“Aku nggak main-main, Pijar. Aku nggak pernah main-main,” bisik Elang masih dengan memeluk tubuh Pijar dari belakang. Menumpukan dagunya di pundak Pijar tak peduli jika tubuh Pijar sudah seperti sebuah patung hidup. Elang menggenggam tangan Pijar yang semakin dingin, merasakan betapa Pijar sangat tidak nyaman dengan keberadaannya. Elang membalik tubuh Pijar agar dia bisa menatap perempuan itu. Wajah Pijar pucat pasi seolah tidak ada darah yang mengalir di sana. Namun, lelaki itu tidak menghiraukan. Elang justru menarik Pijar untuk duduk di kursi meeting. Memberikan minum kepada perempuan itu meskipun penolakan yang didapatkan. “Tolong, Lang, tolong jangan siksa aku dengan semua ini.” Pijar benar-benar memohon. “Aku udah mengaku kalah dan aku udah nggak sanggup menampung rasa sakit dan takut ini terus menerus.” Pijar meremas dadanya dengan kuat menahan buncahan rasa sesak yang terasa menyakitkan. Elang yang sama sekali tidak peduli itu, kini meremas tangan Pijar dengan kuat. “Liha
Elang memacu mobilnya dengan kecepatan penuh tak peduli kalau Manda berteriak ketakutan. Lelaki itu mengantarkan Manda pulang ke rumahnya dengan pikiran kacau dan emosi yang melambung setinggi angkasa. Mood-nya hancur setelah Noah mengatakan ingin menikahi Pijar. Terlebih lagi, Pijar tidak menolak sama sekali. “Lang, hati-hati.” Manda terus saja merengek karena dia tampak ketakutan dengan aksi Elang yang ugal-ugalan. Elang sama sekali tidak peduli dengan rengekan Manda. Sampai di depan rumah Manda, Elang menghentikan mobilnya. Tangannya meremas setir mobilnya dengan napas memburu. “Keluar!” usir Elang pada Manda. “Lang ….” “Keluar!” bentaknya pada Manda yang ingin membantahnya. “Jangan buat saya murka, Manda. Saya benar-benar muak dengan semua ini.” “Sampai kapan?” Manda menatap Elang dengan tajam. Perempuan itu tak mau kalah. “Sampai kapan kamu akan mencintai Pijar, Lang? Sampai kapan? Kisah kalian sudah berakhir sejak lama dan sudah waktunya kamu menerima cinta baru dalam hidu
“Maafkan aku.” Elang akhirnya kembali meminta maaf. “Tolong ceritakan kenapa kamu dulu ninggalin aku gitu aja. Aku butuh penjelasan, Jar.” Tatapan Elang sama sekali tidak lepas dari wajah Pijar. Perasaan cinta yang menguar di hatinya tak tanggung-tanggung. Sejak dulu sampai sekarang, hanya ada satu nama di dalam hatinya dan itu adalah Pijar. “Aku tahu selama ini aku hanya terus mengedepankan emosiku dan nggak peduli dengan penjelasan yang ingin kamu katakan kepadaku. Aku salah. Namun, sekarang aku ingin tahu agar semua menjadi jelas, Jar.” Pijar ragu untuk mengungkapkan segalanya. Di samping itu, dia juga ingin salah paham ini bisa segera berakhir. Pijar menarik napasnya panjang sebelum bersuara. “Sepuluh tahun yang lalu, Ayah kena kasus yang sangat berat.” Akhirnya Pijar mulai bercerita. “Ayah dituduh korupsi dan terjerat masalah yang mengubah kehidupan kami. Kami kehilangan semuanya. Satu-satunya harta yang tersisa dari kami adalah rumah tua yang sekarang ditempati oleh Ibu dan
