“Apa maksud Anda, Pijar adalah milik Anda?” Bagas tidak ingin tinggal diam dan segera ikut berdiri untuk menghentikan kepergian Elang. Mereka saling melempar tatapan tajam. Bagas pasti sudah merasa jika selama ini dia melihat sikap Pijar dan Elang tidak seperti bos dan sekretaris pada umumnya. Elang menarik napasnya panjang untuk memberikan satu lagi informasi kepada Bagas. “Kalau Anda adalah mantan kekasihnya, maka saya juga mantan kekasih Pijar jauh sebelum Anda mengenal dia. Jadi, sekarang Anda paham ‘kan kenapa Anda tidak perlu lagi mendekati dia? Fokuslah pada istri Anda.” Bagas tidak bisa menahan keterkejutannya mendengar ucapan Elang. Dia tahu jika Elang tidak akan membohonginya. Pijar yang tertutup membuatnya tidak tahu kisah masa lalu gadis itu kecuali tentang keluarganya. Bagaimana kisah cinta Pijar dengan mantan-mantan kekasihnya sebelum dia bertemu dengan Bagas pun Bagas tidak tahu. Elang pergi begitu saja dari ruang meeting tanpa lagi berpamitan dengan Bagas. Dia bisa
Elang menahan Pijar pergi dari hadapannya ketika perempuan itu hampir melangkah. Memegangi tangan dingin perempuan itu dan seketika dia terkejut ketika merasakan tangan Pijar sedingin batu es. Pijar berusaha melepaskan, tetapi Elang menahannya. “Tangan kamu dingin banget, Jar?” gumam Elang, “apa akan selalu seperti ini jika kamu dekat denganku?” Pijar melepas paksa tangannya yang ada di genggaman Elang. Membulatkan kepalannya, hanya untuk berusaha menguatkan dirinya sendiri. “Ya. Itulah yang terjadi kalau aku dekat denganmu. Kamu tahu sekarang kalau aku nggak bisa menatapmu tanpa rasa takut.” Atmosfer di antara mereka terasa mencekam. Semilir angin sore mengelus kulit mereka yang tak tertutup, mengibarkan rambut Pijar yang terurai. “Aku tahu ini bukan yang pertama kalinya.” Elang ragu mengatakan itu secara langsung kepada Pijar. “Apa, ini alasanmu pergi meninggalkanku dulu? Ada hal lain yang kamu sembunyikan dari aku?” “Untuk apa kamu tahu?” Pijar akhirnya berbalik untuk menatap
“Aku nggak main-main, Pijar. Aku nggak pernah main-main,” bisik Elang masih dengan memeluk tubuh Pijar dari belakang. Menumpukan dagunya di pundak Pijar tak peduli jika tubuh Pijar sudah seperti sebuah patung hidup. Elang menggenggam tangan Pijar yang semakin dingin, merasakan betapa Pijar sangat tidak nyaman dengan keberadaannya. Elang membalik tubuh Pijar agar dia bisa menatap perempuan itu. Wajah Pijar pucat pasi seolah tidak ada darah yang mengalir di sana. Namun, lelaki itu tidak menghiraukan. Elang justru menarik Pijar untuk duduk di kursi meeting. Memberikan minum kepada perempuan itu meskipun penolakan yang didapatkan. “Tolong, Lang, tolong jangan siksa aku dengan semua ini.” Pijar benar-benar memohon. “Aku udah mengaku kalah dan aku udah nggak sanggup menampung rasa sakit dan takut ini terus menerus.” Pijar meremas dadanya dengan kuat menahan buncahan rasa sesak yang terasa menyakitkan. Elang yang sama sekali tidak peduli itu, kini meremas tangan Pijar dengan kuat. “Liha
Elang memacu mobilnya dengan kecepatan penuh tak peduli kalau Manda berteriak ketakutan. Lelaki itu mengantarkan Manda pulang ke rumahnya dengan pikiran kacau dan emosi yang melambung setinggi angkasa. Mood-nya hancur setelah Noah mengatakan ingin menikahi Pijar. Terlebih lagi, Pijar tidak menolak sama sekali. “Lang, hati-hati.” Manda terus saja merengek karena dia tampak ketakutan dengan aksi Elang yang ugal-ugalan. Elang sama sekali tidak peduli dengan rengekan Manda. Sampai di depan rumah Manda, Elang menghentikan mobilnya. Tangannya meremas setir mobilnya dengan napas memburu. “Keluar!” usir Elang pada Manda. “Lang ….” “Keluar!” bentaknya pada Manda yang ingin membantahnya. “Jangan buat saya murka, Manda. Saya benar-benar muak dengan semua ini.” “Sampai kapan?” Manda menatap Elang dengan tajam. Perempuan itu tak mau kalah. “Sampai kapan kamu akan mencintai Pijar, Lang? Sampai kapan? Kisah kalian sudah berakhir sejak lama dan sudah waktunya kamu menerima cinta baru dalam hidu
