Elang dibuat linglung untuk beberapa waktu ketika dia sudah menyadari jika dia baru saja bermimpi. Kejadian itu ternyata adalah kilasan masa lalu yang pernah terjadi. Seolah mimpi itu tengah mengingatkan Elang pada kejadian yang sudah ditutupi selama ini. Ingatannya lantas memutar lagi kata-kata Pijar. Benar, Pijar pernah mengatakan jika dia mengakhiri hubungannya dengan Elang adalah demi kebaikannya. Namun, dia rasa itu hanya alasan yang dibuat-buat.“Apa ini terkait penyakitnya? Dia sudah mengalami depresi akut saat itu?” tebak Elang mencoba menduga-duga. Tidak ada jawaban yang bisa dia dapatkan jika dia tak bertanya langsung pada Pijar. “Ini menyebalkan,” gumam Elang dengan wajah kesal. Mengusap wajahnya dengan kasar. Dia lantas berdiri dan melihat keluar ternyata matahari sudah tidak terlihat. Ini hampir maghrib. Elang memilih untuk membersihkan badannya sebelum dia mengisi perutnya. Rasa lapar itu seolah tengah menggerogoti tubuhnya. Elang memilih untuk memesan makanan agar tida
Sepanjang malam, Pijar tidak bisa tidur karena satu kata yang Elang ucapkan kepadanya. Sorry, itu adalah kata-kata sederhana yang seharusnya tidak perlu dia pikirkan. Hanya saja, yang mengatakan itu adalah lelaki yang selama ini sangat menunjukkan kebencian kepadanya. Perubahan tiba-tiba itu, tentu bukan tanpa alasan. Elang pasti merasa bersalah karena sudah membuat penyakit Pijar kambuh sampai berujung ketakutan. “Nggak. Aku nggak boleh terharu dengan hal sekecil ini.” Pijar bergumam sambil menatap langit-langit kamar. “Elang adalah lelaki yang bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Dia melakukan ini sekarang karena pasti dia merasa terusik sebab aku menjauhinya. Kalau aku sudah luluh dengannya, itu hanya akan membuat dia kembali mengeluarkan kata-kata kasar itu kepadaku lagi.” Pijar adalah orang yang akan mengingat semua perlakuan buruk orang lain kepadanya karena sejatinya dia adalah pendendam. Hanya saja, jika tidak sangat kelewatan, maka dia hanya aka
“Ibu jawab apa?” Setelah beberapa saat Pijar terkejut, dia memastikan jawaban ibunya yang diberikan kepada Noah. Selama ini, Noah tidak mendesaknya untuk sampai pada hubungan tersebut. Mereka menjalani semuanya dengan santai, tetapi diam-diam, dia justru langsung menghubungi orang tuanya. Bahkan, dia belum pernah bertemu dengan orang tua Noah. [Ibu belum menjawab apa pun, semua keputusan ada di tangan kamu. Cuma, Ibu menyarankan agar kamu memikirkan matang-matang dan menerima dia. Noah memiliki keluarga yang baik. Mungkin cepat atau lambat, orang tua Noah akan datang menemui kamu.] Jawaban dari ibunya membuat Pijar terdiam. Setelah basa-basi sebentar, dia mengakhiri sambungan teleponnya. Pijar berpikir apa yang harus dilakukan. Setelah tahu tentang masalah ini, dia pasti akan merasa canggung dengan keberadaan Noah. Karena banyak melamun, Pijar akhirnya lupa waktu. Bahkan ketika Noah sudah sampai di rumahnya, dia belum bersiap-siap sama sekali. “Aku belum mandi, Mas.” Pijar meleba
“Mas.” Pijar bergumam dengan pelan karena tidak tahu jawaban apa yang harus diberikan kepada Noah. Lidahnya seolah kelu. Haruskah dia mengatakan dengan jujur tentang perasaannya, atau dia harus menutupi dan berpura-pura. Namun, Pijar bukan orang yang seperti itu. Dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Bukankah akan lebih baik kalau dia terus terang kepada Noah. “Mas … aku belum mencintai Mas.” Akhirnya Pijar mengungkapkan rasa. “Ada hal yang belum Mas ketahui tentang aku dan itu banyak. Aku nggak bermaksud untuk menyembunyikan, tapi aku belum bisa menceritakan.” Pijar tidak menarik tangannya dari genggaman Noah. Tidak juga balik menggenggamnya. “Bisa nggak kalau kita jalani ini lebih dulu. Mas tahu sekarang aku sedang berobat dan masih membutuhkan waktu untuk aku sembuh total. Aku bahkan nggak bilang apa pun kepada orang tuaku tentang kambuhnya penyakitku.” Pijar tentu bisa merasakan ketulusan yang Noah berikan kepadanya. Dia tak ingin membuat lelaki itu kecewa, hanya saja