“Tugasku untuk menjelaskan tentang masa lalu udah selesai. Aku rasa, semuanya sudah jelas dan nggak ada yang perlu lagi ada perdebatan untuk kedepannya. Selanjutnya, kita urus kehidupan kita masing-masing. Tidak perlu saling ikut campur.” Pijar berdiri untuk kembali ke dalam rumahnya, tetapi tangannya dicekal oleh Elang. “Karena aku sekarang udah tahu semua apa yang sebenarnya terjadi, maka itu membuatku semakin nggak mau pergi dari kamu, Jar.” Elang si keras kepala itu mulai beraksi. “Aku akan menemui orang tua kamu dan melamar kamu secepatnya.” Pijar berbalik untuk menatap Elang. Perempuan itu sangat terkejut dengan ucapan Elang yang tiba-tiba. Lelaki itu benar-benar tidak bisa ditebak. Dia bahkan tidak bertanya lebih dulu apa yang sebenarnya dirasakan oleh Pijar sekarang. Tentang perasaannya, tentang luka yang diberikan sebelum penjelasan malam ini diberikan. Elang main ambil keputusan sendiri seolah dia adalah bos. Dia bisa melakukan itu ketika di kantor, tetapi ini adalah men
Bersaing secara sehat. Itulah yang Elang tunjukkan kepada Pijar ketika dia ingin mendapatkan perempuan itu. Elang tidak akan mengganggu Pijar ketika perempuan itu bersama dengan Noah, tetapi dia akan mendekat sedekat yang dia bisa ketika Pijar sendirian. Setelah dia meminta kepada orang tuanya untuk melamarkan Pijar untuknya, baik Gema maupun Almeda segera mendengus panjang. “Semua itu butuh proses, Lang. Nggak bisa main lamar anak orang gitu aja. Terlebih lagi, kamu memiliki dosa besar kepada Pijar yang perlu kamu selesaikan terlebih dulu. Yang terpenting bagi kamu sekarang adalah kamu bisa berdamai lebih dulu dengan Pijar baru kami bisa urus sisanya.” Itulah yang dikatakan oleh Gema malam itu. Elang ingin memaksa, tetapi dia tahu yang dikatakan oleh sang ayah memang benar. Masih ada banyak hal yang perlu dia selesaikan dengan Pijar. Sekarang yang perlu dilakukan adalah mendekati Pijar sebagai mana mestinya. Mendapatkan maaf yang benar dari gadis yang dicintainya. Elang mengeluar
“Sampai kapan dia akan bersikap seenaknya seperti itu?” Pijar mencuci piring bekas makannya dengan sedikit kasar. Mengomel seorang diri dengan bibir cemberut. Mendapatkan sumpah dari Elang setelah dia memasakkan makan malam untuk lelaki itu adalah hal yang sangat menyebalkan. Rasa lelah yang menggelung tubuhnya itu kini semakin terasa berat. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Elang sudah berdiri di depan rumah Pijar dengan membawa piring yang semalam dia bawa. Ekspresi dinginnya tercetak di wajahnya seperti biasa. “Kamu udah sarapan?” tanya Elang kepada Pijar. Pijar menerima piring itu tanpa mengatakan apa pun, meletakkannya di ruang tamu, lalu dia kembali keluar dan menutup pintu rumahnya. Tidak juga menjawab pertanyaan Elang. “Jar, aku bicara sama kamu.” Elang menarik tangan Pijar yang akan pergi. “Kamu udah sarapan?” Dengan menahan rasa kesalnya, Pijar menjawab singkat. “Udah.” “Nggak ngajak aku?” Elang mengernyit dalam. Ingatan Pijar memutar memori yang sudah dipendam sel
“Tadinya aku mau jemput kamu untuk makan malam bersama. Kebetulan, orang tuaku ada datang ke kota ini sekarang. Sepertinya hari ini kamu nggak bisa, mungkin lain kali saja.” Noah sama sekali tidak menunjukkan kemarahan atas sikap Elang yang seenaknya sendiri. Dia juga tidak terlihat tersinggung sama sekali. Meskipun dia melihat tangan Pijar digenggam dengan erat seolah enggan dilepaskan, Noah mengerti kalau dia belum memiliki wewenang untuk melarang Elang melakukan itu. “Lang, bisa kamu lepaskan tanganku?” Pijar tidak ingin menjadi gadis bodoh yang mau takluk begitu saja dengan sikap Elang. “Kenapa?” Dengan wajah menyebalkannya itu dia pura-pura tak paham. “Takut ada yang cemburu?” Pijar melepas paksa meskipun rasa pedih di tangannya terasa luar biasa. Dia mengusap tangan itu dengan lembut karena terlihat kemerahan. “Berapa hari orang tua Mas ada di Jakarta?” tanya Pijar dengan lembut. “Kurang lebih semingguan. Belum pasti sih sampai kapan, soalnya sambil liburan.” Noah terseny