“Maafkan aku.” Elang akhirnya kembali meminta maaf. “Tolong ceritakan kenapa kamu dulu ninggalin aku gitu aja. Aku butuh penjelasan, Jar.” Tatapan Elang sama sekali tidak lepas dari wajah Pijar. Perasaan cinta yang menguar di hatinya tak tanggung-tanggung. Sejak dulu sampai sekarang, hanya ada satu nama di dalam hatinya dan itu adalah Pijar. “Aku tahu selama ini aku hanya terus mengedepankan emosiku dan nggak peduli dengan penjelasan yang ingin kamu katakan kepadaku. Aku salah. Namun, sekarang aku ingin tahu agar semua menjadi jelas, Jar.” Pijar ragu untuk mengungkapkan segalanya. Di samping itu, dia juga ingin salah paham ini bisa segera berakhir. Pijar menarik napasnya panjang sebelum bersuara. “Sepuluh tahun yang lalu, Ayah kena kasus yang sangat berat.” Akhirnya Pijar mulai bercerita. “Ayah dituduh korupsi dan terjerat masalah yang mengubah kehidupan kami. Kami kehilangan semuanya. Satu-satunya harta yang tersisa dari kami adalah rumah tua yang sekarang ditempati oleh Ibu dan
“Tugasku untuk menjelaskan tentang masa lalu udah selesai. Aku rasa, semuanya sudah jelas dan nggak ada yang perlu lagi ada perdebatan untuk kedepannya. Selanjutnya, kita urus kehidupan kita masing-masing. Tidak perlu saling ikut campur.” Pijar berdiri untuk kembali ke dalam rumahnya, tetapi tangannya dicekal oleh Elang. “Karena aku sekarang udah tahu semua apa yang sebenarnya terjadi, maka itu membuatku semakin nggak mau pergi dari kamu, Jar.” Elang si keras kepala itu mulai beraksi. “Aku akan menemui orang tua kamu dan melamar kamu secepatnya.” Pijar berbalik untuk menatap Elang. Perempuan itu sangat terkejut dengan ucapan Elang yang tiba-tiba. Lelaki itu benar-benar tidak bisa ditebak. Dia bahkan tidak bertanya lebih dulu apa yang sebenarnya dirasakan oleh Pijar sekarang. Tentang perasaannya, tentang luka yang diberikan sebelum penjelasan malam ini diberikan. Elang main ambil keputusan sendiri seolah dia adalah bos. Dia bisa melakukan itu ketika di kantor, tetapi ini adalah men
Bersaing secara sehat. Itulah yang Elang tunjukkan kepada Pijar ketika dia ingin mendapatkan perempuan itu. Elang tidak akan mengganggu Pijar ketika perempuan itu bersama dengan Noah, tetapi dia akan mendekat sedekat yang dia bisa ketika Pijar sendirian. Setelah dia meminta kepada orang tuanya untuk melamarkan Pijar untuknya, baik Gema maupun Almeda segera mendengus panjang. “Semua itu butuh proses, Lang. Nggak bisa main lamar anak orang gitu aja. Terlebih lagi, kamu memiliki dosa besar kepada Pijar yang perlu kamu selesaikan terlebih dulu. Yang terpenting bagi kamu sekarang adalah kamu bisa berdamai lebih dulu dengan Pijar baru kami bisa urus sisanya.” Itulah yang dikatakan oleh Gema malam itu. Elang ingin memaksa, tetapi dia tahu yang dikatakan oleh sang ayah memang benar. Masih ada banyak hal yang perlu dia selesaikan dengan Pijar. Sekarang yang perlu dilakukan adalah mendekati Pijar sebagai mana mestinya. Mendapatkan maaf yang benar dari gadis yang dicintainya. Elang mengeluar
“Sampai kapan dia akan bersikap seenaknya seperti itu?” Pijar mencuci piring bekas makannya dengan sedikit kasar. Mengomel seorang diri dengan bibir cemberut. Mendapatkan sumpah dari Elang setelah dia memasakkan makan malam untuk lelaki itu adalah hal yang sangat menyebalkan. Rasa lelah yang menggelung tubuhnya itu kini semakin terasa berat. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Elang sudah berdiri di depan rumah Pijar dengan membawa piring yang semalam dia bawa. Ekspresi dinginnya tercetak di wajahnya seperti biasa. “Kamu udah sarapan?” tanya Elang kepada Pijar. Pijar menerima piring itu tanpa mengatakan apa pun, meletakkannya di ruang tamu, lalu dia kembali keluar dan menutup pintu rumahnya. Tidak juga menjawab pertanyaan Elang. “Jar, aku bicara sama kamu.” Elang menarik tangan Pijar yang akan pergi. “Kamu udah sarapan?” Dengan menahan rasa kesalnya, Pijar menjawab singkat. “Udah.” “Nggak ngajak aku?” Elang mengernyit dalam. Ingatan Pijar memutar memori yang sudah dipendam sel