Pijar memberanikan diri untuk berbalik dan menatap Elang. Dia tak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Dia baru saja berbicara panjang lebar dengan Noah tentang perasaan mereka. Di saat yang sama Elang harus kembali mengutarakan isi perasaannya dan menguak kisah terpendam yang sudah dikubur selama sepuluh tahun. “Setelah semua yang kamu lakukan sama aku, Lang, kamu mengatakan itu sekarang?” Akhirnya Pijar bersuara meskipun dengan lirih dan bergetar. Mata Elang masih menjadi momok menakutkan di dalam pikirannya sehingga tak sekalipun dia menatap lelaki itu. “Aku dulu pernah ingin menjelaskan sesuatu ke kamu, tapi kamu bersikeras untuk menolak. Semua ucapan buruk kamu, semua caci maki yang kamu lontarkan ke aku, memperdalam luka yang aku miliki, Lang.” Elang membeku di tempatnya. Dia tentu mengingat semua hal yang sudah pernah dilakukan kepada Pijar. “Kamu sekarang mengatakan masih memiliki rasa cinta buatku seolah tidak pernah terjadi apa-apa.” Pijar terkekeh kecil menertawakan dir
“Apa maksud Anda, Pijar adalah milik Anda?” Bagas tidak ingin tinggal diam dan segera ikut berdiri untuk menghentikan kepergian Elang. Mereka saling melempar tatapan tajam. Bagas pasti sudah merasa jika selama ini dia melihat sikap Pijar dan Elang tidak seperti bos dan sekretaris pada umumnya. Elang menarik napasnya panjang untuk memberikan satu lagi informasi kepada Bagas. “Kalau Anda adalah mantan kekasihnya, maka saya juga mantan kekasih Pijar jauh sebelum Anda mengenal dia. Jadi, sekarang Anda paham ‘kan kenapa Anda tidak perlu lagi mendekati dia? Fokuslah pada istri Anda.” Bagas tidak bisa menahan keterkejutannya mendengar ucapan Elang. Dia tahu jika Elang tidak akan membohonginya. Pijar yang tertutup membuatnya tidak tahu kisah masa lalu gadis itu kecuali tentang keluarganya. Bagaimana kisah cinta Pijar dengan mantan-mantan kekasihnya sebelum dia bertemu dengan Bagas pun Bagas tidak tahu. Elang pergi begitu saja dari ruang meeting tanpa lagi berpamitan dengan Bagas. Dia bisa
Elang menahan Pijar pergi dari hadapannya ketika perempuan itu hampir melangkah. Memegangi tangan dingin perempuan itu dan seketika dia terkejut ketika merasakan tangan Pijar sedingin batu es. Pijar berusaha melepaskan, tetapi Elang menahannya. “Tangan kamu dingin banget, Jar?” gumam Elang, “apa akan selalu seperti ini jika kamu dekat denganku?” Pijar melepas paksa tangannya yang ada di genggaman Elang. Membulatkan kepalannya, hanya untuk berusaha menguatkan dirinya sendiri. “Ya. Itulah yang terjadi kalau aku dekat denganmu. Kamu tahu sekarang kalau aku nggak bisa menatapmu tanpa rasa takut.” Atmosfer di antara mereka terasa mencekam. Semilir angin sore mengelus kulit mereka yang tak tertutup, mengibarkan rambut Pijar yang terurai. “Aku tahu ini bukan yang pertama kalinya.” Elang ragu mengatakan itu secara langsung kepada Pijar. “Apa, ini alasanmu pergi meninggalkanku dulu? Ada hal lain yang kamu sembunyikan dari aku?” “Untuk apa kamu tahu?” Pijar akhirnya berbalik untuk menatap
“Aku nggak main-main, Pijar. Aku nggak pernah main-main,” bisik Elang masih dengan memeluk tubuh Pijar dari belakang. Menumpukan dagunya di pundak Pijar tak peduli jika tubuh Pijar sudah seperti sebuah patung hidup. Elang menggenggam tangan Pijar yang semakin dingin, merasakan betapa Pijar sangat tidak nyaman dengan keberadaannya. Elang membalik tubuh Pijar agar dia bisa menatap perempuan itu. Wajah Pijar pucat pasi seolah tidak ada darah yang mengalir di sana. Namun, lelaki itu tidak menghiraukan. Elang justru menarik Pijar untuk duduk di kursi meeting. Memberikan minum kepada perempuan itu meskipun penolakan yang didapatkan. “Tolong, Lang, tolong jangan siksa aku dengan semua ini.” Pijar benar-benar memohon. “Aku udah mengaku kalah dan aku udah nggak sanggup menampung rasa sakit dan takut ini terus menerus.” Pijar meremas dadanya dengan kuat menahan buncahan rasa sesak yang terasa menyakitkan. Elang yang sama sekali tidak peduli itu, kini meremas tangan Pijar dengan kuat. “Liha