Elang memacu mobilnya dengan kecepatan penuh. Dia pasti mendapatkan sumpah serapah dari pengguna jalan lain, tetapi siapa yang peduli karena bagi Elang dia perlu melampiaskan rasa kesalnya. Sampai di apartemen, dia menendang kaki sofa untuk mengeluarkan rasa kesal yang menyumbat akal sehatnya. “Kenapa semuanya menjadi rumit begini?” Elang berteriak pada keheningan yang mencekam. “Aku beneran nggak bisa kehilangan kamu lagi, Pijar. Kamu nggak akan paham perasaanku.” Melemparkan tubuhnya di atas sofa, lelaki itu menarik napasnya panjang. Memejamkan matanya erat, memijat pelipisnya dengan kuat seolah dia ingin mengurai rasa sakit yang tiba-tiba muncul di kepalanya. “Sembilan bulan bukan waktu yang singkat. Kalau aku melakukan tes DNA saat bayi itu masih di dalam kandungan, kasihan dia.” Kali ini meja lah yang menjadi sasarannya dengan menendang beda itu sampai bergeser dari tempatnya. Mengambil rokok dari undakan meja, Elang keluar menuju balkon. Menyalakan rokok itu dan menyesapnya
Pernikahan itu tidak mewah seperti yang diinginkan oleh Ruby sebelumnya. Namun, bisa dirasakan begitu khidmatnya acara akad nikah tersebut. Tamu yang datang benar-benar hanya teman dekat dari dua belah keluarga sehingga acara itu sungguh begitu nyaman.Sepanjang acara, Orion tidak melepaskan Ruby sama sekali. Entah itu dengan menggenggam tangannya, memeluk pinggangnya, atau hanya menempelkan bahunya dengan bahu Ruby. Lelaki itu seolah tidak ingin ditinggalkan oleh Ruby. Acara itu hanya berjalan dua jam, tetapi Orion merasa dia lelah luar biasa.“Pa, Ma, aku pamit.” Ruby berdiri di depan anggota keluarganya untuk pergi dari rumah dan tinggal berdua dengan Orion. Mereka bahkan tidak ingin seharipun menginap di rumah orang tua Ruby.“Kamu baik-baik, ya. Sekarang kamu sudah menjadi istri. Yang nurut sama suami. Kalau ada sesuatu yang dirundingkan dan jangan asal ambil keputusan sendiri,” pesan ibunya dengan mata berkaca-kaca.“Iya, Ma. Aku ngerti.” Ruby mengangguk dan tidak lagi banyak bic
Ruby tampak anggun dengan dress navy di bawah lutut. Rambutnya diurai dengan model curly, make up tipis menghiasi wajahnya. Keseluruhan penampilannya begitu cantik luar biasa. Sebelumnya dia tak pernah berpenampilan seperti ini. Tentu saja hal itu membuat Orion tampak terpesona. Senyum tipis penuh makna itu terlihat di bibirnya. Dua keluarga itu duduk berhadapan untuk membicarakan masalah pernikahan. Pada akhirnya, hubungan yang dianggap tidak akan bertahan lama itu ternyata akan berakhir di pelaminan. “Untuk mengikat keduanya, kami sudah menyiapkan cincin pertunangan untuk mereka. Maaf kalau sebelumnya kami tidak mengatakan apa pun terkait ini, tapi, akan lebih baik kalau mereka tunangan lebih dulu.” Pijar meletakkan kotak cincin di atas meja dengan keadaan terbuka. Dua cincin berkilauan itu terlihat. Satu cincin bertahtakan berlian itu tampak begitu mewah dan indah. Cincin itu diperuntukkan untuk Ruby dan satu cincin polos tentu saja untuk Orion. “Bu Pijar, bukankah ini terlalu
