing,” ucapku lagi. Jean memapahku masuk ke dalam rumahnya, aku menurut saja karena aku memang sangat pusing. Melewati teman-teman yang lain sedang berjoget dengan musik yang menghentak-hentak. Aneh sekali, orang tuanya memberikan izin pada Jean untuk membuat party di rumahnya.Mataku samar-samar melihat Jean membawaku ke sebuah ruangan. Oh tidak, ini sepertinya kamar Jean. Apa yang akan dilakukan oleh Jean? Apa dia hendak menjebakku. Walaupun aku pusing tapi pikiranku masih waras.“Istirahatlah Raka,” ucap Jean. Ia membaringkan aku di sebuah ranjang. Kemudian ia mengunci pintu kamarnya. Kamar itu bernuansa soft pink dan biru muda. Kamar Jean begitu luas dan juga wangi. Kemudian Jean duduk di sampingku.“Aku pijit kepalamu ya, biar pusingku reda,” ucapnya Aku tak menyahut, walaupun aku sedang pusing tapi aku sedang memikirkan bagaimana caranya bisa keluar dari kamar ini, sementara aku tak bisa berjalan karena pusing. Aku memejamkan mata, sementara Jean memijiti keni
Maksud Jean aku perkasa? Aku tidak melakukan apa pun dengannya. Maksudnya aku tidur dengannya saat itu. Em, enak saja, aku tak pernah tidur dengannya, dia yang menjebakku, untung Briana datang, kalau saja tidak, mungkin entah apa yang akan terjadi.“Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa pun denganmu Jean?” “Ah, ngapain malu sih, kita kan sudah melakukannya semalam,” ucap Jean. Aku tertawa, em, ternyata menggiring opini teman-teman agar mereka mengira aku sudah tidur dengan Jean. “Aku tidak melakukan apa pun dengan Jean,” ucapku santai. Kemudian aku pindah duduk ke kursi lain, teman-teman yang lain tersenyum penuh arti padaku. Apa lagi beberapa teman laki-laki yang ikut ke pesta Jean. Aku tak peduli lagi tentang Jean, yang penting kini aku harus lebih berhati-hati lagi dengan mereka. Mungkin benar aku terlalu polos. Padahal ayah dan ibu sudah mengingatkan aku agar berhati-hati di negara orang. Adat dan kebiasaan di sini sangat berbeda dengan di Indonesia, jika sampai salah bergaul b
Setelah insiden di perpustakaan, hatiku memberanikan diri untuk berasumsi bahwa Briana memang seorang muslimah. Sejumput harapan mulai tumbuh di dada, sembari meyakinkan diri bahwa mungkin Oma akan merestui pilihan hatiku kali ini. Siapa tahu suatu hari nanti, Briana bersedia mengenakan hijab dan ibu pun akan luluh padanya. Sementara itu, di kampus, Jean yang dulunya selalu bersamaku, masih saja enggan merelakan hatinya. Bahkan, ia berani mengungkapkan perasaannya secara langsung. "Ka, kenapa kamu menolakku? Aku benar-benar menyukai orang Indonesia, dan kamu adalah tipeku," kata Jean. "Maaf, Jean. Aku tak bisa," jawabku singkat. "Tapi kenapa? Apa karena cewek itu? Briana?" suara Jean tertahan. Aku terdiam. Semakin berusaha kuatirkan hati. "Dia itu cewek yang nggak benar, Ka! Percayalah padaku!" Jean berteriak, mencoba meyakinkanku dengan kesungguhan di matanya."Jangan asal menuduh sembarangan, kamu Jean!" "Dia itu aneh, sadarlah!" Apa yang aneh dari Briana? Menurutku, dia begitu uni
Hari demi hari terlewati, rentetan tugas dari dosen menggempurku tanpa henti. Kesibukanku kian meruncing, seiring mendekati akhir semester yang selalu penuh ujian dan tugas kampus. Apabila SKS-ku mencukupi dan aku lulus ujian kali ini, mungkin aku bisa merayakan wisuda tahun ini. Kemarin, Ibu menyampaikan bahwa perusahaan sedang menghadapi kondisi sulit. Namun, Ia memintaku untuk terus fokus pada studiku. Ibu tak mau membahasnya lebih jauh, dan aku pun enggan untuk mengejar penjelasan. Perubahan juga terjadi dalam pergaulanku. Briana, gadis yang telah kusembarangi perasaan, terasa semakin menjauh sejak aku mengungkapkan isi hati. Namun yang aneh, Vanya—sepupu Briana—justru semakin mendekat. Tak jarang dia datang ke rumahku dan mengantarkan makanan di hari-hari liburnya. Meski demikian, hatiku masih mengejar bayang-bayang Briana. Oh, waktu, mengapa tak kunjung menuntaskan pertarungan batin yang menghantam hatiku ini?Hari Minggu ini, mahasiswa Indonesia berencana mengadakan pertemuan
Begitu sampai di apartemenku, aku langsung meletakkan tas dan melepaskan jaket tanpa berpikir panjang. Namun, pikiran tetap saja menerawang tentang apa yang baru saja kukatakan oleh Vanya, sepupu Briana, tentang gadis yang selama ini kusukai. Aku merasa kecewa dan bingung mendengar berita itu. Bagaimana mungkin Briana ternyata... tidak normal? Apakah benar dia adalah kaum belok? Anehnya, aku tidak pernah melihatnya akrab bersama perempuan lain, atau mungkin aku hanya tidak tahu? Pikiranku berkecamuk, mencoba mencari tahu apakah Vanya benar atau hanya karena dia suka padaku dan tidak ingin aku bersama Briana. Apakah ini semacam permainan yang dibuat oleh Vanya? Semua pertanyaan ini berkelebat di benakku saat aku menuju apartemen Briana, yang terletak di lantai tiga.Begitu sampai di depan pintu apartemennya, aku segera menekan bel dan menunggu dengan harap-harap cemas. Tak lama, pintu terbuka dan Briana muncul sambil mengernyitkan dahinya. "Raka?" katanya, terlihat gugup sambil menole
Hari bergulir cepat, bagai angin yang menyibakkan kabut. Tanpa terasa, kini aku telah menapaki hari penutup kuliahku. Inilah saatnya menerima capai tangan dan canda tawa, membayar kegigihan dalam setiap persahabatan dan perjuangan demi ilmu. Setiap kenangan tercipta di sini, kenangan pahit dan juga manis. Sebentar lagi, ibu dan ayah akan datang menyaksikan kuncup kepala mereka, merasakan bangga akan apa yang telah mereka bina dan mereka cita-citakan.Kebetulan, hari itu, Briana juga akan diwisuda bersamaku. Dan barangkali, kedua orang tuanya juga akan datang. Lantas, apa artinya itu untukku? Ya, aku tak lagi peduli tentang Briana. Wajah cantik dan uniknya, sikap cueknya, semua telah berlalu bagai reruntuhan yang lenyap tersapu badai. Sebuah lubang hampa tiba-tiba mencengkeram hatiku, menguak kekecewaan yang amat dalam. Ku kira, tak ada wanita di dunia ini yang mampu mengalahkan Briana. Namun, ujian takdir menepik sudut-sudut kehidupan dengan begitu kejam. Nyatanya, ada hal lain yan
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis