Elang memacu mobilnya dengan kecepatan penuh tak peduli kalau Manda berteriak ketakutan. Lelaki itu mengantarkan Manda pulang ke rumahnya dengan pikiran kacau dan emosi yang melambung setinggi angkasa. Mood-nya hancur setelah Noah mengatakan ingin menikahi Pijar. Terlebih lagi, Pijar tidak menolak sama sekali. “Lang, hati-hati.” Manda terus saja merengek karena dia tampak ketakutan dengan aksi Elang yang ugal-ugalan. Elang sama sekali tidak peduli dengan rengekan Manda. Sampai di depan rumah Manda, Elang menghentikan mobilnya. Tangannya meremas setir mobilnya dengan napas memburu. “Keluar!” usir Elang pada Manda. “Lang ….” “Keluar!” bentaknya pada Manda yang ingin membantahnya. “Jangan buat saya murka, Manda. Saya benar-benar muak dengan semua ini.” “Sampai kapan?” Manda menatap Elang dengan tajam. Perempuan itu tak mau kalah. “Sampai kapan kamu akan mencintai Pijar, Lang? Sampai kapan? Kisah kalian sudah berakhir sejak lama dan sudah waktunya kamu menerima cinta baru dalam hidu
“Maafkan aku.” Elang akhirnya kembali meminta maaf. “Tolong ceritakan kenapa kamu dulu ninggalin aku gitu aja. Aku butuh penjelasan, Jar.” Tatapan Elang sama sekali tidak lepas dari wajah Pijar. Perasaan cinta yang menguar di hatinya tak tanggung-tanggung. Sejak dulu sampai sekarang, hanya ada satu nama di dalam hatinya dan itu adalah Pijar. “Aku tahu selama ini aku hanya terus mengedepankan emosiku dan nggak peduli dengan penjelasan yang ingin kamu katakan kepadaku. Aku salah. Namun, sekarang aku ingin tahu agar semua menjadi jelas, Jar.” Pijar ragu untuk mengungkapkan segalanya. Di samping itu, dia juga ingin salah paham ini bisa segera berakhir. Pijar menarik napasnya panjang sebelum bersuara. “Sepuluh tahun yang lalu, Ayah kena kasus yang sangat berat.” Akhirnya Pijar mulai bercerita. “Ayah dituduh korupsi dan terjerat masalah yang mengubah kehidupan kami. Kami kehilangan semuanya. Satu-satunya harta yang tersisa dari kami adalah rumah tua yang sekarang ditempati oleh Ibu dan
“Tugasku untuk menjelaskan tentang masa lalu udah selesai. Aku rasa, semuanya sudah jelas dan nggak ada yang perlu lagi ada perdebatan untuk kedepannya. Selanjutnya, kita urus kehidupan kita masing-masing. Tidak perlu saling ikut campur.” Pijar berdiri untuk kembali ke dalam rumahnya, tetapi tangannya dicekal oleh Elang. “Karena aku sekarang udah tahu semua apa yang sebenarnya terjadi, maka itu membuatku semakin nggak mau pergi dari kamu, Jar.” Elang si keras kepala itu mulai beraksi. “Aku akan menemui orang tua kamu dan melamar kamu secepatnya.” Pijar berbalik untuk menatap Elang. Perempuan itu sangat terkejut dengan ucapan Elang yang tiba-tiba. Lelaki itu benar-benar tidak bisa ditebak. Dia bahkan tidak bertanya lebih dulu apa yang sebenarnya dirasakan oleh Pijar sekarang. Tentang perasaannya, tentang luka yang diberikan sebelum penjelasan malam ini diberikan. Elang main ambil keputusan sendiri seolah dia adalah bos. Dia bisa melakukan itu ketika di kantor, tetapi ini adalah men
Bersaing secara sehat. Itulah yang Elang tunjukkan kepada Pijar ketika dia ingin mendapatkan perempuan itu. Elang tidak akan mengganggu Pijar ketika perempuan itu bersama dengan Noah, tetapi dia akan mendekat sedekat yang dia bisa ketika Pijar sendirian. Setelah dia meminta kepada orang tuanya untuk melamarkan Pijar untuknya, baik Gema maupun Almeda segera mendengus panjang. “Semua itu butuh proses, Lang. Nggak bisa main lamar anak orang gitu aja. Terlebih lagi, kamu memiliki dosa besar kepada Pijar yang perlu kamu selesaikan terlebih dulu. Yang terpenting bagi kamu sekarang adalah kamu bisa berdamai lebih dulu dengan Pijar baru kami bisa urus sisanya.” Itulah yang dikatakan oleh Gema malam itu. Elang ingin memaksa, tetapi dia tahu yang dikatakan oleh sang ayah memang benar. Masih ada banyak hal yang perlu dia selesaikan dengan Pijar. Sekarang yang perlu dilakukan adalah mendekati Pijar sebagai mana mestinya. Mendapatkan maaf yang benar dari gadis yang dicintainya. Elang mengeluar