“Pasti ada hal penting yang ingin dr. Daniel katakan kepada kami sehingga jauh-jauh datang ke kantor kami.” Elang menyambut dengan baik kedatangan Daniel. Setelah mengetahui jika Elang adalah seorang CEO, lelaki itu tampaknya mengubah pandanganya tentang Orion. Dia belum tahu mendalam tentang Orion dan keluarganya dan hanya dengan semua ini saja dia sudah terkejut luar biasa. Daniel mengangguk sebelum berbicara. “Ruby menerima tawaran Orion. Dia mau menikah dengan Orion dan saya diminta Papa untuk menemui Pak Elang untuk membicarakan tentang ini. Kapan keluarga kami bisa datang ke kediaman Pak Elang untuk membahas pernikahan?” Elang menatap Orion yang juga tengah menatapnya dengan serius. Dia tak memiliki apa pun untuk dikatakan. Lelaki itu hanya diam seolah masih mencerna setiap kejadian yang terjadi hari ini. “Kalau memang ingin membicarakan pernikahan, kami saja yang akan datang. Sekalian melamar secara resmi.” Elang menjawab dengan lugas dan tegas. “Tidak, Pak. Bapak dan kelu
“Aku sudah memutuskan untuk menikah. Nggak peduli kalau hanya menjadi ibu rumah tangga.” Setelah memikirkan selama berhari-hari, akhirnya Ruby mengambil keputusan dan mengatakan kepada keluarganya. setelah makan malam, dia mengumpulkan empat anggota keluarganya untuk diajak berbicara serius. Baginya semua akan sama saja. Dia sekarang terkurung di rumah besar orang tuanya tanpa melakukan apa pun. Semua yang dia mau sudah tersedia dan sekedar menginginkan es krim saja sudah tersedia. Ruby sudah merasa lelah dengan semua yang terjadi sekarang. Biarlah dia menikah dan menjadi istri Orion. Dia tidak pernah apa keputusannya menikah muda adalah keputusan yang tepat, tetapi baginya ini lebih baik. “Aku sudah memikirkan secara matang dan mendalam. Aku akan menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku banyak cinta dan Orion adalah orang itu.” Ruby menatap satu per satu keluarganya. Bisa dilihat bagaimana mereka tampak terkejut yang berusaha ditutupi. Rahang sang ayah tampak mengerat, pun d
Seluruh anggota keluarga Ruby dibuat terkejut dengan kemunculan Orion di rumah mereka. Orion tidak datang sendiri melainkan bersama dengan kedua orang tuanya. Lelaki itu seolah ingin menunjukkan keseriusannya kepada Ruby atas hubungannya dengan gadis itu. Ayah Ruby tentu saja menerima kedatangan mereka dengan santun selayaknya tuan rumah menerima tamu. “Maafkan kami, Pak, kalau kedatangan kami mengejutkan Bapak dan keluarga.” Elang mengawali. “Tujuan kami ke sini tak lain adalah untuk itikad baik kami dalam hubungan Orion dan Ruby.” Ruby yang juga berada di sana pun terlihat terdiam tak mengatakan apa pun. Elang adalah bos besar dan dia bahkan tidak pernah berhadapan langsung dengan lelaki itu sejauh dia bekerja di Infinity. Namun, sekarang lelaki itu tiba-tiba datang dan membicarakan masalah hubungan putranya dengan mantan karyawannya. Sungguh, dalam bayangan Ruby pun dia tak pernah menyangka hari ini akan tiba. “Orion mengatakan jika dia sangat mencintai Ruby dan tidak siap jika
Total sudah dua bulan Orion tidak bertemu dengan Ruby. Jangan tanyakan bagaimana rindunya lelaki itu kepada sang pujaan hati. Setelah dia mendapatkan alamat rumah orang tua Ruby, alih-alih segera mendatangi rumah gadis itu, dia justru terus memutar ucapan sang ayah di dalam kepalanya. Dia selama ini tidak pernah mendapatkan penolakan dalam hal apa pun. Tentu saja ada sebuah ketakutan yang muncul di dalam hatinya jika orang tua Ruby akan menolaknya mentah-mentah. Oleh karena itu, dia belum berani ambil resiko. Namun, semakin dia merasakan rindu itu menggebu, semakin tidak bisa dia mengendalikan emosinya. Hampir setiap hari dia marah kepada orang-orang di sekitarnya. “Silakan, Mas.” Orion terhenyak ketika seorang pelayan datang membawa pesanan makan siangnya. Dia mengangguk dan berterima kasih kepada pelayan tersebut sebelum memulai makan. Merasa ada yang memperhatikan, Orion mendongak dan seperti ada tamparan di wajahnya, tepat di depannya ada Ruby yang menatap ke arahnya. Orion den