“Sampai kapan dia akan bersikap seenaknya seperti itu?” Pijar mencuci piring bekas makannya dengan sedikit kasar. Mengomel seorang diri dengan bibir cemberut. Mendapatkan sumpah dari Elang setelah dia memasakkan makan malam untuk lelaki itu adalah hal yang sangat menyebalkan. Rasa lelah yang menggelung tubuhnya itu kini semakin terasa berat. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Elang sudah berdiri di depan rumah Pijar dengan membawa piring yang semalam dia bawa. Ekspresi dinginnya tercetak di wajahnya seperti biasa. “Kamu udah sarapan?” tanya Elang kepada Pijar. Pijar menerima piring itu tanpa mengatakan apa pun, meletakkannya di ruang tamu, lalu dia kembali keluar dan menutup pintu rumahnya. Tidak juga menjawab pertanyaan Elang. “Jar, aku bicara sama kamu.” Elang menarik tangan Pijar yang akan pergi. “Kamu udah sarapan?” Dengan menahan rasa kesalnya, Pijar menjawab singkat. “Udah.” “Nggak ngajak aku?” Elang mengernyit dalam. Ingatan Pijar memutar memori yang sudah dipendam sel
“Tadinya aku mau jemput kamu untuk makan malam bersama. Kebetulan, orang tuaku ada datang ke kota ini sekarang. Sepertinya hari ini kamu nggak bisa, mungkin lain kali saja.” Noah sama sekali tidak menunjukkan kemarahan atas sikap Elang yang seenaknya sendiri. Dia juga tidak terlihat tersinggung sama sekali. Meskipun dia melihat tangan Pijar digenggam dengan erat seolah enggan dilepaskan, Noah mengerti kalau dia belum memiliki wewenang untuk melarang Elang melakukan itu. “Lang, bisa kamu lepaskan tanganku?” Pijar tidak ingin menjadi gadis bodoh yang mau takluk begitu saja dengan sikap Elang. “Kenapa?” Dengan wajah menyebalkannya itu dia pura-pura tak paham. “Takut ada yang cemburu?” Pijar melepas paksa meskipun rasa pedih di tangannya terasa luar biasa. Dia mengusap tangan itu dengan lembut karena terlihat kemerahan. “Berapa hari orang tua Mas ada di Jakarta?” tanya Pijar dengan lembut. “Kurang lebih semingguan. Belum pasti sih sampai kapan, soalnya sambil liburan.” Noah terseny
Elang memacu mobilnya dengan kecepatan penuh. Dia pasti mendapatkan sumpah serapah dari pengguna jalan lain, tetapi siapa yang peduli karena bagi Elang dia perlu melampiaskan rasa kesalnya. Sampai di apartemen, dia menendang kaki sofa untuk mengeluarkan rasa kesal yang menyumbat akal sehatnya. “Kenapa semuanya menjadi rumit begini?” Elang berteriak pada keheningan yang mencekam. “Aku beneran nggak bisa kehilangan kamu lagi, Pijar. Kamu nggak akan paham perasaanku.” Melemparkan tubuhnya di atas sofa, lelaki itu menarik napasnya panjang. Memejamkan matanya erat, memijat pelipisnya dengan kuat seolah dia ingin mengurai rasa sakit yang tiba-tiba muncul di kepalanya. “Sembilan bulan bukan waktu yang singkat. Kalau aku melakukan tes DNA saat bayi itu masih di dalam kandungan, kasihan dia.” Kali ini meja lah yang menjadi sasarannya dengan menendang beda itu sampai bergeser dari tempatnya. Mengambil rokok dari undakan meja, Elang keluar menuju balkon. Menyalakan rokok itu dan menyesapnya
“Lang, jaga ucapanmu. Bagaimanapun Manda adalah seorang perempuan.” Almeda membentak putranya yang sudah berbicara sembarangan. “Kamu harus bisa menghargai dia. Hargai perasaannya.” “Menghargai perasaannya? Lalu bagaimana denganku, Ma? Aku mendapatkan tuduhan yang tidak masuk akal seperti ini dan itu merugikanku.” “Sudah!” Gema menengahi. “Elang, secepatnya kamu harus menikahi Manda. Semakin lama perut Manda akan membesar dan itu akan menjadikan aib untuknya.” Elang beranjak dari sofa. “Keputusanku tetap sama. Aku nggak akan menikah dengan Manda. Kalau Mama dan Papa mendesakku, maka aku memilih meninggalkan Indonesia. Aku akan membawa Pijar ikut bersamaku apa pun yang terjadi.” “Astaga!” Gema benar-benar dibuat pusing dengan tingkah sesuka Elang. Di mata orang tuanya, Elang bersalah dan seharusnya lelaki itu tidak bersikap seperti sekarang. “Lang, kamu paham nggak sih kalau kamu ini menghamili anak orang. Ada anakmu yang di dalam perut Manda.” “Aku nggak akan memaksa Papa dan Mam