Perjalanan cinta Orion sama sekali tidak mudah. Pertentangan itu bukan hanya muncul dari satu orang, tetapi satu keluarga Ruby. Orion memang belum pernah bertemu dengan ayah Ruby, tetapi dia pun yakin semua ucapan Daniel sudah mewakili ayahnya. Sekarang dia hanya menunggu sebuah keajaiban barangkali dia akan bertemu dengan Ruby tanpa disengaja. “Mas Orion.” Orion mendongak menatap dua orang yang ada di depannya. Dia memanggil dua orang tersebut untuk ke ruangannya. “Duduk!” perintahnya setelah itu. “Di antara kalian, apa ada yang tahu sesuatu tentang Ruby?” tanya Orion. “Kalian satu divisi dengan Ruby saya rasa mungkin ada sesuatu yang bisa kalian bagi tentang dia.” Dua orang itu saling menatap sebelum salah satu dari mereka menjawab. “Jujur saja selama kami bekerja bersama dengan Ruby selama ini, nggak pernah sekalipun dia bercerita tentang kehidupan pribadinya, Pak.” Orion sudah menduga jawaban itu yang diberikan. Namun, dia memilih untuk tidak berbicara lebih dulu. “Ruby itu ti
Seorang lelaki berbadan kekar berdiri di depan Ruby dengan wajah garangnya. Ruby tidak tahu kenapa ada lelaki asing itu di rumah orang tuanya, tetapi tiba-tiba saja dia mengingat ucapan ayahnya saat itu. Jika Ruby ingin ke mana-mana, maka ada seorang bodyguard yang akan menemaninya. Apa jangan-jangan ….“Namanya Brama.” Ayah Ruby tiba-tiba bersuara. “Dia yang akan menemani kamu ke mana pun kamu pergi. Kamu bisa jalan-jalan ke mana pun kamu mau dan Brama yang akan membayar semuanya. Papa sudah memberikan kartu debitmu kepadanya.” Ruby tahu kenapa ayahnya melakukan itu karena memang kartu debit yang diberikan kepadanya bahkan tidak diterima. “Aku nggak mau ke mana-mana.” Ruby berlalu dari hadapan sang ayah untuk pergi ke ruang makan. Ruby tidak berlama-lama mogok makan. Bagaimanapun dia tidak ingin mati secara mengenaskan hanya karena kelaparan. “Aku butuh HP-ku, Pa.” Ruby duduk di kursi makan. Menerima roti yang baru saja dibuatkan oleh ibunya. “Daniel bilang kalau kamu sudah dibel
“Semua urusan di kantormu sudah Abang selesaikan. Kamu per hari ini sudah nggak tercatat lagi sebagai karyawan Infinity.” Daniel baru saja pulang dari rumah sakit ketika melihat adiknya tengah melamun di halaman samping rumah dengan sebuah buku di tangannya. Lelaki itu meletakkan barang belanjaan di atas meja sebelum duduk di kursi berseberangan dengan kursi yang diduduki oleh Ruby. “Ini Abang belikan HP dan tablet baru buat kamu. Nomornya sudah ada dan kamu tinggal pakai.” Ruby melirik tanpa minat seolah dia tak membutuhkan itu. Untuk apa barang-barang mewah itu? Toh dia sebenarnya membutuhkan itu untuk bekerja. Sekarang semuanya sudah berakhir dan sudah tidak menyisakan apa pun lagi di dalam hidupnya. “Non Ruby, dipanggil untuk ke ruangan Bapak.” Belum satu terjawab, dia sudah diminta menghadap sang ayah. Betapa kakunya hidupnya sekarang. Ini adalah hal yang paling tidak disenangi ketika dia berada di rumahnya. Segalanya terasa begitu berat untuknya. Ruby beranjak untuk menemui